“Ini buat jajan ya.” Vita memberikan amplop pada dua keponakannya.
“Terima kasih, Bibi,” ucap dua bocah itu hampir berbarengan. Keduanya berjingkrak girang mendapat amplop lebaran. Lalu, mereka bergelayut pada Ibu masing-masing. “Coba sini amplopnya, biar Mama simpan,” ujar Lina pada anak perempuannya yang berusia lima tahun. Setelah menerima benda tersebut, dia langsung membuka dan mengeluarkan isinya. Lina terbelalak saat menyadari isi amplop tersebut hanya lima lembar uang pecahan dua ribuan. “Astaghfirulloh, Vit! Masa iya amplop lebaran isinya cuma sepuluh ribu? Uang segini dapat apa?” Lina menatap sinis pada adik iparnya. Vita sedikit menunduk, tak menyangka amplop yang dia berikan dibuka langsung di depan keluarga besar. “Maklum, Mbak! Aku tinggal di kampung jadi enggak bisa kasih banyak,” ujarnya menahan malu. “Anggi juga tinggal di kampung, tapi dia bisa memberi anakku 100 ribu.” Lina menoleh pada adik iparnya yang satu lagi. “Lebaran kan setahun sekali, malu dong kalau aku kasih sedikit. Lagian, semakin banyak beramal, rezeki akan semakin besar.” Anggi membanggakan diri karena telah memberi lebih banyak. Vita tersenyum getir. Sama sekali tak menyangka lebaran yang seharusnya jadi momen bahagia justru dijadikan ajang pamer amal. Mereka semua tak tahu betapa susahnya bagaimana seorang Vita mengumpulkan uang sepuluh ribu. “Hush! Kalian enggak boleh begitu. Biarpun sedikit yang penting ikhlas!” Sang Ibu menasihati dua menantunya. Lina dan Anggi adalah istri dari dua kakak kandung Vita. Di antara mereka bertiga, bisa dibilang Vita yang hidupnya paling susah. Suami Vita bekerja di sebuah perusahaan ternama dan mereka tinggal di kota. Suami Anggi menjadi ASN dengan gaji yang lumayan besar, sedangkan suami Vita sudah tiga bulan pergi merantau, tapi sampai saat ini belum ada kabar. “Tapi kan ini lebaran, Bu! Harusnya Vita kasih lebih, apalagi kami setahun sekali baru mudik,” sela Agung-suami Lina. “Iya. Istriku saja dibela-belain nabung buat kasih keponakan, masa Vita enggak. Jadi orang jangan kikir dong. Maunya diberi enggak mau kasih,” gerutu Dimas-suami Anggi. “Bukannya begitu, Mas! Aku juga ingin kasih lebih buat keponakanku, tapi mau bagaimana lagi. Aku lagi enggak ada uang. Sejak merantau Mas Bagas belum kirim uang. Kabarnya saja pun enggak ada,” beber Vita. “Halah ... itu alasanmu saja! Pelit ya pelit!” ketus Agung. Vita hanya mampu meremas sisi gamis lusuhnya demi menahan perih. Ucapan dua kakak kandungnya seperti pisau tumpul yang mengiris hati. Sakit dan menyiksa. “Agung ... Dimas ... kalian enggak boleh seperti itu. Vita itu adik kalian. Harusnya kalian mengerti keadaannya. Syukur kalau bisa membantu. Hari ini Vita memang hidupnya masih pas-pasan, tapi bisa saja besok dia jadi orang sukses.” Sang Ibu kembali menasihati. “Sukses dari mana, Bu! Suaminya saja enggak jelas orangnya. Merantau kok enggak kirim uang,” cibir Agung. “Iya. Lagian ini juga salah Vita. Cari suami kok kayak gitu. Sudah pasti hidupnya susah,” imbuh Dimas. Nafas Vita tersengal demi menahan tangis agar tak sampai pecah. Niatnya datang ke rumah orang tua ingin menikmati momen bahagia bersama keluarga, tapi justru hinaan yang dia dapat. Jika memungkinkan, Vita ingin segera pulang ke rumah sendiri ketimbang di sini hanya dihina. Namun, jika belum menginap sudah pulang, tentu akan membuat hati Ibunya bersedih. Tak tahan terus dihina, Vita beranjak ke kamarnya. Di tumpahkan semua tangis yang sedari tadi sudah ditahan. Jika yang menghina orang lain, itu tak terlalu sakit. Tapi ini keluarga sendiri. Sejenak Vita menoleh pada anaknya yang terlelap di sebelahnya. Lalu mengedarkan pandangan ke semua penjuru ruangan. Dulu, kamar ini miliknya. Tempat ternyaman untuk melepas letih. Namun, sekarang semua sudah berubah. Rumah ini sudah tak memberi rasa nyaman. Sang Ibu yang menyadari anak perempuannya bersedih langsung menyusul ke dalam. Dielus punggung Vita demi menenangkan hatinya. “Maafkan mereka ya, Vit! Kakakmu tak bermaksud menyinggung perasaanmu,” ujar Bu Aminah. Vita tersenyum getir. Jemari tangannya meraih ujung hijab untuk menyeka sudut mata, agar tak terus mengeluarkan bulir bening. Di depan Ibu dia ingin terlihat tegar meski sebenarnya rapuh. “Enggak apa-apa kok, Bu! Aku ngerti kok!” lirih Vita. Sebagai orang tua, Bu Aminah tentu bisa merasakan kesedihan anaknya. Namun, dia tak bisa berbuat banyak selain meminta Vita bersabar. Dua anak dan menantunya memang sudah kelewatan. “Oh iya ... kamu sudah ke rumah mertuamu?” tanya Bu Aminah setelah tangis Vita mereda. “Belum, Bu! Besok pagi aku baru ke sana,” sahut Vita. “Jadi kamu hanya menginap semalam di sini?” tanya Bu Aminah dengan wajah sedih. “Iya, Bu! Kan harus ke rumah mertua juga,” jawab Vita. Sehari saja rasanya sudah enggak sanggup mendengar cemooh kakak-kakaknya, apalagi kalau sampai seminggu. Bisa-bisa Vita mati menahan malu. *** Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Vita sudah berkemas, siap kembali ke rumahnya. Tidur semalam di rumah orang tua rasanya seperti sebulan. “Bu, Aku pamit dulu ya.” Vita meraih tangan sang Ibu lalu mencium takdim. “Iya, hati-hati di jalan ya,” pesan sang Ibu. Lalu, Vita berganti menyalami saudara-saudaranya. Walaupun mereka sudah banyak menghina, dia tetap bersikap sopan dengan berpamitan. “Vit, besok kamu balik ke sini ya. Aku mau bikin selamatan,” pesan Agung. “selamatan apa, Mas?” tanya Vita penuh selidik. “Loh ... emangnya kamu enggak lihat kalau mobilku baru?” ujar Agung setengah pamer. Ya. Lebaran tahun ini Agung memang mudik membawa mobil baru. Dia sengaja ingin mengadakan selamatan kecil-kecilan agar semua warga kampung tahu kalau dirinya sekarang sudah sukses. “Aduh, Mas! Kayaknya aku enggak bisa deh. Setelah ini aku mau ke rumah mertua. Mungkin aku menginap tiga hari di sana,” tolak Vita. “Kamu ini bagaimana sih! Saudara mau bikin selamatan kok enggak mau datang. Boro-boro bantu uang, tenaga saja enggak mau!” dengkus Agung. “Ya mau bagaimana lagi, Mas! Kan lagi lebaran. Jadi aku juga harus ke rumah mertua,” kilah Vita. “Pokoknya kamu harus ke sini,” tekan Agung. Vita menghela nafas panjang. “Aku usahain ya, Mas! Tapi enggak janji,” jawab Vita lalu membopong anaknya dan segera pergi. Sebenarnya bisa saja Vita menginap hanya satu malam di rumah mertua, tapi hinaan Agung dan istrinya kemarin membuatnya malas jika disuruh bantu-bantu.Sampai di rumah, Vita langsung membuka lemari hendak mengganti pakaian anaknya. Sesaat dia termangu memilih pakaian yang cocok. Lebaran tahun ini dia hanya membeli satu setel pakaian untuk Kesya dan sudah di pakai kemarin. Setelah melalui sedikit pertimbangan, dia mengeluarkan pakaian lebaran tahun lalu dan lekas memakaikan pada anaknya. Selesai dengan pakaian anaknya, Vita dihadapkan kembali dengan sebuah dilema. Sudah dua tahun dia rak membeli baju lebaran. Yang lama pun sudah mulai usang. Satu-satunya gamis yang terbaru sudah dipakai kemarin, jadi tak mungkin dipakai kembali. Akhirnya dia mengeluarkan gamis hitam yang dibeli saat masih gadis dulu.Bermodalkan tiga toples kue kering, Vita memacu motor ke rumah mertuanya. Apa yang dibawa saat ini sama dengan yang diberikan pada Ibunya. Dia tak pernah membeda-bedakan. Motor yang Vita kendarai berhenti di halaman sebuah bangunan yang tak terlalu besar, tapi rapi. Halamannya lumayan luas ditumbuhi beberapa tanaman bunga. Vita turun
Malam menjelang. Bu Asti dan keluarganya sudah kembali ke rumah. Tadi mereka berkeliling menikmati kebersamaan. Sekarang semua sudah beristirahat, menyisakan Vita dan Arum yang masih betah mengobrol. Keduanya memang akrab. “Oh iya, Vit! Memangnya tadi ada apa kok kakakmu minta kamu ke sana?” tanya Arum disela obrolan. Vita pun bercerita kalau kakaknya akan mengadakan selamat besok. Dia di suruh datang, tapi rasanya malas. “Ya enggak boleh gitu, Vit! Kamu harus datang. Jangan memutus silaturahmi,” “Tapi, Mbak! Mereka belum berubah. Malah semakin kebangetan. Soal amplop lebaran saja aku diketawain,” keluh Vita. Arum tersenyum. Vita sudah sering bercerita soal kelakuan dua kakaknya yang suka menghina. “Aku tahu ini enggak mudah, Vit! Tapi bukan berarti kamu harus menjauh. Datang saja! Tapi kamu juga jangan diam saat ditindas. Jangan mau jika diperlakukan seperti pembantu!” pesan Arum. Sejenak Vita memikirkan kalimat kakak iparnya. Selama ini memang dia hanya diam saat dipermaluka
4. Pada akhirnya, Lina dan Anggi tak jadi pergi. Keduanya ikut memasak meski hanya setengah hati. Sementara Vita merasa lega karena tak diperlakukan seperti pembantu. Terkadang, dibutuhkan sedikit keberanian agar tak terus disepelekan. Jangan biarkan harga diri diinjak-injak hanya karena miskin. Selepas Asyar, tamu undangan sudah mulai berdatangan. Dengan penuh semangat Agung menyambut para tetangga. Dia sudah tak sabar untuk memamerkan kalau dirinya telah menjadi orang sukses.Setelah semua berkumpul, acara dimulai. “Silakan Pak Haji, mohon didoakan ini selamatanku,” ucap Agung pada lelaki berkopiah putih di sebelahnya. “Memangnya selamatan apa?” Lelaki itu bertanya balik. “Begini, Pak Haji. Aku baru saja membeli mobil baru. Harganya 300 juta lebih,” Sengaja Agung menyebutkan nominal agar para tetangga tahu harga mobilnya. “Wah ... hebat kamu, Gung! Sekarang sudah sukses,” puji salah satu tetangga. “Iya. Uangmu pasti banyak. Tiap mudik selalu ganti mobil,” puji yang lain. “
Rumah Bu Aminah yang semula lengang, seketika menjadi riuh tatkala Linda berteriak histeris. Sontak saja semua penghuni rumah berhamburan keluar menuju sumber teriakan. “Ada apa, Ma! Kok teriak-teriak,” tanya Agung sembari mengatur nafas. “Iya nih! Pagi-pagi Mbak Linda sudah teriak-teriak. Bikin jantungan saja!” imbuh Anggi yang juga sudah berada di teras. “Mobil kita, Mas! Mobil kita enggak ada!” Linda menatap nanar pada halaman di mana tadi malam mobil terparkir. Agung yang sejak tadi belum sadar akan hal itu, seketika mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk istrinya. Darahnya berdesir hebat, dengan degup jantung begitu kencang. Pun dengan keluarga yang lain, mereka terperangah saat tak melihat Mitsubishi Xpander terparkir di halaman. “Mo-mobilnya hilang, Ma!” Lirih suara Agung terdengar. Pandangannya kosong terpaku pada tempat yang sama. Lututnya bergetar hebat hingga persendian tulang tak lagi mampu menopang berat tubuh. Lelaki itu luruh ke lantai dan terkulai lemas.
Meski sudah berdandan ala kadarnya, Vita masih asyik melangut di kamar. Sebenarnya hari ini dia berencana akan kembali berjualan setelah tiga hari libur, tapi terpaksa dibatalkan karena Dimas menelepon, memintanya pagi ini datang ke rumah. Sempat semalam menolak, tapi Dimas bilang Ibu yang menyuruh.Sebentar kemudian, Vita bangkit lalu membopong Kesya. Firasat mengatakan sesuatu sedang terjadi pada Ibu, makanya dia mau datang. Setelah hampir 15 menit berkendara, akhirnya sampai di rumah Ibu. Vita turun lalu segera naik ke teras. Bu Aminah yang mendengar deru mesin motor berhenti, langsung membuka pintu dan menyambut anak perempuan satu-satunya dan mengajak ke dalam. Sampai di ruang tengah, Vita mengernyit heran melihat semua saudara berkumpul, tapi tak terlihat keceriaan di wajah mereka. Vita duduk di sebelah Ibunya, sementara Kesya bermain di ruang depan bersama anak dari dua kakaknya. “Vit, Ibu minta kamu ke sini karena ada yang ingin dibicarakan,” ucap Bu Aminah membuka percak
Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca, Vita menatap rindu pada lelaki yang sedang berdiri di teras rumah. Desiran halus di hati kian terasa saat lelaki itu menoleh, meski sorot mereka tak bertemu. Buru-buru Vita melepas safety belt, turun lalu setengah berlari menghampiri lelaki tersebut. “Mas Bagas!” Vita menghambur dalam pelukan suaminya. Namun, lelaki itu justru kaget melihat kedatangan sang istri. Dia hanya mematung, tanpa membalas pelukan. Vita yang menyadari perubahan sikap suami, melepas pelukan lalu menatap lekat pada wajah. “Kamu enggak kangen aku, Mas?” tanya Vita dengan suara sedikit gemetar. “Kangen kok.” Suara Bagas sedikit tergagap. Pandangannya tertuju pada Arum yang sedang membopong Kesya, mendekat padanya. Sama sekali Bagas tak menyangka jika kakak perempuannya justru membawa Vita ke rumah, padahal dia sudah mewanti-wanti agar tak menceritakan kepulangannya. Semakin lekat Vita menatap wajah suaminya, tapi Bagas justru mengh
“Baik! Ceraikan aku sekarang!” tantang Vita. Tak ada pilihan lain. Jika harus berbagi suami, Vita tak akan sanggup. Merasa tertantang, Bagas langsung menjatuhkan talak pada perempuan yang empat tahun belakangan menemani hidupnya. Vita tersenyum getir, menertawakan perihnya hidup yang harus dijalani. Di keluarganya, saudara dan ipar selalu menghina, sedangkan suami yang diharap akan memberi kedamaian, nyatanya membunuh perlahan. “Kamu menceraikan Vita, Gas!” Arum menggeleng lemah, menyadari kebodohan adiknya. Sebagai seorang kakak ipar, dia tahu betul karakter Vita. Susah rasanya jika Bagas menemukan yang lebih baik dari Vita. “Dia yang minta, Mbak! Lagian aku sudah punya penggantinya,” sahut Bagas enteng. Terperangah Arum mendengar jawaban adiknya. Sebagai perempuan, dia membenci lelaki model Bagas yang begitu mudah mencampakkan. Sementara itu, Gea yang sejak tadi tergugu seolah larut dalam kesedihan, tiba-tiba mengangkat wajah dan menyeka air mata. Senyum kemenangan jelas se
Doni menghentikan motor di halaman rumah yang tampak sepi. Mobil kakaknya yang biasanya teronggok di halaman, tak terlihat. Pun motor anggota keluarga yang lain. Dia mengalihkan pandangan pada rumah yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya mendekat, menduga ada salah satu anggota keluarga yang berdiam di rumah. “Assalamu alaikum.” Doni berteriak seraya membuka pintu. Dia terkejut melihat seorang perempuan yang sedang bersandar si sofa ruang tamu dengan posisi kaki berada di atas meja. Sesaat dia memindai wajah perempuan yang rambutnya dicat merah itu, mencoba untuk mengenali. “Hei! Siapa kamu! Kenapa masuk rumah orang sembarangan!” Gea membentak dengan sepasang mata melotot. Kontan saja Doni bertambah bingung. Sama sekali dia tak merasa kenal dengan perempuan itu, tapi kenapa bisa ada di rumahnya. “Maaf, aku pemilik rumah ini. Harusnya aku yang bertanya kamu siapa. Kenapa ada di dalam?” Doni bertanya balik. Gea tercenung. Dia menarik ingatan pada cerita-cerita Bagas sebelumnya