“Hiiyaa!” Lelaki berkumis itu hendak melesakan tendangannya pada Albany. Namun, lelaki berkuncir itu gegas menghindar, hingga pengawal Juragan Ganda terhuyung ke depan terbawa tenaganya sendiri. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Albany langsung mengejar dan memiting tangan lelaki itu hingga terdengar bunyi gemeretak juga racau kesakitan. Sepertinya tangannya terkilir parah akibat pitingan itu.
Pengawal Juragan Ganda yang satunya lagi sudah berdiri dan hendak memukul Albany dengan balok kayu yang tergeletak di pinggir jalan. Beruntung, Kinan berteriak memperingatkan. Albany pun berbalik dan secepat kilat menangkis balok itu dengan tendangan kakinya yang memutar. Balok kayu itu terpental dan tepat mengenai wajah si Pengawal. Dia terdengar lalu terjungkal dengan hidung mengeluarkan darah.
Juragan Ganda yang tadi hanya memperhatikan, kini dia turun sambil menggerak-gerakan lehernya. Tangan dan kakinya sudah siap menyerang. Albany tersenyum menyeringai. Jika dua pengawal yang masih muda saja bisa dengan mudah dia kalahkan, apalagi dengan seorang lelaki tua meski dengan tubuh yang gempal.
**
Za mengerutkan keningnya. Dia merasa heran saat melihat suaminya yang turun dari mobil dengan kondisi basah kuyup dan badan yang kotor. Matanya semakin memicing saat Albany juga membukakan pintu samping mobil, lalu turun seorang gadis yang tak kalah kotor dari suaminya.
“Rasanya kenal,” gumam Za lalu membukakan pintu.
“Mas, kamu kenapa?” tanya Za heran.
“Aku abis nolongin Kinan,” jawab Albany yang memberi kode pada gadis yang baru turun itu untuk masuk.
“Ma-af, Ibu, saya sudah merepotkan Bapak,” ucapnya takut-takut.
“Ini, tuh, Kinan, ya? Anaknya Bu Narti yang suka bantuin di kebun? Kenapa bisa begini?” tunjuk Za pada gadis itu. Wajah cantik itu mengangguk.
“Nanti aku cerita. Kasihan dia, harus diobati. Kakinya luka-luka. Aku mau mandi dulu, ” ujar Albany yang hendak masuk ke dalam rumah.
Za mengajak Kinan masuk dan menyuruhnya membersihkan diri di kamar tamu.
“Nanti saya bawakan baju ganti. Mandilah dulu,” ujar Za pada gadis itu. Kinan pun menurut.
Za masuk ke kamarnya untuk mencari bajunya yang sudah tak muat. Di sana ada Albany yang hanya berbalut anduk hendak masuk ke kamar mandi.
“Ken belum pulang?” tanya Albany sebelum masuk ke kamar mandi.
Za hanya mengangkat bahu. “Dia semakin nggak betah di rumah,” jawabnya.
“Makin ugal-ugalan. Mabok, tawuran sama balapan liar. Begitulah kalau anak terlalu dimanja,” rutuk Albany terdengar kesal.
Za hanya mendengkus pelan. Memang benar, ayah mertuanya terlalu memanjakan Ken. Segala apapun yang diinginkan cucunya itu selalu dikasih. Hendro bahkan tak segan memberikan cucunya itu kartu kredit dengan limit yang fantastis. Alhasil, pemuda itu tak pernah mau bekerja keras atau sekedar membantu usaha ayah juga kakeknya.
**
Di tempat lain, seorang pemuda memutar-mutar pedal gas di motor balapnya. Di sampingnya berjejer beberapa motor balap dengan pengemudi melakukan hal yang sama. Masing-masing fokus menatap ke depan. Ada juga yang melirik pada lawan yang sudah bersiap meluncurkan kuda besinya.
Di depan sana seorang gadis berpakaian minim siap untuk mengibaskan sebuah bendera dengan tiang sepanjang satu meter.
“Three, two, one, go!!” teriak gadis berbaju seksi dengan warna hitam mengkilat. Dia mengibaskan bendera dan motor-motor balap itu meluncur bagai kilat. Suara deru mesin terdengar setiap kali melewati penonton yang bersorak.
Satu, dua, hingga sepuluh putaran dan akhirnya terdengar sorakan dari penonton.
“Yeaaa! Kenshin-ku menang!” pekik seorang gadis berambut panjang yang dikuncir ekor kuda. Dia mencium bibir pemuda yang baru saja membuka helm-nya tanpa ragu.
“Kenshin, Kenshin!!” sorak teman-temannya. Lelaki bernama Kenzie itu memang lebih terkenal dengan sebutan Kenshin di antara teman-temannya, karena selain jago balapan dia juga pandai memakai katana, seperti seorang samurai.
“Apa hadiahmu untuk kemenanganku kali ini?” Ken mengangkat sebelah alisnya.
“Apa pun yang kamu minta,” ujar gadis cantik itu mengelus rahang tegas sang pemuda.
“Kita ke apartemenku?” bisik pemuda itu terdengar bernafsu.
“Tentu saja, Sayang.” Sebuah ciuman mendarat di pipi lelaki berambut panjang dikuncir itu.
Mereka minum-minum sebentar dengan para sahabat, sebelum akhirnya pergi menuju apartemen yang dihadiahkan Hendro pada sang cucu saat pemuda itu ulang tahun ke dua puluh, tanpa sepengetahuan Albany dan Za tentu saja.
Kikik tawa dari mulut sang wanita terdengar saat Ken menghidu pelan tengkuknya. Ciuman demi ciuman mesra juga mendarat tak tau etika.
“Kamu nggak sabaran amat,” desah sang wanita ketika tangan jail itu mulai menjelajah.
“Bukannya kamu suka?” bisik Ken mendesah di telinga sang wanita. Dia lalu membawa tubuh langsing itu menuju peraduan. Dengan satu hentakan dia turunkan ke atas kasur nan empuk. Rok mininya sudah tersingkap tak karuan. Lelaki itu tersenyum penuh nafsu.
Ken hendak menimpa tubuh mulus di bawahnya, ketika ponselnya terdengar berdering.
“Halaah, siapa, sih?” Ken meraih benda pipih yang tergeletak di atas meja.
“Bunda?” alisnya bertaut. “Aah, ganggu aja!” Dia lemparkan ponsel itu sembarang. Lalu dia hendak memulai lagi aksinya, saat sebuah pesan masuk dan terlihat melintas pada layar.
[Pulang! Kakekmu sakit. Kena serangan jantung.]
Deg!
Isi pesan yang membuat mata Ken melotot seketika. Bagaimana tidak, orang yang paling menyayanginya itu dikabarkan sakit dan bisa meninggal kapan saja.
“Kakek,” gumamnya dan hilanglah semua nafsu yang tadi sudah menggebu.
“Kenapa?” tanya sang wanita penuh tanya. Dadanya yang menyembul dari balik tanktop tampak naik turun. Ada sebuah tato kupu-kupu di atas payudara kirinya.
“Kakekku. Dia kena serangan jantung.” Ken menjawab seraya membetulkan letak bajunya yang tadi sudah mau dilepas.
“Kamu mau ke mana?” gadis cantik itu bangkit duduk.
“Aku pulang dulu. Kalau kamu mau, tunggu saja di sini,” ucap ken dan menyambar ponsel juga kunci motornya.
“Ken! Kenapa tidak kita selesaikan dulu, baru kamu pergi?” teriak sang gadis tampak kecewa. Namun, bagi Ken saat ini nyawa kakeknya jauh lebih penting.
di tengah malam buta, lelaki itu meluncur dengan kuda besinya. Tanpa sadar dia melewati sekumpulan geng motor yang pernah berkelahi dengannya. Beberapa orang melihat plat nomor dari motor yang dikendarai Ken.
“Ken. Si keparat yang sudah membuat adikku kehilangan sebelah tangannya. Ayo kita kejar!” seru salah satu dari mereka yang bertubuh kurus dan dipenuhi tato.
Deru mesin motor terdengar memekakan telinga. Mereka meluncur mengajar seseorang yang sudah lama diincarnya.
Setelah dirasa dekat, lelaki itu memepet dan teman yang diboncengnya melemparkan bola rantai berduri ke lengan Ken dan menariknya sekuat tenaga hingga lelaki itu tak bisa mengendalikan laju motornya. Ken pun terjatuh ke jalanan beraspal.
Srak!
Srak!
Bola rantai berduri menimpa kaki juga tangannya. Jangan panggil Ken, jika dia menyerah begitu saja. Namun, kali ini pertarungannya tidak berimbang. Ken tidak dalam keadaan siap untuk bertarung.
“Lina, Ima! Apa Nyonya sudah selesai?” tanya Javier dari luar pintu.“Sudah Bang Jev,” jawab Ima.“Tuan Al sudah menunggu di bawah untuk sarapan,” katanya. Lina dan Ima pun bergegas membereskan peralatannya.“Silakan duluan, Nyonya. Kamarnya biar kami yang bereskan,” ucap Ima. Walaupun merasa tak enak hati, tetapi Kinan tak punya pilihan lain, Aldebaran sudah menunggunya di bawah.Saat pintu terbuka Javier sempat terperangah melihat Kinan yang semakin cantik. Sebagai lelaki normal dia kagum dengan wanita ini.“Silakan,” ujar Javier yang mendadak bersikap begitu sopan.“I-iya,” jawab Kinan terlihat gugup.Dia berjalan pelan menuruni tangga lebar yang melingkar. Di bawah sana Aldebaran yang mendengar bunyi heels pendek dari sepatu yang dikenakan Kinan sontak menoleh ke arah tangga.Matanya terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya dia membuang muka karena Javier melihat padanya.Sangat aneh. Aldebaran sering berurusan dengan wanita berbaju seksi. Dia bahkan sering menikmati wanita tan
Aldebaran menatap tak berkedip pada wanita yang jatuh terlelap karena saking capenya. Kinan bercerita tentang hidupnya sambil menangis tadi. Entah kenapa Aldebaran ingin sekali memeluk dan memberikan bahunya untuk bersandar saat Kinan menangis, tetapi dia tak bisa melakukannya. Wanita itu masih sah menjadi istri orang.Saking lelahnya, Kinan meracau lalu kepalanya terkulai di pinggiran sofa.“Kupikir kisah hidupku yang paling buruk,” gumam Aldebaran sambil menatap dengan rasa kasihan pada Kinan. Dia menunggu hingga Kinan benar-benar terlelap, lalu memindahkannya ke atas kasur miliknya. Setelah yakin jika Kinan tidur dalam keadaan nyaman, dia lalu keluar dan menuju ruang kerjanya untuk tidur di sana.Aldebaran seakan susah untuk memejamkan matanya. Dia masih teringat saat Kinan menceritakan kisahnya dengan sang suami.“Kamu wanita tegar dan berprinsip. Berani meninggalkan suami seperti itu demi sebuah harga diri,” gumamnya, lalu terbayang wajah Kinan yang polos, namun pemberani. Ide-id
Kinan masih fokus memijit kaki Ahmet, sementara Aldebaran mengajaknya untuk cepat-cepat. Dia sudah tidak sabar ingin menginterogasi wanita yang menjadi istri gadungannya ini.“Udah mendingan, kan, Dad?” tanya Aldebaran.Ahmet mendelikan matanya. “Aku lagi enak dipijitin. Ganggu saja kamu ini!” Dia hendak melemparkan lagi sebuah bantal pada anaknya, tetapi Kinan menahannya.“Ssst, jangan ribut.” Kinan menyilangkan telunjuknya di bibir.“Tuh denger! Sana pergi kau!” usir Ahmet mengacungkan tinjunya pada Aldebaran.“Hei, dia itu istriku. Seharusnya aku yang lebih berhak, bukan kau Pak Tua!” sergah Aldebaran.“Kau bisa sepuasnya sama istrimu nanti. Aku hanya sebentar saja. Aku ingin mengobrol dengannya.” Ahmet mengangkat bogemnya.“Aku kasih waktu lima menit lagi. setelah itu aku ajak Kinan pergi tidur. Ini sudah malam. Apa kau tidak mengerti bagaimana rasanya pengantin baru?” kata Aldebaran sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.“Ya sudahlah. Pergilah kalian. Kakiku sudah jauh l
Sementara itu Kinan dan Ahmet yang mendengar keributan di luar langsung terbangun. Ahmet terperangah saat melihat ada Kinan di kamarnya.“Ngapain kamu di sini?” tanyanya marah.“Emmh, itu … Kek, aku mau bawakan makan malam, tapi Kakek udah tidur. Jadi aku tunggu di sini,” jawab Kinan sambil menunjuk ke sofa yang tadi didudukinya.“Kakek! Sudah kubilang jangan panggil aku kakek.” Ahmet berteriak dengan keras dan membuat Aldebaran mendengarnya. Dia gegas ke sana untuk melihat.Betapa bahagia rasanya saat melihat ada Kinan di sana yang tadi dia kira kabur.“Kenapa kamu di sini, Sayang?” tanya Aldebaran menghampiri Kinan dan berpura-pura bersikap romantis. Kinan tampak risih saat tangan Aldebaran menyentuh pinggangnya.“Mmh, itu, Tuan. Saya … mau ambilkan makan malam buat Kakek,” jawab Kinan polos. Aldebaran mengedipkan sebelah matanya berulang kali, memberi kode pada Kinan agar tidak menyebutnya tuan.Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Kinan dan berbisik, “Panggil aku sayang jika di de
Aldebaran terbahak mendengar pertanyaan Kinan.“Kau pikir aku akan melakukannya? Yang benar saja. Aku tidak akan pernah mau terikat dalam pernikahan.”Mendengar kalimat dari mulut Aldebaran, Kinan pun merasa lega.“Baguslah. Aku juga tidak mau,” balas Kinan sambil membuang muka. Aldebaran melotot. Belum pernah ada yang berani seperti itu padanya. Biasanya wanita akan tunduk dan merengek agar didekati, yang ini malah sebaliknya.“Kamu!” desisnya. Namun, Kinan malah nyengir kuda. Aldebaran mendengkus pelan.“Cepat pose yang baik, aku akan mengambil gambarmu,” titah Aldebaran sambil menunjuk ke arah tembok untuk memberi kode pada Kinan untuk berdiri di sana.“Ok,” sahut Kinan gegas berdiri di depan tembok berwarna putih.Cekrek.Aldebaran kemudian melihat hasil fotonya. Dia mendesis kesal, karena ternyata Kinan malah menggosok matanya.“Kamu ini, foto aja susah. Tahan dulu sebentar,” ucap Aldebaran sedikit emosi.“Maaf, tadi mataku kelilipan,” jawab Kinan yang masih mengucek matanya. “S
“Pakailah salah satu. Buang saja baju yang kau pakai,” katanya seperti yang kesal. Kinan mendengkus dan kembali ke kamar pas untuk berganti pakaian.Keluar dari kamar pas kali ini sudah dengan baju yang baru dan membuat Aldebaran terpaku sesaat. Namun, dia gegas membuang muka.“Ayo, masih ada tempat lain yang harus kau kunjungi,” katanya sambil berjalan, lalu diikuti oleh Javier.Kinan melongo karena dua lelaki itu malah melenggang tanpa ke kasir dulu. Dia gegas menyusul Javier dan menarik tangan lelaki itu.“Ada apa?” tanya Javier yang kaget saat tangannya ditarik.“Kenapa nggak bayar? Kalian penjahat yang lagi merampok?” tanya Kinan sambil berbisik. Javier langsung terbahak dan membuat Aldebaran berhenti dan menoleh ke belakangnya. Javier langsung berhenti tertawa dan menunduk hormat.“Butik itu punya Tuan Aldebaran,” bisik Javier dan kembali membuat Kinan melongo.“Ayo cepat!” teriak Aldebaran yang kemballi berhenti karena Javier dan Kinan malah mengobrol dan berjalan lambat.“Ini