Share

Eps 7. Benih Ditanam

Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya.

Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas.

"Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis.

Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah.

"Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila.

"Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas.

Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut. 

"Heh, lihatkan, ituh tu wajib, udah di garis merah juga," kata Maya yang berdiri di belakangnya.

"Aku nggak mau ikut," sanggah Anila.

Ilona ikut datang, "Heh ini bukan kita ya, yang buat, jadi kamu harus ikut."

Anila tidak menjawab. Acap kali, ketika rombongan Erika datang, dia tidak bisa melawan mereka. Bahkan, dengan satu kalimat sekalipun. Bibirnya serasa terkunci, sangat susah untuk mengucap kata. 

"Ikut!" bentak Ilona

Anila hanya menggeleng tidak mau,

Dasha tiba, ikut bergabung bersama Ilona dan Maya. Dasha sangat tidak sabar melihat Anila yang hanya diam saja. Seketika dia langsung menarik jilbab Anila hingga terdongak ke belakang.

"Heh kamu! Denger nggak si! Diajak ngomong, diam aja. Kamu HARUS IKUT!"

"Aduuh... Dasha sakit, lepasin!"

Dasha justru malah menariknya semakin kuat dan membuat Anila semakin merintih kesakitan.

Sudah berulangkali Anila menolak untuk tetap tidak mau mengikuti kompetisi itu. Namun, mereka tetap memaksa Anila untuk ikut. Entah mengapa, padahal mereka juga tahu bahwa Anila tidak pernah bercerita tentang Ayahnya di sekolah.

"Aku tidak akan ikut..." teguh Anila.

Dasha menariknya semakin kuat dan Anila semakin tidak tahan.

"Baiklah, baiklah... tolong lepaskan, ini sangat sakit..."

"Kamu masih tidak akan ikut? Kenapa? Anak Haram tidak punya ayahkah?" tanyanya jahat.

Anila menggeleng lagi, tangannya berusaha melepas jambak-kan keras Dasha.

Dasha menariknya tambah tak berperasaan.

"Baiklah, Iya! Aku akan ikut!"

Dasha mendorong kepala Anila menjauh, Anila buru-buru merapikan kembali tampilannya yang telah diacak oleh Dasha. Memegangi kepalanya yang sakit.

                          * * 彡* *

Semua makanan tersaji telah selesai disantap, meja tersisa berantakan. Hanya Anila yang belum menghabiskan makanannya, sejak tadi dia hanya memainkan sendok dan memakan dua suap. Padahal, makan malam telah tamat. 

Tersisa ibu sendiri yang membereskan meja, sedang, Anila masih duduk menghadap piring makanan. Ruang makan telah sepi.

Ayar beralasan ada banyak pr yang harus dis kerjakan. 

Anala juga ikut mencari alasan. Katanya, harus mengirim naskah novelnya yang harus diterbitkan malam ini. Ya, Anala memang bekerja sebagai seorang penulis novel dan cerita di beberapa platform terkenal.

"Ibu, Anila mau tanya sesuatu, pada Ibu," ucap Anila merendahkan suaranya yang terdengar kecewa.

"Tanya apasih Anila, mending nanti kalau udah selesai makannya, kamu bantu ibu buat cuci piringnya."

"Tapi Ibu, Anila ingin bertanya sesuatu pada Ibu,"

"Kalau cuma–"

"–engga Ibu, ini bukan tentang Ayar atau Kak Anala." potong Anila cepat.

"Oh, ya sudah,"

Ibunya membereskan semua gelas mengumpulkannya dalam nampan dan membawanya pergi.

Ibu Anila hilir-mudik, sibuk membereskan piring setelah makan malam yang berantakan.

Tangan Ibunya mulai menyambangi satu persatu sudut meja, dan tak menatap hirau wajah Anila yang geram ingin bertanya.

"IBU!  Jawab Anila!"  hardik anila tiba-tiba.

"Ha?"

Ibunya tidak mengerti dan terkejut mendengar Anila meninggikan suaranya.

"Siapa Ayah Anila?," serobot Anila langsung saja, tanpa basa-basi.

Ibunya langsung terpaku. Mengapa tiba-tiba Anila  menanyakan hal seperti itu? Bukankah selama ini dia cukup tahu dan sudah sangat lama rahasia itu terpendam aman.

Ibu Anila langsung pergi tanpa menjawab sepatah kata pun.

"Ibu, jawab Anila."

Ibunya tetap berpura pura tak hirau, menyibukkan dirinya dengan mengelap meja makan.

"Ibu, Anila mohon jawab Anila..."

Ibunya masih pura- pura tidak perduli.

"Ibu...." Anila sangat geram, dan tetap berusaha untuk sabar.

Ibunya beranjak pergi, membawa piring-piring kotor.

"IBU, APAKAH ANILA ANAK HARAM!"

"STOP! JAGA MULUTMU ANILA" seloroh Ibunya menyengal napas.

"Kalau begitu. Jawab Anila, siapa Ayah Anila!"

"Ayahmu, ya... Kakekmu itu."

"Ibu berbohong, Anila bukan Ayar yang masih kecil dan dapat dibohongi, Ibu." Anila masih terus mengeyel, bersikeras.

"Jadi sekarang kamu sudah besar?! Sudah lebih pintar bicaranya untuk melawan Ibu?"

Anila terdiam sejenak, menyesali ucapannya.

"Tapi Ibu, Anila kan hanya bertanya. Siapa Ayah Anila..."

"Kamu tidak perlu tahu," Ibunya dari tadi menjawab sambil membereskan sisa makanan.

"Anila harus tahu, Ibu,"

Ibunya tidak menghiraukan dan mencuci piring.

Anila berdiri di hadapan Ibunya seperti sosok gaib.

"Ibu, tolong jawab Anila..." Anila mulai menangis, hidungnya tersumbat. Matanya memerah.

Ibunya masih juga mencuci piring.

"Berarti beneran, Anila anak haram seperti yang dikatakan teman-teman, dan Anila tidak memiliki Ayah?"

"IBU BILANG HENTIKAN ANILA. kau!"

Ibunya menarik napas

"Sama saja seperti Ayahmu, tidak pernah bisa menghargai cinta!" bentak Ibu Anila tertekan.

"Ibu, Ayah?"

"DIAM ANILA!. Ternyata kau sama seperti Ayahmu. Sama-sama tidak tahu dicinta. ORANG YANG TIDAK MENGHARGAI KASIH SAYANG DAN CINTA, dia akan celaka!"

Guntur bergemuruh pelan, Ibunya baru menyadari omongannya. Dia seorang Ibu, tidak seharusnya berkata seperti itu. Baik atau tidak, apa pun Perkataan seorang Ibu adalah didesain Ilahi untuk dikabulkan.

Tersirat di dalam hati Ibu Anila penyesalan akan perkataannya  barusan. Sayang, tetapi semuanya telah terucap.

            * * 彡* *

~•~

[ Ibu ]

Anila menangis,

[ Maafkan Anila Ibu, tidak seharusnya Anila bertanya seperti itu kepada Ibu, Anila bertanya seperti itu kepada Ibu, karena Anila selalu di-bully di sekolahan, Ibu tidak pernah tahu, bahwa Anila menghadapi masalah di sekolah. Ibu tidak tahu. Bahkan, kerap kali Anila disebut Anak haram.]

[Apakah salah, jika seorang anak ingin mengetahui siapa Ayah kandungnya? Apakah salah, jika seorang anak sedikit saja ingin mengetahui alasan, dan apa yang terjadi pada ayahnya? Apakah itu salah?]

Anila mengisak tangisnya.

[17 tahun sudah, Aku hidup tanpa cinta pertama.

Aku bangga, aku masih punya Ibu, tetapi aku tidak pernah menyukai takdir. Dia selalu saja mengahardikku dengan cobaannya.]

"Huft... huft"

[Aku benci semuanya! I HATE ALL. ]

Akhirnya, Anila  hanya dapat menulis semua kalimat panjang itu di dalam buku diary-nya.

Dia tak pernah mampu untuk menceritakan kepada orang lain, tiada yang mau berbaik hati memberikan telinga padanya.

"Siapakah ayahku?"

"Mengapa Ayah tega meninggalkan Aku dan Ibu?"

"Apakah ini kesalahanku? Hingga Aku harus menerima ketidakadilan seperti ini?"

"Lengkap sudah sekarang, Ayahku satu-satunya telah pergi. Tak lama, temanku satu-satunya pun juga ikut pergi."

"Huft... Huft..."

"Gata.... Kamu juga kemana sih, coba aja kalau ada kamu tadi di sekolah, pasti aku ga bakalan buat Ibuku satu-satunya juga membenciku,"

"Huft... Huft..."

Semua pikiran itu berkutat dalam benak Anila, sebelum akhirnya ia dapat tenang menutup matanya, memeluk guling melepas rasa lelah terhadap kehidupannya.

Setelah lama pikirannya tak mau diam, dengan susah payah akhirnya Anila dapat terlelap juga.

Asya Ns

Beneran, suer deh... Kalau kalian yang baca ceritaku terus berkomentar... komentar kalian itu buat aku terharu... this is first time.. thk u readers😩

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status