Share

ANAK TUKANG CUCI PIRING
ANAK TUKANG CUCI PIRING
Penulis: Azu Ra

Salah Sasaran?

"Euis, piring di belakang sudah numpuk, tuh!" ucap nenekku pada ibu, yang tak lain tak bukan adalah mertuanya. 

"Iya, Bu. Euis cuci sebentar lagi." Seraya mengukir senyum ibuku menjawab. 

"Kok sebentar lagi? Nanti kalau ada tamu yang datang lagi mau makan pakai apa?" sahut nenek terdengar kesal, padahal beliau tahu sendiri ibuku sedang sibuk membungkus makanan, itu pun atas perintahnya. 

"Biar Imas saja yang cuci piring, Nek." Aku menimpali. 

"Ya sudah, cepetan! Tuh, udah ada tamu lagi di depan!" sungutnya, kemudian kembali pergi ke ruang depan. 

"Biar Ibu saja, Mas." Ibu menahan lenganku untuk tidak beranjak. 

"Nggak apa-apa, Bu. Ibu selesaikan saja dulu pekerjaan ini." 

"Tapi cucian piringnya banyak, Imas. Sudah, biar Ibu saja." 

Aku menggeleng, lantas melepas pegangan Ibu dengan lembut. 

"Sudah, Bu. Nggak apa-apa." Aku mengulas senyum, sementara Ibu hanya terlihat pasrah. 

Tanpa menunggu lama, aku pun berjalan ke arah belakang, tepatnya keluar dapur, menyambangi tempat khusus cuci piring yang areanya cukup luas. 

Sejenak aku tertegun sambil menelan ludah melihat betapa banyaknya piring kotor di beberapa baskom berukuran besar. 

Mendadak hatiku sedih, selama ini Ibu selalu menjadi tukang cuci piring di rumah mertuanya sendiri jika ada sebuah acara. 

Ya, seperti sekarang ini. Nenek tengah melangsungkan acara empat puluh hari meninggalnya kakek. Kenalan almarhum banyak, keluarga kakek juga cukup terpandang, makanya banyak sekali tamu yang datang. 

Setelah menghela napas panjang, aku mulai menggulung baju bagian lengan, lalu duduk di sebuah jojodog alias bangku pendek berbahan kayu. 

Aku pun mulai menyalakan keran dan membasahi piring satu persatu. Entah kenapa hatiku kembali teriris, mengingat Ibu selalu diperlakukan laiknya pembantu oleh mertuanya sendiri, hanya karena kami orang tidak punya mungkin. 

Iya, dari ketiga anak nenek, hanya bapak yang hidupnya pas-pasan. Berbeda dengan kakak serta adiknya yang bisa dibilang kaya raya. 

Sering kali kami disepelekan, diperintah ini itu sesuka hati, tapi anehnya bapak dan ibu tak pernah melawan, terkesan pasrah serta ikhlas menjalani semua ini. 

"Setidaknya kita bisa nyumbang tenaga kalau nggak bisa ngasih harta, Mas." Itu yang pernah Ibu katakan padaku saat dulu pernah protes kenapa Ibu selalu mau dijadikan tukang cuci piring di rumah nenek. 

Sambil mengusap air mata berkali-kali, aku membersihkan piring yang rata-rata penuh dengan kotoran minyak. Dalam hati aku bertekad, suatu saat nanti angkat mengangkat derajat ibu dan bapak, agar mereka tak dipandang rendah lagi. 

Terpenting, tak menjadi si tukang cuci piring di rumah orang tuanya sendiri. 

*** 

"Imas, sudah selesai belum?" Suara Ibu terdengar dari luar. 

Bergegas aku meraih knop pintu, kulihat Ibu sudah berpakaian rapi seraya menenteng kantung kresek berisi pisang. 

"Sudah, Bu. Ayo. Bapak mana?" tanyaku. 

"Sudah duluan, Mas. Katanya mau bantu Uwamu buka buah kelapa." Aku membulatkan mulut seraya mengangguk-angguk mendengar jawaban Ibu. 

Hari ini rumah Nenek ramai lagi, dikarenakan akan ada acara lamaran antara Teh Neneng, yang tak lain anak sulung Uwa dengan anak Bu Marsita. 

Rumah kami memang berdekatan, dan setiap acara selalu digelar di rumah Nenek karena tempatnya lebih luas. 

Hanya membutuhkan beberapa langkah untuk sampai di kediaman nenek, rupanya di dalam sana sudah banyak orang-orang, termasuk para tetangga yang ingin menyaksikan. 

"Duh, deg-degan, nih." Teh Neneng berujar, wanita yang usianya hanya terpaut satu tahun denganku itu nampak cantik dengan balutan pakaian berbahan brokat. 

Tak lama, terdengar beberapa suara kendaraan yang mendekat ke arah rumah Nenek. Ada sekitar enam motor memenuhi halaman rumah yang luas ini, lalu terkahir sebuah mobil berwarna hitam datang dan berhenti di ujung halaman dekat hamparan bunga melati kesayangan Nenek. 

Suasana semakin terasa ramai, apa lagi saat pemilik mobil berwarna hitam itu turun. 

Dia adalah Kang Azzam, putra dari Pak Suryana dan Bu Marsita, keluarga terpandang di kampung sebelah. Dulu kami satu sekolah, hanya saja dia satu angkatan dengan Teh Neneng. 

"Makin deg-degan aku, Sri." Teh Neneng berkata pada Sri, anak Bibi tepatnya. 

"Mau Imas ambilkan minum, Teh?" tawarku. 

"Teu kudu. (Nggak usah)." Teh Neneng menjawab ketus, aku hanya mengangguk kecil. 

Teh Neneng memang lebih dekat dengan Sri dan sepupu lain ketimbang aku, entah kenapa sedari kecil dulu, dia seolah menyimpan rasa tak suka padaku. Namun aku tak ambil pusing, tak ingin badan kurus kering hanya karena memikirkan sesuatu hal yang tidak penting. 

Suasana masih terasa begitu ramai, para orang tua kini tengah berbincang, sedangkan aku dan Ibu duduk di barisan belakang, tepat di hadapan sebuah lemari hias. 

"Iya, kedatangan kami ke sini memang hendak melamar Nak Neneng, putri sulung Bapak Muslihin." Pak Suryana berujar setelah ustaz selesai membaca tahlil dan beberapa doa. 

"Loh, kok Neneng?" ucap Kang Azzam, membuat semua orang menatap padanya, termasuk aku yang tadi terkantuk-kantuk ini. 

"Kenapa, Zam?" tanya Pak Suryana. 

"Bukan, Pak. Azzam ke sini bukan mau melamar Neneng, tapi mau melamar Imas, Pak!" katanya lagi membuat semua orang tercengang, termasuk aku sendiri.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kunta Adi
Duhhh bisa ajaaa
goodnovel comment avatar
Bemine
......... Astagaaa ... ngakak tuhh bayangin mukanyaa neneng
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status