Share

Kakek Beno

Tok tok tok!

"Assalamualaikum!" 

Tak lama terdengar putaran anak kunci dibarengi jawaban salamku tadi.

"Walaikumsalam. .eh, Zahra!" 

Seorang wanita cantik menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, namanya Mbak Ika. 

"Iya, Mbak." ucapku membalas senyumnya.

"Masuk, yuk!" ajaknya.

Aku mengekor sang empunya rumah masuk ke dalam. Mbak Ika mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamu, sedangkan beliau berlalu ke dalam untuk membuatkan minum.

Tak lama beliau kembali dengan 2 gelas berisi minuman berwarna hijau.

"Diminum, Ra! Udah lama loh kamu gak main ke sini. Sibuk ya?" ucapnya sembari menjatuhkan bobot di sebelahku.

"Masuk sore, Mbak! Kalau pagi, biasalah. .banyak tugas negara!" jawabku membuat pemilik lesung di kedua pipinya itu tertawa. Entah apa yang beliau tertawakan, nasibkukah? 

"Kamu ini! Dahlah, kalau gak sanggup tinggalin aja ke sini!" ucapnya di akhir tawa.

Ya, beliau adalah salah satu orang yang paling tahu kehidupanku setelah nenek tiada. Mbak Ika adalah menantu Pak Bandi, rumahnya satu kompleks denganku tapi beda gang. 

"Enggak, Mbak! Menurut Nenek, rumah itu adalah milikku. Jadi, apapun alasannya aku harus bertahan." jawabku.

Mbak Ika menatapku dengan pandangan iba. 

"Tapi, tidak dengan mengorbankan dirimu begini, Ra! Kamu berhak meraih kebahagiaanmu sendiri." ucapnya pelan sembari mengusap bahuku.

Aku tersenyum, meyakinkan bahwa aku masih baik-baik saja.

"Tenang, Mbak! Kalau udah gak kuat aku bakal lari ke sini!" jawabku meyakinkan.

"Yaudah, pokoknya kalau butuh bantuan jangan sungkan datang padaku!" 

"Iya! Buktinya sekarang aku datang, emang lagi butuh bantuan, hehe!" jawabku dengan tawa tanpa dosa.

"Ada apa? Kamu butuh bantuan apa?" tanyanya antusias.

"Aku kepengen ketemu sama Kakek Beno, Mbak!" jawabku mulai serius, Mbak Ika mengernyitkan keningnya menatapku heran.

"Kakek?" tanyanya meyakinkan. Aku balas dengan anggukan kepala tegas.

"Ada apa?" tanyanya lagi.

"Penting, Mbak! Kali aja, Kakek tahu sesuatu tentang diriku." 

"Maksudnya?" 

Akhirnya aku ceritakan soal penemuanku tadi pagi, Mbak Ika manggut-manggut menyimak tanpa menyela.

"Gitu ya? Yaudah, mau hari ini juga kita temui Kakek?" Aku mengangguk yakin.

"Oke, kebetulan Bang Aksa libur hari ini, jadi kita bisa pergi sama-sama. Tunggu bentar ya!" ucapnya lantas bangkit berdiri dan masuk ke dalam. 

Kakek Beno sejak 1 tahun yang lalu tinggal bersama anak ketiganya, adik bungsu dari Pak Bandi, mereka tinggal di kota lain namun masih bisa di tempuh dengan transportasi darat. Hanya butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan menuju tempat tinggal Kakek Beno sekarang.

Tak lama Mbak Ika keluar dengan sudah berganti baju dan menenteng tas selempang miliknya, di belakangnya Bang Aksa, suaminya mengekor dan juga sudah rapi.

"Maafin ya, Mbak, Bang! Zahra jadi ngerepotin!" ungkapku sungkan pada pasutri yang sangat baik hati ini.

"Belum pergi, Ra! Udah gak enakan aja kamu!" jawab Bang Aksa diiringi tawa kecil.

"Kalau gak enak kasih garem sama micin, biar sedap!" lanjut Mbak Ika lalu tertawa.

Aku hanya bisa ikut tertawa, karena memang aku tak bisa bergerak sendiri ke sana. Di samping jauh, aku juga belum tahu rumahnya.

"Abang keluarin mobil dulu, lepas itu masukin motor kamu ke garasi, ya! Soalnya lagi gak ada orang di rumah!" ucap Bang Aksa sembari berjalan keluar menuju garasi samping kiri rumah ini. 

Setelah Bang Aksa mengeluarkan mobilnya, segera aku dorong motor kesayanganku masuk ke dalam garasi, tak lupa aku tutup pintunya sesuai perintah Bang Aksa tadi. Setelahnya, aku segera bergabung naik ke dalam mobil Avanza silver di kursi belakang.

Hari belum terlalu panas saat mobil Bang Aksa mulai membaur dengan pengendara lainnya. Kami berangkat tepat pukul sepuluh pagi menjelang siang.

"Kamu udah sarapan belum, Ra?" tanya Mbak Ika memecah keheningan.

"Udah, Mbak!" jawabku.

"Yakin?" Mbak Ika menoleh ke belakang dengan memicingkan mata.

"Iya! Mulai hari ini, gak ada yang bisa melarang Zahra melakukan apapun di rumah. Termasuk makan apapun yang Zahra masak!" jawabku sungguh-sungguh membuat Mbak Ika tersenyum lebar.

Meski tadi pagi harus terjadi drama lebih dulu karena aku makan lauk dan sayur yang aku masak, yang biasanya aku hanya akan kebagian sisanya saja. Tapi tidak mulai hari ini. Setelah selesai masak, aku segera makan lebih dulu.

"Nah, gitu dong! Jangan lemah, Ra! Kamu itu anak tertua, jangan mau di tindas sama adik-adik kamu yang gak ada ahlak itu!" semangatnya. Namun, tetiba beliau terdiam saat pahanya di pukul halus oleh Bang Aksa.

"Dek, jangan jadi kompor dong!" tegur Bang Aksa. Membuat Mbak Ika salah tingkah.

"Mbak Ika benar kok, Bang! Zahra aja yang selama ini terlalu bodoh dan lemah." sergahku cepat.

"Nah, kalau kamu sudah mulai menyadari itu. Bangkit, tapi ingat jangan membalas perlakuan mereka dengan perlakuan yang sama buruknya. Kalau kamu balas mereka sama buruknya, apa bedanya kamu sama mereka? Terus doakan mereka supaya mendapat hidayah dan segera tobat. Kamu harus tegas demi menyelamatkan harga dirimu. Membalas tidak harus dengan cara yang sama, tetapi balas mereka dengan cara yang elegan!" wejangnya panjang lebar. Aku mengiyakannya, memang selama ini akulah yang bodoh dan mereka memanfaatkan kebodohanku untuk mereka bertindak semena-mena terhadapku. 

Sudah bukan rahasia lagi bagi seluruh penghuni kompleks, jika aku diperlakukan layaknya budak oleh keluargaku sendiri. Tapi, mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, jika mereka kasihan terhadapku justru itu akan lebih menyengsarakanku. Ibu tak segan memarahi dan memakiku di depan banyak orang dan berujung tak memberiku makan seharian penuh.

Kami lanjut berbincang banyak hal, termasuk membahas usiaku yang sudah matang dan siap menikah.

"Kamu gak mau nikah aja, Ra?" celetuk Mbak Ika tiba-tiba. Aku tak terkejut lagi, pasalnya hampir setiap orang yang berkesempatan ngobrol denganku, pertanyaan itu tak luput mereka utarakan.

"Bukan gak pengen, Mbak. Tapi, aku rasa belum saatnya." jawabku santai.

Ya, bukan tak ingin aku menikah dan membangun keluarga kecil. Tapi, aku tak ingin menambah aib untuk nama keluargaku yang sudah cukup memalukan. Pasalnya, nasabku ke Ibuku. Tak ada nama ayahku yang tersemat di belakang namaku. 

Aku hanya takut jika waktu ijab nanti semua orang akan membahas nama belakangku yang berbinti Ibuku. Dan lagi, apa ada orang yang akan menerimaku yang demikian? 

Ah, seketika ingatanku tertuju pada seorang lelaki yang beberapa bulan lalu menyatakan niatnya untuk menikahiku. Namanya, Hasan. Dia, salah satu pelanggan kafe tempatku bekerja. Bukan berasal dari keluarga konglomerat tetapi dia memiliki usaha sendiri. Memiliki toko furniture dan elektronik yang letaknya bersebrangan dengan kafe tempat kerjaku.

Kami kenal sudah lebih dari 2 tahun, dia merupakan teman SMA dan kembali bertemu saat dia pulang dari Singapura waktu itu. Dia bukan perjaka karena pernah menikah sebelumnya. Dia duda dengan satu orang anak perempuan yang masih berusia 3 tahun, istrinya meninggal saat melahirkan putrinya. Itu sekilas yang aku tahu.

"Zahra, maukah kamu menjadi Ibunya Sabila dan menjadi istriku?" ungkapnya di suatu sore beberapa bulan yang lalu.

"Maaf, San. Aku belum berpikir ke arah sana. Aku mau fokus dulu untuk kesembuhan Nenek." jawabku menolak lamarannya.

"Ra, aku benar mencintaimu. Aku akan menunggumu hingga kamu siap." yakinnya lagi.

"Jika kamu memang mencintaiku, tunggulah 1 tahun lagi."

"Pasti, aku pasti akan menunggumu. Tapi, jangan ada yang berubah dari pertemanan kita, tetaplah seperti hari-hari kemarin." pintanya lagi. Bahkan, dia juga mengutarakan niatnya itu pada nenek waktu itu dan jawaban nenek terserah padaku. 

Hingga hari ini, kami masih sering bertukar pesan, jika ada waktu dan kesempatan kami sering pergi bersama Sabila. Namun, setelah Nenek tiada. Kami jadi jarang bertemu dikarenakan kesibukanku akan pekerjaan yang tak ada habisnya di rumah. Membuatku tak seleluasa dulu untuk pergi keluar rumah.

Namun begitu, komunikasi masih lancar melalui pesan dan telepon, tak jarang dia menyempatkan video call tentu dengan alasan Sabila mencariku. Aku tersenyum sendiri mengingat lelaki berdarah Jawa-Sunda itu.

"Kenapa senyum-senyum, Ra? Kesambet?" ledek Mbak Ika.

Seketika wajahku memanas, rasa malu menyergap jiwaku. Mbak Ika menatapku heran dengan menyatukan kedua alisnya.

"Eh, enggak, Mbak!" jawabku kikuk.

"Atau, lagi kangen sama pacar?" godanya yang membuatku kian merasa malu.

"Enggak, Mbak! Aku gak punya pacar! Gimana mau pacaran, wong kerjaan aja sudah menyita seluruh perhatian kok. Yang ada pacarku kalah sama pekerjaan!" jawabku menetralkan detak jantung yang kian berpacu. Tapi, jawabanku benar adanya, aku gak sempat sekedar mikirin pacaran. Mbak Ika tertawa keras.

Ah, betapa aku telah menyia-nyiakan masa mudaku. Eh, bentar lagi udah kepala 3 aja! Sepanjang hidupku belum pernah yang namanya punya pacar ataupun pacaran, teman dekat ada dan ada beberapa juga yang menyatakan perasaannya padaku. Tapi, akunya yang gak sempat. Selepas sekolah, aku fokus dengan bekerja dan mengumpulkan uang untuk kehidupan sehari-hari yang di bebankan padaku. Istilah kasarnya, makan pun mereka bergantung padaku.

Meski pada akhirnya seluruh tabungan habis tak tersisa demi menutup kebutuhan dan biaya berobat nenek selama 1 tahun lamanya. 

Aku menghela nafas besar, kembali sesak mengingat masa laluku. Tanpa terasa, mobil Bang Aksa sudah berhenti di halaman sebuah rumah yang cukup besar dan mewah. Terlihat dari pilar yang berjajar gagah di teras rumah berlantai dua itu.

"Udah sampai!" ucap Bang Aksa.

Kami semua turun dari mobil dan segera melangkah ke teras rumah. Dua kali menekan bel, tak lama pintu utama di buka oleh wanita paruh baya yang terlihat sangat cantik dan modis.

"Eh, Aksa, Ika!" sambutnya ramah.

"Iya, Tan. Gimana kabarnya, Tan?" tanya Mbak Ika sembari bercipika-cipiki.

"Baik, gimana kalian? Datang kok ga kabarin dulu!" lanjutnya setelah melepas pelukan pada Bang Aksa.

"Mendadak, Tan. Mau anterin dia!" jawab Mbak Ika menunjukku yang berdiri di belakang mereka dengan dagu.

Wanita paruh baya itu lantas menatapku.

"Kenalin, Tan. Dia Zahra, tetangga rumah." jelas Mbak Ika, aku lantas mengulurkan tangan pada beliau dan di sambut balik.

"Ra, ini Tante Maya, istrinya Om Kusno." jelas Mbak Ika lagi.

"Zahra, Tante." ucapku memperkenalkan diri. Tante Maya pun menyebut namanya dengan ramah.

"Mau ketemu Kakek, Tan. Ada?" sahut Bang Aksa.

"Oh, ada! Yuk masuk, masuk!" ajak Tante Maya lantas kami mengekori beliau masuk ke dalam rumah mewahnya.

Kami dibimbing menuju ke arah belakang, melewati ruang tamu dan satu ruangan yang pintunya tertutup, yang aku tebak pastilah sebuah kamar. 

Tante Maya mempersilahkan kami duduk di ruang keluarga, sementara beliau berlalu ke belakang untuk memanggil Kakek.

Tak lama, lelaki sepuh yang aku cari itu datang. Berjalan pelan dengan bantuan tongkat di tangan kirinya. Bang Aksa dan Mbak Ika segera menyambut dan mncium tangannya takzim. Pun denganku setelah Mbak Ika dan Bang Aksa kembali duduk.

"Zahra! Kamu datang, Nak!" sambutnya dengan senyum mengembang begitu aku mendekat dan mencium punggung tangannya.

Ada yang janggal dari ucapan beliau, seolah beliau sudah menunggu saat ini. Apakah, beliau sudah tahu akan hari ini? Dan maksud akan kedatanganku kemari?

Aku mendongak, menatap mata tua dengan sorot tajam itu. Beliau tersenyum lebar dan satu tangannya mengusap punggungku.

"Duduklah! Kakek tahu maksud kedatanganmu!"

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status