Share

Tabungan

"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku.

"Lalu dimana suratnya, Kek?" 

"Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau.

"Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?"  

"Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di rumah itu, sampai apa yang aku rencanakan berjalan sebagaimana mestinya.

"Kamu yakin?" 

"Yakin, Kek!" 

"Yasudah. .jika kamu membutuhkannya kapanpun bisa kamu ambil kemari."

Tetesan air mata yang tadi membasahi kedua pipiku berganti dengan senyum kelegaan di bibirku. Aku merasa beruntung ada banyak orang baik yang mendukungku meski aku diasingkan oleh keluargaku sendiri.

Kami berbincang banyak hal tentang masa laluku yang diketahui Kakek. Menceritakan tentang asal muasal Nenek dan keluarga besarku. Cukup lama hingga akhirnya Bang Aksa mengajakku pulang karena beliau ada acara sore nanti.

Perjalanan pulang dari rumah Kakek Beno terasa begitu cepatnya, tanpa terasa kami sudah sampai di depan kafe tempatku bekerja. Ya, aku sengaja minta Bang Aksa untuk langsung mengantarkanku ke tempat kerja. Aku tak mau ambil resiko terlambat lagi jika harus pulang lebih dulu. 

Kenyataan hidupku yang tadi aku ketahui dari Kakek Beno benar-benar membuatku lega. Meski ada rasa sakit tetapi itu tak sebanding dengan kelegaan dalam dadaku. Rasa bahagia di hatiku meningkatkan semangat kerjaku hari ini. 

"Tumben amat, Ra! Biasanya juga mepet datengnya?" cecar Hesti, rekan kerjaku saat melihatku masuk ke ruang ganti.

"Iya, lagi semangat, nih!" jawabku asal sembari tersenyum ke arahnya.

Ini untuk pertama kalinya aku datang 15 menit lebih awal dari jam kerja. Karena biasanya lebih sering terlambat.

"Widih. . .tumben nih!" seru Aldi saat melihatku sudah berganti seragam.

"Ini juga berkat kamu, Di!" jawabku ambigu. Dia mengerutkan keningnya menatapku.

"Gegara video kemarin, hari ini aku bebas tugas." bisikku dekat telinganya. Aldi menatapku heran, namun tak lama setelahnya ia tertawa terbahak-bahak membuat Hesti menatap kami bingung.

Tak lama Rika datang dan seketika terheran melihatku dan juga Aldi yang tengah tertawa. Rika menunjuk Aldi dengan dagunya sembari menatapku penuh tanya, aku hanya mengendikkan kedua bahuku.

"Zahra, Zahra! Kamu polosnya kebangetan!" ucap Aldi setelah tawanya usai.

"Maksud kamu?"

"Itu video ternyata udah lama! Aku punya yang terbaru, mau gak?" ucap Aldi tanpa melihat situasi.

"Video apaan?" sela Rika dan didukung anggukan kepala oleh Hesti.

"Video yang kemaren!" jawab Aldi. Rika menatapku dan aku hanya bisa menganggukan kepala.

"Edan!" umpat Rika.

"Apaan sih? Video mantap-mantap, ya? Mau dong!" sela Hesti dengan senyum tersirat. Rika menoyor bahu Hesti hingga limbung ke samping membuat Hesti mencebik.

"Beneran, Al?" tanyaku meyakinkan, Aldi tak menjawab justru ia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkannya padaku.

"Ini, doi semalem!" jelasnya sembari memutarkan video dalam galery ponselnya. Rika dan Hesti berebut ingin ikut melihatnya.

"Kamu tahu gak, doi sama siapa?" tanyanya membuatku menggeleng. Namun, mataku masih awas melihat layar ponsel.

"Suami tanteku!" tegas Aldi membuat aku, Rika dan Hesti serempak mendongak menatap lelaki bertubuh gempal itu.

"Seriusan?" kejutku.

"Serius! Itu video aku sendiri yang rekam, Tanteku, bininya tu laki yang suruh." terang Aldi sungguh-sungguh.

Gila! Ini gila! Apa yang sebenarnya dicari oleh adikku yang manja itu? Uang? Bukankah ia tak perlu memusingkan hal itu karena apapun yang dia minta akan selalu dituruti oleh Ibu maupun Raka. 

"Kirim ke aku, Al! Apapun yang kamu ketahui soal dia, tolong kasih tahu aku!" pintaku sembari mengulurkan kembali ponselnya.

"Gak gratis, Say!" candanya sembari jemarinya mengutak-atik ponselnya.

"Tenang aja, libur nanti kita happy-happy! Aku yang traktir, gimana?" ucapku bersemangat.

 " Yakin?" tanya Aldi ragu.

"Iyalah! Aku habis dapat lotre!" kelakarku membuat Rika mencebik.

"Tumben amat, Ra! Emak kamu udah insyaf emang?" cetus Rika.

"Doain segera insyaf!" balasku merangkul bahunya.

"Ini kalian ngebahas apa, sih?" tanya Hesti cengo.

Alamak, rupanya dari tadi dia masih gak paham. Yaudahlah, gak usah dijelasin kalau gitu.

"Udah waktunya kerja, ntar Lady Gaga ngamuk!" tukasku cepat supaya Hesti tak makin penasaran. Mau tak mau kami segera keluar dari ruang ganti dan menuju pantry belakang untuk briefing  bersama Lady Gaga (julukan untuk Mbak Nurma) sebelum mulai bekerja. 

Di sana, kami akan bertemu dengan rekan kami yang lain dari shift pagi tadi yang tugasnya akan kami gantikan. Tak jarang kami juga akan dibriefing bersama staf bagian kitchen, ada head chef, dan beberapa orang lagi yang masing-masing shif berbeda orang.

3 tahun bekerja di kafe ini belum sekalipun aku bertemu dengan pemiliknya, yang katanya masih lajang dan sangat tampan. Biasanya setiap awal bulan yang datang untuk meninjau perkembangan kafe ini hanyalah Bang Haikal, yang tadinya aku pikir adalah pemiliknya. Namun ternyata, Bang Haikal hanyalah asisten dari pemilik kafe bernama Hanan.

Hari ini kafe lumayan ramai pengunjung meski bukan weekend, kami sampai keteteran dalam melayani pengunjung. Meski melelahkan tetapi aku sangat bersemangat hari ini, teman-temanku sampai heran melihatku se-ceria dan se-semangat ini. Bahkan, Mbak Nurma pun sampai terheran-heran melihatku.

"Zahra! Kalau setiap hari saya lihat kamu seperti ini, darah tinggi saya bisa turun drastis loh!" kelakarnya disela-sela tugasku mengantar pesanan.

"Mbak Nurma bisa aja!" balasku sembari mencuci tangan pada wastafel.

"Kamu tumben amat bahagia banget, auranya bersinar gitu, loh!" lanjutnya lagi membuatku hanya mampu membalas dengan senyum.

"Abis menang lotre katanya, Mbak!" sambar Aldi sembari membawa nampan berisi peralatan makan yang kotor.

"Seriusan?"

"Gaklah, Mbak! Dia ngaco kalau laper!" jawabku asal, lantas berlalu ke belakang untuk membantu Dara dan Sela mencuci peralatan makan. Sedangkan Rika masih sibuk di meja kasir dan Hesti sibuk melayani pelanggan yang baru datang.

Kerja tim kami ada 7 orang. Rika, di bagian Kasir. Aku, Aldi, Bima dan Hesti di bagian pelayanan sedangkan Dara dan Sela di bagian belakang. Tapi, kami saling bahu-membahu mengerjakan semuanya. Terkecuali, Rika. Yang memang tak boleh sembarang orang untuk masuk ke areanya selain Mbak Nurma.

🌺🌺🌺

Malam ini aku memutuskan untuk menginap di kosan Rika yang lebih dekat dengan kafe. Bisa ditempuh hanya 5 menit saja dengan berjalan kaki.

Dari semua teman kerjaku, hanya Rika dan Aldi yang cukup tahu dengan kondisi keluargaku dan bagaimana perlakuan keluargaku terhadapku.

"Kamu yakin, Ra. Ntar Ibu kamu gak marah?" tanya Rika saat kami sudah sampai di kamar kosnya.

"Iya, yakin. Kamu tahu sendiri kan, kalau Ibu bahkan gak pernah menganggapku ada." jawabku sambil merebahkan diri di karpet bulu yang terbentang di samping kasur.

"Terus motor kamu dimana?"

"Ada di rumah Bang Aksa." jawabku lantas aku menceritakan semua pada Rika. Mulai dari penemuan petunjuk tadi pagi hingga kepergianku ke rumah kakek Beno bersama Bang Aksa dan Mbak Ika. Dia menyimak dan sesekali mangut-mangut.

"Nah, besok kamu temenin aku ke Bank, ya!" pintaku.

"Oke deh! Yaudah, sekarang tidur yuk! Capek!" jawabnya seraya merebahkan tubuhnya di kasur.

Setelah membersihkan diri sekedarnya, aku turut merebahkan diri di samping Rika yang sudah terlelap lebih dulu ke alam mimpi.

Keesokan paginya, kami bergegas menuju Bank BNI lebih dulu yang lokasinya lebih dekat dan hanya satu kali naik angkutan umum.

Karena masih pagi, kami tak terlalu lama mengantri. Setelah 10 menit mengantri, kini giliran nomorku yang dipanggil.

"Ada yang bisa kami bantu, Mbak?" tanya Mbak teller dengan ramah.

"Saya mau nanya, apakah nomor rekening ini masih aktif atau tidak? Dan bisa tidak memperbaharui kartu ATMnya?" ujarku seraya menyodorkan buku tabungan dan kartu ATM kepadanya. 

"Baik, sebentar kami periksa dulu ya, Mbak!" jawabnya ramah sembari menerima buku itu.

Si Mbak teller segera kembali ke tempat duduknya dan memeriksa nomor rekening melalui komputer di hadapannya. Rekening yang menurut nenek adalah tabungan dari hasil jualan nenek selama ini. Tak lama kemudian si Mbak teller berdiri kembali di hadapanku.

"Ini nomor rekeningnya masih aktif, Mbak. Tapi, buku dan Kartunya harus diperbaharui." ucapnya ramah.

"Bisa tidak kalau diperbaharui di sini?"

"Maaf, Mbak. Jika memperbaharui harus di cabang semula."

"Tapi, pemiliknya udah meninggal, Mbak. Gimana dong?"

"Begini saja, Mbak. Mbak cairkan saja dulu semua tabungan dan depositonya jika Mbak adalah ahli waris dari pemilik rekening ini. Dengan persyaratan, KTP asli, KK asli, surat kematian dan surat kuasa atau surat keterangan." ucapnya ramah. Duh, ribet juga, pikirku.

Setelah dari Bank BNI, aku mengajak Rika untuk segera menuju Bank BRI yang terletak agak jauh. Aku memutuskan memesan grab untuk ke sana.

"Ada isinya, Ra?" tanya Rika setelah mobil pesananku membaur membelah jalanan.

"Ada, cuma katanya harus dicairkan dulu karena pemiliknya sudah meninggal." jawabku asal. 

"Biarlah nanti minta tolong Bang Aksa lagi." lanjutku.

Tak lama kami sudah sampai di Bank yang aku tuju. Usai membayar tagihan kami segera masuk ke dalam. Setelah mengambil antrian, kami mencari tempat duduk yang kosong.

Hingga tiba giliran nomorku dipanggil, aku melangkah menuju meja teller.

"Selamat siang, Mbak! Ada yang bisa kami bantu?" ucapnya ramah.

"Saya mau tanya apakah rekening ini masih aktif atau tidak? Juga ATM ini." ucapku seraya menyodorkan buku tabungan berikut ATMnya.

Sama seperti si Bank sebelumnya, si Mbak teller segera menerima bukunya dan memeriksa melalui komputer di hadapannya. Tak lama ia bangkit berdiri, kembali menghadapku.

"Rekeningnya masih aktif, Mbak. Bahkan baru dua hari yang lalu terjadi transaksi. Kalau kartunya harus di perbaharui lebih dulu." ucapnya dengan seulas senyum.

"Dua hari lalu?" gumamku dan beliau mengangguk.

"Kalau begitu saya minta print rekening korannya. Bisa, Mbak?"

"Bisa, Mbak. Mohon tunggu sebentar. Sekalian kami perbaharui kartunya, ya?" ucapnya dan aku mengangguk.

Gelisah dudukku antara senang dan penasaran. Cukup lama hingga nama nenek dipanggil kembali. Aku segera mendekat, berdiri di hadapan Mbak teller.

"Ini sudah kami perbaharui ya, Mbak. Nanti bisa langsung cek di mesin ATM. Ini kartunya dan ini Buku tabungannya yang baru." ucapnya sembari menyerahkan buku tabungan dan kartu ATM yang baru.

Aku membuka lembar demi lembar dan meneliti setiap transaksi yang tertulis di buku itu. Mataku seketika membola seakan hampir lepas dari kelopaknya melihat nominal terakhir yang tertera di buku yang aku pegang ini. 

Seketika nafasku tercekat di tenggorokan, seumur hidup belum pernah aku melihat uang sebanyak itu. Tanganku gemetar memegangi buku berikut kartu itu. Benarkah semua ini milikku? Apakah ini nyata? Atau hanya mimpi? Rasanya, kaki ini seakan tak memijak lantai dengan benar.

"Siapa sebenarnya Ayahku?" 

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status