Seperti hari-hari sebelumnya, Vita selalu menjalani pagi dengan berjualan sayur matang di teras rumah. Pekerjaan menjadi lebih ringan sejak Ibunya ikut tinggal bersama. Setidaknya, ada Bu Aminah yang menjaga Kesya, jadi dia tak terlalu pontang-panting. “Tumis kangkung sepuluh ribu,” “Tempe goreng lima.” “Aku bandeng goreng empat.” Dengan ramah, Vita melayani pelanggannya satu per satu. Tak jarang mereka terlibat obrolan ringan, atau sekedar basa-basi. Maklum. Hampir semua tetangga mengenalnya sebagai sosok yang ramah. Jadi wajar jika mereka lebih akrab. “Bu Vita, jadi nyari tempat buat jualan enggak? Tadi Azam bilang sudah nemu tempat yang strategis,” ujar Bu Eka salah satu pelanggan yang mendiami rumah di seberang jalan.“Jadi, Bu! Letaknya di daerah mana?” tanya Vita. “Enggak tahu juga sih. Azam cuma bilang sudah nemu. Entar biar dia ke sini saja,” sahut Bu Eka. Seperti rencana sebelumnya, Vita memang berniat membuka warung makan kecil-kecilan, tapi terkendala tempat. Semula
18“Enggak terlalu nyaman sih. Sepertinya aku harus banyak beradaptasi biar betah,” ujar Lina sembari mengedarkan pandangan ke semua sudut ruang tamu. Dahi Vita bekerja dengan kerutan, mencoba mencerna kalimat dari tamu yang tak diundang. “Maksudnya bagaimana ya?” “Begini, Vit. Perusahaan tempatku bekerja kolaps, dan aku kena PHK. Mau tak mau kami harus pulang kampung,” jelas Agung. “Terus apa hubungannya dengan rumah ini?” “Ya kan kami belum punya tempat tinggal. Sementara kami mau tinggal di sini,” Mendengar perkataan sang kakak, Vita terperanjat. Sama sekali tak menyangka jika kedatangan Agung dan keluarganya untuk menumpang di rumahnya. Ya, beberapa saat yang lalu, kakak sulung beserta anak istrinya datang menggunakan sepeda motor tua. Vita sempat kaget saat mereka tiba-tiba muncul di hadapannya. Sempat ingin menolak kedatangan mereka, tapi sebagai tuan rumah, tentu lebih bijak jika mempersilakan sang tamu masuk. “Jadi kalian mau tinggal di sini?” tanya Vita masih tak perca
Menyandang gelar single parent membuat Vita menjelma menjadi sosok pekerja keras. Berjuang seorang diri demi masa depan si buah hati. Belum lagi Ibunya yang kini tinggal bersama dan otomatis menjadi tanggung jawabnya. Bermodal uang 100 juta sisa penjualan sawah, Perempuan tangguh itu sukses membuka warung makan. Tak dipungkiri jika semua itu tak lepas dari bantuan Azam. Lelaki itulah yang kerap meluangkan waktu saat mempersiapkan semua keperluan usahanya. Tanpa terasa, warung makan yang dirintis sudah seminggu berjalan. Sejak dini hari Vita memasak aneka menu. Jualan di teras rumah sampai sekitar pukul sembilan, lalu berpindah ke tempat barunya sampai menjelang magrib. Padatnya pekerjaan membuat tubuhnya letih. “Kayaknya kamu kecapean deh, Mbak. Kamu butuh karyawan!” ujar Azam yang setiap pulang kerja selalu menyempatkan singgah di warung, sekedar melihat perkembangan. “Karyawan buat apa, Zam? Aku masih bisa sendiri kok.” Meletakkan secangkir kopi di depan Azam Vita kemudian dudu
Sejak beberapa hari terakhir, Arum selalu mengawasi gerak gerik adik iparnya. Bukan karena khawatir dia akan kembali mengambil uang, melainkan ada yang janggal dari bentuk tubuhnya. Ya. Menurut pengakuan Gea, saat dia datang usia kehamilannya sudah lebih dari empat minggu, tapi setelah tiga bulan berlalu, tak terlihat ada perubahan dari bentuk tubuhnya. Perut itu masih terlihat rata, bahkan tambah langsing. Selain itu, sejak tinggal bersama, sekali pun Arum tak pernah melihat Gea muntah-muntah atau menghindari makanan dengan aroma tertentu. Arum yang merasa curiga lantas memanggil Bagas untuk bicara. “Ada apa, Mbak?” tanya Bagas saat dipanggil ke ruang tamu oleh sang kakak. “Gini, Gas! Kan kehamilan istrimu sudah memasuki bulan ke lima, apa enggak sebaiknya di suruh USG biar tahu kesehatan calon bayi kalian?” Arum berpura-pura perhatian demi membuktikan kecurigaannya. Jika bicara langsung, mungkin akan membuat Bagas tersinggung. “sudah berulang kali aku mengajak, tapi Gea selal
“Gimana ya, Zam ... Aku kan baru saja bercerai, Kamu tahu kan rasanya patah hati. Susah sembuhnya,” “Ya. Aku tahu itu. Tapi izinkan aku membalut lukamu, Mbak! Aku akan menata kembali puing-puing kebahagiaan yang telah hancur dan menjadikan istana penuh cinta,” Sesaat Vita menoleh, menatap pada lelaki yang usianya lebih muda. Dari sorot mata teduh itu dia melihat ketulusan di sana. “Maaf, Zam! Biarkan aku menyembuhkan luka ini sendiri. Kamu terlalu baik untukku. Di luar sana, masih banyak gadis lajang yang cantik dan pantas untukmu,” “Benar, tapi hati ini sudah kadung memilihmu, Mbak! Bagiku, kamu jauh lebih istimewa ketimbang bidadari sekalipun,” Vita tersanjung. Melambung hatinya mendengar setiap kalimat yang lolos dari bibir Azam. Sesaat dia mencoba membiarkan rasa itu membumbung tinggi dalam khayalan. Namun, semakin di coba justru semakin ragu, khawatir jika rasa itu hanya sebatas kagum. “Maaf, Zam! Aku enggak bisa.”Azam terdiam. Pucuk-pucuk cinta yang telah mekar seketika
Menepikan semua beban yang mengimpit pikiran, Perempuan berwajah oval itu menjalani kewajibannya sebagai tulang punggung. Ia tetap berjualan meski letih mendera hati dan jiwa. Sebab, dia yakin bahwa masalah tak selalu harus dicari jalan keluarnya. Ada kalanya harus berpasrah, membiarkan semesta bicara. Satu per satu pelanggan yang datang dilayani. Tak peduli tua, muda, pria ataupun wanita, semua diperlakukan sama. Sebab, pembeli adalah raja. Ponsel yang Vita simpan di laci kembali berdering. Ini untuk ke tiga kalinya dalam 15 menit terakhir. Namun, lagi-lagi diabaikan sebab harus membuatkan pesanan para pengunjung. Setelah warung agak sepi, Vita membuka laci, mengambil ponsel. Dahinya berkerut saat melihat tiga panggilan tak terjawab dari Arum, sang mantan kakak ipar. Memanfaatkan waktu senggang, Vita menghubungi Arum. Tak butuh waktu lama panggilan langsung terhubung. “Assalamu alaikum, Mbak. Ada apa Mbak Arum nelpon?” “Waalaikum salam. Enggak kok. Cuma mau cerita aja. Minggu
Di halaman rumah, Vita mengisi pagi dengan bermain bersama anaknya. Setelah kemarin Lina pergi, suasana jadi lebih tenang. Hati menjadi lega meski terkadang iba membayangkan nasib kakaknya nanti. Bukan salah Vita. Bukan pula salah Arum. Itu salah mereka yang tak sadar diri. Setelah kebaikan diterima, mereka justru membalas dengan pengkhianatan. Terbit senyum di wajah Vita tatkala sorot matanya menangkap sosok seorang lelaki yang mengenakan setelan celana pendek dan kaos hitam polos memasuki pekarangan. “Pagi, Zam!” Vita berinisiatif menyapa tamu yang tak lain adalah tetangganya. “Pagi juga, Mbak! Kok enggak jualan?” Pandangan Azam tertuju pada meja kosong di teras rumah. Biasanya, setiap pagi di meja itu berjejer aneka menu. “Enggak! Kan Mbak Lina pergi.” Vita membopong anaknya lalu mengajak Azam ke teras. Bocah yang usianya memasuki tahun ke empat itu berlarian kecil ke dalam, sementara Vita dan Azam duduk di teras. “Pergi ke mana?” “Ya pergi. Dia udah enggak tinggal di sini
“Astaghfirulloh, Vit! Kenapa bisa begini?” Arum mengedarkan pandangan pada puing-puing yang berserakan. Lalu, berganti menatap terenyuh pada mantan adik iparnya yang duduk bersandar pada dinding, “kamu yang sabar ya,” Sesaat setelah melihat kerusakan di warung, Vita langsung menghubungi Arum. Dia tak tahu pada siapa harus bercerita selain mantan kakak iparnya. Doni atau pun Azam, keduanya enggak mungkin. Arum ikut duduk lalu merangkul. Dipeluknya erat berusaha memberi kekuatan pada perempuan yang kini menyandang gelar janda. Di pundak Arum, Vita meluberkan tangis. Ia pikir setelah berbagai ujian dalam hidup, bahagia lekas datang mengganti. Sayangnya, cobaan kembali menerpa. “Kamu tenang saja, Vit! Nanti kita cari pelakunya,” ucap Arum sembari membelai pucuk kepala Vita. Vita hanya mengangguk. Nafasnya tersengal hingga sulit mengeluarkan kata. Tak ada yang bisa dilakukan selain menyemangati. Sebagai ibu rumah tangga biasa, Arum tak berpengalaman menghadapi situasi seperti ini. V