Sampai di rumah, Vita langsung membuka lemari hendak mengganti pakaian anaknya. Sesaat dia termangu memilih pakaian yang cocok. Lebaran tahun ini dia hanya membeli satu setel pakaian untuk Kesya dan sudah di pakai kemarin. Setelah melalui sedikit pertimbangan, dia mengeluarkan pakaian lebaran tahun lalu dan lekas memakaikan pada anaknya. Selesai dengan pakaian anaknya, Vita dihadapkan kembali dengan sebuah dilema. Sudah dua tahun dia rak membeli baju lebaran. Yang lama pun sudah mulai usang. Satu-satunya gamis yang terbaru sudah dipakai kemarin, jadi tak mungkin dipakai kembali. Akhirnya dia mengeluarkan gamis hitam yang dibeli saat masih gadis dulu. Bermodalkan tiga toples kue kering, Vita memacu motor ke rumah mertuanya. Apa yang dibawa saat ini sama dengan yang diberikan pada Ibunya. Dia tak pernah membeda-bedakan. Motor yang Vita kendarai berhenti di halaman sebuah bangunan yang tak terlalu besar, tapi rapi. Halamannya lumayan luas ditumbuhi beberapa tanaman bunga. Vita turun menggandeng anaknya, lalu naik ke teras dan mengetuk pintu. “Assalamu alaikum,” ucap perempuan berhijab warna hitam itu. Dari arah dalam, seorang perempuan tergopoh-gopoh mendekati pintu dan lekas membukanya. Binar kebahagiaan jelas sekali terpancar dari wajah perempuan itu tatkala melihat siapa yang datang. “Pak ...! Cucumu datang,” teriak Bu Asti. Tanpa berkata-kata lagi, perempuan itu langsung membopong cucunya dan menghujani dengan ciuman. Vita tersenyum melihat kebahagiaan mertuanya. Tak lama, seorang lelaki paruh baya datang. Dia langsung menyambut girang kedatangan anak dan menantunya. “Bagas mana, Vit?” tanya Pak Parjo-mertua Vita. Vita mendekat pada lelaki itu, meraih punggung tangan dan mencium takdim. “Enggak pulang, Pak!” sahut Vita kemudian. Bu Asti terkejut mendengar pengakuan menantunya, tapi dia berusaha menyembunyikan. “Sudah ... masuk dulu yuk! Kita bicara di dalam,” ajak Bu Asti. Vita menurut. Mereka masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu. Lalu, dia mengeluarkan barang bawaannya dan meletakkan di atas meja. “Apa Bagas kirim uang, Vit?” tanya Bu Asti. Keraguan tiba-tiba menyelinap bergamis hitam itu. Bingung antara mengatakan yang sebenarnya atau harus berbohong. Namun, pada akhirnya dia memilih jujur dengan menggeleng lemah. “Astaghfirulloh ... dari dulu anak itu enggak berubah-berubah. Selalu menelantarkan istri. Maafkan Bagas ya, Vit!” ucap Bu Asti penuh rasa bersalah.Bagaimana tidak? Sejak dulu Bagas malas bekerja, bahkan saat merantau pun enggak bisa kasih uang buat istrinya. Sebagai orang tua, tentu Bu Asti kasihan dengan menantunya. “Entah sampai kapan Bagas mau seperti itu,” keluh Pak Parjo dengan pandangan lurus ke depan. “Enggak apa-apa, Bu, Pak! Mungkin Mas Bagas belum dapat kerja.” Sebisa mungkin Vita bersikap bijak, padahal sebenarnya di dalam hati juga merasa kecewa. Sesaat hening menyelimuti. Mereka diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya bunyi mesin mobil yang berhenti halaman, membuat pandangan mereka tertuju pada pintu. “Mobil siapa itu, Bu?” tanya Vita. “Mbak Arum. Kemarin suaminya beli mobil. Tadi habis jalan-jalan katanya,” sahut Bu Asti. Vita tertegun. Semua saudaranya hidup sukses, sedangkan hidupnya berantakan. Bukan! Bukan karena iri dengan kekayaan. Dia hanya ingin di beri nafkah oleh suaminya. Berapa pun yang Bagas kasih, pasti akan diterima dengan senang hati. Dari arah luar, Arum bersama suami dan anaknya masuk ke dalam rumah. Senyum seketika merekah melihat adik ipar dan keponakannya ada di rumah. “Kapan datang, Vit! Dari kemarin aku nungguin kamu loh,” ucap Arum lalu memeluk adik iparnya. “Baru saja, Mbak! Paling sepuluh menit,” jawab Vita lalu berganti menyalami suami Arum. Melihat pada keponakannya, Vita merogoh saku gamis, mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dan memberikannya. “Buat jajan ya,” pesan Vita. Sengaja dia tak membungkus dengan amplop seperti yang diberikan pada keponakannya yang lain. Toh, percuma jika langsung dibuka di depannya. Vita juga sudah menata hati jika nanti mendapat ejekan seperti hari kemarin. “Terima kasih, Bi!” ucap keponakannya girang. Vita membalas dengan senyum yang sama. Lalu, duduk kembali di tempat semula. Jantungnya berdetak lebih kencang mengingat nominal yang dia berikan. Namun, sampai beberapa lama tak ada komentar pedas yang harus di dengar. “Sebentar, Vit!” Arum bangkit berdiri lalu beranjak ke dalam, sementara Vita bingung, menatap punggung kakak iparnya. Tak lama, Arum kembali dengan sebuah kantung plastik di tangan dan langsung memberikan pada adik iparnya.“Ini apa, Mbak?” tanya Vita bingung. “Buka saja,” sahut Arum seperti ingin membuat kejutan. Dengan deg-degan, Vita membuka plastik tersebut dan mengeluarkan sebagian isinya. Seketika matanya berkaca-kaca saat sebuah gamis berwarna merah hati telah berada di tangan. Kembali dia mengeluarkan isi plastik tersebut. Benda serupa dengan warna senada, tapi ukurannya kecil. “Ini untuk aku, Mbak?” tanya Vita dengan tatapan haru. “Iya. Pasti pas. Kan ukuran kita sama,” ujar Arum. Tak ayal, bulir bening yang menggenang di sudut mata, kini jatuh membasahi pipi. Vita terisak haru oleh perlakuan keluarga suaminya. Di saat keluarga sendiri menghina, keluarga mertua justru menyambut hangat. Tak ada caci dan maki terdengar, apalagi hinaan. “Terima kasih, Mbak!” ucap Vita sesenggukan. “Sama-sama, Vit! Nanti langsung dipakai ya. Nanti sore kita jalan-jalan,” ucap Arum. Sekali lagi ucapan Arum membuat Vita terharu. Kakak kandungnya saja tak mau mengajak saat bepergian. Mereka pergi hanya berempat dan anaknya. Sedangkan di sini, Arum memperlakukan layaknya keluarga. *** Mereka semua telah bersiap untuk jalan-jalan. Vita dan anaknya sudah terlihat cantik berbalut pakaian pemberian Arum. “Yuk masuk,” ajak Arum. Semua masuk ke dalam mobil, tidak terkecuali kedua mertua Vita. Perlahan, mobil pun merangkak meninggalkan pekarangan rumah. Saat sedang di perjalanan, terdengar dering nada panggilan dari ponsel milik Vita. Sang empunya langsung merogoh tas kecil lalu mengeluarkan benda pipih dari dalamnya. Sebuah kontak dengan nama ‘Mas Agung’ terpampang di layar. Vita langsung menggeser tombol hijau dan panggilan tersambung. “Assalamu alaikum, Mas! Ada apa?” tanya Vita. “Kamu ke sini sekarang, Vit. Hari ini sudah mulai masak-masak!” perintah Agung dengan nada suara tegas. “Maaf, Mas! Aku enggak bisa. Aku lagi di rumah Ibu,” tolak Vita. “Kamu ini bagaimana sih! Di suruh bantu malah ke rumah mertua. Harusnya kamu mengutamakan keluarga sendiri!” bentak Agung dengan suara meninggi. “Maaf, Mas! Enggak bisa!” Vita langsung mematikan panggilan sebab tak ingin terus berdebat. Untuk apa ke sana jika hanya dihina. Lagian, acaranya kan besok, kenapa masak-masak sekarang?
Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s
Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak
“Terima kasih ya, Dek! Kamu sudah mau menemaniku,” ucap Doni saat mereka baru pulang dari Dokter Urologi. Menurut hasil diagnosa, Doni ditengarai kekurangan hormon testosteron, dan untuk penanganan awal dia diberi suntikan hormon serupa. Selain itu, Doni juga disarankan banyak mengonsumsi makanan berprotein tinggi seperti daging sapi, telur ataupun ikan jenis Tuna dan Salmon. Vita juga dihimbau untuk menjaga suasana hati calon pasangannya agar tak sampai stres berlebihan. Karena biar bagaimanapun tingkat stres yang tinggi turut memberi andil bagi masalah yang tengah Doni hadapi. “Enggak harus berterima kasih, Mas! Ini juga demi kebahagiaan kita,” sahut Vita disertai senyum tulus.“Tapi bagaimana kalau nanti aku tak kunjung sembuh?” Buru-buru Vita mendesis lalu menempelkan jemari telunjuk di bibir calon suaminya. Dia tak ingin Doni terbebani dengan masalah itu yang tentu saja akan membuatnya stres. “Kamu pasti sembuh, Mas!” Tersenyum penuh arti, batin Doni bersyukur memiliki cal
Benar adanya jika roda kehidupan itu berputar. Setelah semua perih dialami, setelah perjuangan yang seakan tak terhenti, hari ini kebahagiaan datang mengganti. Sempat Vita merasa trauma dengan kegagalan pada pernikahan pertama. Sempat pula berpikir untuk selamanya menjadi orang tua tunggal. Namun, sosok Doni yang kembali masuk dalam hidupnya seakan membangkitkan gairah cinta yang padam. Lelaki itu berhasil memberi warna baru dalam hidup. Perhatiannya, ketulusannya, semua membuat Vita merasa berarti. Perempuan pemilik nama lengkap Novita Anggraeni itu tersenyum simpul memerhatikan penampilan dari balik cermin. Demi terlihat anggun di acara lamaran, dia memadukan maxi dress putih dengan pashmina cokelat nude. Tambahan mini belt di pinggang semakin mempertegas bahwa ibu satu anak itu memiliki tubuh langsing. Jantung Vita berdebar-debar menunggu kedatangan keluarga Doni yang akan melamar. Meski ini bukan yang pertama, tapi efek yang ditimbulkan justru lebih kentara, sebab lelaki yang
“Sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini, Don?” tanya Arum saat mereka sedang duduk berdua. “Menyiksa bagaimana, Mbak?” Meski sebenarnya paham akan arah pembicaraan kakaknya, Doni masih bersikeras pura-pura tak mengerti. “Sudahlah, Don! Jangan seperti anak kecil. Kami semua tahu sejak dulu kamu mencintai Vita. Dia juga begitu. Lalu kenapa kamu malah seperti ini?” Doni terdiam. Bayangan sosok perempuan itu langsung melintas di kepala hanya dengan mendengar namanya saja. Tak dipungkiri semua itu benar, hanya saja masih ragu sebab keadaan yang dialami. Bagi seorang Doni, cinta itu bukan sekedar bersama. Percuma saja terjalin hubungan jika pada akhirnya harus saling menyakiti. “Kamu sudah tahu alasannya kan, Mbak!” sahutnya datar. “Ya. Aku tahu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Aku yakin kamu bisa sembuh, Don. Apalagi Vita juga mau menerima kekuranganmu. Kamu harus semangat!” Menyuntikan mental pada adiknya, Arum terus memberi wejangan. Di