"Papa?"
Mas Arif terdiam, keringat sebesar biji jagung memenuhi sekujur tubuhnya."Siapa dia, Mas? Kenapa anak itu memanggil kamu papa?"Suaraku bergetar, namun sekuat tenaga kutahan bulir bening yang terus memaksa untuk keluar. Aku tak boleh menangis di hadapan Talita dan semua orang, meski tak dapat kupungkiri hatiku hancur. Sangat hancur."Akan aku jelaskan, tapi tidak sekarang Rin," bisiknya namun masih dapat kudengar dengan jelas."Dia adik aku, Pa?"Anak perempuan itu mendekat, menggenggam erat tangan suamiku. Kedekatan mereka membuat Talita mundur beberapa langkah. Dia pun bersembunyi di belakang punggungku. Tangannya mencengkeram kuat ujung tunik yang aku kenakan. Dalam kurasakan Talita marah dan kecewa.Bisik-bisik para ibu-ibu tak dapat terelakkan. Bahkan ada teman Talita yang lantang menanyakan siapa anak yang dibawa suamiku. Ya Tuhan ... apa ini?"Em ... acaranya akan saya mulai lagi, ya."Eka kembali mengalihkan perhatian. Dia mencoba mencairkan ketegangan yang melanda kami. Bahkan ruangan ini terasa begitu panas meski kipas angin masih menyala. Ini cuaca, atau hatiku yang sedang terbakar api amarah?"Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga ... sekarang juga."Anak-anak menyanyikan lagu. Namun Talita masih mematung di belakangku. Rayuan dan bujukan kami tak mengubah posisi tubuhnya. Justru cairan bening yang keluar dari matanya.Sudah tiga kali teman-teman Talita menyanyikan lagu yang sama. Namun tak mampu mengubah pendirian putriku. Dia tersiksa dengan keadaan, begitu juga diriku."Ayo, Sayang. Kita tiup lilinnya, ya.""Atau mau tiup sama Mbak Eka?""Gak mau!"Talita berteriak kemudian berlari menuju kamarnya. Tak lama terdengar suara benturan pintu. Sikapnya menyiksa diriku. Hari ini adalah ulang tahunnya, namun Mas Arif justru menghancurkan mimpi indahnya. Papa macam apa dia?"Talita ...."Sebuah tangan menghentikan gerakan tanganku. Eka menggelengkan kepala saat mata kami saling bertemu."Biar aku saja, Mbak. Mbak bagikan makanannya dan meminta mereka pulang. Situasi ini tak baik jika disaksikan banyak orang."Eka berbisik kemudian pergi meninggalkan ruang keluarga. Dia pun masuk ke kamar Talita. Semoga saja Eka bisa membuat Talita berhenti menangis. Jujur tangis putriku adalah luka yang tak ada obatnya."Maaf atas ketidaknyamanannya. Pesta ulang tahun Talita sudah selesai. Makasih, ya, teman-teman sudah datang kemari.""Kan belum potong kue, Tente!""Iya, lilinnya aja belum ditiup."Aku diam, tak mampu menjawab semua pertanyaan teman-teman Talita. Bingkisan pun aku berikan satu persatu. Mereka akhirnya pulang dengan rasa kecewa yang nampak dari sorot matanya.Sebenarnya bukan hanya mereka yang kecewa, aku dan Talita sangat terluka. Bahkan tak ada kata yang mampu menjelaskan seperti apa hatiku saat ini.Semua orang sudah meninggalkan rumah kami. Hanya tinggal aku, Mas Arif dan anak itu.Aku diam, menatap ruangan yang susah payah aku dekor seorang diri. Dari pagi hingga pagi kupersiapkan acara spesial ini. Namun kenapa justru Mas Arif yang menghancurkannya. Dia merusak kebahagiaan putrinya demi seorang anak, entah siapa?"Bisa kamu jelaskan, Mas? Siapa anak itu? Siapa anak perempuan yang memanggilmu papa? Siapa!"Lepas sudah kesabaran yang sedari tadi kupertahankan. Bahkan aku sudah tak peduli jika tetangga mendengar pertengkaran kami. Saat ini aku butuh sebuah kejelasan. Aku butuh kejujuran dari Mas Arif, suamiku."Papa ... Cintya boleh tiup lilinnya? Cintya belum pernah tiup lilin ulang tahun. Boleh, ya, Pa."Anak perempuan yang bernama Cintya terus bergelayut manja di lengan suamiku. Papa ... Papa, sebutan itu yang terus kudengar. Hingga dadaku terasa sesak, bahkan untuk bernapas seolah tak sanggup.Tidak ada jawaban dari Mas Arif, dia masih bungkam. Seolah ia tenggelam dalam dimensi waktu yang berbeda."Boleh, ya, Pa!"Tanpa sadar tangan mengepal di samping. Dada naik turun menahan rasa sesak yang hampir meledak. Lama kelamaan aku semakin geram dengan tingkah anak itu. Ini pasta Talita, tapi kenapa justru dia yang menjadi tokoh utama?"Boleh, kan, Pa?"Cintya melepas genggaman tangannya. Anak itu berjalan mendekat ke arah meja. Ini tak bisa dibiarkan!"Jangan sentuh kue itu!" Aku tarik tangannya hingga menjauh dari kue Talita.Api masih membakar lilin hingga menyisakan setengahnya. Buru-buru aku tiup dan kumasukkan ke dalam kulkas. Aku abaikan mata Cintya yang mulai berkaca-kaca.Rasa simpati dan empati seakan hilang dalam diriku. Aku abaikan suara tangis anak itu. Siapa suruh mengacaukan pesta putri kecilku? Gara-gara dia Talitaku menangis hingga detik ini.Sebagai seorang ibu, tangis anak adalah luka yang tak ada obatnya."Karina ... tunggu!"Mas Arif menarik tanganku hingga ke kamar kami."Apa? Apa yang bisa kamu jelaskan?""Bukan begitu caranya menghadapi anak kecil, Rin. Cintya ketakutan dan menangis gara-gara sikap kasar kamu."Aku tersenyum sinis. Perkataan Mas Arif kian mencabik-cabik rasa percaya yang selalu kujunjung tinggi. Dia lebih memilih anak itu dibanding aku dan Talita."Lalu aku harus gimana? Seperti kamu yang memilih diam saat anak menangis? Kamu lebih memilih anak itu dibanding anak kandung kamu! Sadar gak, diam kamu menyakiti hati Talita. Hari ini ... hari yang dia tunggu. Hari penuh kebahagiaan yang ia impian satu bulan yang lalu. Tapi kamu tega merusaknya, Mas!"Cairan bening nan hangat jatuh tanpa permisi. Sesak tak bisa lagi kutahan. Baru kali ini aku merasa begitu sakit. Teramat sakit."Maaf, Rin. Bukan maksudku merusak kebahagiaan Talita. Bahkan mungkin menyakiti hati kamu."Mas Arif mendekat, tangannya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Namun segera kutepis, aku masih kesal dengan sikapnya."Maaf jika ucapanku tadi menyakiti kamu. Aku hanya tak suka kamu berbuat kasar pada orang lain, apalagi dia masih anak kecil. Cuman itu.""Sekarang jelaskan, siapa Cintya? Kenapa dia memanggil kamu papa? Jelaskan, Mas!"Mas Arif kembali diam, entah ke mana hilangkan kosakata yang ia miliki. Hingga ia tak mampu menjawab pertanyaanku."Mas Arif, jawab! Jangan diam saja! Siapa dia!""Pelankan suaramu, Rin!""Katakan, Mas! Siapa dia! Jangan bilang dia anak kamu. Kamu menikahi orang lain sebelum aku? Apa Cintya anak haram?""Stop, Rin!""Bela terus anak itu! Sekarang katakan siapa dia?""Cintya anakku! Puas kamu!"Pov Arif"Kenapa kamu bohongi aku, Rif? Katanya motret ... gak taunya mau kawin lagi. Apa aku kurang?"Aku diam, tak lagi menjawab ucapan Sasa. Pikiranku justru melayang, membayangkan wajah Karina.Bodoh, satu kata yang pantas menggambarkan diriku. Melepas berlian hanya untuk perak semata. Ingin kembali tapi nyatanya tak bisa. "Diem terus! Diem terus! Ngomong, Rif!" hardik Sasa. "Maaf, Sa ... maaf."Dari ribuan kata, hanya itu yang terlintas di kepala. Maaf ... maaf karena aku membuka pintu hingga kisah lama kembali berseru. Berharap rangakaiannya akan indah dan sempurna, tapi nyatanya berbeda. Sasa mendengus kesal, memiih diam sepanjang perjalanan Boyolali sampai Jakarta. Aku sendiri tenggelam dalam bayangan penyesalan yang tak bertepi. Sasa duduk di samping Cintya, tepat berhadapan denganku. Beruntung anak itu terlelap saat perdebatan terjadi di antara kami. Kini aku memilih memejamkan mata, menikmati jalannya kereta hingga sampai kota tujuan. ***"Aku berangkat dulu, Rin!" uca
"Sa--Sasa...," panggilnya terbata. Mas Arif gelagapan, wajahnya seketika menegang. Ada gurat ketakutan di sana. Entah ke mana tampang penuh percaya diri itu? Sasa mendekat, tanpa diminta dia duduk tepat di samping Mas Arif. Kedatangan Sasa membuat bapak dan ibu kebingungan. Sementara Talita meremas pakaianku dengan kencang. “Ini siapa, Nak Arif?”Bapak menatap tanda tanya pada perempuan yang duduk di samping mantan suamiku. Aku diam, memberi ruang dua orang itu untuk bicara. Saatnya menyaksikan pertunjukan.“Jelaskan, Nak Arif.” Ibu ikut menanyakan hal yang sama. Mereka sangat penasaran.“I-Ini ....”“Saya Sasa, istri Mas Arif. Lebih tepatnya istri di bawah tangan.”Spontan kedua mata mereka melotot. Wajah bapak pun menegang dengan mata menatap tajam dua insan di hadapan kami. Kaget kan, pak? Ya, seperti itu sikap menantu kesayangan kalian.“Istri Arif?”“Iya, Tante. Saya istri baru Arif. Kemarin dia bilang akan melakukan pemotretan, tapi malah datang kemari untuk melamar Karina.
"Bapak bicara dengan siapa?" "Bukan dengan siapa-siapa." Bapak pun mematikan sambungan teleponnya. "Sudah beli baksonya? Enak, to?"Aku mengangguk. Tidak lama bapak pergi menjauh. Meninggalkan tanda tanya yang kucoba tutupi. Lebih tepatnya menepis prasangka yang ada. Dering ponsel membangunkan diriku dari lelapnya tidur siang. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat gambar Talita di layar ponsel. "Kamu baik-baik saja, Rin?" tanya Fajar dari sambungan telepon. Entah kenapa kali ini ada bunga yang bermekaran. Padahal lelaki itu hanya menanyakan kabar. Apa sudah ada rasa untuknya? "Baik, Jar. Maaf, aku belum menjelaskan kepada orang tuaku. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Setidaknya hingga marahnya mereda.""Aku menanyakan kabarmu, bukan masalah itu."Kami mulai mengobrol, tak hanya masalah pernikahan ... hal kocak lainnya menjadi topik pembicaraan. Bersama dia aku seperti memilki sahabat. Bukan sekedar calon suami. Benar kata orang, menikah itu sepenuhnya mengobrol. Bukan ha
“Kamu yakin, Jar?”Lelaki di hadapanku menoleh, meletakkan koper kemudian menatapku lekat. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu dia mengatakan iya. Fajar akan melamarku di hadapan kedua orang tuaku.Sejenak aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Dalam diam hatiku bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan saat ini? Benarkah keputusan untuk menerima lamaran Fajar?“Semua akan baik-baik saja,Rin.” Fajar mengelus pelan pundakku. Dia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini.Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Talita pun sudah anteng duduk di jok belakang. Kami siap berangkat ke Boyolali, kota kelahiranku.Perjalanan menuju kota kelahiran membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Perjalanan panjang untuk kami dalam kecanggungan. Jujur saja ... hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk Fajar. Masih ada luka masa lalu yang membekas. Entah kapan sakit itu akan hilang sepenuhnya.Belum setengah perjalanan kami berhenti d
"Benar itu, Rin?, Kalian akan segera menikah?""Iya, Mas. Kami akan segera menikah, secepatnya."Mas Arif mengusap wajah kasar. Tanpa berpamitan ia pergi meninggalkan ruang rawat inapku. Sebongkah batu yang memenuhi dadaku seketika hilang. Bersamaan dengan perginya lelaki bergelar mantan suami. Lega karena dia tak muncul di hadapanku lagi. Denting jam terdengar begitu keras. Seolah mengisi keheningan karena kami memilih saling diam. Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa, bingung. "Fajar ....""Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Rin. Kamu tak sungguh-sungguh dengan perkataanmu, kan? Kamu lakukan untuk mengusir Arif."Kata-kata itu menampar telak diriku. Menciptakan rasa malu. Andai bisa berlari, ingin kutenggelamkan muka ini ke dasar bumi. "Maafkan aku, Jar."Aku menunduk, meremas jemari, menghilangkan perasaan bersalah. Nyatanya semakin besar aku mencoba menghilangkan, rasa itu kian jauh dalam tertanam. "Kenapa diam sih, Rin? Aku lho gak mempermasalahkan itu."Aku mendonga
"Bagaimana nasib Talita, Jar?"Aku kian khawatir. Menunggu lelaki itu bicara, tapi tak sepatah kata keluar dari mulutnya. "Talita gak kenapa-kenapa, Rin. Dia baik-baik saja.""Tapi tadi ....""Talita bersama Cantika di rumahnya. Ada yang usil sama kamu. Dia bilang Talita kecelakaan, kan? Padahal putri kamu baik-baik saja."Perkataan Fajar benar. Kalau dipikir ulang memang ada kejanggalan tentang kejadian tadi. Panik membuat aku tak sadar jika Talita masih berada di sekolah. Logika kalah dengan kecemasan. Kabar yang kudengar bak nyata. Sehingga kepala tak bisa berpikir dengan benar. "Kenapa kamu bisa sampai seperti ini, Rin?"Aku menggeleng, tak bisa berkata apa pun. Kejadian ini terlalu cepat. Sehingga aku tak tahu apa yang terjadi. "Aku harus pulang, Jar. Kasihan Talita sendirian di rumah."Aku hendak bergerak tapi sebuah tangan menahan gerakanku. Disusul tatapan tajam dengan gelengan kepala dari lelaki itu. Fajar melarang aku bergerak, apalagi meninggalkan ruangan ini. "Lalu T