Share

Pernikahan Azzam

“Tidak mungkin, Wa. Tiga hari lalu Imas baru saja menerima lamaran Kang Azzam,” ucapku mencoba mengeluarkan suara.

“Jangan ngarang kamu, Imas. Orang semalam Azzam dan orang tuanya datang ke sini nentuin tanggal pernikahan dengan Neneng,” jawab Wa Muniroh membuatku semakin tak mengerti.

Semalam, katanya? Tapi semalam Kang Azzam masih mengirimiku pesan, bahkan dia berkata akan membelikanku ponsel baru. Tapi, sedari Subuh tadi memang dia tak memberiku kabar. Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi seperti ini.

“Imas nggak ngarang, Teh. Tiga hari lalu Azzam memang ke rumah dan meminta jawaban Imas perihal lamaran waktu itu.” Ibu menimpali dengan suara gemetar, sepertinya Ibu juga sama terkejutnya denganku.

“Lagi pada ngomongin apa ini?” tanya Nenek yang tiba-tiba datang.

“Ini, Bu. Euis sama Imas nggak percaya kalau Neneng sama Azzam bakal menikah, malah bilang tiga hari lalu katanya Azzam ke rumah mereka buat minta jawaban Imas.” Mendengar perkataan Wa Muniroh, Nenek terkekeh cukup lama.

“Kenapa harus nggak percaya? Semalam Pak Suryana dan Azzam memang ke sini untuk menentukan tanggal pernikahan bersama Neneng. Sudah lah, Euis. Lupakan kejadian waktu itu, lagi pula tidak mungkin Azzam menikah dengan Imas. Azzam itu lulusan sarjana, sama seperti Neneng. Apa lagi Neneng nanti bakalan kerja di desa juga. Kalau Azzam menikah dengan Imas, ya jomplang pisan atuh,” tutur Nenek membuat hatiku merasa tercabik-cabik.

“Tapi kenapa Azzam melamar Imas kalau mau menikah dengan Neneng, Bu?” tanya Ibu seolah tak mengerti dengan kenyataan ini.

Tak ingin berdebat dengan mereka, aku langsung pergi meninggalkan rumah Wa Muniroh. Tak kupedulikan teriakan mereka memanggil nama ini. Aku tetap pergi berlari untuk menemui Kang Azzam.

*** 

“Pak Azzamnya belum datang, Teh. Ditunggu saja, ya?” jawab wanita berseragam cokelat saat aku menanyakan kebaradaan Kang Azzam.

Akhirnya aku hanya bisa duduk dengan perasaan resah di area luar, mata ini tak lepas dari arah gerbang balai desa, berharap lelaki yang kutunggu segera muncul.

Sudah sepuluh menit berlalu, tapi rasanya bagaikan menunggu bertahun-tahun. Padahal seharusnya aku sudah berada di tempat fotokopi untuk bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus benar-benar menanyakan kejelasan perkara ini pada Kang Azzam.

Tubuhku refleks berdiri saat Kang Azzam dengan motor maticnya yang besar berwarna merah memasuki gerbang. Entah kenapa aku ingin menangis. 

Dengan cepat aku turun dari teras balai desa dan menghampiri Kang Azzam yang tengah sibuk membuka helm.

“Kang Azzam!” panggilku, lelaki itu langsung tercekat, seolah terkejut akan kehadiranku di tempat ini.

“I-Imas?” ucapnya terdengar gugup.

“Sedang apa kamu di sini, Mas?” tanyanya.

“Ada yang mau Imas bicarakan, Kang.” Seraya menahan sesak aku menjawab. Melihat wajahnya yang manis membuatku tersadar, jika hati ini sudah benar-benar jatuh cinta dan menaruh harapan tinggi padanya.

“Kang, apa benar Kang Azzam akan menikah dengan Teh Neneng?” tanyaku tanpa basa-basi, tapi lelaki di hadapanku malah bergeming.

“Kang Azzam?” panggilku dengan suara gemetar. 

“Iya, Imas,” jawabnya membuat tulang-tulang di ragaku terasa lolos. 

“Kenapa begitu, Kang? Bukannya Kang Azzam ingin menikahi Imas?” tanyaku terdengar nelangsa, untuk pertama kalinya aku berani berkata seperti ini kepada seorang pria.

“Maaf, Imas.”

“Kang, Imas benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Kenapa Kang Azzam begini? Semalam kita masih bertukar pesan, ‘kan? Tapi kata mereka, semalam Akang pergi ke rumah Teh Neneng bersama Pak Suryana untuk menentukan tanggal pernikahan. Kenapa semuanya terasa aneh, Kang?” ucapku mengeluarkan segala isi hati.

“Kang, jangan diam begini, Kang. Berikan alasan yang logis, kenapa semuanya jadi begini? Apa Kang Azzam memang sedang mempermainkan Imas dan keluarga?” cecarku merasa gemas karena Kang Azzam tetap bergeming.

“Kang Azzam−“

“Saya mencintai Neneng, Imas.” Lidahku langsung kelu.

Mencintai Teh Neneng? Semudah itu kah? Ya Allah, semuanya terasa tak masuk akal. Atau memang aku yang terlalu berharap?

“Maafkan saya, Imas.” Kang Azzam berujar lagi, aku hanya bisa menunduk menahan sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

“Saya harus kerja dulu, Imas,” ucapnya dengan enteng, tak kulihat ekspresi merasa bersalah di wajahnya. Kang Azzam begitu datar, dengan sekejap dia menjadikanku orang asing.

“Baik, Kang. Terima kasih, sudah sempat membuat saya dan keluarga saya bahagia, walau sekejap. Semoga Kang Azzam bahagia bersama Teh Neneng,” kataku seraya berdiri tegap, lalu berbalik dan berjalan dengan rasa yang tak bisa kulukiskan.

*** 

“Imas, kenapa ngelamun terus?” 

“Oh. Iya, Bu. Maaf,” ucapku merasa bersalah, lantas kembali merapikan beberapa kertas HVS yang berserakan.

“Sudah makan, Mas? Kalau belum makan dulu saja,” tutur Bu Yuni, wanita pemilik fotokopi yang bermurah hati mempekerjakanku sebagai salah satu pegawainya.

“Sudah, Bu.” Aku menyahut seraya tersenyum, walau suasana hatiku jelas sangat buruk sekali.

“Syukur lah kalau begitu. Oh, ya. Ini Ibu dapat undangan dari Pak Muslihin, katanya anaknya mau menikah ya lima hari lagi. Kalau nggak salah, Pak Muslihin itu saudaramu, ‘kan?” tanyanya membuatku menjeda aktivitas.

“Iya, Bu. Mempelai wanitanya sepupu Imas.” Aku mencoba tersenyum lagi walau terasa begitu getir.

“Wah, berarti dekat dong ya sama rumahnya kamu?” tanyanya lagi membuatku mengangguk.

“Hmm, iya-iya. Nanti kita bertemu di sana ya, Imas.”

“Iya, Bu. Nanti Imas kasih Ibu sate lebih banyak,” ucapku membuatnya tertawa pelan.

“Iya, iya. Pasti kamu nanti jadi pagar ayu ‘kan di sana?” katanya, aku hanya tersenyum tanpa mengangguk, karena tidak tahu apa aku dijadikan pagar ayu atau tidak oleh Wa Muniroh.

Jika pun iya, apa aku sanggup? Semuanya benar-benar terasa begitu berat dan menyesakkan dada.

“Berarti rumah kamu itu di Sukagalih ya, Imas? Dekat Pak Suryana?” Bu Yuni memang orang yang suka sekali bertanya dan berbicara, terkadang aku sampai kewalahan menjawabnya.

“Muhun, Ibu.”

“Wah, kebetulan. Kakak Ibu kemarin baru beli rumah di Sukagalih, soalnya dia ikut anaknya yang ditugaskan di sini.”

“Begitu, ya, Bu?” sahutku tak bersemangat.

“Iya, semoga saja kalian bisa tetanggaan.” Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menanggapi perkataannya. Jujur saja aku tak berselera berbicara, semakin dekat hari pernikahan Kang Azzam dengan Teh Neneng, semakin sakit pula segumpal darah yang bersarang di dalam tubuhku ini.

“Ya sudah, Mas. Ibu mau ke dalam dulu, ya.” Bu Yuni pamit, aku hanya mengangguk.

Tak sengaja aku melihat selembar undangan tergeletak di meja tempat Bu Yuni melayani konsumen. Dengan ragu aku berjalan mendekat, dengan gemetar aku menyentuh benda berwarna ungu muda itu.

Aku langsung tersenyum kecut tatkala sadar jika warna tersebut adalah warna favorit Teh Neneng.

Ya Allah, jadi begini kah rasanya patah hati?

*** 

Hari yang ditunggu-tunggu banyak orang telah tiba, sedari kemarin malam, suara sound system tak berhenti menggema, mengeluarkan melodi-melodi khas acara hajatan.

Dengan cepat aku menutup telinga dengan bantal bersarung warna merah yang sudah pudar. Lagu-lagu kebahagiaan yang berasal dari sound system membuat hatiku semakin bersayat-sayat.

Selama hampir dua puluh tiga tahun hidup di dunia, aku tak pernah menaruh perasaan pada siapa pun. Aku meminimalisir rasa sakit hati, karena aku sadar diri, seseorang sepertiku tak mungkin menjadi dambaan lelaki.

Namun, saat aku mulai berani melabuhkan pada seseorang, dengan sekejap perasaan bahagia itu lenyap. Rasanya ibarat jatuh ke kerak bumi dari langit yang begitu tinggi. Tak bisa digambarkan rasa sakitnya.

“Imas? Imas?” Kudengar Ibu mengetuk pintu, tapi tak ada hasrat diri ini untuk bangkit dari tempat tidur ini.

“Imas …,” Suara Ibu mendekat, aku yakin sekarang beliau sudah masuk ke dalam kamar.

“Kamu kok belum mandi, Sayang?” Kurasakan tangannya mengusap lengan ini lembut, dan perlakuannya itu justru membuat tangisku kembali hadir.

“Ayo, sudah siang. Kamu ‘kan harus didandani, Sayang.” Ibu masih mengusap lenganku, tapi perkataan terakhirnya membuat tangisku semakin menjadi.

Tanpa menyahut, aku tersedu-sedu. Sungguh aku baru merasa sesakit ini selama hidup. 

Bantal yang tengah kupeluk diambil Ibu, lalu dengan cepat tubuh ini dibawa ke pelukannya.

“Sabar, bageur … sabar,” katanya lirih seraya memelukku erat, satu tangannya membelai rambutku berulang kali.

“Allah tidak mungkin memberi ujian kalau hambaNya tidak mampu. Setiap manusia pasti akan merasakan patah hati, sedih, dan hancur. Tapi percaya lah, justru hal itu lah yang membuat manusia semakin kuat dan tegar,” tuturnya dengan suara sumbang, aku tahu Ibu pasti menangis, bahkan bisa jadi beliau lebih sakit dan malu dibanding aku.

“Ibu percaya, Allah sudah menyiapkan sesuatu yang jaaauh lebih baik untukmu, Nak. Semua pasti ada hikmahnya.” 

Tangisku masih berlangsung, tapi dadaku tak sesesak sebelumnya. Perlahan, aku pun keluar dari pelukan Ibu setelah beberapa lama menumpahkan kesedihan.

“Hapunten Imas, Bu. Sudah mempermalukan Ibu, belum bisa buat Ibu bahagia,” ucapku dengan mata yang masih basah.

Ibu menggeleng, “Imas tidak mempermalukan Ibu. Justru Ibu sangat bangga memiliki buah hati seperti kamu, Nak.” 

Tak bisa berkata-kata lagi, aku segera memeluk Ibu, dan menangis untuk melepaskan sisa-sisa kesedihan.

Benar, aku masih memiliki Ibu, memiliki Bapak, bahkan adik. Perginya Kang Azzam yang hanya datang sementara bukan lah sebuah kiamat. Di luar sana, masih banyak harapan dan kebahagiaan lain.

Aku harus bangkit, aku harus kembali membulatkan tekad untuk membahagiakan keluarga, agar mereka tak lagi bisa bersikap semena-mena.

*** 

“Saaah!” ucap saksi setelah Kang Azzam berhasil mengucap ijab qobul untuk yang ketiga kali. Aku yang berjaga di depan prasmanan langsung mengangkat kedua tangan, ikut mengaminkan doa penghulu di depan sana.

Sekarang aku bisa lebih tegar, walau masih ada sedikit linu di hati. Namun perasaan itu lenyap dengan sendirinya saat aku sibuk melayani beberapa tamu yang datang membeludak.

Beberapa kali menu makanan habis, sehingga aku harus ikut bekerja bersama pagar ayu dan pekerja lain.

Namun, tak setiap detik aku harus mondar-mandir, ada di mana waktu aku berdiri melayani tamu dengan santai. Saat itu pula aku bisa melihat kedua mempelai yang duduk di pelaminan.

Teh Neneng yang baru saja mengganti kebaya dengan gaun berwarna ungu muda nampak begitu bahagia, senyumnya selalu merekah. Dia sangat cocok memakai balutan busana demikian, Teh Neneng memang memiliki tubuh semampai, kami memang keturunan orang-orang dengan badan yang lumayan tinggi.

Melihat Teh Neneng, otomatis aku tak bisa melepas pandangan dari Kang Azzam. Lelaki yang kini memakai balutan jas berwarna senada dengan istrinya masih duduk dengan ekspresi tak biasa. Entah kenapa aku merasa tatapan Kang Azzam begitu kosong, bahkan sejak awal kedatangannya tadi.

Sekarang pun masih sama, bahkan saat dia berdiri menyambut para tamu, ekspresi wajahnya terlihat begitu aneh. Seperti orang lesu dan tak bersemangat.

Sadar jika diri ini terlalu lama memandangi mereka, aku langsung mengalihkan perhatian pada beberapa menu prasmanan, aku juga kembali sibuk dengan beberapa tamu yang mulai mengantre untuk mengambil makanan.

“Astagfirullah!” ucap seseorang di depan sana, aku yang hendak memberikan tiga tusuk sate pada tamu di depan langsung mendongak.

Kulihat semua orang berkerumun di pelaminan, sehingga aku tak bisa mengetahui apa yang tengah terjadi di sana.

“Ada apa, Teh?” tanyaku pada Teh Rustini yang berjaga di sebelahku.

“Mempelai prianya pingsan, Mas!”

“Hah? Pingsan?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status