Share

BAB 3

Penulis: Zunistia.A
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-25 01:08:12

Angin pagi di Jakarta hanya menyisakan dingin yang samar, tapi dada Nada terasa penuh sesak. Malam tadi ia tidak tidur. Matanya menatap kosong langit-langit apartemen sambil memutar ulang percakapan dengan Damar… dan momen singkat saat ia melihat Reza bersama wanita asing di kafe.

Ia datang ke kantor lebih awal, seperti yang diminta. Tapi bukan karena perintah Reza. Nada datang karena ingin jawaban.

**

Reza menunggunya di ruangannya. Ruangan itu berbeda pagi ini—lampu belum sepenuhnya menyala, hanya cahaya lembut dari jendela besar yang membiaskan bayangan tubuhnya ke lantai marmer. Nada berdiri di ambang pintu, ragu.

“Masuklah,” kata Reza, tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia pegang.

Nada melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Aroma parfum kayu manis Reza samar-samar menyelimuti ruangan. Hangat. Tenang. Tapi membuat jantungnya berdetak tak menentu.

“Ini.” Reza menyodorkan secangkir kopi padanya. “Tanpa gula, kan?”

Nada menatapnya, mencoba membaca maksud di balik perhatian kecil itu. Ia menerima cangkir itu, lalu duduk, menjaga jarak.

“Aku tahu kamu merasa terganggu dengan kehadiran Damar,” kata Reza, langsung pada intinya. “Dan dia bilang sesuatu ke aku.”

Nada diam.

“Dia bilang kamu pernah jadi miliknya.”

Nada mengangkat wajah. “Aku bukan barang.”

“Dan aku nggak pernah menganggap kamu seperti itu,” balas Reza cepat. Matanya menatap dalam, terlalu dalam. “Tapi aku tahu kamu menyimpan sesuatu. Aku bisa lihat dari cara kamu menahan diri.”

Nada menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan cangkir ke meja. “Aku nggak butuh dikasihani.”

“Aku nggak kasihan, Nad. Aku tertarik.”

Nada terkesiap. Kalimat itu terdengar sangat pelan, tapi menghantam seperti badai.

Reza berdiri, perlahan melangkah mendekat. Ia tidak menyentuhnya, tapi kehadirannya terlalu dekat. Nafas mereka terasa bertemu di udara. “Aku tertarik padamu, bukan hanya sebagai staf… tapi sebagai perempuan. Dan kamu tahu itu.”

Nada memalingkan wajah, tapi Reza mengangkat dagunya perlahan, memaksanya menatap.

“Saat kamu bilang kamu baik-baik saja, aku tahu kamu bohong.”

Ia terlalu dekat. Napas Reza menggelitik kulit lehernya. Suasana terasa begitu panas, meski AC kantor masih menyala dingin.

“Aku bisa jadi pelindungmu, atau jadi pria yang kamu lawan… tergantung apa yang kamu pilih,” bisik Reza.

Detik itu juga, Nada tak bisa melawan. Bukan karena lemah. Tapi karena hatinya lelah—dan tubuhnya haus akan pelukan yang bukan luka.

Tangan Reza menyentuh pipinya, lembut… seperti seseorang yang menyentuh luka lama dengan penuh hati-hati. Lalu turun ke tengkuknya, membuat bulu kuduk Nada berdiri. Ia tak menolak saat Reza menarik tubuhnya perlahan, membiarkannya bersandar di dada bidang pria itu.

“Kalau kamu butuh tempat aman… aku ada,” bisiknya.

**

Beberapa menit setelah momen itu pecah oleh dering telepon, Nada pergi dari ruangan itu dengan langkah gemetar. Bukan karena takut—tapi karena ada sesuatu di dalam dirinya yang baru saja terbuka… dan itu membuatnya ketagihan.

Namun, sore harinya segalanya kembali berubah.

Saat Nada mencari file proyek lama di ruang arsip, ia menemukan sebuah map berdebu. Awalnya ia ingin mengabaikannya—tapi satu nama membuatnya membeku:

“PT Gama Pratama – Direktur Proyek: Damar Hartanto / Komisaris: Reza Atmadja.”

Tangannya gemetar.

“Jadi, mereka... sudah saling kenal sejak dulu?”

Ia menggenggam map itu erat, seperti menggenggam kenyataan pahit. Matanya panas, dadanya sesak. Semua perhatian Reza… apakah itu nyata? Atau permainan lain dari masa lalu yang kembali menghantuinya?

Dalam diam, dunia Nada perlahan runtuh. Lagi.

Nada tidak tahu bagaimana ia bisa berdiri di depan cermin selama itu. Bibirnya masih memerah, bukan karena lipstik, tapi karena sisa kehangatan dari bibir Reza yang sempat menyentuhnya… tipis… nyaris seperti mimpi.

Ia tahu itu salah—terlalu cepat, terlalu membingungkan. Tapi tubuhnya masih mengingat bagaimana detak jantung Reza terasa di bawah tangannya. Bagaimana tangan pria itu menyentuhnya tanpa tergesa, seolah membaca setiap garis luka yang tak pernah ia tunjukkan.

Hari itu, mereka tak lagi bicara di kantor. Hanya tatapan panjang dari kejauhan. Tapi setiap kali mata mereka bertemu, seolah ada percakapan rahasia yang tak butuh kata-kata.

**

Malam harinya, Nada menerima pesan:

Reza: “Aku ingin bicara. Di luar kantor. Malam ini. Kamu mau?”

Ia mengetik: “Di mana?”

**

Kafe kecil di Kemang, tersembunyi di antara deretan ruko. Lampu temaram, musik jazz pelan, dan suasana yang terasa sangat… intim. Reza sudah menunggunya di sudut ruangan, mengenakan kemeja hitam, lengan tergulung sampai siku. Terlihat lebih santai—tapi matanya tetap tajam.

Nada datang dengan mantel tipis, gaun dalamnya membalut tubuh rampingnya sempurna. Bukan untuk menggoda—tapi ia ingin terlihat berani. Ia tahu malam ini akan membuka pintu yang tak bisa ditutup kembali.

“Terima kasih sudah datang,” kata Reza. Suaranya tenang, tapi jelas ada ketegangan yang disembunyikan.

“Aku datang bukan untuk jawaban. Tapi untuk kejujuran,” balas Nada.

Mereka bicara lama. Tentang proyek Gama, tentang masa lalu Reza dan Damar yang ternyata tak pernah akur, tentang keputusan bisnis yang kelam dan alasan kenapa Reza memilih keluar dari proyek itu. Tapi di sela-sela percakapan serius itu, ada hal lain yang tumbuh… perlahan… dan semakin intens.

“Aku tahu kamu takut padaku sekarang,” kata Reza, menatap lurus ke mata Nada.

“Aku takut pada diriku sendiri,” jawab Nada jujur. “Karena… aku ingin hal-hal yang seharusnya nggak kuinginkan.”

Reza menyentuh punggung tangannya di atas meja. “Aku bukan laki-laki yang sempurna, Nad. Tapi aku juga bukan Damar. Kalau kamu izinkan, aku akan tunjukkan itu.”

**

Beberapa jam kemudian, mereka berada di apartemen Reza.

Hujan turun pelan, memantulkan cahaya lampu kota ke jendela besar yang menghadap Jakarta. Nada berdiri di sana, punggungnya menghadap Reza, tubuhnya sedikit gemetar.

“Aku bisa pergi sekarang… kalau kamu ragu,” suara Reza terdengar dari belakang.

Nada menoleh perlahan. “Aku nggak ragu. Tapi aku takut.”

Reza melangkah pelan, memeluknya dari belakang. “Takut bukan berarti harus mundur.”

Ciuman pertamanya datang seperti bisikan. Lembut. Menghormati. Tapi setelah itu, keheningan pecah menjadi gelombang hasrat yang tak lagi bisa dibendung. Tangan mereka saling mencari, bukan dengan nafsu, tapi dengan kerinduan yang lama tertahan. Seolah tubuh mereka berbicara dalam bahasa yang hanya mereka pahami: bahasa luka, dan bahasa penyembuhan.

Reza mencium lehernya, perlahan, seperti membaca buku harian yang selama ini terkunci rapat. Nada menekan tubuhnya lebih dekat, mencari perlindungan dan ketelanjangan emosi dalam pelukan pria itu.

Malam itu, mereka tak hanya saling menyentuh tubuh. Tapi juga saling membuka jiwa—membiarkan semua luka terlihat, dan membiarkan diri dicintai… walau hanya untuk satu malam.

**

Pagi hari, sinar matahari menembus tirai jendela. Nada terbangun, mengenakan kemeja Reza yang terlalu besar untuk tubuhnya. Ia berdiri di dapur, memandang pria itu sedang membuat kopi.

Untuk sesaat, semua terasa normal. Damai.

Tapi di balik ketenangan pagi itu, Nada tahu—ini bukan akhir dari rahasia. Ini… baru permulaan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ANTARA AKU KAMU DAN RAHASIA ITU   BAB 16

    (POV NADA)Pagi itu seperti pagi biasa—matahari naik malas dari timur, embun tersisa di ujung daun, dan suara radio kecil tetangga yang menyetel lagu nostalgia terlalu keras. Tapi tubuhku tidak biasa.Mual.Pusing.Dan dada yang terasa penuh seperti menahan gelombang kecil yang enggan reda.Sudah tiga minggu aku menunda menyadari ini. Mungkin karena tidak siap, atau mungkin karena tidak ingin terbukti benar. Tapi pagi ini aku berjalan ke apotek kecil di ujung jalan, membeli satu hal yang selama ini hanya kulihat di film-film drama malam hari.Tes kehamilan.**Aku kembali ke kamar. Sunyi.Wastafel kecil menampung air putih, dan tanganku gemetar saat membuka bungkusnya.Satu menit pertama, aku duduk di lantai, menunduk.Dua menit berikutnya… aku menatapnya.> Dua garis.Satu garis kehidupan.Satu garis kenyataan.Aku tidak menangis. Tidak marah. Tidak panik.Tapi dadaku sesak.Bukan karena takut. Tapi karena tahu: aku tidak bisa berpura-pura lagi.**Aku berdiri, berjalan pelan ke jend

  • ANTARA AKU KAMU DAN RAHASIA ITU   BAB 15

    Langit Jogja pagi itu cerah tanpa ampun.Kereta berhenti perlahan di Stasiun Tugu, dan bersama embusan udara panas yang menyambut, aku turun dengan langkah ringan. Ransel di pundak, mata lelah, tapi hati—untuk pertama kalinya sejak lama—terasa lapang.Aku menginap di rumah singgah milik seorang teman seniman. Di pinggiran kota, dekat sawah, jauh dari suara klakson dan ritme hidup Jakarta yang menyesakkan. Tidak ada lift. Tidak ada ruangan kaca. Tidak ada Reza.Hanya suara jangkrik, harum tanah, dan waktu yang terasa lambat.**Di dinding kamar kecil itu tergantung lukisan cat air—potret seorang perempuan memejamkan mata di tengah angin.Seperti aku.Perempuan yang akhirnya belajar… bahwa untuk mencintai dunia, ia harus kembali mencintai dirinya sendiri lebih dulu.**Aku duduk di beranda, menggambar.Tanganku bergerak pelan di atas kertas. Sketsa wajah. Lembut, tajam, hidup.Itu wajahku sendiri. Bukan karena narsis—tapi karena aku ingin tahu siapa yang selama ini kulupakan.Lalu terde

  • ANTARA AKU KAMU DAN RAHASIA ITU   BAB 14

    (Pov NADA)Pagi itu aku terbangun di tempat yang asing.Bukan karena tempatnya benar-benar asing. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir… aku tidak perlu buru-buru bersiap untuk kantor, atau khawatir dengan pesan singkat dari Reza yang menuntut waktu, atau menghindari sorot mata Mira yang tajam.Pagi ini… hanya aku, dan napasku sendiri.**Aku menatap langit-langit kamar kos kecil yang kusewa seminggu sebelumnya. Sederhana. Catnya mulai mengelupas. Tapi di sini, aku merasa lebih tenang dari apartemen mewah manapun yang pernah aku tinggali.Ponselku sudah kupasang mode senyap sejak kemarin.Puluhan pesan dari Reza belum kubuka.Ada juga beberapa dari Mira. Dan bahkan satu dari Damar. Tapi aku belum siap.Bukan karena aku takut. Tapi karena aku masih menyusun kembali diriku—bagian-bagian yang sudah terlalu lama kutinggalkan demi menyenangkan semua orang kecuali diri sendiri.**Aku berjalan ke meja kecil dan membuka buku catatan.Sesuatu yang dulu selalu kulakuk

  • ANTARA AKU KAMU DAN RAHASIA ITU   BAB 13

    POV REZAAku memutar gelas kosong di atas meja makan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, dan apartemen ini lebih dingin dari biasanya—bukan karena suhu ruangan, tapi karena tak ada suara dari kamar sebelah.Nada pergi.Dan yang lebih menyakitkan dari kepergiannya… adalah aku tahu dia benar untuk pergi.**Laptopku menyala. Halaman presentasi terbuka tapi tak satu pun kata yang masuk akal.Yang muncul di layar pikiranku hanyalah bayangan wajahnya:Saat ia membaca isi flashdisk itu. Saat matanya berubah dari lembut menjadi penuh luka.Lalu suara pintu tertutup.Lalu… hening.**Aku membuka pesan yang kukirim ke Nada.Masih centang dua. Belum dibaca.Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di leherku. Bukan fisik. Tapi semacam kegelisahan yang tumbuh dari perasaan tertahan terlalu lama.Aku bangkit, membuka lemari, dan menarik kotak tua dari laci bawah.Kotak itu berisi berkas lama: foto-foto, catatan kantor… dan sepucuk surat dari Mira yang belum pernah kubuka sejak tahun lalu.Tanganku

  • ANTARA AKU KAMU DAN RAHASIA ITU   BAB 12

    Kafe makin sepi. Waktu berjalan pelan.Hanya suara sendok beradu dengan gelas, dan detak jantungku sendiri.Lalu pintu terbuka.Damar masuk. Basah kuyup. Jaketnya menggantung setengah, napasnya terburu.Mataku langsung bertemu matanya. Dan semuanya hening.Tak ada lagi ruang untuk berpura-pura.Dia duduk di depanku, tanpa banyak bicara.Tangannya gemetar, tapi bukan karena dingin.“Terima kasih udah datang,” kataku pelan.“Harusnya aku yang minta maaf.” suaranya rendah, serak.Aku memandangi wajah yang dulu pernah aku hafal luar kepala.Kini terasa asing, tapi tetap membuat jantungku sakit saat menatapnya terlalu lama.“Aku lihat rekamannya. Kamu dan Mira.”Damar mengangguk. Tidak membela diri.“Aku salah, Nad. Aku biarin semuanya jadi rumit. Aku pikir aku bisa... keluar tanpa menyakiti siapa-siapa.”Aku tersenyum tipis. “Tapi justru itu kesalahanmu. Kamu mencoba jadi orang baik di cerita yang kotor.”Damar menunduk.Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku—sebuah foto kecil yang su

  • ANTARA AKU KAMU DAN RAHASIA ITU   BAB 11

    (POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status