Doni menghentikan motor di halaman rumah yang tampak sepi. Mobil kakaknya yang biasanya teronggok di halaman, tak terlihat. Pun motor anggota keluarga yang lain. Dia mengalihkan pandangan pada rumah yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya mendekat, menduga ada salah satu anggota keluarga yang berdiam di rumah. “Assalamu alaikum.” Doni berteriak seraya membuka pintu. Dia terkejut melihat seorang perempuan yang sedang bersandar si sofa ruang tamu dengan posisi kaki berada di atas meja. Sesaat dia memindai wajah perempuan yang rambutnya dicat merah itu, mencoba untuk mengenali. “Hei! Siapa kamu! Kenapa masuk rumah orang sembarangan!” Gea membentak dengan sepasang mata melotot. Kontan saja Doni bertambah bingung. Sama sekali dia tak merasa kenal dengan perempuan itu, tapi kenapa bisa ada di rumahnya. “Maaf, aku pemilik rumah ini. Harusnya aku yang bertanya kamu siapa. Kenapa ada di dalam?” Doni bertanya balik. Gea tercenung. Dia menarik ingatan pada cerita-cerita Bagas sebelumnya
Sekuat apa pun mencoba tegar, hakikatnya Vita hanya perempuan rapuh, yang butuh seseorang untuk menguatkan di saat hati terpuruk. Tiga hari sejak talak dijatuhkan, akhirnya dia menyerah untuk memikul beban itu sendiri. Vita pulang ke rumah Ibunya, mengeluh kesahkan semua perih pada keluarga. “Nah kan! Apa aku bilang! Bagas itu bukan lelaki yang baik buat kamu. Salah sendiri dulu enggak mendengar nasihat kami. Sekarang jadi janda kan!” celetuk Lina. “Kamu sih! Sekarang nyesel kan!” imbuh Anggi. Bukan! Bukan ini yang ingin Vita dengar. Setidaknya kalimat motivasi akan membuatnya sedikit lega. Namun, dua kakak iparnya justru seakan menyalahkan. Benar. Dulu mereka tak suka dengan Bagas. Tapi, bukan karena karakternya. Baik Lina maupun Anggi tak setuju karena Bagas berasal dari keluarga biasa. Vita menyeka sudut mata. Aroma perih menguar, tatkala empati dari keluarga tak di dapat. Hanya Bu Aminah yang sesekali memintanya sabar, tapi tak bereaksi saat dua kakak iparnya mencemooh. “Te
Dari balik kaca jendela, Gea melongok ke luar. Dahinya berkerut saat melihat dua perempuan turun dari mobil, di mana salah satunya ada Vita. “Mas, itu kok mantan istrimu datang ke sini? Mau ngapain?” tanya Gea tanpa mengalihkan pandangan pada dua perempuan yang berjalan mendekat. “Paling juga mau jenguk Ibu,” sahut Bagas santai. Lelaki itu paham betul seperti apa sifat mantan istrinya. Vita pasti akan datang saat mendengar kabar jila Bu Asti sakit. Gea kembali duduk di tempat semula saat Vita dan Arum semakin dekat. Pura-pura memainkan ponsel agar tak ada yang rahu kalau habis mengintip. Pintu terbuka. Arum dan Vita langsung masuk dan berjalan ke arah kamar tidur Bu Asti tanpa menyapa dua orang yang sedang duduk di sofa, sementara Gea merasa tersinggung karena diabaikan. “Masuk rumah orang kok enggak ketuk pintu dulu. Enggak sopan!” cibir Vita. Suara itu berhasil menghentikan langkah Arum dan Vita. Keduanya berbalik. “Kamu mengatai aku?” Arum menatap tajam pada adik ipar barun
Selepas Magrib, Vita, Arum dan Bu Asti berjibaku di dapur bersama-sama menyiapkan makan malam. Seperti itulah keseharian mereka saat Vita datang. Berbeda dengan mereka, Gea yang saat ini berstatus istri Bagas justru mengeram di kamar. Hampir seminggu dia tinggal di rumah mertua, tapi sekali pun belum pernah membantu masak. Dia akan keluar setelah tercium harum aroma masakan matang. Di saat bersamaan, Doni yang baru pulang kerja langsung menuju dapur karena sejak tadi sudah kehausan. Dia terkejut mendapati sang kakak ipar ada di rumahnya. “Mbak Vita, kamu di sini,” ujar Doni yang wajahnya dihiasi senyum semringah. “Iya, Don! Kamu baru pulang?” Vita mengulurkan tangan dan disambut oleh mantan adik iparnya. “Iya. Tadi macet di jalan.” Doni mengambil gelas di atas rak, menuangkan air putih, lalu meneguk isinya hingga tandas. “Oh iya, Don! Nanti malam kamu tidur di ruang tamu ya! Vita mau menginap di sini. Biar dia tinggal di kamarmu,” pesan sang Ibu. Dulu, sebelum ada perempuan be
Dalam haru heningnya malam, sesosok perempuan bersujud, bersimpuh mengadukan nasib pada Sang Khalik. Dia merasa tak sanggup memikul beban ini sendiri.Sejatinya Lebaran menjadi momen bahagia bagi semua insan, tapi justru menjadi titik terendah bagi seorang Vita. Pengkhianatan, luka dan air mata kerap mewarnai harinya dalam sepekan belakangan. Keluarga yang dikasihi, suami yang dicintai, menjauh, menepi karena ego yang sebenarnya menghancurkan semua. Vita menengadahkan tangan, memohon petunjuk pada Sang Pencipta, berharap setiap luka yang dikecap, akan menjadi manis di kemudian hari. Dalam kepedihan, dia hanya mampu menghibur diri, bahwa semua yang terjadi adalah kuasa-Nya. Hingga tertanam satu keyakinan, semua akan baik-baik saja. Tanpa terasa, sayup terdengar Adzan Subuh berkumandang. Vita lekas melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk, lalu beranjak ke dapur menyiapkan sarapan untuk keluarga mantan suaminya. Rupanya, di saat yang sama, Arum dan Bu Asti juga keluar dari kamar, da
Seiring bergulirnya waktu, kesedihan Vita mulai memudar. Dia mulai menikmati peran barunya sebagai single parent. Merawat Kesya seorang diri, seperti kebanyakan perempuan yang ditinggal suami. Tiap hari Vita bangun jam tiga dini hari. Menyiapkan masakan untuk dijual paginya. Meski untung tak seberapa, tapi setidaknya cukup untuk makan sekeluarga. Doni, lelaki itu sudah dua kali datang ke rumah. Dia menepati janji untuk membantu keuangan. Namun, Vita tak memakai uang tersebut, sebab penghasilan dari jualan sayur matang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan. *** Mentari baru sepenggalah tingginya saat dagangan Vita telah disapu bersih oleh pelanggan yang kebanyakan para tetangga. Perempuan yang setiap hari memakai hijab itu tersenyum puas menghitung laba. Total keuntungan pagi ini 125 ribu. Sebuah nominal yang lumayan jika untuk hidup di kampung. Selesai, dia menyimpan uang ke dalam dompet. Lalu, mulai merapikan wadah tempat sayur yang dijual barusan. Di saat Vita sedang sibuk den
"Bu ..., Bu ...." Berteriak panik dari dalam kamar, Arum berlarian mencari ibunya ke depan. Bu Asti yang sedang menyapu halaman seketika menghentikan aktivitas. "Ada apa, Rum, teriak-teriak kayak orang kesetanan?" Arum tak langsung menjawab. Mengatur nafas yang masih terengah-engah. "Ibu lihat uang aku yang di lemari enggak?" "Uang apaan?" "Ya uang yang buat persediaan belanja, Bu! Tadi sebelum kita pergi, aku simpan di lemari. Tapi sekarang enggak ada," jelas Arum dengan nada suara panik. "Loh, kok bisa? Jangan-jangan kamu lupa naruh kali. Coba cari yang benar," "Enggak ada, Bu! Aku sudah mencarinya tapi tetap enggak ketemu," Uang sebesar dua juta yang kini telah raib, sejatinya adalah uang belanja bulanan. Siang tadi Arum dan Ibunya pergi kondangan. Sebelum pergi, dia menyimpan uang tersebut di dalam lemari. Sepulang dari kondangan, dia berniat mengambil uang itu untuk belanja. Betapa kagetnya Arum saat mendapati uang itu sudah tak ada. "Ayo Ibu bantu cari. Siapa tahu na
“Dek ... Dek ... buka pintunya. Ada yang harus kuta bicarakan.” Bagas terus berteriak sembari mengetuk pintu, sementara Vita bolak balik dari kamar ke ruang tamu. Sesekali menyingkap korden, melongok mantan suaminya yang tak kunjung pergi. “Ayolah, Dek! Buka pintunya. Aku enggak bakal pergi sebelum kita bicara.” Luluh sudah pertahanan Vita. Bukan karena tersentuh hatinya, melainkan merasa risi jika sampai lelaki itu tak kunjung pulang. Membuka pintu dengan perasaan dongkol, Vita keluar memberi kesempatan Bagas bicara. Lelaki yang telah mencampakkannya itu tersenyum bahagia karena berhasil memaksa Vita keluar.“Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan. Setelah ini lekas pulang dan jangan kembali lagi” Vita memasang wajah masam sembari melipat tangan di depan dada. Jika bukan karena terpaksa, ia pasti menolak, meladeni bagas. “Kita bicara sambil duduk.” Bagas menarik kursi, mempersilakan Vita.Sekali lagi keinginan Bagas terpaksa dituruti dengan satu harapan dia lekas bicara la