Share

Hinaan Neneng

"Imas? Imas siapa, Azzam?" kata Pak Suryana membuat beberapa orang menolehku, termasuk Ibu. 

"Ya Imas putrinya Pak Muslihin, Pak. Bukan Neneng." Kang Azzam menjawab dengan ekspresi wajah yang tak bisa kujelaskan. 

"Jangan ngawur kamu, Zam. Pak Muslihin itu cuma punya satu putri, yaitu Nyai Neneng. Anak bungsunya Hasbi, masih kelas satu MTs. Benar begitu bukan, Pak?" tandasnya seraya menatap Wa Muslihin, membuat semua orang saling berbisik hingga keadaan terasa riuh kembali. 

"Betul, Pak." 

"Tuh, dengar!" ucap Pak Suryana cepat. 

"Tapi ...," ucap Uwa lagi membuat semua menoleh padanya. 

"Memang, ada nama Imas di sini. Dia anak adik saya." Seraya melirikku Wa Muslihin berujar, otomatis semua mata tertuju padaku yang masih duduk di paling ujung ini. 

"Maaf, bukannya Imas itu anak Bapak, ya? Dulu sewaktu sekolah, saya sering lihat Imas diantar sama Bapak." Kang Azzam bersuara lagi. 

Sejenak aku berpikir, sejak kapan dia melihatku sering diantar Wa Emus? Sejak kapan dia tahu namaku? Sungguh, semuanya terasa diluar nalar. 

"Ya, dulu Bapak memang suka mengantar Imas ke sekolah kalau kebetulan lewat Cidahu." Uwa menjawab jujur. 

Kulihat Kang Azzam mengangguk-angguk, sementara raut wajah Pak Suryana terlihat bingung, sama halnya denganku yang sudah banjir keringat dingin. 

"Jadi ... anak Bapak itu Neneng? Bukan Imas?" ucap lelaki yang kulitnya putih bersih itu. Wa Muslihin mengangguk. 

"Bagaimana atuh ini, teh? Haduh." Pak Suryana nampak resah, sedangkan aku berkali-kali menggenggam tangan Ibu yang sepertinya merasa bingung sepertiku. 

"Sebelumnya, saya mau meminta maaf karena sudah membuat kesalah pahaman. Tapi, saya ke sini benar-benar ingin melamar Imas. Salah saya karena tidak mencari tahu informasi lebih dalam." Kang Azzam memaparkan, matanya kini tertuju padaku, dengan cepat aku menunduk, sudah mau copot rasanya jantungku ini. 

"Sedari Madrasah Aliyah dulu, saya mulai menyukai Imas. Tapi saya tidak tahu banyak informasi mengenai dia. Ditambah waktu itu saya belum berniat menjalin hubungan karena ingin fokus belajar. Setelah saya lulus sarjana satu tahun lalu, tak sengaja saya melihat Imas di tempat fotokopi, tapi saya malu menyapanya, alhasil saya iseng bertanya pada sahabat saya, Rudi. Dari sana lah saya tahu nama wanita yang selama ini saya kagumi itu bernama Imas." 

Ya Allah, Ya Rabb. Sungguh aku tak pernah menyangka, seorang lelaki seperti Kang Azzam memiliki perasaan pada gadis tak punya sepertiku. Secara kasta kami sangat berbeda, waktu di sekolah pun dia idaman banyak para siswi, dia aktif di berbagai macam organisasi. 

Berbeda denganku yang sangat pasif dan tak pandai bergaul. Bahkan ketika di sekolah, aku hanya memiliki satu teman, yaitu Siti, yang sekarang sudah tak lagi tinggal di sini. 

"Lalu, saya dipertemukan dengan Pak Muslihin yang setiap beberapa kali dalam seminggu menyambangi rumah untuk berdiskusi perihal usaha bersama Bapak. Tetiba saja saya teringat, kalau Pak Muslihin ini adalah seseorang yang sering mengantar Imas waktu sekolah dulu. Dari sana, saya berpikir jika Bapak adalah ayah dari wanita yang saya kagumi." 

"Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya pada Bapak, apa Pak Muslihin memiliki anak perempuan? Bapak bilang, iya. Saya bertanya lagi, apa nama anak perempuannya Imas? Bapak bilang lagi, iya. Nama lengkapnya Nyimas Neneng Lestari. Saya pikir, nama itu adalah nama lengkap Imas, tapi ternyata ... bukan. Saya yang sudah kegirangan langsung memutuskan untuk melamar, apa lagi Bapak bilang kalau anak Pak Muslihin memang belum bertemu jodoh. Tanpa mencari info lebih lanjut, saya pun langsung menentukan tanggal, dan niat saya disambut baik oleh keluarga ini." Berkali-kali aku menelan ludah saat mendengar penjelasan Kang Azzam yang panjang lebar, tubuhku sudah gemetar dan lunglai, serasa ingin pingsan. 

"Tapi ternyata, Nyimas Neneng Lestari itu bukan lah wanita yang saya maksud. Neneng sendiri teman satu angkatan saya di sekolah, tapi kami tidak saling mengenal, karena kami beda kelas dan jurusan. Hanya saja saya sering mendengar namanya karena Teh Neneng ini aktif di kegiatan paskibra kalau tidak salah." Kang Azzam masih berbicara dengan panjang lebar, membuat semua orang mendengarnya dengan saksama. 

"Demi Allah, ini semua di luar dugaan saya. Mohon maaf, saya sama sekali tidak bermaksud mempermalukan keluarga besar saya mau pun keluarga besar Bapak Muslihin. Tapi, saya benar-benar ingin melamar Imas. Wanita yang sudah lama saya sebut di dalam doa." 

Air mataku langsung menetes, merasa tak percaya saja jika di muka bumi ini ada seorang hamba yang mendoakanku selain orang tua sendiri. 

"Tidak apa, Jang. Tidak apa, Bapak mengerti dengan maksud Jang Azzam. Jadi, semuanya sudah jelas, ya. Sekarang kita hanya butuh tanggapan Imas juga orang tuanya. Mis, duduk di sini." Wa Muslihin menyuruh Bapakku maju ke depan, wajah beliau nampak pucat, tapi Bapak tetap menurut dan akhirnya duduk di dekat Uwa. 

Sementara di depan sana, kulihat wajah Teh Neneng penuh kecewa. Berkali-kali juga dia melirikku dengan tatapan tajam, matanya bahkan sudah memerah seperti menahan tangis. 

Dia pasti sedih dan malu, tapi semua benar-benar di luar kendaliku. 

"Ya Allah, abdi tèh bingung harus bicara apa." Bapak tak bisa menahan tangis, beliau dengan cepat mengusap matanya basahnya dengan kemeja batik yang warnanya sudah pudar itu. 

"Saya serahkan semuanya pada putri saya, Imas Asmara Sinta." Bapak melirikku, membuat dadaku kembali berdebar begitu kencang. 

"Sok atuh, dijawab. Sudah pada penasaran ini tèh." Pak Ali, ketua RT yang turut hadir nyeletuk. 

Aku semakin menggigil rasanya, tapi sekuat tenaga kutahan rasa yang bergejolak itu. 

"Bagaimana, Imas. Apa kamu menerima lamaran saya?" tanya Kang Azzam dengan suaranya yang begitu lembut. 

Setelah mengatur napas, aku mencoba mendongak, menatap Kang Azzam serta keluarga besarnya yang tengah menunggu jawaban. 

Namun lidahku kelu seketika, tatkala netra ini beradu dengan kedua bola mata Teh Neneng. Tatapannya menghujam sampai ke relung, membuat perasaanku kembali bingung. 

"Maaf, Kang. Semua ini sungguh mengejutkan saya, semuanya sangat mendadak. Saya tidak bisa berpikir jernih. Boleh kah saya istikharah dulu?" ucapku dengan hati-hati. 

Kang Azzam langsung tersenyum mendengar jawabanku, tak bisa dipungkiri, dia lelaki yang amat tampan dan berkharisma. 

"Tidak apa, Imas. Saya mengerti. Saya akan tunggu sampai kamu memiliki jawaban. Maafkan saya sudah membuat perasaanmu dan keluarga besarmu tidak nyaman." Kang Azzam terdengar bijak. Aku hanya menunduk, tak kuasa lagi menahan segala perasaan yang bercampur di dada. 

"Sekali lagi, saya minta maaf. Maaf atas kesalah pahaman yang telah saya buat. Terkhusus untuk Teh Neneng," kata Kang Azzam. 

Aku mendongak lagi, ingin melihat Teh Neneng, dan sepupuku itu hanya mengangguk dengan lesu. 

"Haduh, Gusti. Azzam ... Azzam. Hampura nya, Pak Mus. Hampura." Pak Suryana berujar, lalu diiringi tawa bapak-bapak. 

Tak lama mereka pun pamit, sebelum benar-benar pergi Kang Azzam memberikan senyuman yang membuat perasaan bersalahku pada Teh Neneng kian besar. 

"Jahat kamu, Imas. Jahat!" Teh Neneng tiba-tiba menghampiriku, mendorong bahuku setelah keluarga Kang Azzam pergi. 

"Jahat apanya, Teh? Semuanya 'kan salah paham. Imas juga nggak tahu kalau Kang Azzam mau ngelamar Imas!" jawabku. 

"Sabar, Neng. Sabar. Imas, lebih baik kamu jangan terima lamaran Azzam, jangan sakitin hati saudaramu demi laki-laki, Mas." Nenek berujar seraya membelai bahu Teh Neneng berkali-kali. 

"Jangan-jangan kamu memang sengaja mau buat malu aku ya, Imas?" 

"Ya Allah, bicara apa ari Teteh?" 

"Imas, dengerin, ya! Aku itu sudah suka Azzam dari zaman sekolah dulu. Lagi pula nggak pantas kalau Azzam nikah sama kamu! Azzam itu anak dari keluarga terpandang, bukan anak tukang cuci piring kayak ibumu!" 

Plak! 

Semua orang langsung menjerit, entah angin apa yang membuatku berani menampar Teh Neneng dengan cepat, hatiku benar-benar panas kala mendengarnya menghina wanita yang melahirkanku. 

"Jangan pernah hina orang tuaku!" ucapku tak bisa menahan emosi. 

"Teteh bisa menghinaku serendah-rendahnya! Tapi tidak untuk kedua orang tuaku. Mengerti?" hardikku seraya mendekatkan jarak wajahku padanya. 

"Imas ... Ya Allah, sudah, Imas. Minta maaf, Imas! Minta maaf!" perintah Ibu seraya berurai air mata. 

"Tidak, Bu. Dia sudah merendahkan Ibu!" 

"Imas! Minta maaf!" teriak Nenek seraya memeluk Teh Neneng yang tersedu-sedu. 

"Maaf, Nek. Sepertinya Imas akan menerima lamaran Kang Azzam," ucapku dengan penuh penekanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status