Share

Pria Bermata Kelam

Amy menerima uluran tangan pria itu. Mereka saling tatap selama beberapa saat. Wajah tampan dengan kulit pucat, rambut coklat gelap dan tatapan yang kelam. Entah mengapa Amy bisa merasakan jika pria di hadapanannya ini sedang bersedih meski bibirnya tersenyum tipis.

"Kamu ...." Amy hendak mengatakan sesuatu namun pria itu justru berjalan menjauh.

"Amy!!" Suara lantang dari arah lain membuat Amy menoleh. Itu adalah Velia, bersama seorang pria dengan cardigan hijau lumut bernama Davon.

"Kok kalian di sini?" tanya Amy sambil melihat ke arah pria misterius sekali lagi. Jarak mereka cukup jauh sekarang.

"Tadi kamu share loc. Lupa? Lain kali jangan bikin khawatir, bisa gak?" Velia menjitak kening sahabat sekaligus teman satu kontrakannya tersebut.

"Sakit, Vel!" sungut Amy kesal.

"Ngapain kamu ke sini, My?" Kali ini Davon yang bertanya. Pria berpenampilan santai namun rapi itu memperhatikan bangunan vila yang sebagian besar catnya telah mengelupas.

"Bukan apa-apa. Balik yuk," ajak Amy. Ia tak ingin mengalami hal aneh untuk ke tiga kalinya.

"Eh, cowok yang tadi sama kamu siapa? Penjaga villa?" tanya Velia.

Amy hanya mengangkat bahu. Ia sendiri pun tak tahu. Namun pria yang telah membantunya berdiri beberapa saat lalu terlalu charming jika dikatakan sebagai penjaga villa.

Sebelum meninggalkan area villa, Amy menoleh ke arah makam yang bertuliskan namanya sekali lagi. Ia merinding, ditambah pepohonan rimbun yang menutup pemandangan di belakangnya.

"Ayo pulang ...," ajaknya pada Velia dan Davon.

**

Amy sampai di kontrakan beberapa jam kemudian. Ia kembali sendiri di rumah dua kamar itu setelah Velia mengatakan harus bertemu teman di suatu tempat.

Ia masuk ke kamar, hanya untuk membolak-balikan lembaran buku bersampul hitam yang baginya terasa aneh. Bukan cuma cara ia mendapatkannya namun juga isi di dalamnya. Buku itu penuh dengan tulisan tangan yang tak Amy mengerti.

Namun ketika ia sampai pada satu halaman, mendadak ia tertegun. Terdapat gambar totem yang sangat dikenalnya, bunga lotus dan ada tiga titik pada bagian bawahnya.

Amy bangkit, mencari cermin. Ya, gambar pada buku usang itu sama persis dengan tanda lahir yang ada di lehernya. Terlalu sama jika dikatakan kebetulan.

"Apa ini?"

Wanita cantik itu mulai bersemangat membaca buku namun percuma saja. Selain tulisan pada pesan, buku itu menggunakan bahasa yang tak ia mengerti.

Malamnya, Amy keluar dari kamar hanya untuk mengambil segelas air. Cuaca yang mendung membuat hawa di sekitarnya terasa gerah.

Melewati ruang makan, ia bertemu Velia yang sedang fokus merekam sesuatu di rumah sebelah melalui ponsel barunya.

"Vel, ngapain?" Amy menepuk bahu wanita itu.

"Ssstt. Ada cogan di sebelah."

"Cogan? Bukannya Pak Tino cuma punya anak perempuan?"

"Ya kali ini keponakannya. Mau ikutan?" Velia memainkan alis.

"Ck. Kebiasaan deh." Amy sudah ingin berlalu namun Velia menahan tangannya.

"Eh, liat deh. Cowok itu ngapain ...." Velia semakin antusias melihat pria muda yang tampak membuka hoodie hitamnya.

"Duh, aku gak mau ikutan ngintip, Vel," tegas Amy. Berbulan-bulan tinggal bersama, tak membuat kebiasaan Velia menular padanya.

"Liat dulu." Kali ini Velia memaksa.

Amy pun menuruti dengan setengah hati. Velia telah men-zoom kamera hingga delapan puluh kali dan apa yang Amy lihat membuatnya terpana.

"Amy? Halo?" Kini giliran Velia yang menepuk bahu sahabatnya.

"Eh, kenapa?" Amy menoleh.

"Kok bengong? Hmm, apa kubilang, ganteng banget 'kan?"

"Gak tau ah, aku mau ambil air terus tidur." Amy berlalu meninggalkan Velia yang masih diam di tempat sambil cekikikan.

Fokus Amy terpecah, pria yang ia lihat beberapa detik yang lalu adalah orang yang ia temui secara tak sengaja di Villa Putih pagi tadi. Apa ini? Kebetulan? Tapi kenapa mendadak ia merasa merinding?

**

Esoknya, Amy bersiap untuk berangkat kerja seperti biasa. Ia telah memakai hoodie ungunya, hanya tinggal menyambar tas dan memakai sepatu. Tetapi ponselnya yang telah berada di dalam tas mendadak berdering.

"Halo, Vel?"

"My, udah berangkat belum?" tanya Velia di seberang. Nada suaranya sedikit panik.

"Mau berangkat, sih. Kenapa? Ada yang ketinggalan, nanti biar aku mampir ke tempat kerjamu," tawar Amy pada teman dekat yang bekerja di sebuah butik terkenal.

"Dua hari lalu aku reparasi jamnya mama ke Pak Tino mungkin sekarang udah selesai, tolong ambilin ya. Udah bayar kok, tanda buktinya ada di laci kamar. Thank you, Sist!" seru wanita itu.

Klik. Velia menutup panggilan begitu saja tanpa menunggu jawaban darinya. Mendengar nama Pak Tino disebut, Amy tiba-tiba teringat pria itu.

"Kebetulan. Cuma kebetulan." Amy menggeleng dan bergegas. Ia tak ingin gajinya dipotong karena terlambat.

Pak Tino mempunyai tempat reparasi jam tangan di samping rumahnya. Pria paruh baya yang memiliki senyum ramah itu juga mempunyai beberapa koleksi barang antik.

Amy memasuki halaman rumah tanpa pagar. Terlihat satu mobil yang sedang terparkir di depannya berwarna hitam. Rolling dor setengah terbuka, Amy mempercepat langkah karena mengira tempat itu akan segera tutup.

"Permisi ..." ucap wanita itu.

Hening.

Di belakang meja tampak berdiri seorang pria. Cahaya di ruangan itu cukup redup. Namun semakin dekat, Amy bisa melihatnya dengan wajahnya dengan jelas. Pria itu dengan tanda lotus dan tiga titik pada lehernya. Letak dan bentuk yang sama dengan miliknya, tak mungkin jika sebuah kebetulan.

"Ada apa?" Suara bariton pria itu terdengar bersamaan dengan netra yang bertemu tatap.

"Eh? Ehm, ini ...." Amy menyerahkan tanda bukti pembayaran milik Velia.

Pria misterius itu membaca lembaran sekilas dan mengambil jam tangan klasik dan cantik yang telah terbungkus rapi. Amy masih tak beranjak, rasa penasarannya terlalu besar untuk dibendung. Maka ia memutuskan untuk bertanya.

"Maaf, kemarin kita sempat ketemu 'kan? Di Villa Putih? Kota M?"

Pria tampan yang semula sibuk dengan guci antik di tangannya, mendadak menatap Amy. Wanita itu menunggu jawaban namun justru pria lain muncul dari arah dalam.

"Rain, apa kau butuh bantuan? Oh, kita ada pelanggan? Ada yang bisa kubantu?" Pria berkacamata itu tersenyum ramah pada Amy.

"Udah kok, terima kasih."

Amy membalikkan badan dan keluar dari toko antik itu tanpa menoleh. Dua pria masih menatap punggungnya hingga menghilang saat berbelok di jalanan.

"Seperti sebelumnya, kalian bertemu saat tanda pada lehermu muncul. Tapi aku merasa ada yang berbeda kali ini. Apa kau juga merasakannya, Rain?" Pria bernama Gideon menepuk pundaknya.

Rain tak menjawab, ia meneruskan pekerjaannya tanpa suara sedikit pun. Gideon hanya melirik, lalu lanjut bertanya.

"Kali ini kau ingin mengacuhkan wanita itu lagi? Jangan lupa apa yang terjadi padanya dua puluh tahun yang lalu di Villa Putih."

Gerakan tangan Rain terhenti. Tentu ia ingat akan peristiwa tragis yang terjadi bertahun silam. Tubuh rapuh Amethyst terjun dari balkon lantai tiga vila itu.

"Itu bukan cara yang tepat untuk menghentikan siklus," tambah Gideon.

"Aku tahu." Rain meletakkan guci antik di tempatnya dan keluar dari toko.

"Hei, mau ke mana? Si tua Tino akan mencarimu sesaat lagi," seru Gideon lantang.

Alih-alih menjawab, Rain terus berjalan. Bibirnya terkatup namun pikirannya terasa penuh. Siklus dua puluh tahun telah terulang dan ia harus segera melakukan sesuatu sebelum nyawa Amethyst-nya kembali melayang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status