Ken kembali membuang muka. Rasanya dia tidak bisa percaya dengan yang diucapkan ibunya. Saat kecil, ayahnya itu jarang sekali di rumah. Sang kakek justru yang lebih banyak meluangkan waktu untuk dirinya. Apalagi saat Za mulai membantu perusahaannya lagi. Semakin banyak waktu juga uang yang bisa dicurahkan Hendro untuk Ken.
**
Hendro duduk sambil menatap kosong ke area taman di mana Kinan sedang menyapu daun-daun kering. Ken yang sudah mulai pulih mendekati sang kakek dan duduk di kursi di sebelahnya.
“Selama aku di sini, Kakek sama sekali belum menyapaku.” Ken mendesah.
“Degil!” Hendro melirik sekilas, lalu kembali fokus pada tanaman yang tampak indah. Apalagi setelah ada Kinan, taman itu jauh lebih terawat.
“Kakek!” Ken terdengar merajuk. Lelaki yang biasanya sangar dan banyak ditakuti lawan itu saat ini malah terlihat seperti seorang anak kecil dengan rengekannya.
“Kakek berulang kali berpikir tentang kata-kata ayahmu, Ken.”
“Kata-kata Ayah? Memangnya dia bilang apa?” Ken menoleh dan memperhatikan kakeknya.
“Kamu harus mulai belajar bekerja dan berhenti bergaul di jalanan seperti itu,” ujar Hendro balik menatap sang cucu.
Ken mendengkus pelan dan tersenyum miring. “Tentu saja. Ayah selalu membenciku. Dia tidak suka aku bahagia.”
“Bukan seperti itu, Ken. Ayahmu benar. Sudah waktunya kamu mengubah sikap. Kamu ini sudah hampir 24 dan masih saja tawuran. Mau jadi apa?” cecar Hendro.
“Siapa yang akan meneruskan usaha Kakek sama ayahmu jika kamu terus saja seperti ini?” lanjut lelaki tua itu.
Ken membuang muka. Dia sama sekali tidak suka jika harus terkurung di kantor. Apalagi kalau harus bertani seperti ayahnya.
“Mulai sekarang, kamu harus bekerja kalau mau dapat uang.”
“Kakek!” Ken menoleh dengan tatapan merajuk. Benar-benar tidak sesuai dengan penampilannya yang garang. Di depan kakeknya Ken tetap saja bagaikan seorang bocah ingusan yang minta dibelikan permen.
“Dan satu lagi. Kamu harus segera menikah agar punya rasa tanggung jawab!” bentak Hendro tegas. Namun, langsung membuat pemuda di sampingnya melotot.
“Apa?! Menikah? Oh, come on, Kek. Ini sangat tidak lucu. Aku masih terlalu muda untuk punya komitmen seserius itu.” Ken tampak kesal.
“Muda apanya? Kamu sudah cukup umur untuk menikah!” Hendro membentak sambil menggebrak meja. Ken terlonjak kaget.
“Aku … pacarku mana mau menikah secepat ini. Jangan gila, Kek!” ujar Ken.
“Kakek kasih kamu waktu satu bulan untuk mengajak pacarmu itu menikah. Kalau tidak ….”
“Kalau tidak? Apa, Kek?”
“Kakek yang carikan calon istri buat kamu.”
“Hah? Kakek carikan aku istri? Memangnya Kakek punya calon?” tanya Ken dengan wajah menahan tawa.
“Tentu saja ada. Kau pikir, Kakek ini tidak bisa carikan?”
Ken langsung tergelak. “Siapa? Apa aku mengenalnya?” tanya Ken. Dia langsung mengingat-ngingat gadis-gadis yang mungkin anak dari relasi sang kakek. Tidak akan terlalu buruk pikirnya. Minimal cantik dan dari kalangan berada.
“Tentu saja. Itu orangnya,” tunjuk Hendro pada Kinan yang lewat di depan mereka hendak menyimpan sapu lidi.
Sejenak Ken melongo.
“What? Dia?” tunjuk Ken sambil terbahak. “Becandamu tidak lucu! Benar-benar buruk.” Di menggeleng pelan sambil menahan tawa.
Orang yang sedang dibicarakan langsung menoleh dengan wajah bingung.
“Kenapa tertawa? Dia itu anak yang baik. Rajin dan pekerja keras. Bukan seperti kamu yang cuma bisa habisin duit!” bentak Hendro.
“Ok, fine. Tentu saja dia rajin. Dia pembantu di rumah ini, kan?” cibir Ken masih dengan tawanya. Mendengar itu Kinan melotot pada Ken yang dari awal bertemu sudah terkesan sombong.
“Bukan. Dia itu diselamatkan sama ayahmu. Dia tinggal sementara di sini. Dia orang yang tau terima kasih. Dia mau bantu-bantu,” jawab Hendro.
“Ya, intinya sama saja. Dia itu tukang bantu-bantu. Apa Kakek tega ngasih aku calon istri macam dia? Dia pantasnya jadi keset.”
Mendengar ucapan cucunya Hendro semakin yakin jika apa yang dilakukannya selama ini pada pemuda itu adalah kesalahan besar. Ken tumbuh menjadi orang yang arogan.
“Tutup mulutmu! Aku tidak pernah mengajarimu untuk menghina orang seperti itu!” Hendro bahkan sampai bangkit dari tempat duduknya sambil menggebrak meja.“Aku bukan menghina, Kek. Memang kenyataannya seperti itu!” Ken tergagap.“Diam kau! Aku benar-benar kawinkan kau dengan dia!” ancam Hendro naik pitam.“Aku tidak sudi!” desis Ken dengan penekanan yang kuat.“Kalau kau tidak mau. Kakek cabut semua fasilitas yang sudah Kakek berikan padamu. Semuanyaa!” teriak Hendro lalu kembali terjatuh menahan dadanya yang terasa sakit.Melihat itu, Kinan langsung menghambur memburu Hendro.“Bapak!” Kinan menahan tubuh Hendro sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. Sementara itu Ken masih berdiri ketakutan. Hal yang dia takutkan, sekarang malah dia sendiri sebagai penyebabnya.“Telepon Ibu!” teriak Kinan pada Ken yang masih terpaku.“Cepat! Apa kau tuli?!” bentak Kinan lagi tanpa sungkan dan membuat Ken semakin melotot.“Beraninya kau!” desis Ken. Namun, Kinan semakin emosi.“Cepat anak manja! Apa kau m
“Tinggalkan kunci motornya!” teriak Hendro sekali lagi.Ken manggut-manggut. “Jadi begitu? Ok. Aku tinggalkan semua ini. Bye!” Ken menaruh kunci motornya di atas buffet yang berada tepat di dekat pintu.“Ken!” panggil Za. Jiwa keibuannya terpanggil. Dia hendak bangkit mengejar. Namun, Albany menahannya.“Biarkan dia belajar. Dulu anak itu baik, selain terlalu dimanja, pergaulan membuat dia jadi seperti itu. Aku yakin, dia bisa berubah. Anak kita sedang tersesat. Dia butuh kita untuk kembali,” ucap Albany lirih.**“Hei! Kok kamu di sini?” Gadis cantik dengan baju tidur minim menatap heran pada Ken yang tampak lusuh.“Aku diusir sama mereka.” Ken mengembus napas kasar lalu mengempaskan dirinya ke sofa.“Mereka?” gadis itu mengerutkan kening.“Orangtuaku. Bahkan kakekku juga sama.” Ken yang terlentang menutupi matanya dengan lengan kanan.“Kakekmu juga? Hmm.” Sang gadis heran.“Eh, kamu naik apa ke sini?” Dia celingak-celinguk ke arah luar rumahnya. Tidak ada motor ataupun mobil yang bi
“Anjing! Dasar orang tua sial!” geramnya sambil menendang mesin ATM. Satu harapan lagi dengan kartu ATM yang diberikan oleh ayahnya. Dia tidak pernah pakai karena nominalnya sedikit. Jauh jika dibandingkan dengan kartu yang diberikan oleh sang kakek.Ken memekik girang karena kartu yang satu ini masih bisa diakses. Namun, pundaknya langsung luruh saat melihat nominal yang tertera tak sampai 30 juta.“Duit segini bisa buat berapa lama?” Ken memutar otak. Namun, gedoran di pintu gerai ATM membuatnya sadar jika di luar sana sedang mengantri.“Oh iya, sebentar,” ucapnya dan langsung menekan pilihan nominal terbesar. Dia kemudian keluar dan melangkah menuju mobil. Langkahnya terhenti. Matanya melotot saat mobil itu tak ada lagi di tempatnya. Ken celingukan, memindai ke sekeliling. Namun tetap saja sedan berwarna merah itu tidak ada di sana.“Shit! Ke mana tu mobil?” Ken mulai cemas. Dia berkeliling ke sana ke mari. Dia berdiri sejenak mengingat-ngingat, lalu merogoh saku celananya dan kunc
Ken tersenyum lega setelah masalahnya diselesaikan oleh sang ibu. Akhirnya dia tak harus menanggung malu karena tak bisa membayar denda karena kerusakan yang dibuatnya.Hanya Za yang datang ke hotel. Albany sama sekali tak mau jika dia malah membuat keributan karena marah sekali pada anaknya.“Seperti siapa, sih, tuh anak,” gerutunya saat Za pamit hendak pergi mengurus sang putra.Za terkekeh seraya mengelus pundak suaminya pelan. “Dia itu anak kita, tentu saja mirip kita, Mas.”“Aku tidak seperti itu,” elak Albany.“Siapa bilang? Kalian sama-sama keras kepala.” Za tertawa kecil dan dijawab dengan dengkusan dari mulut suaminya.Albany kesal, namun tak tega juga jika membiarkan Ken begitu saja.“Aku janji akan mengembalikan Ken kita yang dulu. seperti yang kamu bilang, Mas, kalau Ken butuh kita untuk menemukan jalannya kembali.”“Terima kasih, Bun.” Ucapan Ken membuyarkan lamunan Za yang juga tengah menyetir dalam perjalanan pulang. Wanita itu sontak menoleh.“Eh, iya. Ini memanng udah
Tidak ada sambutan istimewa saat anak itu pulang ke rumah. Albany juga Hendro justru tampak menghindar. Mereka tak mau sampai bertengkar.Ken akhirnya kembali menempati kamar yang sekian lama dia tinggalkan. Posisi setiap barang masih sama. Kamar itu tetap terlihat rapi juga bersih.“Akhirnya aku kembali terkurung di sini. Dengan segala peraturan yang akan membuat kepalaku sakit.” Ken mengempaskan bokongnya di tepian ranjang empuk miliknya.“Perempuan itu. si Kinos. Aku mesti ajakin dia membuat kesepakatan. Dia juga sepertinya tidak setuju dengan pernikahan ini. Tidak akan susah, dia pasti setuju,” gumam Ken.Dan malam ini adalah pertama kalinya Ken makan malam di meja bersama dengan anggota keluarga yang lain. Za bahkan meminta Kinanti untuk ikut makan bersama di meja.Makan malam yang terlihat kaku, karena Hendro dan Albany yang menahan diri untuk tidak mengobrol. Terlebih lagi dengan Kinan. Dia merasa sangat asing di tengah orang-orang yang belum lama dikenalnya.“Pernikahan kalian
Sesuai rencana Ken, pernikahan itu akhirnya bisa dilaksanakan seminggu kemudian. Tidak ada pesta mewah, hanya syukuran kecil-kecilan saja. Bahkan teman Ken tidak ada yang datang. Sebagai aksi dari pihak lelaki Albany meminta Ketua RT dan beberapa tetangga. Lalu, saksi dari pihak Kinan adalah seorang guru ngaji di kampungnya juga beberapa tetangga yang juga bekerja di perkebunan milik Albany.Sebagai wali, tentu saja ayah Kinan yang datang karena permintaan Albany. Lelaki culas itu terperangah saat mengetahui putrinya akan menikah. Dia meminta uang sebesar seratus juta sebagai syarat dia mau menjadi wali. Albany awalnya kesal, tetapi dia turuti juga dengan syarat lelaki itu pergi jauh.Sukardi dengan mudah menerima syarat itu. Dengan uang sebanyak itu dia bisa menikah lagi dengan perempuan yang tengah dekat dengannya.Pernikahan itu dilakukan secara agama, karena Kinan belum cukup umur untuk menikah resmi. Dia baru saja lulus SMA dan ini semakin membuat Ken berada di atas angin. Dia p
“Apaan, sih? Ogah!” sergah Kinan dan mendorong tubuh tegap di depannya. Tubuh yang jauh lebih tinggi darinya. Jika Kinan bertumbuh langsing dengan tinggi 165 senti meter, sementara Ken bertubuh tegap dengan tinggi 185 senti meter.Lelaki itu tertawa meledek. Dia tahu jika Kinan merasa canggung dan ketakutan.“Umur elu baru 18 tahun ?” tanyanya dengan alis naik sebelah. Tangannya yang memegang handuk kembali mengeringkan rambut.“Emangnya kenapa kalau aku masih 18 tahun?” Kinan mendelik.“Apa elu masih perawan?” selidik Ken dengan senyum menyeringai. Wajah Kinan sontak memerah saat mendengar pertanyaan seperti itu. Matanya pun melotot. Kata masih perawan benar-benar telah menohoknya. Jangankan masalah itu, Kinan bahkan belum pernah berciuman.“Muka lu berubah jadi tomat.” Ken terbahak. “Malu karena memang masih perawan, atau malu karena jutru … nggak?”Mata Kinan semakin melotot. Dia benar-benar tersinggung dengan perkataan lelaki yang baru hari ini menjadi suaminya.“Kagak lucu!” sent
“Diapain? Masa, sih, kalian nggak ngerti bakal diapain saat malam pertama?” Za terkikik.“Emangnya aku, cuman dianggurin saat malam pertama.” Za yang sudah selesai dengan skin care-nya lalu bangkit dan menyusul Albany ke tempat tidur.Lelaki itu mengembus napas kasar. Jujur, dia merasa ditarik untuk kembali ke masa lalu. Masa di mana hatinya sakit karena harus menerima getah dari perbuatan orang.“Bukannya malam pertama kamu itu dengan Rico?” sindir Albany yang tiba-tiba merasa cemburu pada sang adik yang telah mendahuluinya.Za langsung terperangah mendengar pertanyaan dari suaminya. Sudah lama Albany tak pernah sefrontal itu kepadanya.“Apa kamu sedang menyindirku, Mas?” Za tampak tersinggung.“Menyindir? Bukankah itu fakta?” Albany memejamkan matanya untuk menetralisir rasa cemburu yang mulai menggebu.Za manggut-manggut. “Jadi, kamu lagi ngingetin aku, kalau aku ini sampah? Barang bekas, saat nikah sama kamu?” ucapnya penuh emosi.Albany sontak membuka kelopak matanya dan menoleh