Share

Bab 2 Kinan

“Hiiyaa!” Lelaki berkumis itu hendak melesakan tendangannya pada Albany. Namun, lelaki berkuncir itu gegas menghindar, hingga pengawal Juragan Ganda terhuyung ke depan terbawa tenaganya sendiri. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Albany langsung mengejar dan memiting tangan lelaki itu hingga terdengar bunyi gemeretak juga racau kesakitan.  Sepertinya tangannya terkilir parah akibat pitingan itu.

Pengawal Juragan Ganda yang satunya lagi sudah berdiri dan hendak memukul Albany dengan balok kayu yang tergeletak di pinggir jalan. Beruntung, Kinan berteriak memperingatkan. Albany pun berbalik dan secepat kilat menangkis balok itu dengan tendangan kakinya yang memutar. Balok kayu itu terpental dan tepat mengenai wajah si Pengawal. Dia terdengar lalu terjungkal dengan hidung mengeluarkan darah.

Juragan Ganda yang tadi hanya memperhatikan, kini dia turun sambil menggerak-gerakan lehernya. Tangan dan kakinya sudah siap menyerang. Albany tersenyum menyeringai. Jika dua pengawal yang masih muda saja bisa dengan mudah dia kalahkan, apalagi dengan seorang lelaki tua meski dengan tubuh yang gempal.

**

Za mengerutkan keningnya. Dia merasa heran saat melihat suaminya yang turun dari mobil dengan kondisi basah kuyup dan badan yang kotor. Matanya semakin memicing saat Albany juga membukakan pintu samping mobil, lalu turun seorang gadis yang tak kalah kotor dari suaminya.

“Rasanya kenal,” gumam Za lalu membukakan pintu.

“Mas, kamu kenapa?” tanya Za heran.

“Aku abis nolongin Kinan,” jawab Albany yang memberi kode pada gadis yang baru turun itu untuk masuk.

“Ma-af, Ibu, saya sudah merepotkan Bapak,” ucapnya takut-takut.

“Ini, tuh, Kinan, ya? Anaknya Bu Narti yang suka bantuin di kebun? Kenapa bisa begini?” tunjuk Za pada gadis itu. Wajah cantik itu mengangguk.

“Nanti aku cerita. Kasihan dia, harus diobati. Kakinya luka-luka. Aku mau mandi dulu, ” ujar Albany yang hendak masuk ke dalam rumah.

Za mengajak Kinan masuk dan menyuruhnya membersihkan diri di kamar tamu.

“Nanti saya bawakan baju ganti. Mandilah dulu,” ujar Za pada gadis itu. Kinan pun menurut.

Za masuk ke kamarnya untuk mencari bajunya yang sudah tak muat. Di sana ada Albany yang hanya berbalut anduk hendak masuk ke kamar mandi.

“Ken belum pulang?” tanya  Albany sebelum masuk ke kamar mandi.

Za hanya mengangkat bahu. “Dia semakin nggak betah di rumah,” jawabnya.

“Makin ugal-ugalan. Mabok, tawuran sama balapan liar. Begitulah kalau anak terlalu dimanja,” rutuk Albany terdengar kesal. 

Za hanya mendengkus pelan. Memang benar, ayah mertuanya terlalu memanjakan Ken. Segala apapun yang diinginkan cucunya itu selalu dikasih. Hendro bahkan tak segan memberikan cucunya itu kartu kredit dengan limit yang fantastis. Alhasil, pemuda itu tak pernah mau bekerja keras  atau sekedar membantu usaha ayah juga kakeknya.

**

Di tempat lain, seorang pemuda memutar-mutar pedal gas di motor balapnya. Di sampingnya berjejer beberapa motor balap dengan pengemudi melakukan hal yang sama. Masing-masing fokus menatap ke depan. Ada juga yang melirik pada lawan yang sudah bersiap meluncurkan kuda besinya.

Di depan sana seorang gadis berpakaian minim siap untuk mengibaskan sebuah bendera dengan tiang sepanjang satu meter.

“Three, two, one, go!!” teriak gadis berbaju seksi dengan warna hitam mengkilat. Dia mengibaskan bendera dan motor-motor balap itu meluncur bagai kilat. Suara deru mesin terdengar setiap kali melewati penonton yang bersorak.

Satu, dua, hingga sepuluh putaran dan akhirnya terdengar sorakan dari penonton.

“Yeaaa! Kenshin-ku menang!” pekik seorang gadis berambut panjang yang dikuncir ekor kuda. Dia mencium bibir pemuda yang baru saja membuka helm-nya tanpa ragu.

“Kenshin, Kenshin!!” sorak teman-temannya. Lelaki bernama Kenzie itu memang lebih terkenal dengan sebutan Kenshin di antara teman-temannya, karena selain jago balapan dia juga pandai memakai katana, seperti seorang samurai.

“Apa hadiahmu untuk kemenanganku kali ini?” Ken mengangkat sebelah alisnya.

“Apa pun yang kamu minta,” ujar gadis cantik itu mengelus rahang tegas sang pemuda.

“Kita ke apartemenku?” bisik pemuda itu terdengar bernafsu.

“Tentu saja, Sayang.” Sebuah ciuman mendarat di pipi lelaki berambut panjang dikuncir itu.

Mereka minum-minum sebentar dengan para sahabat, sebelum akhirnya pergi menuju apartemen yang dihadiahkan Hendro pada sang cucu saat pemuda itu ulang tahun ke dua puluh, tanpa sepengetahuan Albany dan Za tentu saja.

Kikik tawa dari mulut sang wanita terdengar saat Ken menghidu pelan tengkuknya. Ciuman demi ciuman mesra juga mendarat tak tau etika.

“Kamu nggak sabaran amat,” desah sang wanita ketika tangan jail itu mulai menjelajah.

“Bukannya kamu suka?” bisik Ken mendesah di telinga sang wanita. Dia lalu membawa tubuh langsing itu menuju peraduan. Dengan satu hentakan dia turunkan ke atas kasur nan empuk. Rok mininya sudah tersingkap tak karuan. Lelaki itu tersenyum penuh nafsu.

Ken hendak menimpa tubuh mulus di bawahnya, ketika ponselnya terdengar berdering.

“Halaah, siapa, sih?” Ken meraih benda pipih yang tergeletak di atas meja.

“Bunda?” alisnya bertaut. “Aah, ganggu aja!” Dia lemparkan ponsel itu sembarang. Lalu dia hendak memulai lagi aksinya, saat sebuah pesan masuk dan terlihat melintas pada layar.

[Pulang! Kakekmu sakit. Kena serangan jantung.]

Deg!

Isi pesan yang membuat mata Ken melotot seketika. Bagaimana tidak, orang yang paling menyayanginya itu dikabarkan sakit dan bisa meninggal kapan saja.

“Kakek,” gumamnya dan hilanglah semua nafsu yang tadi sudah menggebu.

“Kenapa?” tanya sang wanita penuh tanya. Dadanya yang menyembul dari balik tanktop tampak naik turun. Ada sebuah tato kupu-kupu di atas payudara kirinya.

“Kakekku. Dia kena serangan jantung.” Ken menjawab seraya membetulkan letak bajunya yang tadi sudah mau dilepas.

“Kamu mau ke mana?” gadis cantik itu bangkit duduk.

“Aku pulang dulu. Kalau kamu mau, tunggu saja di sini,” ucap ken dan menyambar ponsel juga kunci motornya.

“Ken! Kenapa tidak kita selesaikan dulu, baru kamu pergi?” teriak sang gadis tampak kecewa. Namun, bagi Ken saat ini nyawa kakeknya jauh lebih penting.

di tengah malam buta, lelaki itu meluncur dengan kuda besinya. Tanpa sadar dia melewati sekumpulan geng motor yang pernah berkelahi dengannya. Beberapa orang melihat plat nomor dari motor yang dikendarai Ken.

“Ken. Si keparat yang sudah membuat adikku kehilangan sebelah tangannya. Ayo kita kejar!” seru salah satu dari mereka yang bertubuh kurus dan dipenuhi tato.

Deru mesin motor terdengar memekakan telinga. Mereka meluncur mengajar seseorang yang sudah lama diincarnya.

Setelah dirasa dekat, lelaki itu memepet dan teman yang diboncengnya melemparkan bola rantai berduri ke lengan Ken dan menariknya sekuat tenaga hingga lelaki itu tak bisa mengendalikan laju motornya. Ken pun terjatuh ke jalanan  beraspal.

Srak!

Srak!

Bola rantai berduri menimpa kaki juga tangannya. Jangan panggil Ken, jika dia menyerah begitu saja. Namun, kali ini pertarungannya tidak berimbang. Ken tidak dalam keadaan siap untuk bertarung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status