Share

Eps 6. Comeback

Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan.

Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. 

"Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. 

Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas.

                              * * 彡* *

Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk  abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen.

Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gata.

Jam istirahat tiba, kali ini Anila menyibukkan dirinya dengan membaca buku sebelum diadakan ulangan kedua setelah jam istirahat nanti.

Tiba-tiba Maya, salah satu anggota Geng Erika datang dan bertanya.

"Lagi baca buku apa sih?" 

Anila merasa ragu, bahwa Maya menanyainya dengan tulus. Seperti biasa Anila tidak terlalu menghiraukan teman-teman Erika.

"Iya," jawabnya tidak nyambung dan singkat.

"Buku pelajaran buat nanti?" tanyanya lagi

Anila tetap diam tak hirau.

"Loh, coba aku lihat." Maya maju mendekati Anila.

Anila hanya tetap diam baca buku.

Bukannya berpindah dari meja depan dan membacanya dari samping, Maya justru malah mendorong meja itu ke tubuh Anila.

Di belakang meja telah tersusun rapi, ada kursi di sela-sela meja yang tidak bisa lagi dimundurkan. 

Meja itu mendongak terangkat ke atas. Sedari tadi Anila hanya menerima dan diam saja. Namun, lama-kelamaan Maya tidak berperasaan mendorong meja itu hingga perut Anila terasa sakit. 

"Au... Sakit May," rintih Anila. 

"Mana tadi bacaan yang katamu buat pelanjaran nanti... Aku mau lihat, " ujar Maya pura-pura tidak mendengarkan Anila. 

"May, sakit, May.... " Anila mendesis kesakitan. Berusaha mengalihkan meja dari perutnya.

"Oh kurang maju ya, yang mana tadi?  Yang mana?" Maya  justru malah semakin mendorong meja itu maju. Semakin keras.

"Au... Au..."

Mejanya semakin menghimpit antara perut dan kursi yang Anila duduki. 

"AKU BILANG SAKIT MAYA!"

Erika dan teman-temannya datang melihat Anila terhimpit kursi.

Maya tertawa lebih dulu, merasa senang menyaksikan Anila kesakitan. Diikuti tawa bangga oleh Erika dan kedua temannya. 

Anila beranjak begitu Maya berhenti mendorong mejanya. Dia bergegas berlari ke luar kelas. 

"Hahahah kamu apakan tadi dia?" tanya Erika bahagia. 

"Engga, engga aku apa-apain,  cuma mau lihat buku doang, eh...." Mendorong meja kosong didepannya, mencontohkan. 

"Bagus," puji Erika mengajak Maya tos dan mereka berempat tertawa puas. 

Anila tidak perduli hari itu ada ulangan harian, dirinya terus berlari pelan. Melihat kotak sampah yang beberapa minggu lalu menggoreskan kenangan baginya. Semua itu terus saja mengingatkannya tentang rasa sakit, antara rasa sakit di bully temannya dan rasa sakit ketika mencampakan Gata.

Anila berlari pergi menuju taman sekolah. Dia melepas semua air matanya disana.

Duduk dibawah pohon. Merasa bahwa penyesalan dalam dirinya tidak juga mau menghilang. Pikirannya berkecamuk, seribu pertanyaan berdatangan, 

"Di manakah Gata? Berada di mana dia? Pindah kemanakah Dia?

Aku harus pergi dari sini, Aku tidak pernah tahan bersekolah di tempat ini lagi." adu Anila berjibaku dengan tangisannya.

Tiba-tiba ada sebuah angin berhembus mengitari, menyapu wajah sedih Anila.

Angin itu membuatnya tenteram sejenak merasakan kelembutan kedamaian yang luar biasa, di pikirannya hanya terlintas tentang buku bertuliskan Mereya itu lagi.

Anila berusaha menyadarkan dirinya, menggeleng kepala.

"Buku diary itu,"

Anila mengingat sesuatu tentang kejadian kemarin yang membuatnya bisa pergi dari bumi ini.

Anila berlari menuju kelas tanpa menghiraukan pertanyaan Guru dan teman-teman yang menatapnya heran.

Langsung saja Dia membuka tas dan mengambil buku itu. Membawanya kembali pergi ke bawah pohon tempat dimana biasanya Gata dan Anila mengobrol bersama.

Anila menarik nafas dalam-dalam, membuangnya perlahan dan mulai menggerakkan tangannya. Dia menekankan teramat keras pena ditangannya yang mengakibatkan terjadi kejadian aneh itu lagi.

Ia kembali membentuk sebuah segitiga huruf A, untuk menembusnya.

Yang Ia lakukan berhasil. Mendung pekat tiba-tiba hadir di cuaca yang cerah. Segerombolan mendung itu membuat waktu siang seakan sudah temaram.

Siswa-siswa lain merasa keheranan menatap perubahan cuaca yang signifikan.

Anila berusaha untuk tenang dan tidak takut, karena dia pernah melakukan ini sebelumnya, dia yakin akan baik-baik saja.

Petir menyambar hebat, Erika dan teman-temannya berteriak, ketakutan. Semuanya berlarian.

Anila merasa terkejut sebentar, buku diary Mereya miliknya kembali menyala terang.

Lagi-lagi Anila telah sampai di Alam bebas dengan buku besar dihadapannya. Tanpa berfikir panjang langsung saja Anila masuk dan tiba kembali di alam buku itu.

"Huh, akhirnya," dengus Anila menatap pintu buku yang menghilang.

Sekolah Anila kembali tenang, cuaca kembali cerah. Banyak orang menduga-duga ada hal aneh yang berada di sekolahan itu.

"Kemana aku ya? Aku lumayan lupa jalan untuk menuju rumah nenek itu, atau? Aku jalan-jalan dulu, kayaknya ini lebih baik deh, hehe" Senyum Anila kembali mengembang, setelah sedari tadi menahan sakit hati dan sakit perut.

Anila berjalan-jalan mengunjungi beberapa toko yang luar biasa unik dan aneh di sana. Namun, anehnya semua orang seperti acuh pada Anila, walaupun beberapa menatapnya heran karena penampilannya yang berbeda.

"Aku harus terlihat seperti mereka, agar tiada yang curiga bahwa aku manusia," batin Anila.

Mengamati sekitar sebentar,

"Nah itu–" Anila melihat sebuah toko bertulis 'clothes book shop' "–kok namanya aneh ya? Alah gapapa gak," yakinnya.

Anila masuk, membuka pintu perlahan.

Melihat banyaknya baju-baju aneh seperti yang mereka kenakan, harganya-pun beragam.

Baju-baju itu ada yang terbuat dari koran, ada yang bermotif lipatan baju, intinya, semua baju disini tidak ada yang polos, semuanya bermotif tentang buku.

Anila mengambil beberapa baju bermotif koran dan membawanya ke kasir. Kasir itu juga nampak aneh, di kepalanya membawa buku.

Anila menyodorkan baju yang dia pilih, kasir itu menatapnya heran.

"Hanya ini?" tanya sang kasir.

Anila mengangguk.

"50 huruf"

"H? lima puluh huruf?" teriak Anila tercengang.

Semua orang yang berbelanja di sana langsung menatap Anila, ia menunduk memohon maaf menganggu.

"Apa kamu tidak punya uang? Ayo berikan 50 huruf!" tegurnya

Anila mengamati lagi, dia tidak punya 50 huruf, apa itu? Ia tetap terdiam mengamati sekitar, yang  ada hanya orang-orang yang berbincang saja.

"Ah ya, aku mengerti," Anila memang tidak pintar tapi dia cerdas, suka berpikir lebih di antara orang biasanya.

"A-ku  i-ngin  mem-beli  ba-ju  i-ni un-tuk  me- nyama-kan  a-ku  de-ngan ya-ng  la-in" ucap Anila sengaja terbata diperjelas.

Petugas kasir itu bengong, menatap Anila lamat-lamat.

"Bu?" tegur Anila menyadarkan.

"Itu, uang yang sempurna, 50 huruf, pas dan tidak kurang tidak lebih, baku dan sempurna" jelasnya

Anila tidak mengerti apa yang di maksud sosok di depannya itu.

Dia mengerutkan dahinya.

"Kamu boleh berbelanja disini sepuasmu, tanpa membayar lagi, uangmu akan aku abadikan di toko ini,"

Selama ini tidak ada yang memberikan uang berupa alasan yang seperti Anila katakan, sebab semua orang sudah sama, jadi tidak ada yang beralasan begitu. Mereka berkata, ingin, butuh dan lain-lain. 

Anila berhasil membuat kegemparan di toko pertama yang ia kunjungi, petugas toko dan kasir di sana, kini sangat menghormati tiap kali Anila datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status