Share

Neneng Menikah?

“Seharusnya kemarin kamu tidak menampar Neneng, Mas.” Sembari menuangkan teh hangat pada gelas di hadapanku Ibu berujar.

“Tapi dia sudah keterlaluan, Bu. Nggak rela Imas kalau dia ngehina orang tua Imas,” kataku seraya menarik gelas, sisa-sisa amarah itu masih terasa di dalam hati ini.

“Iya, Neneng memang sudah keterlaluan.” Bapak menyahut seraya mengunyah singkong rebus yang masih hangat.

“Tapi bagaimana kalau nanti Kang Muslihin nggak ngajak kamu kerja lagi, Kang? Akang tahu sendiri ‘kan, bagaimana sikap Teh Muniroh? Dia pasti akan tambah benci karena kejadian ini.” 

“Ya mau bagaimana lagi, Is? Tidak apa-apa jika Kang Emus berhenti ngajak Akang kerja, masih banyak pekerjaan lain di luar sana,” jawab Bapak terdengar begitu enteng.

Bapak memang salah satu pekerja di tempat grosir milik Wa Emus, kakak lelaki Bapak itu sebenarnya memiliki sikap yang baik, hanya saja dia memiliki istri dengan perangai buruk menurutku. Tak jarang Wa Muniroh menghasut suaminya itu agar mengeluarkan Bapak dari tempat kerja.

Entah kenapa Wa Muniroh begitu membenci keluarga kami, mungkin karena kami bukan keluarga berada. Buktinya, sikap Wa Muniroh begitu baik pada Bibi alias adik dari Bapak dan Wa Muslihin yang notabene memiliki kekayaan di atas rata-rata.

“Imas lebih setuju kalau Bapak keluar dari grosir Uwa Emus. Bukan tak tahu berterima kasih, tapi Wa Muniroh semakin semena-mena sama kita.” Seraya memberikan satu potong singkong rebus pada adikku, Ilham, aku berujar.

“Tapi, kalau boleh Bapak tahu, apa kamu benar-benar akan menerima lamaran Jang Azzam, Mas?” Mendengar pertanyaan Bapak, aku langsung terbatuk, sampai-sampai teh hangat pemberian Ibu langsung kuteguk sampai habis.

“Imas belum istikharah, Pak,” jawabku pelan.

“Loh, terus kunaon kemarin kamu bilang mau menerima lamaran Azzam di depan Nenek?” tanyanya lagi.

“Hehe, sengaja. Nakut-nakutin mereka saja, Pak.” Bapak dan Ibu langsung menggelengkan kepala, membuatku terkekeh beberapa saat.

“Apa Bapak dan Ibu keberatan kalau Imas nampi lamaran Kang Azzam?” tanyaku serius. Ibu dan Bapak saling lirik sekarang.

“Sejujurnya Ibu sangat senang, Mas. Teu nyangka kalau anak Pak Suryana mau sama kamu. Tapi ya Ibu masih kepikiran Tetehmu.”

“Tapi pan cinta teh teu bisa dipaksa atuh, Is. Azzam maunya sama Imas, bukan sama Neneng. Kalau Bapak mah setuju pisan.” Entah kenapa aku tak bisa menahan senyum saat mendengar jawaban Bapak.

“Ya Ibu mah ikut saja, Mas. Kamu juga berhak bahagia. Ibu hanya bisa mendoakan.”

“Lebih baik kamu segera istikharah, Mas. Agar Azzam bisa dapat jawaban secepatnya, kasihan kalau dia harus menunggu lama.” Bapak berujar lagi.

“Insyaallah, Pak,” jawabku seraya mengelus kepala Ilham yang masih anteng menonton televisi dengan mulut masih mengunyah singkong rebus.

Ilham adikku satu-satunya, anak yang sering jadi bahan olokan uwa, bibi bahkan neneknya sendiri. Bapak dan Ibu memang tidak berniat memiliki keturunan lagi karena alasan ekonomi kami yang sulit, namun rupanya Allah berkehendak lain. 

Saat aku kelas satu Madrasah Aliyah, Ibu melahirkan makhluk kecil ini, padahal Ibu bilang kalau beliau memakai kontrasepsi. Tapi tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berencana. Karena pada kenyataannya, rezeki itu tak selalu berupa uang.

“Assalamualaikum.” Kami langsung menoleh bersamaan tatkala mendengar suara itu.

Jantungku terasa berhenti berdetak saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumah. Tanganku gemetar bukan main. Mau apa Kang Azzam datang ke mari? Apa dia hendak meminta jawaban.

Duh, Gusti. Mana aku belum mandi, bagaimana ini?

“Ya Allah, waalaikumussalam. Masuk, Jang. Masuk.” Bapak memerintah seraya berdiri, sedangkan aku langsung berlari menuju kamar, lantas memakai kerudung dengan segera.

“Aduh, bagaimana ini.” Di hadapan cermin aku resah sendiri seraya mengusap-usap sudut bibir, lalu membersihkan sudut mata, takut sisa-sisa belek masih menempel di sana.

“Mas! Imas!” Tiba-tiba suara Bapak kembali terdengar, aku langsung keluar, sepertinya keadaan ini memang tak memberiku kesempatan untuk mandi.

“I-iya, Pak?”

“Ambilkan minum, Mas.” Bapak memberi perintah, aku hanya mengangguk tanpa banyak komentar.

Walau kaki ini masih gemetar, aku tetap berjalan menuju dapur yang lantainya hanya dilapisi acian semen. Entah kapan mimpiku bisa terwujud, ingin menghiasi semua lantai rumah ini dengan keramik.

Sembari mengatur perasaan yang masih tak karuan, aku meletakkan teko dan gelas pada meja usang. Tak berani aku menatap Kang Azzam. Kenapa lelaki itu suka sekali membuat kejutan?

“Ibu ke mana, Pak?” tanyaku saat tak melihat bayangan wanita yang paling kucinta di dunia ini.

“Ke warung dulu, Mas.” Aku mengangguk-angguk, tak bertanya lebih lanjut karena cukup mengerti, Ibu pasti membeli kue atau camilan untuk disuguhkan pada Kang Azzam.

Setelah menuangkan air putih pada gelas, aku duduk di samping Bapak. Sementara Ilham masih terlihat anteng di depan televisi bersama satu piring singkong rebus yang belum habis.

Tak lama Ibu datang menenteng kantung kresek hitam, lalu dengan lihai beliau mengeluarkan beberapa kue dan makanan ringan yang baru dibeli dari warung.

“Tidak usah repot-repot, Ibu.” Kang Azzam berujar, suara serak basahnya membuat hatiku tak karuan.

“Tidak repot, Jang. Mohon maaf ya, seadanya.” Ibu menyahut sambil tersenyum, kemudian pamit ke dapur sebentar.

“Maaf, ya, Pak. Mungkin kedatangan saya mengganggu.” Kang Azzam berucap lagi.

“Tidak sama sekali, Jang. Justru Bapak minta maaf, tidak bisa menjamu dengan layak. Tapi Kalau Jang Azzam sebelumnya bilang hendak ke mari, pasti kami akan memasak makanan yang enak.”

“Jangan repot-repot, Pak. Sebenarnya saya tidak berniat kemari, tapi waktu lewat ke sini, saya malah ingin mampir.” Kang Azzam terkekeh.

“Memangnya Jang Azzam habis dari mana?” 

“Dari rumah Bu Koyah, Pak. Habis minta data, soalnya ‘kan beliau salah satu penerima bantuan.” Kang Azzam menyahut, setahuku Bu Koyah memang baru saja ditinggal suaminya, mungkin itu salah satu alasan beliau menjadi salah satu penerima bantuan.

“Masyaallah. Semoga selalu dilancarkan pekerjaannya ya, Jang. Tak lupa menjadi sosok yang amanah dan jujur,” kata Bapak, Kang Azzam langsung mengaminkan.

Setelah kejadian salah paham kemarin, aku baru tahu kalau Kang Azzam bekerja di desa. Kata Bapak, dia juga ditunjuk sebagai calon kepala desa baru nantinya.

“Imas, apa kabar?” tanyanya tiba-tiba, membuat perasaan gugupku kembali muncul.

“Alhamdulillah, baik, Kang.”

“Syukur, lah,” katanya, aku pun tersenyum tipis.

“Maaf kalau lancang, apa Imas sudah memiliki jawaban perihal lamaran saya?” ucapnya membuat diriku membeku lagi.

Tiba-tiba Bapak menyenggol kakiku dengan kakinya, membuat diri ini tersadar dari segala kebekuan.

“Maaf, Kang. Imas belum istikharah,” jawabku.

“Iya, tidak apa. Tapi, saya berharap Imas bisa segera memberikan jawaban.” Ya Allah, harus secepat itu kah?

“Kalau boleh tahu, kenapa Kang Azzam mau pada saya? Maksudnya, kenapa tidak mencari calon pasangan yang setara dengan Akang.”

“Semua sama dan setara di mata Allah, Imas.” Duh, jawabannya membuatku tak bisa berkata-kata.

“Mungkin lebih baik Bapak ke belakang dulu, ya? Biar Jang Azzam dan Imas bisa ngobrol lebih leluasa.” Bapak menimpali.

“Jangan, Pak. Di sini saja, biar tidak jadi fitnah,” tandasnya membuat rasa kagumku perlahan muncul. Bapak sendiri nampak tersenyum.

“Apa Imas belum benar-benar bisa memberikan jawabannya sekarang? Soalnya, kakek saya sedang sakit, katanya mau lihat saya menikah, takut umurnya gak sampai.” Aku menelan ludah, harus bagaimana aku, Ya Allah?

Jujur saja, siapa yang bisa menolak seorang lelaki seperti Kang Azzam? Tapi aku sungguh-sungguh belum meminta petunjuk pada Sang Maha Pemberi Cinta.

“Imas, lebih baik kamu jawab saja sekarang, dari pada Jang Azzam menunggu. Kasihan.” Bapak menimpali, membuatku semakin betah menggosok jari jemari karena perasaan gugup.

“Tapi, apa Jang Azzam yakin ingin menikahi putri Bapak? Secara Jang Azzam sendiri tahu keadaan kami bagaimana. Takutnya, keluarga Jang Azzam tidak bisa menerima perbedaan kita.”

“Ya Allah, Pak. Jangan berpikiran seperti itu. Sungguh, saya dan keluarga tidak pernah melihat seseorang dari kekayaan yang dia miliki,” ucapnya membuatku merasa terenyuh, perasaanku kian tak bisa dilukiskan saat menyadari Kang Azzam duduk di sofa jadul milik kami, yang warnanya sudah pudar bahkan sudah berulang kali ditambal oleh Ibu, hingga tempat duduk itu warnanya tidak sinkron.

“Alhamdulillah, jujur Bapak sangat bahagia sekali, Jang. Bapak sendiri hanya bisa menyerahkan semuanya pada Imas. Bagaimana, Nak?” tanya Bapak seraya menoleh padaku.

Entah kenapa air mataku mendadak keluar dari persembunyiannya, tak pernah sekali pun aku berani bermimpi dilamar seorang anak keturunan berpunya.

“Bismillah, kalau begitu, Imas terima lamaran Kang Azzam,” ucapku dengan mata basah.

“Alhamdulillah ….” Bapak dan Kang Azzam bersorak bersama, bahkan Ibu yang tadi berada di dapur kini berlari keluar dengan wajah bingung.

*** 

Hatiku tak pernah berhenti dihinggapi perasaan bahagia setelah menerima lamaran Kang Azzam tiga hari lalu, apa lagi Kang Azzam selalu mengirimiku pesan setiap pagi juga malam.

Namun, kami belum memberitahu siapa pun perihal ini, karena aku sendiri masih menunggu Kang Azzam menentukan tanggal.

Pagi ini sedikit bahagiaku hilang karena tak mendapati pesan dari Kang Azzam. Padahal biasanya dia akan mengingatkanku untuk salat Subuh, tapi kali ini ponselku benar-benar sepi.

[Kemarin waktu kita tukar nomor, tidak sengaja Akang lihat hp Imas. Sepertinya perlu diupgrade, ya? Biar Imas nyaman. Nanti Akang belikan, ya. Imas jangan nolak, ya.] Aku tersenyum melihat pesan Kang Azzam semalam. Selain baik, dia lelaki peka dan perhatian ternyata. Memang, ponsel milikku sudah ketinggalan zaman. Ponsel ini juga bekas Sri, waktu itu Bapak membelinya dengan harga murah.

Aku ingin mencoba menghubunginya pagi ini, tapi takut mengganggu. Bisa saja dia masih tidur atau mungkin sedang ada pekerjaan penting. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu saja.

“Imas … Imas?” Suara Ibu terdengar dari luar, aku langsung meletakkan ponsel dan keluar kamar.

“Iya, Bu. Ada apa?”

“Kamu mau ke fotokopi jam berapa? Bisa bantu Ibu sebentar, tidak?”

“Jam tujuh, Bu. Seperti biasa. Kenapa? Mau Imas bantuin apa?”

“Itu, Uwa kamu mau buat dodol. Kamu bantuin bawa kelapa tua di dapur, ya. Banyak soalnya.”

“Dodol? Emangnya mau ada acara apa lagi atuh?”

“Ibu juga belum tahu. Hayu atuh keburu siang.”

“Ibu masih mau bantuin? Imas mah malas, ih. Jangan dibantuin lah, Bu.”

“Hush! Teu kenging kitu, Mas. Pamali. Mau bagaimana pun mereka saudara kita, ayo.” Aku hanya bisa mengembuskan napas, lalu mengekori Ibu ke dapur dan membawa beberapa kelapa tua di dapur.

Sembari menahan beban yang lumayan, aku berjalan bersama Ibu ke rumah Wa Muslihin. Ternyata di sana sudah banyak Ibu-ibu yang berjibaku dengan beberapa alat masakan di dapur.

“Teh, ini kelapanya,” ucap Ibu pada Wa Muniroh.

“Oh, iya. Simpan di dekat pintu saja, Is.” Wa Muniroh menyahut, wajahnya terlihat semringah sekali. Entah kenapa aku merasa aneh, seharusnya Wa Muniroh masih marah pada kami karena kejadian itu, bukan?

“Maaf, Teh. Memangnya mau ada acara apa, ya?” tanya Ibu setelah meletakkan kelapa-kelapa itu di dekat pintu dapur.

“Loh, belum tahu kamu, Is? Minggu depan ‘kan Neneng nikah.”

“N-nikah? Sama siapa, Teh?” tanya Ibu lagi.

“Ya sama Azzam, atuh! Sama siapa lagi?” jawabnya membuat tubuhku seketika membeku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status