Share

Tetangga Baru

“Imas, tolong simpan kado-kado ini di kamar Neneng, ya?” Sejenak aku tertegun mendengar perintah Wa Muniroh.

“Malah bengong! Ayo simpan ke sana, Imas!” 

“Tapi kenapa harus sama Imas, Wa? Kenapa nggak sama Uwa saja?” tanyaku langsung, merasa aneh saja dengan perintahnya.

“Ih, teu sopan kamu teh, Imas! Disuruh sama orang tua malah nyuruh balik!” ucapnya nyaring.

“Justru Imas merasa tidak sopan kalau masuk ke kamar pengantin, Wa.”

“Ya bilang permisi saja, atuh. Lagi pula ini masih sore, Neneng sama Azzam belum tidur, pintu kamarnya saja masih sedikit kebuka,” jawabnya membuatku menoleh pada daun pintu yang atasnya terdapat hiasan bunga khas kamar pengantin baru.

“Ayo, Imas! Uwa masih banyak tamu di depan, takut keburu pulang!” katanya membuatku memalingkan pandangan dari pintu kamar.

Belum sempat aku menjawab, Wa Muniroh menyodorkan beberapa bungkus kado padaku, refleks aku menengadahkan kedua tangan untuk menahan.

Wa Muniroh pun kembali pergi ke luar rumah, dari balik kaca jendela yang besar aku bisa melihat dia menyambut beberapa tamu. 

Acara pernikahan Teh Neneng memang diadakan sampai malam, makanya aku sendiri masih berada di sini karena banyak sekali pekerjaan yang harus kulakukan. 

Aku juga tak ingin meninggalkan Ibu sendirian, aku tak mau Ibu diperlakukan semena-mena dan dijadikan tukang cuci piring gratis oleh keluarganya sendiri. Bukan tak ikhlas membantu saudara, namun aku sudah muak dengan perlakuan Wa Muniroh bahkan Nenek. 

Setelah mengambil napas dalam-dalam, aku pun memutuskan untuk mendekat ke kamar sang pengantin. Sudah kusiapkan mental sekuat mungkin saat kaki ini sudah benar-benar berdiri di depan daun pintu.

“Assalamu’alaikum, Teh. Permisi, Imas mau simpan kado.” Setelah mengetuk pintu aku berujar, kulihat Teh Neneng yang tengah duduk di ranjang tepat di samping Kang Azzam langsung mendongak.

“Oh, masuk saja, Mas.” Dia menjawab dengan begitu ramah, berbeda dengan biasanya yang selalu menampakkan wajah masam padaku.

Tak banyak berkata, aku mengangguk dan berjalan ke dalam kamar miliknya yang sangat luas itu. Kakiku sedikit gemetar sebenarnya, bagaimana pun aku pernah menaruh harapan pada Kang Azzam, dan perasaan itu tak bisa lenyap dengan sekejap.

“Jangan ditaruh di sana, Mas! Sudah penuh soalnya. Di sini saja.” titah Teh Neneng membuatku menoleh, otomatis netraku juga menatap Kang Azzam. Dia tengah terduduk seraya mengangkat ponsel, sedang di bahunya, Teh Neneng terlihat rebah dengan begitu nyaman.

Mau tidak mau, aku pun urung menyimpan kado di samping lemari, dan memindahkannya ke dekat nakas yang berdiri tepat di samping ranjang pengantin.

Ritme jantungku semakin berpacu kencang kala diri ini membungkuk di dekat nakas, bahkan sekarang aku tengah bersampingan bersama Kang Azzam. Hatiku sedih bukan main, entah kenapa pikiranku jadi melayang ke mana-mana. 

“Huek!”

“Kang Azzam! Akang kenapa? Sakit lagi?” tanya Teh Neneng dengan cepat, aku sendiri ikut terkejut dan langsung berdiri tegap seraya menatap.

Namun Kang Azzam tak menjawab, tubuhnya terus membungkuk seolah ingin memuntahkan sesuatu.

“Imas! Ambilkan teh hangat, cepat!” perintah Teh Neneng dengan raut wajah khawatir.

“I-iya, Teh. Tunggu sebentar.”

“Jangan!” Tiba-tiba Kang Azzam bersuara, membuatku refleks menahan langkah dan menoleh padanya.

“Jangan masuk ke sini lagi, Imas. Lebih baik kamu obati dulu wajahmu, aku mual melihatnya.” Keningku langsung mengernyit dengan refleks saat mendengar perkataan Kang Azzam. Benar-benar membuatku tak mengerti.

“Imas! Kenapa malah berdiri di situ? Kamu tidak dengar kalau Kang Azzam jijik melihat wajahmu?” Teh Neneng menghardikku, sekuat tenaga aku menahan sesak. Tanpa bersuara, aku pun berbalik dan meninggalkan mereka.

Seraya tersenyum kecut dan mengusap air mata berkali-kali, sehina itu kah aku di hadapannya? Semudah itu kah manusia yang memiliki harta menghina manusia tak berpunya? 

Aku kira, Kang Azzam berbeda dengan orang-orang berada pada umumnya. Aku kira Kang Azzam tak sama dengan manusa yang selalu menghinaku dan keluarga. Ternyata aku salah besar! Sungguh, aku menyesal telah menjatuhkan hati padanya walau hanya sekejap.

*** 

“Cari siapa, Mas?” 

“Cari Ibu, Teh Sum. Ke mana, ya? Sudah pulang, kitu?” jawabku seraya terus mencari sosok Ibu di kerumunan Ibu-ibu yang tengah menonton wayang golek.

“Oh, Teh Euis. Sepertinya di dapur Mak Asih, Mas. Tadi mau makan dulu katanya,” jawab Teh Sumi. Aku pun langsung mengucapkan terima kasih dan berjalan kembali ke dalam rumah Nenek yang berdampingan dengan rumah Uwa.

Setelah berada di dapur, tak kulihat pula keberadaan Ibu dari banyaknya saudara yang tengah makan di ruangan penuh makanan ini. Ke mana sebenarnya Ibu? Tidak mungkin kalau beliau pulang, secara pertunjukkan wayang golek adalah hiburan favoritnya.

“Makanya jangan dulu makan atuh, Euis! Sudah tahu tamu masih banyak, piring pada habis!” Spontan aku menoleh ke arah pintu yang menghubungkan dapur pada tempat khusus mencuci piring.

Tanpa berpikir panjang aku langsung berjalan ke sana. Hatiku langsung meradang saat mendapati Ibu tengah terduduk di depan banyak piring kotor juga keran air yang menyala.

“Astafirullah, Ibu!” pekikku membuat Ibu dan Nenek menoleh bersamaan.

“Ibu kenapa di sini? Sudah malam, Bu! Ayo pulang!” ucapku sembari meraih tangan Ibu, hendak membawanya menjauh dari pekerjaan yang membuatku sangat muak.

“Imas! Kunaon ari maneh?” hardik Nenek seraya berkacak pinggang, matanya membulat. Dulu, aku selalu takut jika raut wajahnya berubah demikian, tapi sekarang aku sudah terbiasa.

“Nenek yang kunaon? Ini sudah malam, tapi malah suruh Ibu cuci piring! Ibu juga kenapa, nurut saja disuruh ini itu!” ucapku seraya menatap Ibu.

“Itu memang sudah pekerjaan Ibu kamu, Imas! Lebih baik kamu bantuin dari pada marah-marah nggak jelas seperti ini!” sahut Nenek dengan nada bicara yang masih tinggi.

“Jelas Imas marah, Nek! Sedari pagi buta sampai malam begini Ibu belum berhenti kerja! Berbeda sekali dengan anak dan menantu Nenek yang lain, mereka malah asyik-asyik bercengkerama sambil tertawa terbahak-bahak di depan sana!”

“Imas, keluarga kamu itu nggak ikut sumbangsih pada acara ini. Berbeda dengan anak dan menantuku yang lain. Makanya, kalau tidak tahu apa-apa, jangan ikut campur masalah orang tua!”

“Tidak ikut sumbangsih? Lalu, beberapa bahan bumbu dan makanan seperti kelapa tua juga sayuran itu tidak termasuk sumbangsih, Nek?” tanyaku lirih.

“Sumbangsih itu berupa uang, kalau bahan makanan, itu sudah kewajiban.” Nenek menjawab dengan begitu enteng sampai kepalaku refleks menggeleng.

“Ayo, Bu. Kita pulang!” ucapku sudah begitu muak.

“Imas, jangan begitu.” Ibu menjawab pelan. Namun aku tetap kukuh membawa Ibu pergi.

“Euis! Euis! Ini bagaimana cuciannya? Euis!” teriak Nenek meminta Ibuku kembali.

Biarkan saja, sekali-kali Nenek dan menantu kesayangannya harus merasakan bagaimana sulitnya hidup tanpa kami, manusia yang selalu mereka anggap seperti keset rumah.

*** 

“Bu, Ibu datang ke pernikahan sepupu Imas, tidak?” tanyaku pada Bu Yuni saat wanita itu tengah membantuku melaminating kartu keluarga milik pelanggan.

“Nggak, Imas. Ibu kemarin harus jemput kakak sama keponakan ke Terminal.”

“Oh … pantesan Imas nggak lihat.”

“Hehehe, maaf ya, Imas. Ibu nggak ngabarin juga sama kamu. Habis mendadak sekali.” 

“Iya, Ibu. Tidak apa-apa. Jadi, kakak Ibu sudah pindah ke sini, ya?”

“Betul, Mas. Tapi kemarin nggak langsung ke Sukagalih, tidur dulu di rumah Ibu. Soalnya rumahnya belum diberesin. Cuma tadi pagi Mbaknya Ibu sudah otw ke sana, tapi cucunya masih di sini.” Aku pun mengangguk-angguk sambil terus melanjutkan pekerjaan.

“Kasihan cucunya, Mas. Masih kecil tapi sudah jadi piatu,” kata Bu Yuni lagi.

“Ibunya sudah tidak ada, Bu?” tanyaku sambil menoleh.

“Iya, Mas. Ibunya meninggal setelah ngelahirin dia.”

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun,” ucapku merasa iba.

“Anaknya lucu loh, Mas. Baru empat tahun, tapi pinter sama bawel banget. Kalau lihat dia Ibu jadi pengen cepat punya cucu,” tandasnya lagi terdengar begitu antusias bercerita.

“Mamih ….” Suara kecil seseorang membuatku menoleh seperti Bu Yuni.

“Itu dia anaknya. Kok kamu ke sini, Nak? Bibi Ameena mana?” tanya Bu Yuni sembari berjalan mendekat pada gadis kecil yang matanya bulat itu. Menggemaskan.

“Bibinya bobo, Mamih.” Entah kenapa aku tidak bisa menahan senyum, suaranya terdengar begitu lucu.

“Oh, bobo. Ya sudah, Syifa main di sini, ya? Sama Kakak Imas.” Aku langsung kikuk saat Bu Yuni melirik diri ini, bahkan gadis kecil itu ikut menolehku.

“Sini dulu, Mas!” titah Bu Yuni, aku pun menghentikan pekerjaan, lalu ikut berjongkok di samping Bu Yuni.

“Nah, kenalin. Ini Kakak Imas.” Bu Yuni menarik tangan kami berdua, aku langsung tersenyum saat jemari mungilnya menyentuh telapak tangan ini.

“Cantik sekali kamu, Nak. Namanya siapa tadi?” tanyaku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan makhluk menggemaskan ini.

“Syifanazia El Lumi,” jawabnya, lucu sekali.

“Hahaha, maksudnya El Rumi, Mas.” Bu Yuni membenarkan, aku pun terkekeh.

“Nama yang cantik, secantik orangnya,” kataku seraya mengusap rambutnya. Hatiku merasa terenyuh, mengingat anak secantik dan segemas ini sudah tak memiliki seorang Ibu.

“Tolong temani Syifa bermain ya, Imas. Biar Tantan yang lanjutin pekerjaan tadi,” kata Bu Yuni lagi.

Aku pun hanya bisa pasrah, merasa tidak keberatan jika harus menemani makhluk lucu seperti Syifa ini.

Akhirnya Bu Yuni memanggil Tantan untuk melanjutkan pekerjaan. Satu tahun lalu, tempat fotokopi Bu Yuni memang bertambah luas, alhasil karyawannya pun bertambah pula.

“Ini, menggambar sama Kak Imas, ya.” Bu Yuni memberika buku gambar beserta krayon baru, Syifa nampak begitu semringah dan menerimanya dengan begitu cepat.

“Titip dulu ya, Imas. Ibu mau ambil makan sekalian ngecek Ameena di dalam. Sebentar lagi Papanya pulang, kok.” Aku hanya bisa mengiyakan, setelah mengulas senyum Bu Yuni pun pergi ke dalam rumah yang memang menyatu dengan tempat fotokopi ini.

Selama beberapa menit aku menemani Syifa menggambar. Tangan kecilnya begitu lihai memainkan krayon, aku sendiri dibuat terkagum-kagum karena kecerdasannya. Benar kata Bu Yuni, Syifa anak yang pintar dan aktif berbicara, buktinya selama menggambar, mulut kecilnya tak pernah berhenti mengeluarkan kalimat.

“Suara motor Papa!” ucapnya tiba-tiba sembari mendongak, matanya tak lagi menatap buku gambar.

Tak lama, deru motor mendekat bahkan kini seorang lelaki berseragam khas pengajar nampak menghentikan kendaraan roda dua itu di tempat parkir, tepat di hadapan etalase fotokopi.

“Papaaa!” panggilnya seraya berdiri ke atas meja, aku yang kaget refleks memegangi tubuh kecil Syifa.

Dari kejauhan aku bisa melihat lelaki itu tersenyum setelah melepas helmnya, lalu dengan cepat berjalan ke arah kami berada.

Tanpa berkata apa pun, lelaki berparas seperti orang timur tengah itu mengangkat tubuh Syifa dari peganganku, lantas mencium kedua pipinya dengan senyum yang tak pernah putus.

“Lagi ngapain di sini?” tanyanya sembari mencubit pucuk hidung Syifa.

“Lagi menggambar, Papa. Sama Kakak Imas!” ucapnya sambil menunjukku, aku yang sedikit kaget langsung mengangguk hormat. Lelaki itu membalas dengan senyuman tipis, entah kenapa aku malah takut dengan wajahnya yang terkesan dingin itu.

“Syifa sudah makan? Mamih mana?” tanyanya.

“Eh, Bi. Sudah pulang?” Bu Yuni datang di waktu yang tepat, akhirnya aku bisa mengakhiri perasaan tidak nyaman ini. Diam-diam aku pergi menjauh, lalu meminta Tantan untuk mengerjakan pekerjaan lain.

“Iya, Tante. Ini mau ajak pulang Syifa ke rumah. Mama sudah telepon soalnya.” Walau aku menjauh, tapi suara mereka tetap terdengar.

“Nggak makan dulu, Bi? Ini Tante sudah siapin makan buat Syifa.” 

“Maaf, Tante. Makan di rumah saja sepertinya, kasihan Mama sudah telepon terus. Tapi Tante temenin ke sana, ya? Abi belum tahu arah jalannya soalnya.”

“Duh, bagaimana, ya. Tante masih banyak pekerjaan ini, Bi. Nggak bisa share location aja Mbak Ayu?” 

“Kuota Mama habis, Tante. Tadi saja pakai telepon biasa. Abi sendiri nggak mampir ke konter dulu.”

“Eh … kalau begitu pulang sama Imas saja atuh, Bi. Imas juga orang Sukagalih. Iya ‘kan, Mas? Imas?” Mendengar Bu Yuni memanggil namaku, aku hanya bisa menggigit bibir, lalu terpaksa menoleh seraya mengangguk.

“Nah, tunggu apa lagi kalau begitu! Ayo, Imas. Antar Abidzar sama Syifa ke sana, ya. Sekalian pulang juga kamu.”

“Tapi ini belum selesai, Bu.” Sebenarnya aku mencoba menolak.

“Nggak apa-apa, sudah mau Asar ini. Ayo, Mas. Keburu gelap loh nanti, jalanan ke sana ‘kan pohonnya banyak.” 

Lagi-lagi aku hanya bisa menurut, dengan penuh rasa tak nyaman aku meninggalkan pekerjaan, dan kembali mendekat ke arah mereka.

“Maaf, Bu. Tapi Imas tidak tahu rumah si Bapaknya di mana,” ucapku.

“Kalau nggak salah, rumah yang ditempati Mbak Ayu itu bekas Pak … emm, Pak−“

“Pak Rozaq!” Lelaki yang masih memangku anaknya itu menyangkut.

“Nah, iya. Pak Rozaq! Hehe. Kamu tahu nggak, Mas?”

Pak Rozaq? Itu berarti rumahnya hanya terhalang tiga rumah saja dariku? Pantas saja beberapa hari ini bangunan mewah itu tak dipenuhi rumput liar lagi. Ternyata memang sudah ada pembelinya.

“Iya, Bu. Imas tahu, kebetulan rumahnya dekat dengan rumah Imas.”

“Alhamdulillah … kalau begitu, tunggu apa lagi? Hati-hati di jalan ya, Bi. Syifa duduknya di tengah saja, biar nggak masuk angin.” Bu Yuni berpesan, sedangkan aku semakin tak enak hati.

Namun mau bagaimana lagi, aku tak bisa menolak, aku tak ingin dicap sombong atau pun membangkang pada Bu Yuni yang selama ini selalu membantuku.

“Titip Syifa ya, Imas.” Bu Yuni kembali berpesan setelah aku duduk di jok motor yang lebar dan luas ini.

“Dah, Mamih …!” Syifa melambaikan tangan, sama seperti Bu Yuni. Aku sendiri hanya bisa tersenyum sembari berusaha menyingkirkan perasaan yang tak karuan.

*** 

“Imas, tadi pulang sama siapa?” Bapak langsung melempariku dengan pertanyaan, padahal anaknya ini baru saja melepas sandal.

“Anaknya pemilik bekas rumah Pak Rozaq, Pak.”

“Oh, Bu Ayu? Kok bisa pulang sama dia?”

“Beliau keponakan Bu Yuni, Pak. Bapak sendiri kok sudah tahu nama pemilik rumah itu?” tanyaku setelah menyalami lelaki yang rambutnya sudah mulai dipenuhi uban itu.

“Tadi Bapak disuruh Pak RT bantuin nebang pohon nangka sama sirsak di belakang rumah itu, Mas. Makanya Bapak tahu. Bapak juga dikasih makanan banyak banget sama pemiliknya, mana makanannya aneh-aneh. Ayo, kamu makan dulu.” Aku baru sadar, ada banyak makanan di meja usang milik keluarga kami.

“Masyaallah, sepertinya orangnya baik ya, Pak.”

“Iya, Imas. Orang punya pula, katanya suaminya bos pertambangan, anaknya juga kepala sekolah baru di SD tempatmu sekolah dulu.” Aku hanya terdiam, jadi lelaki barusan itu adalah seorang kepala sekolah? Terlihat masih muda, tapi sudah memiliki jabatan setinggi itu.

“Ibu ke mana, Pak?”

“Lagi mandiin Ilham, Mas. Sudah, kamu makan dulu. Ayo!” titah Bapak lagi, aku pun mengangguk.

Namun baru saja aku membuka kotak nasi berwarna hijau, seseorang di luar memanggil namaku. Rupanya Sri, anak sulung Bibi.

“Ada apa, Sri?” tanyaku seraya berjalan ke arah pintu.

“Disuruh bantuin beresin rumah Nenek, Bi. Katanya mau ada keluarga Kang Azzam ke sini nanti malam.” Aku hanya bisa mengembuskan napas, namun tak bisa menolak.

Akhirnya aku menunda makan, lalu pergi bersama Sri ke rumah Nenek. Ternyata di sana juga ada Bibi dan Mih Halimah, adik kandung Nenek tepatnya.

“Memangnya kenapa nggak bertamu di rumah Wa Muniroh saja, Sri?” tanyaku sambil mengambil sapu.

“Tamunya banyak katanya. Lanjutin dulu ya, Teh! Aku kebelet!” Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala, lalu melanjutkan pekerjaan sendirian di kamar ketiga yang berada di rumah Nenek.

Lima menit, sepuluh menit, Sri tak kunjung kembali. Alhasil aku merapikan kamar seorang diri, dari mulai menyapu, mengepel, melap kaca jendela, sampai mengganti sprei. 

“Eh, apa ini?” ucapku saat menemukan gulungan kertas yang diikat karet di dalam bantal yang sarungnya hendak kuganti.

Entah kenapa aku begitu penasaran, gulungan kertas ini sepertinya sudah lama, warnanya bahkan sudah menguning, samar aku bisa melihat tulisan di dalamnya.

Karena tak bisa menghapus rasa penasaran, aku pun memberanikan diri untuk membukanya setelah memastikan keadaan begitu sepi. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jumrah Haruna
Mmmmh, udah curiga dari awal kenapa mas Azzam langsung berubah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status