Share

ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU
ANAK YANG DIBAWA SUAMIKU
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

Anak siapa itu?

"Aku mau tema princes, Ma."

Talita mengguncangkan tubuhku. Dia merengek meminta tema pesta ulang tahunnya princes seperti dongeng yang sering kali aku bacakan.

"Beneran mau dirayakin?"

Sebuah anggukan dan tatapan penuh harap terlihat jelas di netranya. Aku memutar tubuh hingga berhadapan dengannya. Guling yang menjadi pembatas sudah berpindah tepat. Di ranjang Talita kami membicarakan pesta ulang tahunnya.

Bulan depan adalah bulan kelahiran Talita. Tinggal menghitung hari Talita genap berusia tujuh tahun. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa bayi yang dulu kugendong kini sudah duduk di bangku SD.

Aku dan Mas Arif sudah merencanakan akan merayakan ulang tahunnya. Namun belum menemuka tema yang tepat. Beruntung Talita memberikan sebuah masukan sehingga kami tak kebingungan.

"Tapi bilang papa dulu, ya."

"Mama aja deh."

Talita membalikkan badan, mulut yang sedari tadi asyik membicarakan pesta seketika bungkam. Putri kecilku menunduk seraya memainkan ujung baju yang ia kenakan.

"Kenapa? Itu ulang tahun Talita, kan ... bukan ulang tahun mama."

"Aku takut sama papa ... nanti gak dibolehin."

Aku geser tubuh Talita hingga berhadapan denganku. Lagi-lagi dia memilih mengalihkan pandangan, enggan menatap mataku.

Talita memang tak terlalu dekat dengan papanya. Pekerjaan Mas Arif sebagai fotografer menuntutnya sering kali pergi ke luar kota. Jarak yang tercipta membuat Thalita takut meminta apa pun pada papanya. Walau sebenarnya Mas Arif selalu menuruti permintaanya.

"Papa kasih izin kok as ...."

"Beneran, Ma?"

"Asal Talita yang bilang sendiri ke papa."

"Mama aja yang kasih tahu, ya. Pliss."

Sebuah anggukan kepala membuat Talita melonjak kegirangan.

***

Satu persatu barang di ruang tamu sudah aku keluarkan. Kursi yang terbuat dari kayu jati sudah kutata rapi di teras rumah. Hanya tersisa meja yang besok digunakan untuk meletakkan kue tart bermotif putri salju.

Aku meluruskan kaki yang terasa pegal. Sejak pagi aku membersihkan dan mendekor ruangan seorang diri. Tak ada suami atau saudara yang datang membantu. Maklum kami tinggal di kota orang, jauh dari orang tua dan saudara.

Di dinding ruang tamu sudah menempel tulisan nama Talita. Setiap sudut ruangan sudah terpasang balon berwarna merah muda. Tak lupa bunga mawar putih yang kurangkai indah dan kuletakkan di dekat dinding.

Lengkungan indah tergambar di wajah ini. Lelah yang kurasakan seolah hilang saat membayangkan senyum Talita.

Sebuah panggilan masuk menyentak lamunan indah itu. Sudut bibirku tertarik ke atas kala melihat nama mas Arif di layar ponsel. Mas Arif pasti ingin memberitahu jika ia sudah sampai bandara.

"Sudah sampai mana, Mas?" tanyaku setelah mengucapkan salam.

"Maaf, Dek."

"Maaf untuk apa?"

"Mas gak bisa pulang hari ini?"

"Kenapa? Besok ulang tahun Talita. Mas harus pulang!"

"Mas usahakan besok sampai rumah sebelum acara di mulai."

"Tapi Ma ...."

Belum sempat aku melanjutkan kata, tapi Mas Arif sudah mematikan sambungan telepon. Mendadak semangat untuk menghias ruangan hilang. Kini hanya rasa lelah yang mendera. Ya, aku kecewa ... sangat kecewa.

Denting jam mengusik keheningan yang tercipta. Benda berbentuk kotak yang menempel di dinding seolah menertawakan diriku. Di saat aku membutuhkan kehadiran Mas Arif, namun ia justru tak pulang.

Aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang tiba-tiba mendera. Hendak berontak pun percuma, ini sudah menjadi tugas Mas Arif. Dia berusaha profesional meski terkadang mengorbankan aku dan Talita.

"Assalamualaikum."

Aku menoleh, bibir kutarik paksa saat Eka berdiri di depan pintu yang terbuka. Perempuan itu pun masuk tanpa kupersilakan.

"Ada yang mau ultah nih."

"Besok Talita ulang tahun, datang, ya."

"Siap, Mbak."

Eka menjawab seraya menoleh ke kanan dan kiri.

"Talita dan Mas Arif gak ada, Mbak?"

"Talita tidur, kecapekan niup balon tadi. Kalau Mas Arif belum pulang. Dia pulangnya besok."

"Anak yang ultah kok pulangnya mepet to, Mbak."

Aku hanya diam, enggan menangapi perkataan Eka.

"Hati-hati lho, Mbak. Lagi musim pelakor, bilangnya kerja ... eh, gak tahunya pacaran."

Dadaku bergemuruh, pikiran buruk seketika hadir tanpa permisi. Benarkah perkataan Eka? Benarkah Mas Arif memiliki kekasih lain?

Astagfirullah ...

Aku elus dada yang terasa sesak. Segera kutepis prasangka buruk yang hadir tanpa permisi.

"Maaf, Ka. Aku mau istirahat."

Perempuan yang lima tahun lebih muda dariku itu beranjak, melangkah pergi sambil menghentak-hentakkan kaki. Biar saja dia marah, toh ucapannya justru menyakiti hatiku.

***

Azan ashar sudah berkumandang setengah jam yang lalu. Talita sudah siap dengan gaun berwarna merah muda. Namun wajahnya masih saja ditekut. Berkali-kali aku bujuk untuk tersenyum, namun justru bulir bening yang keluar dari netranya.

"Papa mana, Ma? Kenapa papa gak pulang?" rengeknya membuat hatiku terasa teriris.

"Papa lagi di jalan, Nak. Sabar, ya."

Hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan. Aku sendiri tak tahu di mana Mas Arif. Sejak kemarin nomornya tak bisa dihubungi.

"Mbak Rin."

Aku menoleh, Eka sudah berdiri di depan pintu. Tangan perempuan itu melambai, memintaku untuk mendekat ke arahnya.

"Anak-anak udah pada dateng, Mbak."

"Suruh masuk dulu, Ka. Aku segera ke depan."

Setelah Eka pergi, aku pun membujuk Talita. Mencoba meyakinkan dia, jika papanya akan segera pulang. Meski dengan wajah ditekuk, Talita pun mengangguk.

Ruang tamu sudah dipenuhi teman-teman Talita. Ada beberapa orang tua yang ikut mendampingi putra-putrinya. Mereka duduk berjajar menghadap meja dengan kue di atasnya.

"Nunggu Papa, Ma."

Aku pun meminta maaf pada tamu undangan karena pesta harus diundur beberapa menit. Ada kekecewaan yang terlihat di mata anak-anak. Namun tak ada pilihan selain menunggu, meski sampai kapan.

Sudah tiga puluh menit kami menunggu kedatangan Mas Arif, namun ia tak jua datang. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya, namun nihil ... nomor Mas Arif tak dapat dihubungi. Ya Allah ... bagaimana ini?

"Kita mulai, ya, Mbak."

Aku mengangguk, tak tega melihat para undangan yang menunggu lama. Dipandu Eka semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

"Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga."

"Tunggu!"

Seketika semua berhenti bernyanyi. Mereka sontak menatap ke arah sumber suara. Mas Arif melangkah mendekat ke arah kami.

"Papa!" teriak Talita kemudian memeluk tubuh Mas Arif.

"Dia juga anak Papa?"

Seorang anak perempuan muncul dari balik pintu. Dia memanggil suamiku dengan sebutan papa. Apa-apaan ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status