Sesaat aku terpaku dengan pesan itu. Lelucon apa lagi? Jadi selama ini Mas Arif membohongiku? Benar-benar menipuku. "Ayo, Ma!"Tarikan tangan Talita menyentak lamunanku. Aku terperanjat, menoleh kanan kiri kebingungan. Bahkan tak sadar jika Talita sudah berdiri di depan pintu. "Ayo, Ma!"Talita kembali menarik tangan ini. Aku pun beranjak, mengunci pintu lalu melangkah menuju motor yang terparkir di carport. "Pakai helmnya."Aku berkata seraya memberikan helm pada Talita dan Cintya. Helm kuning milikku sudah terpasang lebih dulu. "Harusnya kita pakai mobil, Ma. Papa biar pakai motor."Sedikit kesal Talita memakai helmnya. Wajah yang gembira tiba-tiba cemberut. Anak itu paling tak suka menggunakan helm, tidak nyaman menjadi salah satu alasan saat ia menolak memakai perlengkapan keselamatan tersebut. "Mama sih gak bilang papa dulu. Kan bisa tukeran!""Bagaimana papamu mau tukeran jika ia memakai mobil untuk menjemput kekasihnya."Aku menjawab tapi hanya di dalam hati. Sejujurnya ak
"Karina."Lelaki itu kembali memanggilku saat aku diam membisu. "Bang Fajar kenal Mbak Karina?" tanya Salwa sambil menatap aku dan lelaki itu bergantian. "Temen abang saat kuliah dulu."Aku tersenyum tipis, ternyata benar dugaanku ... dia Fajar, lelaki yang pernah menyatakan cinta dan kutolak mentah-mentah. Hampir saja aku tak mengenali lelaki itu. Fajar yang dulu terlihat cupu kini berubah 180 derajat. Tak ada kacamata yang menempel di hidungnya. Namun kenapa dia ada di sini? Kembali aku fokus menjalankan pekerjaan. Merapikan rambut pelanggan agar terlihat sempurna. Namun terpaksa terhenti saat mendengar langkah kaki mendekat. "Sudah lama gak ketemu, Rin. Gimana kabar kamu?" Aku menoleh, kembali tersenyum meski manahan rasa malu. Kalau saja bisa lari, sudah pasti aku bersembunyi di dalam lemari. Kenapa pula Tuhan mempertemukan kami lagi."Seperti yang kamu lihat, Jar. Aku baik-baik saja.""Boleh ngobrol sebentar?""Boleh, aku selesaikan ini dulu."Lelaki itu mengangguk, lalu dud
[Untung kamu lihat Karina, Yang. Kalau tidak bisa ketahuan kita. ][Aman, Yang.][Sampai kapan aku harus menunggu, Yang?][Secepatnya, kamu sabar.]Tanganku mengepal tanpa diminta, amarah pun meledak bak bom yang dilempar, jatuh mengenai tanah. Mas Arif berniat meninggalkan aku dan Talita, dia lebih memilih perempuan itu dibanding aku, istrinya. Lalu untuk apa aku bertahan? Bulir demi bulir jatuh tanpa permisi. Sesak menelusup dalam rongga dada. Inikah akhir dari perjuanganku? Jika kamu memilih dia, aku akan pergi tanpa kamu minta. Perpisahan memang menyakitkan. Namun rasa sakit akan berlipat karena pengkhianatan. Apa susahnya jujur jika tak memiliki rasa, dari pada harus mendua dan membunuh mentalku secara perlahan. "Mama kenapa?"Cintya tiba-tiba duduk di sampingku. Anak itu pun menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Sejak kapan dia di sini? Televisi masih menyala di tengah keheningan yang tercipta. Ruang keluarga terasa begitu asing karena pikiran terjebak dalam dimen
"Kamu ada di mana, Mas?" tanyaku dari balik sambungan telepon. "Studio, Dek. Kenapa?""Aku ke sana, ya? Ada hal penting yang mau aku bicarakan.""Mas mau keluar, kita bicarakan di rumah saja, ya."Panggilan telepon ia matikan sepihak tanpa mendengar jawaban dariku. Kembali aku hubungin nomor Mas Arif. Namun lelaki itu justru menonaktifkan ponsel miliknya. Aku tahu kami di mana, Mas. Bersama Sasa, kan? Dadaku bergemuruh, amarah sudah berada di ubun-ubun. Mas Arif sudah keterlaluan. Kalau dia benar-benar ingin pergi, dengan senang hati aku akan melepasnya. Percuma tinggal satu atap tapi hati dan pikirannya untuk orang lain. Memasukkan hasil tes DNA dalam tas, aku pun beranjak meninggalkan kantin rumah sakit. Sesak, dadaku terasa malu meledak. Namun sekuat hati kutahan lara ini, aku tak ingin dikasihani orang lain. Mobil kulajukkan perlahan meninggalkan rumah sakit. Kendaraan roda empat berjalan lurus tanpa tahu tempat mana yang akan kutuju. Sejujurnya aku hancur, tak tahu harus mel
Mas Arif meminum kopi perlahan. Kemudian ia letakkan cangkir yang masih terisi kopi di atas meja. Helaan napas terdengar begitu berat. Aku diam, menanti setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Jawabannya kali ini menentukan hubungan kami. Aku akan menyerah jika dia memilih Sasa. Percuma berjuang jika nantinya tersiksa seorang diri. Hakikatnya pernikahan menyatukan dua hati, bukan memaksa untuk bertahan tinggal dengan satu hati. Jika nyatanya ada nama orang lain yang menelusup bahkan memenuhi seluruh hati dan pikirannya. Aku lelah berjuang seorang diri. Memaafkan sebuah kesalahan bisa aku lakukan. Namun jika berulang dan menggoreskan luka terlalu dalam, maaf aku tak sanggup. "Katakan, Mas!""Maafkan aku, Rin.""Aku butuh penjelasan, bukan sekedar kata maaf. Katakan kebenarannya, Mas!""Kamu benar, Rin. Cintya adalah anak Sasa, sahabat yang pernah kukenalkan padamu, dulu."Sesak, seolah tak ada pasokan oksigen yang ada di paru-paru. Sebenarnya aku tahu kenyataan akan seperti in
Seketika kami membisu, tanpa dikomando semua mata tertuju ke pintu. Seorang perempuan masuk tanpa mengucapkan salam. Dia melirikku kemudian tersenyum penuh kemenangan. Langkahnya pelan namun pasti. Postur tubuhnya menciptakan keangkuhan yang begitu besar. Senyum yang mengembang bak tarian kematian, bagiku dan Talita. "Mas udah sarapan belum?" tanyanya seraya mendekat ke arah suamiku. Tanpa rasa malu mereka pertontonkan hal yang tak pantas dilihat Talita atau pun Cintya. Berpelukan tepat di depan bola mataku. Mas Atif melakukan itu seolah tak memiliki rasa bersalah terhadapku. Mereka anggap apa aku ini? "Kenapa tante itu peluk papa, Ma?"Talita melepas genggaman tanganku. Anak itu menatap penuh tanda tanya pada dua insan yang tak memiliki urat malu. Tidak sadarkah mereka, ada hati yang terluka? "Ayo, Ta! Kita pergi sekarang!"Tangan mungil itu kembali kugenggam, menariknya pelan keluar rumah. Aku hiraukan teriakan Cintya yang terus memanggil namaku dan Talita. Aku ingin membutakan
"Aku tak salah dengar, Mas? Satu atap kamu bilang?"Tanpa rasa bersalah lelaki itu tersenyum ke arahku. Seolah ucapannya tak menyakiti hati. Egois, dia hanya mementingkan perasaannya sendiri. "Iya, Rin. Ayo pulang, kita mulai lagi dari awal.""Gak sudi aku, Mas. Mimpimu jangan terlalu tinggi, sampai kapan pun ... aku gak mau dimadu. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Aku tunggu surat perpisahan kita!"Kaca mobil aku naikkan. Lelaki itu tak henti-hentinya menggedor jendela seraya memanggil namaku. Lekas aku memacu kendaraan roda empat ini meninggalkan halaman sekolah. Stang mobil menjadi pelampiasan amarah yang meledak. Sesekali memaki lelaki bergelar suami. Sikapnya sudah keterlaluan, kukira dia akan mengiba dan memintaku kembali. Namun ternyata salah, dia hanya menginginkan Sasa, bukan aku dan Talita. Cukup aku memberinya kesempatan. Mulai hari ini aku berjanji, akan melepasnya pergi. Tak akan ada air mata yang jatuh untuknya. Aku relakan dia untuk Sasa dan Cintya.
"Karina.""Fajar.""Aduh maaf, ya. Kamu gak papa, Sayang?"Fajar jongkok memeriksa tangan dan kaki Talita. Memastikan tak ada yang terluka apalagi berdarah. Terlalu berlebihan jika mengira Talita bedarah karena jatuhnya tidak terlalu keras. "Gak papa, Jar. Talita yang salah lari gak lihat kanan kiri. Dia terobos saja sampai menabrak tubuh kamu dan jatuh.""Ini anak kamu, Rin?"Aku mengangguk, kemudian tersenyum pada lelaki itu. "Siapa namanya, Cantik?" tanya Fajar seraya mengulurkan tangan kanan. "Talita, Om.""Maaf, ya, Jar.""Gak papa."Lelaki itu menoleh kanan dan kiri, ekor matanya mencari sesuatu yang entah apa. Aku sendiri tak tahu, hanya menerka dia tengah mencari seseorang. Mungkin Mbak Salwa, tunangannya. "Suami kamu mana, Rin?""Kita udah gak tinggal satu rumah dengan papa, Om."Talita berbicara dengan polosnya. Seketika aku ingin berlari dan bersembunyi di dalam lemari. Sungguh aku seperti tak memiliki muka, malu sekali. "Talita mau es krim? Om traktir deh."Talita mel