Meski sudah berdandan ala kadarnya, Vita masih asyik melangut di kamar. Sebenarnya hari ini dia berencana akan kembali berjualan setelah tiga hari libur, tapi terpaksa dibatalkan karena Dimas menelepon, memintanya pagi ini datang ke rumah. Sempat semalam menolak, tapi Dimas bilang Ibu yang menyuruh.
Sebentar kemudian, Vita bangkit lalu membopong Kesya. Firasat mengatakan sesuatu sedang terjadi pada Ibu, makanya dia mau datang. Setelah hampir 15 menit berkendara, akhirnya sampai di rumah Ibu. Vita turun lalu segera naik ke teras. Bu Aminah yang mendengar deru mesin motor berhenti, langsung membuka pintu dan menyambut anak perempuan satu-satunya dan mengajak ke dalam. Sampai di ruang tengah, Vita mengernyit heran melihat semua saudara berkumpul, tapi tak terlihat keceriaan di wajah mereka. Vita duduk di sebelah Ibunya, sementara Kesya bermain di ruang depan bersama anak dari dua kakaknya. “Vit, Ibu minta kamu ke sini karena ada yang ingin dibicarakan,” ucap Bu Aminah membuka percakapan. “Bicara apa, Bu?” Bu Aminah menarik nafas panjang lalu mengembuskan perlahan. “Begini, Vit! Kemarin mobil kakakmu hilang. Jadi dia minta sawah Ibu dijual.” Vita memang kaget mendengar kabar mobil Agung hilang, tapi lebih kaget lagi mendengar permintaan untuk menjual sawah. “Loh ... kok dijual sih, Bu!” protes Vita sebelum Bu Aminah selesai bicara. “Sebentar, Vit. Ibu belum selesai,” Vita yang menyadari kekeliruannya seketika diam, memasang telinga bersiap mendengar Bu Aminah bicara. Lalu, Bu Aminah menceritakan soal mobil Agung yang ternyata hanya mobil rental. Sontak saja Vita kaget karena sudah berletih ria memasak untuk selamatan, ternyata hanya ulah Agung yang ingin dipandang sukses. “Harta Ibu yang tersisa hanya rumah ini dan sawah. Karena sekarang Agung butuh uang, Ibu akan menjual sawah itu,” lanjut Bu Aminah. “Iya, Vit! Kami sudah sepakat mau bagi warisan,” imbuh Agung yang memang sangat mengharap. Vita terdiam. Dia mengangguk, tapi hati tak rela. Bukan karena ingin menguasai sendiri. Yang ada dalam pikirannya hanya sang Ibu. Bagaimana nasib ibunya jika sampai sawah itu dijual, sedangkan itu satu-satunya sumber penghidupan. “Setelah semalam Ibu berpikir, ibu memutuskan memberikan sawah itu buat Vita dan agung. Kalian bagi dua. Terserah mau dijual atau tetap dimiliki,” ucap Bu Aminah. “Loh ... kok aku enggak dikasih? Bagi tiga dong biar adil,” protes Dimas. “Dimas mendapat rumah ini. Jika dikalkulasi, nilainya sama dengan separuh harga sawah itu. Jadi Ibu sudah adil,” jelas Bu Aminah. Tentu saja Dimas tak setuju dengan keputusan itu. Dalam hatinya dia mengincar sawah itu karena lebih mudah untuk mendapat uang. “Aku minta sawahnya saja, Bu! Biar rumah ini buat Vita,” ujar Dimas. “Terus kamu mau tinggal di mana, Mas?” tanya Vita yang sedari tadi terdiam. “Ya sementara tinggal di sini. Kan kamu sudah punya rumah,” Vita tersenyum kecut. Dia sudah paham karakter Dimas yang memang serakah. Otaknya mulai bekerja, mencari cara agar terhindar dari keserakahan kakaknya. “Maaf, Mas! Jika aku dikasih rumah ini, aku akan langsung menjualnya. Jadi, kalau kamu mau sawah itu, siap-siap angkat kaki dari sini,” ujar Vita. Sontak saja Dimas meradang. Niatnya ingin tinggal gratis ditentang oleh adiknya. “Jadi orang kok pelit banget sih. Belum apa-apa sudah mau main usir!” gerutu Dimas. “Semua pilihan ada di tangan kamu, Mas! Tinggal pilih sawah atau rumah ini,” Dimas mendengkus kesal, tak berdaya menghadapi adiknya yang mulai berani melawan. Jika rumah dijual, tentu akan bingung mau tinggal di mana. Sesaat hening menyelimuti. Dimas dan Agung sibuk memikirkan untung rugi, sementara Vita mengkhawatirkan keadaan Ibu setelah ini. “Mangnya kalau sawah itu dijual, semua dapat uang berapa, Bu?” tanya Agung. “Mungkin sekitar 400 juta,” sahut Bu Aminah. Agung sedikit kecewa karena nominal yang akan diterima tak sesuai harapan. Jika hanya separuh, tentu akan kurang untuk mengganti mobil yang hilang. Dia memutar otak agar kebutuhannya bisa tercukupi tanpa harus mencari lagi. “Dimas ... kamu rumah ini saja, biar bisa ditinggali. Biar aku sama Vita yang dapat sawah. Biar sekalian dijual,” ucap Agung. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Dimas selain mengangguk pasrah. Meski sebenarnya dia sangat menginginkan sawah itu untuk beli mobil, tapi dia juga butuh tempat tinggal. “Maaf, Mas! Kalau aku dikasih sawah itu, aku tak akan menjualnya. Itu peninggalan Bapak, jadi akan kupertahankan semampuku,” tegas Vita. Panik. Itulah yang dirasakan Agung saat ini. Satu-satunya harapan untuk bisa mengganti mobil itu seperti menguap begitu saja. “Jual saja sekalian, Vit! Aku mau pinjam uangmu dulu buat ganti mobil yang hilang. Sesama saudara harus saling tolong menolong.” Pantang menyerah, Agung kembali membujuk. “Maaf, Mas! Aku tak akan menjualnya. Itu peninggalan Bapak,” Jika saja selama Agung dan istrinya tak sering menghina, sudah barang tentu Vita akan mempertimbangkan permohonan kakaknya. Namun, kata-kata mereka sering menyakiti perasaan. Nafas Agung memburu, tapi sebisa mungkin dia menahan amarah karena khawatir Vita akan semakin tegas menolak. Lalu, lelaki itu mengalihkan pandangan pada sang Ibu. “Bu, bujuk Vita dong biar dia mau menolongku,” Bu Aminah tergagap. Nuraninya sependapat dengan Vita, tapi juga tak tega dengan anak lelakinya yang sedang dirundung naas. “Iya, Vit ... kasihan kakakmu. Jual sawah itu sekalian biar dipakai dulu sama Agung,” ucap Bu Aminah setengah memohon. Sama sekali Vita tak menyangka kalau Ibunya akan berucap demikian. Dalam bayangan Vita, Bu Aminah akan mendukungnya untuk mempertahankan sawah itu, tapi nyatanya tak terjadi. Sebagai anak yang sangat menyayangi orang tua satu-satunya, Vita tak tega melihat kesedihan di wajah Bu Aminah, akan tetapi dia juga tak mau dimanfaatkan oleh Agung. “Begini saja, Bu! Kalau Ibu mau kasihkan semua tanah itu buat Mas Agung, aku tak masalah. Daripada Ibu kasih aku, tapi memaksa menjual dan uangnya kupinjamkan pada Mas Agung. Itu sama saja bohong.” Vita berusaha menahan perih di dada. Hatinya semakin merasakan perbedaan sikap Ibu, “tapi jika Ibu tak bersikap adil padaku, jangan salahkan jika sikapku juga berbeda.” Bukan bermaksud mengancam, dia hanya tak ingin ibunya menjadi bodoh. Bu Aminah yang merasa ditekan oleh anak perempuannya seketika merasa panik. Pasalnya, selama ini Vitalah yang paling mengerti keadaannya. “Kalau begitu, aku pamit dulu, Bu! Semua terserah Ibu saja. Tapi kalau aku mau dikasih, aku tak akan menjual sawah itu.” Vita meraih tangan Ibunya lalu beranjak pergi, sementara Bu Aminah hanya terpaku bingung. Satu sisi dia ingin bersikap adil, di sisi lain dia tak tega melihat Agung bingung mencari uang untuk ganti rugi mobil. *** Vita yang merasa gerah dengan sikap keluarganya memilih pergi. Dia langsung kembali ke rumah, memberikan waktu pada Ibunya untuk berpikir. Baru saja memarkirkan motor di halaman, sebuah mobil berhenti di belakangnya. Vita turun lalu menoleh. Seorang perempuan yang sangat dikenali keluar dari mobil dan mendekat. “Mbak Arum ...” Perempuan bernama Arum itu langsung memeluk erat sang adik ipar. Kelopak matanya dibanjiri bulir bening, tapi berusaha ditahan agar tak sampai jatuh. “Kamu kenapa, Mbak?” tanya Vita yang menyadari ada kesedihan di wajah kakak iparnya. “Enggak apa-apa, Vit. Kamu ikut ke rumah yuk! Bagas pulang dan sekarang di rumah Ibu,” ajak Arum. Mendengar kabar itu, hati Vita bersorak riang. Namun, dalam sekejap senyum di wajahnya memudar saat merasa ada yang tak biasa. Seharusnya Bagas pulang ke rumah, kenapa malah ke rumah Ibu? Ribuan pertanyaan silih berganti melintasi Angan. Vita bingung menerka apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya. “Mas Bagas pulang ke sana, Mbak? Kenapa enggak ke sini? Ada apa?” “Enggak apa-apa kok. Kamu ikut aja ya,” bujuk Arum. Meski sudah berusaha menyembunyikan, nyatanya Vita masih bisa membaca kesedihan di wajah sang kakak ipar. Pikiran Vita mulai menerka, menduga apa yang sebenarnya terjadi. Firasat mengatakan sesuatu yang buruk terjadi pada keluarganya. “Astaghfirulloh!” Vita membasuh wajah kasar, berusaha menepis bayangan buruk itu, tapi semakin di tepis justru semakin erat menghantui pikiran.Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca, Vita menatap rindu pada lelaki yang sedang berdiri di teras rumah. Desiran halus di hati kian terasa saat lelaki itu menoleh, meski sorot mereka tak bertemu. Buru-buru Vita melepas safety belt, turun lalu setengah berlari menghampiri lelaki tersebut. “Mas Bagas!” Vita menghambur dalam pelukan suaminya. Namun, lelaki itu justru kaget melihat kedatangan sang istri. Dia hanya mematung, tanpa membalas pelukan. Vita yang menyadari perubahan sikap suami, melepas pelukan lalu menatap lekat pada wajah. “Kamu enggak kangen aku, Mas?” tanya Vita dengan suara sedikit gemetar. “Kangen kok.” Suara Bagas sedikit tergagap. Pandangannya tertuju pada Arum yang sedang membopong Kesya, mendekat padanya. Sama sekali Bagas tak menyangka jika kakak perempuannya justru membawa Vita ke rumah, padahal dia sudah mewanti-wanti agar tak menceritakan kepulangannya. Semakin lekat Vita menatap wajah suaminya, tapi Bagas justru mengh
“Baik! Ceraikan aku sekarang!” tantang Vita. Tak ada pilihan lain. Jika harus berbagi suami, Vita tak akan sanggup. Merasa tertantang, Bagas langsung menjatuhkan talak pada perempuan yang empat tahun belakangan menemani hidupnya. Vita tersenyum getir, menertawakan perihnya hidup yang harus dijalani. Di keluarganya, saudara dan ipar selalu menghina, sedangkan suami yang diharap akan memberi kedamaian, nyatanya membunuh perlahan. “Kamu menceraikan Vita, Gas!” Arum menggeleng lemah, menyadari kebodohan adiknya. Sebagai seorang kakak ipar, dia tahu betul karakter Vita. Susah rasanya jika Bagas menemukan yang lebih baik dari Vita. “Dia yang minta, Mbak! Lagian aku sudah punya penggantinya,” sahut Bagas enteng. Terperangah Arum mendengar jawaban adiknya. Sebagai perempuan, dia membenci lelaki model Bagas yang begitu mudah mencampakkan. Sementara itu, Gea yang sejak tadi tergugu seolah larut dalam kesedihan, tiba-tiba mengangkat wajah dan menyeka air mata. Senyum kemenangan jelas se
Doni menghentikan motor di halaman rumah yang tampak sepi. Mobil kakaknya yang biasanya teronggok di halaman, tak terlihat. Pun motor anggota keluarga yang lain. Dia mengalihkan pandangan pada rumah yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya mendekat, menduga ada salah satu anggota keluarga yang berdiam di rumah. “Assalamu alaikum.” Doni berteriak seraya membuka pintu. Dia terkejut melihat seorang perempuan yang sedang bersandar si sofa ruang tamu dengan posisi kaki berada di atas meja. Sesaat dia memindai wajah perempuan yang rambutnya dicat merah itu, mencoba untuk mengenali. “Hei! Siapa kamu! Kenapa masuk rumah orang sembarangan!” Gea membentak dengan sepasang mata melotot. Kontan saja Doni bertambah bingung. Sama sekali dia tak merasa kenal dengan perempuan itu, tapi kenapa bisa ada di rumahnya. “Maaf, aku pemilik rumah ini. Harusnya aku yang bertanya kamu siapa. Kenapa ada di dalam?” Doni bertanya balik. Gea tercenung. Dia menarik ingatan pada cerita-cerita Bagas sebelumnya
Sekuat apa pun mencoba tegar, hakikatnya Vita hanya perempuan rapuh, yang butuh seseorang untuk menguatkan di saat hati terpuruk. Tiga hari sejak talak dijatuhkan, akhirnya dia menyerah untuk memikul beban itu sendiri. Vita pulang ke rumah Ibunya, mengeluh kesahkan semua perih pada keluarga. “Nah kan! Apa aku bilang! Bagas itu bukan lelaki yang baik buat kamu. Salah sendiri dulu enggak mendengar nasihat kami. Sekarang jadi janda kan!” celetuk Lina. “Kamu sih! Sekarang nyesel kan!” imbuh Anggi. Bukan! Bukan ini yang ingin Vita dengar. Setidaknya kalimat motivasi akan membuatnya sedikit lega. Namun, dua kakak iparnya justru seakan menyalahkan. Benar. Dulu mereka tak suka dengan Bagas. Tapi, bukan karena karakternya. Baik Lina maupun Anggi tak setuju karena Bagas berasal dari keluarga biasa. Vita menyeka sudut mata. Aroma perih menguar, tatkala empati dari keluarga tak di dapat. Hanya Bu Aminah yang sesekali memintanya sabar, tapi tak bereaksi saat dua kakak iparnya mencemooh. “Te
Dari balik kaca jendela, Gea melongok ke luar. Dahinya berkerut saat melihat dua perempuan turun dari mobil, di mana salah satunya ada Vita. “Mas, itu kok mantan istrimu datang ke sini? Mau ngapain?” tanya Gea tanpa mengalihkan pandangan pada dua perempuan yang berjalan mendekat. “Paling juga mau jenguk Ibu,” sahut Bagas santai. Lelaki itu paham betul seperti apa sifat mantan istrinya. Vita pasti akan datang saat mendengar kabar jila Bu Asti sakit. Gea kembali duduk di tempat semula saat Vita dan Arum semakin dekat. Pura-pura memainkan ponsel agar tak ada yang rahu kalau habis mengintip. Pintu terbuka. Arum dan Vita langsung masuk dan berjalan ke arah kamar tidur Bu Asti tanpa menyapa dua orang yang sedang duduk di sofa, sementara Gea merasa tersinggung karena diabaikan. “Masuk rumah orang kok enggak ketuk pintu dulu. Enggak sopan!” cibir Vita. Suara itu berhasil menghentikan langkah Arum dan Vita. Keduanya berbalik. “Kamu mengatai aku?” Arum menatap tajam pada adik ipar barun
Selepas Magrib, Vita, Arum dan Bu Asti berjibaku di dapur bersama-sama menyiapkan makan malam. Seperti itulah keseharian mereka saat Vita datang. Berbeda dengan mereka, Gea yang saat ini berstatus istri Bagas justru mengeram di kamar. Hampir seminggu dia tinggal di rumah mertua, tapi sekali pun belum pernah membantu masak. Dia akan keluar setelah tercium harum aroma masakan matang. Di saat bersamaan, Doni yang baru pulang kerja langsung menuju dapur karena sejak tadi sudah kehausan. Dia terkejut mendapati sang kakak ipar ada di rumahnya. “Mbak Vita, kamu di sini,” ujar Doni yang wajahnya dihiasi senyum semringah. “Iya, Don! Kamu baru pulang?” Vita mengulurkan tangan dan disambut oleh mantan adik iparnya. “Iya. Tadi macet di jalan.” Doni mengambil gelas di atas rak, menuangkan air putih, lalu meneguk isinya hingga tandas. “Oh iya, Don! Nanti malam kamu tidur di ruang tamu ya! Vita mau menginap di sini. Biar dia tinggal di kamarmu,” pesan sang Ibu. Dulu, sebelum ada perempuan be
Dalam haru heningnya malam, sesosok perempuan bersujud, bersimpuh mengadukan nasib pada Sang Khalik. Dia merasa tak sanggup memikul beban ini sendiri.Sejatinya Lebaran menjadi momen bahagia bagi semua insan, tapi justru menjadi titik terendah bagi seorang Vita. Pengkhianatan, luka dan air mata kerap mewarnai harinya dalam sepekan belakangan. Keluarga yang dikasihi, suami yang dicintai, menjauh, menepi karena ego yang sebenarnya menghancurkan semua. Vita menengadahkan tangan, memohon petunjuk pada Sang Pencipta, berharap setiap luka yang dikecap, akan menjadi manis di kemudian hari. Dalam kepedihan, dia hanya mampu menghibur diri, bahwa semua yang terjadi adalah kuasa-Nya. Hingga tertanam satu keyakinan, semua akan baik-baik saja. Tanpa terasa, sayup terdengar Adzan Subuh berkumandang. Vita lekas melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk, lalu beranjak ke dapur menyiapkan sarapan untuk keluarga mantan suaminya. Rupanya, di saat yang sama, Arum dan Bu Asti juga keluar dari kamar, da
Seiring bergulirnya waktu, kesedihan Vita mulai memudar. Dia mulai menikmati peran barunya sebagai single parent. Merawat Kesya seorang diri, seperti kebanyakan perempuan yang ditinggal suami. Tiap hari Vita bangun jam tiga dini hari. Menyiapkan masakan untuk dijual paginya. Meski untung tak seberapa, tapi setidaknya cukup untuk makan sekeluarga. Doni, lelaki itu sudah dua kali datang ke rumah. Dia menepati janji untuk membantu keuangan. Namun, Vita tak memakai uang tersebut, sebab penghasilan dari jualan sayur matang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan. *** Mentari baru sepenggalah tingginya saat dagangan Vita telah disapu bersih oleh pelanggan yang kebanyakan para tetangga. Perempuan yang setiap hari memakai hijab itu tersenyum puas menghitung laba. Total keuntungan pagi ini 125 ribu. Sebuah nominal yang lumayan jika untuk hidup di kampung. Selesai, dia menyimpan uang ke dalam dompet. Lalu, mulai merapikan wadah tempat sayur yang dijual barusan. Di saat Vita sedang sibuk den