Share

Kenyataan

Usai berbasa-basi sekedarnya, kami di jamu untuk makan siang lebih dulu sebelum Kakek Beno berbicara padaku 4 mata saja. Sesungguhnya rasa hati sudah tak sabar lagi, tapi mau bagaimana lagi. Aku tetap harus sabar demi mendapat informasi tentang diriku sendiri. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku harus mengorek informasi tentang diriku dari orang lain.

Kami menikmati makan siang dengan hikmat, sesekali gelak tawa dari kami memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur mewah ini. Kehangatan dan rasa kekeluargaan sangat terasa sekali, ada yang menghangat di hati ini. Ini untuk pertama kalinya aku merasakan layaknya memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. 

Tante Maya dan Kakek Beno tak menganggapku orang lain, meski baru pertama kali aku datang kemari. Bahkan, anak kedua Tante Maya juga cepat sekali akrab meski baru beberapa menit yang lalu kami bertemu saat dia pulang sekolah.

Usai makan dan sholat zuhur, di sinilah aku. Di teras belakang kamar Kakek Beno, duduk di kursi panjang menghadap kolam ikan koi yang sangat memanjakan mata. Hanya berdua saja dengan beliau. 

"Jadi, apa yang ingin kamu ketahui, Zahra?" tanya Kakek Beno mengalihkan perhatian mataku dari ikan berukuran jumbo dan berjumlah tak sedikit itu. Aku menoleh menatap Kakek Beno yang pandangan mata beliau lurus ke depan sana.

"Apa Kakek mengetahui sesuatu tentang Zahra?" tanyaku sesopan mungkin.

"Tentu! Tapi, Kakek tak tahu harus mulai darimana." jawabnya seraya menoleh ke arahku. 

"Kalau begitu mulai dari ini, Kek!" jawabku seraya mengambil kertas yang tadi pagi aku temukan dari dalam tas selempangku. Kakek Beno menerimanya lantas kemudian membacanya sekilas.

Beliau menghela nafas kemudian pandangan matanya kembali lurus ke depan. Mungkin sejenak mengingat kejadian puluhan tahun yang lalu itu.

"Arum, nenekmu adalah sepupu dari Warni, istri saya. Waktu itu, Arum datang dari Bandengan ke Kauman tempat tinggal kami di Pekalongan. Arum, membawa kabar kurang baik dari anak semata wayangnya, yaitu Ibu kamu.

Waktu itu, Arum meminta kami untuk mencarikan rumah yang jauh dari kampung. Akhirnya, ada kerabat saya yang kebetulan ingin menjual rumahnya di daerah Krapyak. Jauh, sangat jauh dari Bandengan kecamatan asal nenekmu. Awalnya kami tidak tahu persis kenapa Nenekmu buru-buru ingin pindah dari Bandengan. Setelah setuju dengan transaksi jual belinya, selang dua hari, Arum membawa Ibumu pindah ke sana. 

Suatu hari, kami kebetulan ada lewat di daerah sana memutuskan untuk mampir ke rumah Arum. Betapa terkejutnya kami ketika rupanya Ibumu tengah hamil besar dalam keadaan yang memprihatinkan. Rupanya, kabar kurang baik yang disampaikan Arum waktu meminta mencarikan rumah kala itu berimbas demikian pada Neni.

Neni depresi berat, nyaris kehilangan akalnya. Namun, Arum tetap mengusahakan yang terbaik untuknya. Waktu kami masih di rumahnya, tiba-tiba Neni pendarahan dan lahirlah kamu. Tak sempat ke bidan apalagi ke dokter, Neni melahirkanmu hanya dengan bantuan paraji/dukun beranak saja.

Selang beberapa bulan, kembali Arum mengirim surat pada kami untuk meminta tolong lagi mencarikan rumah di kota besar. Alasannya, tak ingin menambah beban pikiran Neni dari gunjingan orang lain yang akan memperburuk kondisi kejiwaannya. 

Cukup lama mencari, akhirnya salah satu pekerja Warni menawarkan rumah saudaranya di kota X dengan harga yang sangat terjangkau meski kondisinya masih kurang layak. Arum setuju dan segera berangkat ke kota B, 1 hari setelahnya dengan membawa kamu dan meninggalkan Neni bersama Warni di rumah kami. Arum pergi bersamaku ke kota B.

Melewati segala proses yang ada, akhirnya Arum deal dengan rumah itu dan terjadilah perjanjian ini." jelasnya dengan mengangkat kertas yang ku berikan tadi.

"Setelah di renovasi dan layak untuk di tempati, Arum kembali membawa Neni tinggal di sana. Dengan sisa uang yang dia punya, dia membangun toko kelontong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di kota berikut untuk biaya berobat Neni.

Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Lambat laun, Neni bisa kembali normal. Namun, satu yang dia tak bisa terima yaitu kehadiran kamu sebagai anaknya. Arum tak menyerah begitu saja, segala cara ia lakukan untuk mendekatkan kamu padanya, tapi hasilnya nihil. Dia tetap tak mau." lanjut Kakek Beno dengan jelas. Bibir ini rasanya sudah tak sabar ingin melontarkan banyak pertanyaan tetapi Kakek seolah tahu hingga ia mengangkat tangannya isyarat agar aku diam lebih dulu. 

"Karena kasihan padanya yang tak lagi memiliki sanak saudara, akhirnya Warni meminta supaya kami turut pindah ke sana menemani Arum yang notabene masih kerabat Warni. Meninggalkan usaha kami di Kauman dan memboyong anak-anak kami ke kota B dan kebetulan menemukan rumah yang tak jauh dari rumah Arum, rumah yang kamu tinggali sedari masih bayi hingga sekarang." Kakek Beno tersenyum ke arahku.

"Ada yang ingin kamu tanyakan dari cerita Kakek barusan?" tanyanya dengan senyum tulus. Aku mengangguk cepat.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Ibu, sampai Nenek harus pindah rumah?" pertanyaan pertama yang berhasil aku lontarkan.

"Kamu mau tahu? Yakin?" tanya Kakek menyakinkan. Aku mengangguk lagi, meski debaran dada tak dapat di kendalikan lagi tapi aku harus tahu semuanya.

"Ibumu, diperkosa malam sebelum hari pernikahannya."

Degh,

Aku gemetaran dan merinding mendengar jawaban pelan dari Kakek Beno. Seberat itu derita Ibu? Wanita mana yang tak hancur mendapat perlakuan seperti itu tepat sebelum hari bahagianya. Ya Allah!

Tapi, tunggu!

Diperkosa?

Itu artinya?

Mataku melebar sempurna menyadari satu hal, itu artinya aku ini anak-

"Jadi, Zahra-" mataku memanas, suaraku tercekat hingga tak mampu melanjutkan pertanyaanku pada Kakek. 

Kakek mengangguk pelan membenarkan apa yang ingin aku tanyakan. 

Duar!

Tak ada angin tak ada hujan tapi petir menyambar hati dan jiwaku. Aku terkejut bukan kepalang mendengar kenyataan pahit ini. Tanpa terasa bulir bening menerobos keluar dari sarangnya.

Sesak, sakit, sepahit inikah jalan hidupku? Meski aku telah menyiapkan hati dan jiwaku menerima kenyataan ini, tapi tetap saja sakit luar biasa aku rasakan. Hatiku berdenyut nyeri, sakit sekali. Kini aku tahu alasan kenapa Ibu tak menerima dan tak menganggapku ada. 

Kakek Beno meraih satu tanganku dan beliau genggam erat. Seolah menyalurkan kekuatan padaku yang tengah hancur.

"Ceritanya belum selesai, Zahra." ucapnya pelan, aku menatap beliau dengan perasaan campur aduk tak karuan.  

"Mau lanjut atau tidak?" 

Sesaat aku bergeming, tapi kembali aku bulatkan keyakinan yang sempat goyah untuk mendengar semua kenyataannya. Aku mengangguk tak mampu bersuara.

"Ibumu depresi berat setelah kejadian itu. Pernikahan impiannya gagal, digunjing masyarakat, dikucilkan karena dianggap membawa sial untuk kampung dan parahnya, Ibumu di cap sebagai pelac*r. Padahal, Ibumu adalah korban. Masa depannya hancur begitu saja." 

Ya, miris memang masyarakat kita. Empati dan simpati mereka seolah telah lenyap. Tak jarang mereka mendiskriminasikan korban perkosaan dan parahnya akan menjadi bahan gunjingan dan bullyan, padahal korban dan siapapun tak ingin ada di posisi itu. Maka, wajar jika korban perkosaan akan mengalami luka pada mental dan jiwanya.  

Ya Allah, ternyata memang berat masa lalu Ibu.

"Itulah sebabnya, Nenekmu membawa Ibumu pindah dari kampung asalnya."

"Lalu, apa Kakek tahu siapa yang perkosa Ibu? Yang itu artinya, ayah kandung Zahra?" lagi pertanyaan itu muncul dan berhasil aku lontarkan pada Kakek. Kakek mengangguk, ada rasa lega sekaligus sakit di hati ini.

"Siapa, Kek?" lirihku.

"Setelah pindah dari kampung, Nenek dan Ibumu hidup tenang. Perlahan, Ibumu sudah bisa menerima takdirnya. Tapi, begitu dia tahu kalau dia hamil, ia kembali depresi. Berkali-kali ia mencoba mengakhiri hidupnya dan mencoba melenyapkan janin dalam rahimnya. Tapi, usahanya gagal dan selalu gagal. 

Menurut Arum, beberapa hari sebelum kamu di lahirkan, ada seorang pemuda yang datang padanya. Mengakui segala perbuatannya terhadap Ibu kamu. Alasan dia melakukan itu adalah karena ia tak rela Neni menikah dan meninggalkan dirinya. Dia begitu mencintai Neni, namun caranya salah. Justru ia menghancurkan hidup Neni. 

Pemuda itu bernama, Herman. Ya, ayah kandung kamu bernama Herman. Itu sekilas yang saya tahu. Herman berniat bertanggung jawab terhadap Neni dan bayinya. Tapi, keadaan ekonomilah yang menghalangi niat baiknya itu. 

Saat Neni tahu Hermanlah pelakunya, dia menjadi sangat membencimu. Entah bagaimana masa lalu mereka hingga kebencian Neni menjadi dendam yang terus mengakar di hatinya. 

Setelah kelahiran kamu, Herman kerap datang sekedar untuk memberi sekotak susu dan membantu Nenekmu merawat kamu waktu bayi. Neni semakin murka dan turut membenci Arum, makanya jangan heran jika perlakuan Neni terhadap Arum pun demikian. Ia mengira bahwa Arum bersekongkol dengan Herman untuk melakukan itu padanya. Padahal, Arum sendiripun hancur hati dan hidupnya. Tapi apalah dayanya, tak ada pilihan yang bisa ia pilih.

Hari demi hari, Neni memperlakukan Ibumu dengan sangat tidak manusiawi. Akhirnya, Herman memutuskan pergi dan menjauh. Terakhir dia datang ketika kamu berusia sekitar 3 tahun atau kurang malah." jelas Kakek. Aku jadi teringat akan foto yang aku bawa. Segera aku ambil dari dalam tas dan menunjukkannya pada kakek.

"Ini kah ayah Zahra, Kek?" tanyaku sembari menyodorkan foto itu. Kakek mengangguk membenarkan setelah melihat foto itu.

"Ya benar, dia Herman, ayah kamu." jawabnya yakin.

Ada rasa lega, bahagia, sakit dan entah apa lagi rasa yang tetiba merangsek dalam relung hatiku. 

Sekarang aku tahu kenapa Ibu membenciku, karena memang aku tidak pernah beliau harapkan. Aku tahu Ibu korban, masa lalu yang beliau lewati begitu berat dan menyakitkan. Tapi, kenapa harus membenciku? Aku bahkan tak pernah bisa memilih darimana aku akan dilahirkan dan bagaimana aku bisa ada di rahim Ibuku? Tapi, kenapa aku yang harus menanggung beban seberat ini? Ya Allah! Salahkah aku membenci Ibuku? Atau Ayahku? 

Tuhan, aku harus apa dan bagaimana?

"Kamu sudah dewasa, Zahra. Kamu bisa berpikir secara logis apa yang sudah Kakek ceritakan padamu. Mungkin tidak semua yang Kakek ceritakan benar adanya, karena Kakek pun tak mengalaminya sendiri. Kakek hanya mendengar itu semua dari Arum dan Kakek ceritakan kembali padamu tanpa ada yang ditambahi dan dikurangi.

Jangan buru-buru memgambil keputusan untuk membenci Ibu atau Ayahmu. Karena cerita Kakek tadi baru dari sudut pandang orang ketiga yaitu Nenekmu. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan Ayah dan Ibumu di masa lalu. Saran Kakek, lebih baik kamu cari tahu dulu. Dan dengar ceritanya dari kedua belah pihak kenapa sampai peristiwa itu bisa terjadi." 

Ya, kakek benar. Aku harus cari tahu lebih dulu tentang masa lalu ayah dan Ibu. Tapi, mulai darimana? Bahkan sekarang aku tak tahu dimana ayahku berada.

"Apa Kakek tahu dimana ayah Zahra?"

"Maaf Zahra, kalau itu Kakek tidak tahu.  Menurut Arum, sejak kedatangannya yang terakhir dulu, tak sekalipun Herman datang lagi. Hanya memberi kabar melalui telepon, itupun setelah kamu SD kalau tidak salah dan hanya beberapa kali saja. Mengingat masa itu, komunikasi tidak semudah sekarang ini. Hanya, Arum pernah bilang jika Herman meminta Arum membuka rekening bank, dan Herman akan mengirim uang untuk kamu melalui rekening itu. Dan itu terjadi sudah lama sekali, kalau tidak salah tahun 2008 atau 2009 gitu."

Aku lantas mengeluarkan buku tabungan berwarna kuning bertuliskan bank BRI berikut kartu ATMnya. Dan satu lagi dari bank BNI atas nama yang sama dan tahun yang berselang hanya 1 tahun saja.

"Ini, Kek?" ujarku memperlihatkan dua buku tabungan itu berikut selembar kertas tulisan tangan Nenek. 

"Iya benar, jadi kamu menyimpannya?" 

"Zahra menemukan ini tadi pagi, Kek. Tapi, Zahra rasa buku tabungan dan kartu itu sudah expired mengingat itu kartu dari 15 tahun lalu."

"Kartunya boleh expired tetapi data dan isinya tentu tidak, Zahra. Kamu tinggal datang ke bank, bilang mau membaharuinya saja, siapa tahu kamu menemukan petunjuk dari sini tentang keberadaan ayahmu!" 

Astaga! Kenapa aku tak berpikir ke sana? Benar kata kakek, jika data perbankan itu abadi. Aku bisa mengetahuinya dari buku itu. Jika memang ayah masih mengirimkan uang maka nomor rekening tabungan itu masih aktif. Ya, aku harus coba ke bank.

"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan, Zahra?"

"Ada, Kek. Mengenai rumah yang sekarang kami tempati. Itu atas nama siapa? Sebab, sebelum nenek meninggal 2 bulan lalu, Nenek bilang jika rumah itu milik Zahra."

"Itu yang Kakek tunggu dari tadi!" ucapnya dengan senyum mengembang membuatku kian penasaran akan jawabannya.

"Rumah itu atas nama. . ."

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status