Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca, Vita menatap rindu pada lelaki yang sedang berdiri di teras rumah. Desiran halus di hati kian terasa saat lelaki itu menoleh, meski sorot mereka tak bertemu. Buru-buru Vita melepas safety belt, turun lalu setengah berlari menghampiri lelaki tersebut.
“Mas Bagas!” Vita menghambur dalam pelukan suaminya. Namun, lelaki itu justru kaget melihat kedatangan sang istri. Dia hanya mematung, tanpa membalas pelukan. Vita yang menyadari perubahan sikap suami, melepas pelukan lalu menatap lekat pada wajah. “Kamu enggak kangen aku, Mas?” tanya Vita dengan suara sedikit gemetar. “Kangen kok.” Suara Bagas sedikit tergagap. Pandangannya tertuju pada Arum yang sedang membopong Kesya, mendekat padanya. Sama sekali Bagas tak menyangka jika kakak perempuannya justru membawa Vita ke rumah, padahal dia sudah mewanti-wanti agar tak menceritakan kepulangannya. Semakin lekat Vita menatap wajah suaminya, tapi Bagas justru menghindari kontak mata. Tentu saja hal ini membuat Vita semakin kebingungan. “Kamu kenapa, Mas? Kok aneh?” “Enggak kenapa-kenapa kok,” sahut Bagas. Sedikit pun Vita tak percaya dengan apa yang dikatakan Bagas. Namun, dia sendiri tidak tahu ada apa dibalik perubahan sikap suaminya. Sementara itu, Arum yang sudah berada di antara mereka menurunkan Kesya dari gendongan. Bagas langsung membopong, menimang anak perempuannya. Sesaat Vita tersenyum melihat binar kebahagiaan di wajah anak perempuannya. Tiga bulan tak berjumpa tentu Kesya merindukan Bapaknya, meski sekarang bocah itu belum paham apa itu rindu. Sesaat kemudian, sesosok perempuan dengan rambut di cat kemerahan menyembul dari balik pintu. Vita yang tak merasa mengenal, tentu saja bingung ada perempuan di rumah mertuanya. “Siapa dia, Mbak?” Vita berbisik di dekat telinga kakak iparnya. Sampai beberapa detik berlalu, Arum tak kunjung membuka suara. Bibir terasa kelu untuk menyakiti hati adik iparnya. Karena tak kunjung mendapat jawaban, Vita mengangguk sembari melempar senyum pada perempuan itu. Diulurkan tangan meski tanpa sepatah kata terucap. Bagas menurunkan Kesya, membiarkan bocah itu bersama Ibunya. Sementara perempuan itu mendekat ke arah Bagas. “Itu kopinya di dalam, Mas! Aku taruh di atas meja,” ucap perempuan itu. Bagas tak menyahut. Dia hanya sekilas memandang perempuan itu, lalu berganti menatap Vita. Tentu saja Vita merasa cemburu melihat perempuan itu dekat-dekat suaminya. “Dia siapa, Mas?” Vita menatap penuh selidik. Bagas kelimpungan. Dia yang sedang berusaha menyembunyikan hal ini, dihadapkan pada situasi sulit. “Jawab, Gas! Jangan diam saja! Jangan jadi laki-laki pengecut!” ujar Arum yang berdiri di sebelah Vita. Bagas menghela nafas berat. Seperti apa pun berusaha berkilah, pada kenyataannya Vita sudah melihat semua. Tak ada jalan lain selain berterus terang. “Dia Gea, istriku.” Memang hanya tiga patah kata yang keluar dari mulut Bagas, tapi efeknya begitu dahsyat hingga mampu memorak-porandakan perasaan Vita. Hatinya remuk berkeping-keping menyerupai gelas kaca yang dibanting. Lebih tiga bulan Vita menahan rindu. Lebih dari tiga bulan dia berjuang sendiri tanpa nafkah suami. Selama itu juga dia masih meyakini bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Namun, saat pertemuan terjadi, pengakuan Bagas membuatnya seperti mati. “Kau menikah lagi, Mas?” Vita menggeleng lemah dengan bulir bening membanjiri wajah. “Iya, Dek! Dalam agama boleh kan kalau lelaki memiliki dua istri,” “Jangan bawa-bawa agama kalau menafkahiku saja kamu tak pernah, Mas! Jangan hanya bicara hak, tanpa memikirkan kewajiban. Asal kamu tahu, Mas! Semua kulakukan demi kita tetap bersama, tanpa memedulikan perkataan orang lain. Selama ini aku meyakini kamu akan berubah. Bahkan aku percaya saat kamu bilang mencintai keluarga kita. Tapi apa, Mas?? Apa yang kau lakukan padaku! Kau mengkhianatiku, Mas!” Tangis Vita semakin histeris. Suaranya melengking tak terima dengan pengkhianatan yang suaminya lakukan, tapi sekuat apa pun dia berteriak, waktu tak akan kembali. Vita mengalihkan pandangan pada perempuan yang berdiri ketakutan di sebelah Bagas. Perempuan itu sibuk menunduk sambil meremas sisi baju yang dikenakan. “Dan kamu, siapa namamu? Kenapa merebut suamiku?” Tatapan Vita begitu tajam, bak elang yang siap menerkam mangsa. “Maafkan aku, Mbak! Aku enggak tahu kalau Mas Bagas masih punya istri. Dia bilang sudah bercerai,” ucap perempuan itu tanpa berani mengangkat wajah. Vita tersenyum sinis. Sama sekali dia tak percaya dengan apa yang di dengar, meski perempuan itu sudah berkata jujur. “Jangan bohong! Kamu pasti sudah rahu kan!” Vita maju selangkah semakin mendekati perempuan itu, tapi langkahnya terhenti saat Arum memegang pundak, mencegahnya terus mendekat. “Sabar, Vit! Kita bicara di dalam,” ajak Arum. Vita menoleh. “Sabar, Mbak? Apa aku harus sabar saat tahu suamiku menikah lagi?” Arum terdiam sebagai sesama perempuan, dia tahu betul apa yang dirasakan adik iparnya. Namun dia juga tak bisa berbuat banyak selain mendekap Vita berusaha menenangkan. Dalam pelukan Arum, air mata Vita tumpah ruah. Dia benar-benar tak menyangka bahtera rumah tangga yang dijalani berada di ambang kehancuran. Mengurai pelukan, emosi Vita kembali memuncak saat melihat wajah Bagas. “Kenapa kamu mengkhianatiku, Mas!” “Maaf, Dek! Aku khilaf,” Di saat yang sama, perempuan bernama Gea tiba-tiba bersimpuh di depan Vita. Menangis sesenggukan sembari memegangi kaki Vita. “Maafkan aku, Mbak! Aku benar-benar enggak tahu kalau Mas Bagas masih beristri. Vita tersenyum kecut. Lalu, memegang pundak Gea, membantu berdiri. “Kamu ingin aku memaafkan?” “Iya, Mbak! Tolong maafkan aku,” “Kalau begitu, tinggalkan suamiku sekarang juga!” Sontak saja permintaan Vita membuat mata Gea membulat sempurna. “Aku enggak bisa, Mbak! Aku sedang hamil. Bagaimana nasib anakku nanti jika kutinggalkan Mas Bagas?” Gea mengelus perutnya yang masih rata. Denyut nyeri mendera hati. Keinginan Vita untuk memiliki Bagas seutuhnya menjadi mustahil tatkala benih suaminya tumbuh subur di rahim perempuan lain. Vita tercenung. Otaknya terasa tumpul, seakan tak mampu mencari jalan keluar. Sesaat dia menoleh pada Kesya yang sedang berpegang pada tangan Arum. Bocah itu hanya diam saja karena tak tahu jika keluarganya terancam hancur. “Sudahlah, Dek! Terima saja Gea menjadi madumu,” ucap Bagas yang sedari tadi diam. Sungguh besar nyali Bagas untuk mengatakan hal itu. Bagaimana mungkin memiliki dua istri, sedangkan satu saja tak mampu menafkahi. “Enggak! Aku enggak mau dimadu. Sekarang ceraikan dia atau aku yang akan pergi?” ancam Vita. Bagas tersenyum datar. Kata-kata istrinya seakan menjadi tantangan baginya.“Jangan bodoh kamu, Dek! Mau pergi ke mana? Pulang ke rumah orang tuamu? Apa kamu yakin sanggup mendengar hinaan kakak iparmu? Atau pulang ke rumah sendiri?” Bagas mencebikkan bibir seakan merasa menang, “kamu jangan lupa kalau tanah tempat rumah itu berdiri, adalah milik ibuku. Jadi kalau kamu menuntut cerai, bersiap angkat kaki dari sana!” Vita terperanjat. Semua yang dikatakan Bagas benar. Rumah yang dia tinggali, tanahnya milik Ibu mertua, meski uang yang digunakan untuk membangun rumah adalah miliknya. Namun, sedikit pun kerumitan ini tak serta merta membuat Vita mau dimadu. Dia bertekad akan menuntut cerai jika Bagas tak mau meninggalkan istri barunya. Soal besok mau tinggal di mana, itu pikirkan nanti saja.Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s
Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak
“Terima kasih ya, Dek! Kamu sudah mau menemaniku,” ucap Doni saat mereka baru pulang dari Dokter Urologi. Menurut hasil diagnosa, Doni ditengarai kekurangan hormon testosteron, dan untuk penanganan awal dia diberi suntikan hormon serupa. Selain itu, Doni juga disarankan banyak mengonsumsi makanan berprotein tinggi seperti daging sapi, telur ataupun ikan jenis Tuna dan Salmon. Vita juga dihimbau untuk menjaga suasana hati calon pasangannya agar tak sampai stres berlebihan. Karena biar bagaimanapun tingkat stres yang tinggi turut memberi andil bagi masalah yang tengah Doni hadapi. “Enggak harus berterima kasih, Mas! Ini juga demi kebahagiaan kita,” sahut Vita disertai senyum tulus.“Tapi bagaimana kalau nanti aku tak kunjung sembuh?” Buru-buru Vita mendesis lalu menempelkan jemari telunjuk di bibir calon suaminya. Dia tak ingin Doni terbebani dengan masalah itu yang tentu saja akan membuatnya stres. “Kamu pasti sembuh, Mas!” Tersenyum penuh arti, batin Doni bersyukur memiliki cal
Benar adanya jika roda kehidupan itu berputar. Setelah semua perih dialami, setelah perjuangan yang seakan tak terhenti, hari ini kebahagiaan datang mengganti. Sempat Vita merasa trauma dengan kegagalan pada pernikahan pertama. Sempat pula berpikir untuk selamanya menjadi orang tua tunggal. Namun, sosok Doni yang kembali masuk dalam hidupnya seakan membangkitkan gairah cinta yang padam. Lelaki itu berhasil memberi warna baru dalam hidup. Perhatiannya, ketulusannya, semua membuat Vita merasa berarti. Perempuan pemilik nama lengkap Novita Anggraeni itu tersenyum simpul memerhatikan penampilan dari balik cermin. Demi terlihat anggun di acara lamaran, dia memadukan maxi dress putih dengan pashmina cokelat nude. Tambahan mini belt di pinggang semakin mempertegas bahwa ibu satu anak itu memiliki tubuh langsing. Jantung Vita berdebar-debar menunggu kedatangan keluarga Doni yang akan melamar. Meski ini bukan yang pertama, tapi efek yang ditimbulkan justru lebih kentara, sebab lelaki yang
“Sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini, Don?” tanya Arum saat mereka sedang duduk berdua. “Menyiksa bagaimana, Mbak?” Meski sebenarnya paham akan arah pembicaraan kakaknya, Doni masih bersikeras pura-pura tak mengerti. “Sudahlah, Don! Jangan seperti anak kecil. Kami semua tahu sejak dulu kamu mencintai Vita. Dia juga begitu. Lalu kenapa kamu malah seperti ini?” Doni terdiam. Bayangan sosok perempuan itu langsung melintas di kepala hanya dengan mendengar namanya saja. Tak dipungkiri semua itu benar, hanya saja masih ragu sebab keadaan yang dialami. Bagi seorang Doni, cinta itu bukan sekedar bersama. Percuma saja terjalin hubungan jika pada akhirnya harus saling menyakiti. “Kamu sudah tahu alasannya kan, Mbak!” sahutnya datar. “Ya. Aku tahu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Aku yakin kamu bisa sembuh, Don. Apalagi Vita juga mau menerima kekuranganmu. Kamu harus semangat!” Menyuntikan mental pada adiknya, Arum terus memberi wejangan. Di