“Bagaimana film rekomendasiku?” Chloe membanggakan dirinya setelah mengajak teman-temannya menonton film kesukaannya di biskop.
“Not bad,” Jovanka menjawab pelan sambil memakan sisa popcorn di tangannya.
“Nay, kamu nggak papa kan?” panik Xaviera melihat sahabatnya yang diam dan berjalan seperti mayat hidup dengan mata merah dan membengkak.
Chloe dan Jovanka reflex menoleh. Sesaat kemudian, mereka berdua tertawa lepas membuat beberapa pengunjung mall melihat mereka.
Nayra ini adalah gadis yang memiliki sentimental paling tinggi. Tidak heran, hanya dengan melihat kucing yang sedang diam di pinggir jalan saja, mampu membuatnya menangis dalam dua jam.
“Sudah Nay, itu hanya film” Chloe mencoba menenangkan.
“Tapi tetap saja, disitu tertulis based on true story, buta kalian, hah?” kali ini Nayra meninggikan nada bicaranya.
Tawa Chloe dan Jovanka kini sudah meledak. Sungguh, menguji mental Nayra memang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
“Terima kasih” ujar mereka berempat kompak setelah menerima ice cream dari sang penjual.
Sebelum pulang mereka memutuskan untuk berfoto di kamar mandi bioskop kemudian membeli ice cream.
Jangan tanyakan mengapa mereka foto di kamar mandi bioskop. Karena kaca di sana menjadi spot foto paling aesthetic. Tentu saja gratis, tidak berbayar seperti foto di studio.
“Beneran, nggak mau bareng ra?”
Jovanka kembali mengajak Xaviera yang memilih untuk pulang sendiri menggunakan angkutan umum. Xaviera mengangguk mengiyakan.
“Aku duluan ya ra” ucap Chloe dari dalam mobil.
Nayra ikut Jovanka karena mereka satu arah pulang, sedangkan Xaviera, arah jalan pulang mereka berlawanan. Nayra sudah pulang terlebih dahulu karena sudah dijemput supir pribadinya. Jovanka tidak bisa memaksa, ia menuruti permintaan Xaviera kemudian melajukan mobil yang di kendarainya.
Ketika sedang menikmati ice cream vanila di genggamannya, tiba-tiba ia melihat kereta bayi yang bergerak sendiri menuju jalan raya tanpa pengawasan dari orang dewasa.
Banyak orang yang melihat kejadian itu, tetapi kebanyakan dari mereka hanya mampu berteriak saja, bahkan ada beberapa yang lebih memilih merekam tanpa berusaha menyelamatkan.
Karena geram dan panik, ia dengan cepat berlari menyelamatkannya. Klakson mobil bersahutan membuat bayi itu menangis semakin kencang.
Dari arah sebelah kanan, mobil bis melaju dengan cepat. Tanpa perhitungan dan tanpa melihat sekitar, Xaviera berlari meraih kereta bayi itu. nyaris saja kejadian tidak terduga akan terjadi jika ia telat satu detik saja.
Dengan napas terengah-engah, ia menggendong bayi itu menenangkan.
“Tidak apa-apa, jangan menangis manis. Jangan menangis lagi ya, cup cup cup.”
Seperti mengerti perkaataan Xaviera, bayi tampan dengan mata berwarna abu itu perlahan berhenti menangis. Bahkan bayi itu balik menatap lekat mata Xaviera.
“Good job, anak pintar.” Ucap Xaviera dengan senyuman manis. Dari arah kejauhan terdengar suara perempuan yang memanggil.
“Tuan muda!!!” ujarnya yang langsung mengambil bayi itu dari Xaviera.
Tuan muda?
“Terima kasih nona, sudah menyelamatkan tuan muda.”
"Iya tidak apa-apa. Tampan, jangan menangis lagi ya,” ujarnya tersenyum menyapa bayi itu.
Tanpa disadari, Revan melihat kejadian itu dari kejauhan. Keringat sudah menetes melewati pelipisnya, jantungnya juga berdegup cepat tatkala melihat anaknya berada di ambang kematian.
Untung saja, perempuan itu menyelamatkannya. Revan mencoba mengatur napasnya, ia kemudian mendekati mereka yang sedang asik bercengkrama.
“T-tuan?”
Tatapan tajam Revan membuat baby sitter itu menunduk.
Xaviera yang melihat perubahan raut wajah perempuan dihadapannya, kemudian menoleh ke belakang. Matanya melebar dengan sempurna.
Seorang laki-laki gagah dan tampan dengan balutan kemeja sedang menghampirinya. Bahkan aroma parfume dan keringat orang tampan bercampur menjadi satu tercium dari jarak yang lumayan jauh.
Tampan.
Kata-kata itu refleks keluar dari mulutnya tepat ketika laki-laki itu melintasi dirinya. Dengan cepat ia menutup mulut, takut jika lelaki tampan itu mendengarnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, baby sitter itu seolah mengerti, langsung memberikan bayi di pelukannya kepada Revan.
Melihat lelaki tampan menggendong seorang bayi, sudah membuat Xaviera memikirkan akan menikah menggunakan adat apa.
Sifat keibuannya menyeruak, ia merasakan kedamaian saat melihat laki-laki bersama dengan anak kecil.
Revan kemudian berjalan menuju mobil, namun langkahnya terhenti ketika melihat perempuan di hadapannya yang tidak berhenti menatapnya. Dengan satu alis yang terangkat, membuat Xaviera sadar dari lamunannya.
“Kau ingin mengatakan sesuatu?”
Tatapan mata itu membuat kaki Xavera lemas. Padahal hanya ditatap saja, membuat kupu-kupu berterbangan di perutnya. Xaviera menggeleng kemudian tersenyum.
“Tidak ada, pergilah. Bye-bye anak ganteng,”
Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada bayi gemas itu, Xaviera mendorong pelan punggung kekar Revan untuk masuk ke dalam mobil.
Baby sitter yang melihat kejadian itu kaget melihat tingkat Xaviera. Revan sedikit berbalik untuk menatap mata gadis itu.
“Jangan lupa untuk mengikat tali sepatumu,”
Refleks Xaviera menatap ke arah tali sepatunya. Ia menahan malu melihat kebodohannya. Ia lupa menalikan tali sepatu tadi, untung saja tali sepatu tidak membuatnya berada dalam masalah.
Revan kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya. Setelah mobil itu tidak terlihat dari pandangannya, ia baru menyadari satu hal.
OH TIDAK! ICE CREAMKU!
Karena fokus menyelamatkan bayi itu, ia tidak sadar sudah melakukan kesalahan sehingga melupakan ice cream yang sudah mulai melelah di tanah. Beberapa kali ia memukul kepalanya pelan dan menghentakkan kakinya.
Bus yang di naiki Xaviera berjalan pelan membelah jalanan malam yang sedikit macet. Hujan datang tiba-tiba ketika langit mulai gelap.Tetesan air hujan semakin deras dengan suara gemuruh yang bergetar. Begitu juga kilatan cahaya terang benderang yang datang sesekali.Xaviera mengeratkan cardigan tipisnya agar angin tidak terlalu masuk untuk menembus tulang-tulangnya. Pandangan kota dengan gemerlap lampu terlihat remang-remang di balik kaca mobil yang sedikit berembun.Mengingat kejadian tadi membuatnya tertawa kecil. Jika dibayangkan lagi, sikapnya tadi sedikit ceroboh. Jiwa simpatinya terlampau tinggi tanpa memperdulikan bahwa jika ia tidak berhati-hati maka dirinya dan juga bayi itu berada dalam bahaya.Pikirannya kemudian teralihkan kepada laki-laki tampan yang baru saja ia temui tadi.Ketampanan yang ia pancar menjadi daya tarik sendiri. Tampan dengan usia yang matang, dan dari sorot matanya terlihat bahwa ia bukanlah sembarangan orang.
Revan menatap pembantunya yang kini sedang berlutut sambil menangis tersedu. Ia tetap berdiri dengan tenang karena anaknya sedang tertidur di pelukannya.“Maafkan saya tuan, saya—”“Mau sampai kapan pun kamu meminta maaf, tidak akan saya maafkan!” tatapannya kini mengintimidasi.Semua pembantunya yang melihat kejadian itu, berpura-pura tidak tahu dan menghindar. Karena mereka takut akan menjadi incaran Revan selanjutnya.“Hiks, tolong jangan pecat saya tuan,”“Kalau memecahkan piring di rumah ini, saya maafkan. Tetapi, kamu hampir saja membuat nyawa anak saya diambang kematian dan itu tidak bisa saya maafkan!”“Saya tidak sengaja tuan, saya tadi—”“Apakah kau mengatakan hal itu karena saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan?! Kau sibuk bermesraan dengan kekasih barumu dan melupakan tugasmu. Apakah kau masih mengelak?”Mata perempuan di hadap
Mobilnya berhenti di apartemen mewah milik Liam tepat pukul sepuluh. Revan tahu karena ia telah memperhitungkan waktunya dengan sempurna. Untuk satu alasan, ia harus memberitahu Liam bahwa ia meminta bantuan kepadanya.Ketika berjalan di lorong apartemen, ia melihat seorang wanita dengan penampilan acak-acakan dan lipstik di bibirnya yang sudah pudar. Revan menghembuskan napas pelan.Pasti, ia berulah lagi.“Siapa perempuan itu?”Suara baritonnya berhasil membuat gelas yang berada di tangan Liam terjatuh ke lantai karena kaget.Ia kaget terlebih karena melihat Revan tengah berdiri diambang pintu dengan seorang bayi yang di gendong di depan dan beberapa perlengkapan bayi di tas yang ia pegang di tangan kanan dan kirinya. Sudah persis seperti ibu-ibu yang kerepotan membawa anak ketika keluar rumah.“Bisakah kau tidak mengagetkanku?!” ujarnya sambil mengelus dadanya pelan, mencoba mengatur detak jantungnya.
Perpustakaan saat jam makan siang sangat ramai dan penuh dengan kerumunan mahasiswa serta dosen. Xaviera menyapukan pandangan ke seluruh perpustakaan yang penuh. Tangannya mengetik tugas mata kuliah jurnalistik sambil memikirkan referensi apa yang akan ia pakai.Mata kuliah ini tidak semudah yang ia bayangkan, apalagi saat ada dosen yang menjelaskan dengan nama istilah yang tentu saja tidak ia mengerti. Tetapi setidaknya jurusannya tidak sesulit jurusan hukum di mana hampir seminggu sekali ada diskusi. Hari ini, ia sedang tidak bersama dengan sahabatnya. Dia sibuk mengerjakan tugas sebelum ujian akhir semester dua minggu ke depan. Inilah, risiko memiliki sahabat berbeda jurusan.“Ra, kamu mencatat semua materinya? Sepertinya catatanku hilang,” kata Ayra teman sekelasnya yang sama-sama sedang sibuk membuat esai.Xaviera langsung menyerahkan buku catatannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar leptop.“Ada di halaman tengah menu
“YA AMPUN! APA-APAAN INI!”Revan yang berdiri di depan pintu apartemen Liam terkejut. Apartemen Liam kini sangat berantakan. Ia bahkan tidak tahu kata apa yang pantas untuk menggambarkan suasana saat ini.“Lihatlah nak, ayahmu sudah pulang,” Gabriel sedang menggendong Abian dengan santai, sudah seperti seorang istri yang menyambut suaminya pulang. Abian menatap ayahnya yang baru pulang dengan tatapan sendu dan sudut bibir yang sedikit terangkat.Volka, Adrian, David terlihat tertekan dan terkulai lemas di atas tumpukan mainan bayi. Revan melangkah masuk ke dalam apartemen, berjalan sedikit menjinjit menghindari untuk menginjak mainan yang berceceran kemudian meraih Abian dari Gabriel.“Apa-apaan kalian ini? Mengapa banyak sekali mainan di sini?”Revan bertanya dengan penuh selidik. Menatap satu-satu sahabatnya yang terlihat lelah mengurus Abian, anaknya. Ia tidak habis pikir akan menjadi seperti ini.
“Adrian stop! Where are you going?” “I said stop Mr. Anderson!” ucapannya kali ini menghentikan langkah kaki Adrian. Saat ini ia sudah seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Adrian menoleh, menatap Gabriel yang masih terengah-engah.“What? You want to hit me up, huh?”“Listen, I know you’re so mad, but you have to understand the situation. Revansedang lelah dan kau membahas hal yang sudah dilarang untuk dibicarakan oleh kita semua.”“Aku mengatakan hal itu, karena aku tidak ingin Revan seperti ini,”“I know, you reason that make sense but this is not a good time, Adrian.”Adrian menarik napasnya panjang. Gabriel sungguh memahami perasaan Adrian saat ini, ia tahu bahwa Adrian ingin memberikan yang terbaik buat Revan sama seperti yang lainnya.Ia menepuk pelan punggung Adrian, kemudian mengajaknya k
Begitu tiba di depan gedung apartemen Liam, Gabriel langsung meletakkan mobilnya di parkiran. Dia mendongakkan kepala mendapati lift berjalan pelan hingga dentingan terdengar sebagai tanda bahwa ia telah sampai ke lantai yang dituju. Tanpa menunggu waktu lama, ia berjalan menuju apartemen Liam yang berjarak empat kamar sebelah kanan dari lift. Pintu apartemen terbuka. Gabriel menelisik keadaan di sekitar dan memastikan bahwa semua sudah dalam keadaan seperti semula. “Bagaimana Adrian?” celetuk Volka yang datang menghampiri Gabriel dengan raut wajah khawatir. Ia sangat mengenal laki-laki berambut blonde itu ketika marah. Adrian ketika marah seperti dewa Hades yang siap melahap dengan kobaran si jago merah yang panas. Tentu saja, Adrian bukan sosok yang mudah dikendalikan tetapi, ia tidak tahu apakah Gabriel mampu menenangkan Adrian atau membuat suasana semakin kacau. “Tenang saja, ia sudah aku kendalikan,” Gabriel tersenyum bangga membuat kelegaan terasa
Hari ini cuaca sedikit berawan, mungkin saja sebentar lagi akan turun hujan. Suasana seperti ini sangat cocok untuk dinikmati di rumah sambil tiduran, menonton netflix dan memakan beberapa cemilan atau mendengarkan alunan suara gerimis pelan sembari bersembunyi di balik selimut tebal. Membayangkannya saja sudah mampu membuatnya tidak fokus dengan materi perkuliahan.Ahh, rasanya sangat mengantuk.Xaviera beberapa kali mencuri kesempatan membuka permen kopi untuk melawan kantuknya, namun hal itu tidak mempan ketika dosen berbicara seperti membacakan cerita dongeng untuknya.Jeffran menopang dagu menatap Xaviera dari kejauhan. Ia beberapa kali tersenyum ketika melihat perempuan itu dengan ekspresi mengantuk namun tetap berusaha memperhatikan dosen. Tingkahnya benar-benar menggemaskan.Ingin rasanya ia berada di dekatnya, kemudian memberikan bahunya yang lebar. Namun, karena urusannya dengan salah satu mahasiswi dari fakultas kedokteran yang baru sa