Tubuhku luruh di lantai. Ponsel Mas Arif pun terlepas dari genggaman. Baru saja aku bernapas lega, bahkan mulai berdamai dengan kenyataan, namun kenapa Tuhan memberiku sebuah kejutan baru. Makasih udah mau jaga anak aku, Yang. Kalimat itu bak syair lagu yang terus terngiang di telinga. Namun bukan lagu cinta dan kebahagiaan, melainkan lagu kematian. Tuhan, misteri apa yang Engkau hadirkan untukku? Kenapa rasanya menyesakkan dada? Beberapa menit aku duduk di lantai dengan tubuh menempel di tembok. Tangisku kembali pecah, bahkan kini semakin menyesakkan dada. Mas Arif membohongiku lagi. Moya Zaya ... siapa pemilik nama itu? Kenapa dia memanggil sayang kepada Mas Arif? Tunggu ... anak mana yang ia maksud? Ibukah ibu Cintya Sri Sari Ningsih, bukan Moya Zaya. Tuhan, teka-teki macam apa ini? Aku hembuskan napas perlahan, mengatur sesak yang masih bersemayam dalam rongga dada. Sesakit ini menerima kenyataan. Setelah cukup tenang aku pun beranjak lalu melangkah menuju kamar. Aku s
"Ibu kandung kamu masih hidup atau sudah meninggal?""Bunda, maksud Mama?"Aku mengangguk. Entah bunda atau ibu, aku hanya ingin tahu wanita itu masih hidup atau sudah mati."Bundaku s....""Sayang, dompetku ketinggalan!"Aku mendengus kesal saat Mas Arif tiba-tiba muncul di belakangku. Gagal sudah niat untuk mengorek informasi Cintya. Ah, menyebalkan! Mas Arif pun masuk ke kamar, mengambil dompet lalu pergi lagi. Suara motor menjauh menandakan Mas Arif benar-benar pergi. Kali ini aku ingin dia pergi, bahkan dari hadapanku. Talita kembali duduk di sebelahku setelah meletakkan segelas air putih di atas meja. Dia menikmati es krim rasa vanila seraya menonton televisi. Senyum kembali hadir di wajahnya setelah awan mendung menyelimuti. Pertanyaan yang hendak keluar terpaksa kutelan kembali. Aku tak ingin awan mendung menyelimuti Talita. Ini bukan saat yang tepat untuk mengorek informasi. Biarlah aku menunggu asal Talita tak terluka kembali.Diamku seperti bom, hanya menunggu waktu yang
Sesaat aku terpaku dengan pesan itu. Lelucon apa lagi? Jadi selama ini Mas Arif membohongiku? Benar-benar menipuku. "Ayo, Ma!"Tarikan tangan Talita menyentak lamunanku. Aku terperanjat, menoleh kanan kiri kebingungan. Bahkan tak sadar jika Talita sudah berdiri di depan pintu. "Ayo, Ma!"Talita kembali menarik tangan ini. Aku pun beranjak, mengunci pintu lalu melangkah menuju motor yang terparkir di carport. "Pakai helmnya."Aku berkata seraya memberikan helm pada Talita dan Cintya. Helm kuning milikku sudah terpasang lebih dulu. "Harusnya kita pakai mobil, Ma. Papa biar pakai motor."Sedikit kesal Talita memakai helmnya. Wajah yang gembira tiba-tiba cemberut. Anak itu paling tak suka menggunakan helm, tidak nyaman menjadi salah satu alasan saat ia menolak memakai perlengkapan keselamatan tersebut. "Mama sih gak bilang papa dulu. Kan bisa tukeran!""Bagaimana papamu mau tukeran jika ia memakai mobil untuk menjemput kekasihnya."Aku menjawab tapi hanya di dalam hati. Sejujurnya ak
"Karina."Lelaki itu kembali memanggilku saat aku diam membisu. "Bang Fajar kenal Mbak Karina?" tanya Salwa sambil menatap aku dan lelaki itu bergantian. "Temen abang saat kuliah dulu."Aku tersenyum tipis, ternyata benar dugaanku ... dia Fajar, lelaki yang pernah menyatakan cinta dan kutolak mentah-mentah. Hampir saja aku tak mengenali lelaki itu. Fajar yang dulu terlihat cupu kini berubah 180 derajat. Tak ada kacamata yang menempel di hidungnya. Namun kenapa dia ada di sini? Kembali aku fokus menjalankan pekerjaan. Merapikan rambut pelanggan agar terlihat sempurna. Namun terpaksa terhenti saat mendengar langkah kaki mendekat. "Sudah lama gak ketemu, Rin. Gimana kabar kamu?" Aku menoleh, kembali tersenyum meski manahan rasa malu. Kalau saja bisa lari, sudah pasti aku bersembunyi di dalam lemari. Kenapa pula Tuhan mempertemukan kami lagi."Seperti yang kamu lihat, Jar. Aku baik-baik saja.""Boleh ngobrol sebentar?""Boleh, aku selesaikan ini dulu."Lelaki itu mengangguk, lalu dud
[Untung kamu lihat Karina, Yang. Kalau tidak bisa ketahuan kita. ][Aman, Yang.][Sampai kapan aku harus menunggu, Yang?][Secepatnya, kamu sabar.]Tanganku mengepal tanpa diminta, amarah pun meledak bak bom yang dilempar, jatuh mengenai tanah. Mas Arif berniat meninggalkan aku dan Talita, dia lebih memilih perempuan itu dibanding aku, istrinya. Lalu untuk apa aku bertahan? Bulir demi bulir jatuh tanpa permisi. Sesak menelusup dalam rongga dada. Inikah akhir dari perjuanganku? Jika kamu memilih dia, aku akan pergi tanpa kamu minta. Perpisahan memang menyakitkan. Namun rasa sakit akan berlipat karena pengkhianatan. Apa susahnya jujur jika tak memiliki rasa, dari pada harus mendua dan membunuh mentalku secara perlahan. "Mama kenapa?"Cintya tiba-tiba duduk di sampingku. Anak itu pun menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Sejak kapan dia di sini? Televisi masih menyala di tengah keheningan yang tercipta. Ruang keluarga terasa begitu asing karena pikiran terjebak dalam dimen
"Kamu ada di mana, Mas?" tanyaku dari balik sambungan telepon. "Studio, Dek. Kenapa?""Aku ke sana, ya? Ada hal penting yang mau aku bicarakan.""Mas mau keluar, kita bicarakan di rumah saja, ya."Panggilan telepon ia matikan sepihak tanpa mendengar jawaban dariku. Kembali aku hubungin nomor Mas Arif. Namun lelaki itu justru menonaktifkan ponsel miliknya. Aku tahu kami di mana, Mas. Bersama Sasa, kan? Dadaku bergemuruh, amarah sudah berada di ubun-ubun. Mas Arif sudah keterlaluan. Kalau dia benar-benar ingin pergi, dengan senang hati aku akan melepasnya. Percuma tinggal satu atap tapi hati dan pikirannya untuk orang lain. Memasukkan hasil tes DNA dalam tas, aku pun beranjak meninggalkan kantin rumah sakit. Sesak, dadaku terasa malu meledak. Namun sekuat hati kutahan lara ini, aku tak ingin dikasihani orang lain. Mobil kulajukkan perlahan meninggalkan rumah sakit. Kendaraan roda empat berjalan lurus tanpa tahu tempat mana yang akan kutuju. Sejujurnya aku hancur, tak tahu harus mel
Mas Arif meminum kopi perlahan. Kemudian ia letakkan cangkir yang masih terisi kopi di atas meja. Helaan napas terdengar begitu berat. Aku diam, menanti setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Jawabannya kali ini menentukan hubungan kami. Aku akan menyerah jika dia memilih Sasa. Percuma berjuang jika nantinya tersiksa seorang diri. Hakikatnya pernikahan menyatukan dua hati, bukan memaksa untuk bertahan tinggal dengan satu hati. Jika nyatanya ada nama orang lain yang menelusup bahkan memenuhi seluruh hati dan pikirannya. Aku lelah berjuang seorang diri. Memaafkan sebuah kesalahan bisa aku lakukan. Namun jika berulang dan menggoreskan luka terlalu dalam, maaf aku tak sanggup. "Katakan, Mas!""Maafkan aku, Rin.""Aku butuh penjelasan, bukan sekedar kata maaf. Katakan kebenarannya, Mas!""Kamu benar, Rin. Cintya adalah anak Sasa, sahabat yang pernah kukenalkan padamu, dulu."Sesak, seolah tak ada pasokan oksigen yang ada di paru-paru. Sebenarnya aku tahu kenyataan akan seperti in
Seketika kami membisu, tanpa dikomando semua mata tertuju ke pintu. Seorang perempuan masuk tanpa mengucapkan salam. Dia melirikku kemudian tersenyum penuh kemenangan. Langkahnya pelan namun pasti. Postur tubuhnya menciptakan keangkuhan yang begitu besar. Senyum yang mengembang bak tarian kematian, bagiku dan Talita. "Mas udah sarapan belum?" tanyanya seraya mendekat ke arah suamiku. Tanpa rasa malu mereka pertontonkan hal yang tak pantas dilihat Talita atau pun Cintya. Berpelukan tepat di depan bola mataku. Mas Atif melakukan itu seolah tak memiliki rasa bersalah terhadapku. Mereka anggap apa aku ini? "Kenapa tante itu peluk papa, Ma?"Talita melepas genggaman tanganku. Anak itu menatap penuh tanda tanya pada dua insan yang tak memiliki urat malu. Tidak sadarkah mereka, ada hati yang terluka? "Ayo, Ta! Kita pergi sekarang!"Tangan mungil itu kembali kugenggam, menariknya pelan keluar rumah. Aku hiraukan teriakan Cintya yang terus memanggil namaku dan Talita. Aku ingin membutakan