Share

AMPLOP LEBARAN
AMPLOP LEBARAN
Penulis: El Furinji

BAB 1

“Ini buat jajan ya.” Vita memberikan amplop pada dua keponakannya.

 

“Terima kasih, Bibi,” ucap dua bocah itu hampir berbarengan. Keduanya berjingkrak girang mendapat amplop lebaran. Lalu, mereka bergelayut pada Ibu masing-masing.

 

“Coba sini amplopnya, biar Mama simpan,” ujar Lina pada anak perempuannya yang berusia lima tahun.

 

Setelah menerima benda tersebut, dia langsung membuka dan mengeluarkan isinya. Lina terbelalak saat menyadari isi amplop tersebut hanya lima lembar uang pecahan dua ribuan.

 

 

“Astaghfirulloh, Vit! Masa iya amplop lebaran isinya cuma sepuluh ribu? Uang segini dapat apa?” Lina menatap sinis pada adik iparnya.

 

Vita sedikit menunduk, tak menyangka amplop yang dia berikan dibuka langsung di depan keluarga besar.

 

“Maklum, Mbak! Aku tinggal di kampung jadi enggak bisa kasih banyak,” ujarnya menahan malu.

 

“Anggi juga tinggal di kampung, tapi dia bisa memberi anakku 100 ribu.” Lina menoleh pada adik iparnya yang satu lagi.

 

“Lebaran kan setahun sekali, malu dong kalau aku kasih sedikit. Lagian, semakin banyak beramal, rezeki akan semakin besar.” Anggi membanggakan diri karena telah memberi lebih banyak.

 

 

Vita tersenyum getir. Sama sekali tak menyangka lebaran yang seharusnya jadi momen bahagia justru dijadikan ajang pamer amal. Mereka semua tak tahu betapa susahnya bagaimana seorang Vita mengumpulkan uang sepuluh ribu.

 

“Hush! Kalian enggak boleh begitu. Biarpun sedikit yang penting ikhlas!” Sang Ibu menasihati dua menantunya.

 

Lina dan Anggi adalah istri dari dua kakak kandung Vita. Di antara mereka bertiga, bisa dibilang Vita yang hidupnya paling susah.

 

Suami Vita bekerja di sebuah perusahaan ternama dan mereka tinggal di kota. Suami Anggi menjadi ASN dengan gaji yang lumayan besar, sedangkan suami Vita sudah tiga bulan pergi merantau, tapi sampai saat ini belum ada kabar.

 

“Tapi kan ini lebaran, Bu! Harusnya Vita kasih lebih, apalagi kami setahun sekali baru mudik,” sela Agung-suami Lina.

 

“Iya. Istriku saja dibela-belain nabung buat kasih keponakan, masa Vita enggak. Jadi orang jangan kikir dong. Maunya diberi enggak mau kasih,” gerutu Dimas-suami Anggi.

 

 

“Bukannya begitu, Mas! Aku juga ingin kasih lebih buat keponakanku, tapi mau bagaimana lagi. Aku lagi enggak ada uang. Sejak merantau Mas Bagas belum kirim uang. Kabarnya saja pun enggak ada,” beber Vita.

 

“Halah ... itu alasanmu saja! Pelit ya pelit!” ketus Agung.

 

Vita hanya mampu meremas sisi gamis lusuhnya demi menahan perih. Ucapan dua kakak kandungnya seperti pisau tumpul yang mengiris hati. Sakit dan menyiksa.  

 

 

“Agung ... Dimas ... kalian enggak boleh seperti itu. Vita itu adik kalian. Harusnya kalian mengerti keadaannya. Syukur kalau bisa membantu. Hari ini Vita memang hidupnya masih pas-pasan, tapi bisa saja besok dia jadi orang sukses.” Sang Ibu kembali menasihati.

 

“Sukses dari mana, Bu! Suaminya saja enggak jelas orangnya. Merantau kok enggak kirim uang,” cibir Agung.

 

“Iya. Lagian ini juga salah Vita. Cari suami kok kayak gitu. Sudah pasti hidupnya susah,” imbuh Dimas.

 

Nafas Vita tersengal demi menahan tangis agar tak sampai pecah.  Niatnya datang ke rumah orang tua ingin menikmati momen bahagia bersama keluarga, tapi justru hinaan yang dia dapat.

 

Jika memungkinkan, Vita ingin segera pulang ke rumah sendiri ketimbang di sini hanya dihina. Namun, jika belum menginap sudah pulang, tentu akan membuat hati Ibunya bersedih.

 

Tak tahan terus dihina, Vita beranjak ke kamarnya. Di tumpahkan semua tangis yang sedari tadi sudah ditahan. Jika yang menghina orang lain, itu tak terlalu sakit. Tapi ini keluarga sendiri.

 

Sejenak Vita menoleh pada anaknya yang terlelap di sebelahnya. Lalu mengedarkan pandangan ke semua penjuru ruangan.

 

Dulu, kamar ini miliknya. Tempat ternyaman untuk melepas letih. Namun, sekarang semua sudah berubah. Rumah ini sudah tak memberi rasa nyaman.

 

Sang Ibu yang menyadari anak perempuannya bersedih langsung menyusul ke dalam. Dielus punggung Vita demi menenangkan hatinya.

 

“Maafkan mereka ya, Vit! Kakakmu tak bermaksud menyinggung perasaanmu,” ujar Bu Aminah.

 

Vita tersenyum getir. Jemari tangannya meraih ujung hijab untuk menyeka sudut mata, agar tak terus mengeluarkan bulir bening. Di depan Ibu dia ingin terlihat tegar meski sebenarnya rapuh.

 

“Enggak apa-apa kok, Bu! Aku ngerti kok!” lirih Vita.

 

Sebagai orang tua, Bu Aminah tentu bisa merasakan kesedihan anaknya. Namun, dia tak bisa berbuat banyak selain meminta Vita bersabar. Dua anak dan menantunya memang sudah kelewatan.

 

 “Oh iya ... kamu sudah ke rumah mertuamu?” tanya Bu Aminah setelah tangis Vita mereda.

 

“Belum, Bu! Besok pagi aku baru ke sana,” sahut Vita.

 

“Jadi kamu hanya menginap semalam di sini?” tanya Bu Aminah dengan wajah sedih.

 

“Iya, Bu! Kan harus ke rumah mertua juga,” jawab Vita.

 

Sehari saja rasanya sudah enggak sanggup mendengar cemooh kakak-kakaknya, apalagi kalau sampai seminggu. Bisa-bisa Vita mati menahan malu.

 

 

***

 

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Vita sudah berkemas, siap kembali ke rumahnya. Tidur semalam di rumah orang tua rasanya seperti sebulan.

 

“Bu, Aku pamit dulu ya.” Vita meraih  tangan sang Ibu lalu mencium takdim.

 

“Iya, hati-hati di jalan ya,” pesan sang Ibu.

 

Lalu, Vita berganti menyalami saudara-saudaranya. Walaupun mereka sudah banyak menghina, dia tetap bersikap sopan dengan berpamitan.

 

“Vit, besok kamu balik ke sini ya. Aku mau bikin selamatan,” pesan Agung.

 

“selamatan apa, Mas?” tanya Vita penuh selidik.

 

“Loh ... emangnya kamu enggak lihat kalau mobilku baru?” ujar Agung setengah pamer.

 

Ya. Lebaran tahun ini Agung memang mudik membawa mobil baru. Dia sengaja ingin mengadakan selamatan kecil-kecilan agar semua warga kampung tahu kalau dirinya sekarang sudah sukses.

 

“Aduh, Mas! Kayaknya aku enggak bisa deh. Setelah ini aku mau ke rumah mertua. Mungkin aku menginap tiga hari di sana,” tolak Vita.

 

“Kamu ini bagaimana sih! Saudara mau bikin selamatan kok enggak mau datang. Boro-boro bantu uang, tenaga saja enggak mau!” dengkus Agung.

 

“Ya mau bagaimana lagi, Mas! Kan lagi lebaran. Jadi aku juga harus ke rumah mertua,” kilah Vita.

 

“Pokoknya kamu harus ke sini,” tekan Agung.

 

Vita menghela nafas panjang.

 

“Aku usahain ya, Mas! Tapi enggak janji,” jawab Vita lalu membopong anaknya dan segera pergi.

 

 

Sebenarnya bisa saja Vita menginap hanya satu malam di rumah mertua, tapi hinaan Agung dan istrinya kemarin membuatnya malas jika disuruh bantu-bantu.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status