##BAB 10 DuitSaat azan subuh berkumandang, aku bergegas membangunkan Mas Frengky yang sedang terlelap membelakangiku.Sudah tepukan kesepuluh, ia tetap tak kunjung bangun.Ya sudahlah, toh aku juga sudah berusaha. Kalau dia masih mau bergelut dengan mimpinya ya sudah. Aku tak mau ambil pusing lagi.Segera aku beranjak dari tempat tidur. Mengguyur tubuhku dengan air dan bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban dua rakaat.Hingga aku selesai salat pun, Mas Frengky masih saja bergeming. Rupanya tidurnya sungguh pulas kali ini.Aku melipat mukena dan sajadah, meletakkannya di laci samping tempat tidur.Saat aku hendak melangkah, benda pipih berukuran 6 inci milik Mas Frengky yang berada di atas laci tersebut bergetar, layarnya menyala kedap-kedip.Aku bisa melihat ada panggilan suara masuk dari salah satu aplikasi chat berlogo telefon.Siapa yang menghubungi suamiku di pagi buta begini?Tanpa pikir panjang, aku bergegas mengambil ponselnya dan melihat nama yang tertera.Nama
##BAB 11 Menggagalkan Rencana“Kamu tunggu dulu, ya. Aku mau ganti sekalian siapin barang-barang yang mau dibawa,” kataku seraya melangkah masuk ke dalam kamar.Bisa kudengar kasak-kusuk dari arah luar. Mungkin mereka sedang melalukan perdebatan kecil. Entahlah.Instingku sebagai istri terbukti tajam, aku bisa tahu dari gelagat Mas Frengky yang tumben-tumbenan pergi ke luar kota pakai nginep segala.Dengan jurus ninja, tak sampai setengah jam aku sudah berpakaian rapi dan membawa tas ransel yang cukup besar. Berisi baju dan beberapa kebutuhanku.Mas Frengky terlihat duduk sembari meremas rambutnya, Cahaya masih saja asyik dengan sarapannya. Kelakuan ayahnya sama sekali tak mencuri perhatiannya.“Loh, Rosa mana, Mas?” tanyaku celingukan karena tak mendapati wanita itu di meja makan. Padahal beberapa menit yang lalu ia sudah kuperingatkan untuk menunggu.“Dia sudah pergi, ibunya menelfon menyuruhnya cepat berangkat, Bun. Rosa naik ojek di depan sana,” kata Mas Frengky sembari mengarahka
##BAB 12 Fakta Mencengangkan“Apa?” “Obat anti depresan, bahkan hampir satu minggu sekali paketan obat itu selalu mendarat ke alamat Resto. Aku sering menerimanya. Awalnya aku tak ingin tau, tapi karena terlalu seringnya obat itu bertandang ke mari, akhirnya aku kepo juga. Aku sempat tanya ke Mas Frengky, dia hanya bilang itu untuk Mbak Nayla yang susah tidur karena insomnia. Dari situ aku nggak mau ikut campur lagi, sampai puncaknya aku nemuin ponsel Mas Frengky yang khusus ia gunakan untuk berhubungan dengan seseorang. Aku sempat lihat beberapa balok notifikasi yang muncul di layar ponselnya ketika tak sengaja tertinggal di meja kerjaku, dan itu membuatku hampir pingsan karena tak menyangka,” kata Gilang seakan menerawang kejadian waktu itu.“Ppo-ponsel? Bukannya Mas Frengky hanya punya satu ponsel?” tanyaku tergagap.“Aku mengira juga seperti itu. Saat ponselnya tertinggal di meja, aku ingin menghubungi nomornya. Tapi ‘kan mana bisa, mengingat ponselnya ada di meja kerjaku, jadi k
##BAB 13 TerkuakSesampainya di rumah Bu Romlah, alias ibu mertuaku. Mas Frengky bergegas memarkirkan mobil ke carport.Aku dan Cahaya masuk terlebih dahulu ke dalam.“Assalamualaikum ....” salamku ketika masuk ke ruang tamu.Rumah Ibu tampak sepi, mungkin Reni dan Reno sedang kuliah, sedangkan Ibu? Entahlah di mana.Aku bergegas duduk di sofa sembari memainkan ponsel, menunggu kabar dari Gilang tentunya. Pesanku pada Rosa pun belum ada balasan, padahal status wa nya online beberapa menit yang lalu.Rupanya dia sengaja ingin menghindariku.“Masuk rumah bukannya salam, malah udah selonjoran. Dari mana?” ujar ibu mertua tiba-tiba sudah berdiri di depanku dengan wajah pias.“Lah, Nayla tadi udah salam, kok. Ibu aja yang nggak denger, mungkin faktor usia. Jadi maklum, deh,” ujarku santai.“Apa tadi kamu bilang?” tanyanya sembari mendekat ke arahku.“Oh ... nggak, bukan apa-apa,” jawabku masih dengan kaki selonjoran. Biarlah aku bersantai sejenak, badanku memang pegal butuh sandaran.“Fren
##BAB 14 Salah SasaranAku membuka mataku perlahan. Oh, ya ... aku ingat masih di rumah ibu mertua. Aku meraba kasur mencari ponselku.“Hmm ... sudah pukul 18:00 WIB, kenapa Mas Frengky tak membangunkanku? Aku belum menunaikan tiga rakaat,” lirihku sembari mengambil posisi duduk.Aku menggeliat, meregangkan semua otot-ototku agar lebih fresh.Ah ... rasanya lama tak tidur layaknya orang normal begini ....Biasanya aku mampu menghabiskan waktu seharian atau setidaknya 12 jam jika terlelap.Namun kali ini normal, seperti jadwal tidurku beberapa bulan yang lalu.Aku menatap ponsel, ada dua panggilan suara tak terjawab dari Gilang.Wah, pasti hal penting ini. Seakan tak ingin kehilangan kesempatan, aku bergegas menghubungi Gilang.“Assalamualaikum, maaf baru ngehubungi. Aku sempat tertidur tadi, apa semua sudah beres?” tanyaku ketika panggilan tersambung.“Waalaikumsalam, iya alhamdulillah sudah terpasang. Tinggal kamu sambungkan melalui ponsel, nanti aku kirim link caranya, ya. Kamu bisa
##BAB 15 Memasang CCTVBrak!Mas Frengky membanting pintu dengan kasar, matanya masih menyiratkan sorot kemarahan.Kami telah sampai di rumah, Cahaya pun sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Aku mulai mengamati ruang tamu, menuju ke ruang keluarga, meja makan dan dapur.Aneh ... di mana Gilang menempatkan CCTV nya, aku tak melihat benda hitam itu sama sekali.“Nyari apa kamu?” tanya Mas Frengky mengagetkanku. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di belakangku.“Ah enggak, Mas. Hanya saja aku rindu suasana rumah. Padahal baru beberapa jam aku meninggalkannya. Memang sebaik apapun rumah orang, masih lebih nyaman di rumah sendiri. Apalagi rumah yang dibeli dengan hasil kerja keras dan keringat sendiri,” ujarku sembari meliriknya sekilas.Mas Frengky hanya melengos, perkara teh tadi di rumah Ibu mampu membuatnya uring-uringan.“Kamu kalo capek istirahat, nggak usah marah-marah nggak jelas. Kok jadi ngelampiasin ke aku?” ujarku memandangnya malas.“Maaf, Sayang. Habis aku kesel bange
##BAB 16 TercidukRosa terlihat antusias menanggapi perintahku.Dengan semangat ’45 dia masuk ke kamar dan meletakkan barang-barangnya begitu saja.Ia bergegas menuju ke dapur, membuatkanku secangkir teh hangat.Mas Frengky memelukku dan membelai pipiku dengan lembut.Tentu saja dia senang, karena gundik kesayangannya sudah pulang.Mas Frengky menatapku dengan pandangan teduh. Huh ... baru saja beberapa menit yang lalu dia uring-uringan nggak jelas.“Aku sayang banget sama kamu, Bun,” ujar Mas Frengky membisikkan kata romantis tepat di belakang telingaku.Bulu kudukku meremang, seperti bisikan syaiton yang terdengar.Jika saja aku belum mengetahui aksi bejadnya, tentu dengan bangga dan bahagia aku akan membalas kata-kata cintanya.Tapi sekarang?Hanya senyuman tipis yang aku berikan.Mas Frengky masih saja memelukku di sampingnya. Kami sedang duduk di sofa panjang sembari menikmati acara televisi di ruang keluarga yang berhadapan langsung dengan kamar Rosa.“Kok Bunda nggak respon, s
##BAB 17 Gagal Ena-enaSetelah Rosa masuk ke dalam kamar. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamarku. Kulihat Mas Frengky sudah terlelap. Untuk memastikannya, aku sengaja mengubah posisi tidurnya. Menggerakkan beberapa anggota tubuhnya, dan membuka paksa kelopak matanya. Namun, Mas Frengky benar-benar sudah pulas.Kubuka ponselku, dengan cekatan aku masuk ke dalam aplikasi pengintai CCTV. Sasaran pertama yang kulihat, yakni kamar Rosa.Meskipun yang terekam kurang pencahayaan. Tapi aku bisa melihat dengan jelas sosok tubuh Rosa. Ia begitu lihai menyapu wajahnya dengan berbagai skincare di depan cermin. Entahlah skincare apa itu, aku tak seberapa jelas mengamatinya.Setelahnya Rosa beranjak berdiri dan membuka lemari plastik bersusun lima, ia mengambil pakaian yang masih rapi terbungkus dalam plastik transparan.Rosa merentangkan bajunya, menghadap ke cermin.Mataku membulat melihat pakaian dinas untuk istri yang bertugas memuaskan suami.Satu set pakaian mini ala tentara, dengan rok span