Angin pagi di Jakarta hanya menyisakan dingin yang samar, tapi dada Nada terasa penuh sesak. Malam tadi ia tidak tidur. Matanya menatap kosong langit-langit apartemen sambil memutar ulang percakapan dengan Damar… dan momen singkat saat ia melihat Reza bersama wanita asing di kafe.
Ia datang ke kantor lebih awal, seperti yang diminta. Tapi bukan karena perintah Reza. Nada datang karena ingin jawaban. ** Reza menunggunya di ruangannya. Ruangan itu berbeda pagi ini—lampu belum sepenuhnya menyala, hanya cahaya lembut dari jendela besar yang membiaskan bayangan tubuhnya ke lantai marmer. Nada berdiri di ambang pintu, ragu. “Masuklah,” kata Reza, tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia pegang. Nada melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Aroma parfum kayu manis Reza samar-samar menyelimuti ruangan. Hangat. Tenang. Tapi membuat jantungnya berdetak tak menentu. “Ini.” Reza menyodorkan secangkir kopi padanya. “Tanpa gula, kan?” Nada menatapnya, mencoba membaca maksud di balik perhatian kecil itu. Ia menerima cangkir itu, lalu duduk, menjaga jarak. “Aku tahu kamu merasa terganggu dengan kehadiran Damar,” kata Reza, langsung pada intinya. “Dan dia bilang sesuatu ke aku.” Nada diam. “Dia bilang kamu pernah jadi miliknya.” Nada mengangkat wajah. “Aku bukan barang.” “Dan aku nggak pernah menganggap kamu seperti itu,” balas Reza cepat. Matanya menatap dalam, terlalu dalam. “Tapi aku tahu kamu menyimpan sesuatu. Aku bisa lihat dari cara kamu menahan diri.” Nada menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan cangkir ke meja. “Aku nggak butuh dikasihani.” “Aku nggak kasihan, Nad. Aku tertarik.” Nada terkesiap. Kalimat itu terdengar sangat pelan, tapi menghantam seperti badai. Reza berdiri, perlahan melangkah mendekat. Ia tidak menyentuhnya, tapi kehadirannya terlalu dekat. Nafas mereka terasa bertemu di udara. “Aku tertarik padamu, bukan hanya sebagai staf… tapi sebagai perempuan. Dan kamu tahu itu.” Nada memalingkan wajah, tapi Reza mengangkat dagunya perlahan, memaksanya menatap. “Saat kamu bilang kamu baik-baik saja, aku tahu kamu bohong.” Ia terlalu dekat. Napas Reza menggelitik kulit lehernya. Suasana terasa begitu panas, meski AC kantor masih menyala dingin. “Aku bisa jadi pelindungmu, atau jadi pria yang kamu lawan… tergantung apa yang kamu pilih,” bisik Reza. Detik itu juga, Nada tak bisa melawan. Bukan karena lemah. Tapi karena hatinya lelah—dan tubuhnya haus akan pelukan yang bukan luka. Tangan Reza menyentuh pipinya, lembut… seperti seseorang yang menyentuh luka lama dengan penuh hati-hati. Lalu turun ke tengkuknya, membuat bulu kuduk Nada berdiri. Ia tak menolak saat Reza menarik tubuhnya perlahan, membiarkannya bersandar di dada bidang pria itu. “Kalau kamu butuh tempat aman… aku ada,” bisiknya. ** Beberapa menit setelah momen itu pecah oleh dering telepon, Nada pergi dari ruangan itu dengan langkah gemetar. Bukan karena takut—tapi karena ada sesuatu di dalam dirinya yang baru saja terbuka… dan itu membuatnya ketagihan. Namun, sore harinya segalanya kembali berubah. Saat Nada mencari file proyek lama di ruang arsip, ia menemukan sebuah map berdebu. Awalnya ia ingin mengabaikannya—tapi satu nama membuatnya membeku: “PT Gama Pratama – Direktur Proyek: Damar Hartanto / Komisaris: Reza Atmadja.” Tangannya gemetar. “Jadi, mereka... sudah saling kenal sejak dulu?” Ia menggenggam map itu erat, seperti menggenggam kenyataan pahit. Matanya panas, dadanya sesak. Semua perhatian Reza… apakah itu nyata? Atau permainan lain dari masa lalu yang kembali menghantuinya? Dalam diam, dunia Nada perlahan runtuh. Lagi. Nada tidak tahu bagaimana ia bisa berdiri di depan cermin selama itu. Bibirnya masih memerah, bukan karena lipstik, tapi karena sisa kehangatan dari bibir Reza yang sempat menyentuhnya… tipis… nyaris seperti mimpi. Ia tahu itu salah—terlalu cepat, terlalu membingungkan. Tapi tubuhnya masih mengingat bagaimana detak jantung Reza terasa di bawah tangannya. Bagaimana tangan pria itu menyentuhnya tanpa tergesa, seolah membaca setiap garis luka yang tak pernah ia tunjukkan. Hari itu, mereka tak lagi bicara di kantor. Hanya tatapan panjang dari kejauhan. Tapi setiap kali mata mereka bertemu, seolah ada percakapan rahasia yang tak butuh kata-kata. ** Malam harinya, Nada menerima pesan: Reza: “Aku ingin bicara. Di luar kantor. Malam ini. Kamu mau?” Ia mengetik: “Di mana?” ** Kafe kecil di Kemang, tersembunyi di antara deretan ruko. Lampu temaram, musik jazz pelan, dan suasana yang terasa sangat… intim. Reza sudah menunggunya di sudut ruangan, mengenakan kemeja hitam, lengan tergulung sampai siku. Terlihat lebih santai—tapi matanya tetap tajam. Nada datang dengan mantel tipis, gaun dalamnya membalut tubuh rampingnya sempurna. Bukan untuk menggoda—tapi ia ingin terlihat berani. Ia tahu malam ini akan membuka pintu yang tak bisa ditutup kembali. “Terima kasih sudah datang,” kata Reza. Suaranya tenang, tapi jelas ada ketegangan yang disembunyikan. “Aku datang bukan untuk jawaban. Tapi untuk kejujuran,” balas Nada. Mereka bicara lama. Tentang proyek Gama, tentang masa lalu Reza dan Damar yang ternyata tak pernah akur, tentang keputusan bisnis yang kelam dan alasan kenapa Reza memilih keluar dari proyek itu. Tapi di sela-sela percakapan serius itu, ada hal lain yang tumbuh… perlahan… dan semakin intens. “Aku tahu kamu takut padaku sekarang,” kata Reza, menatap lurus ke mata Nada. “Aku takut pada diriku sendiri,” jawab Nada jujur. “Karena… aku ingin hal-hal yang seharusnya nggak kuinginkan.” Reza menyentuh punggung tangannya di atas meja. “Aku bukan laki-laki yang sempurna, Nad. Tapi aku juga bukan Damar. Kalau kamu izinkan, aku akan tunjukkan itu.” ** Beberapa jam kemudian, mereka berada di apartemen Reza. Hujan turun pelan, memantulkan cahaya lampu kota ke jendela besar yang menghadap Jakarta. Nada berdiri di sana, punggungnya menghadap Reza, tubuhnya sedikit gemetar. “Aku bisa pergi sekarang… kalau kamu ragu,” suara Reza terdengar dari belakang. Nada menoleh perlahan. “Aku nggak ragu. Tapi aku takut.” Reza melangkah pelan, memeluknya dari belakang. “Takut bukan berarti harus mundur.” Ciuman pertamanya datang seperti bisikan. Lembut. Menghormati. Tapi setelah itu, keheningan pecah menjadi gelombang hasrat yang tak lagi bisa dibendung. Tangan mereka saling mencari, bukan dengan nafsu, tapi dengan kerinduan yang lama tertahan. Seolah tubuh mereka berbicara dalam bahasa yang hanya mereka pahami: bahasa luka, dan bahasa penyembuhan. Reza mencium lehernya, perlahan, seperti membaca buku harian yang selama ini terkunci rapat. Nada menekan tubuhnya lebih dekat, mencari perlindungan dan ketelanjangan emosi dalam pelukan pria itu. Malam itu, mereka tak hanya saling menyentuh tubuh. Tapi juga saling membuka jiwa—membiarkan semua luka terlihat, dan membiarkan diri dicintai… walau hanya untuk satu malam. ** Pagi hari, sinar matahari menembus tirai jendela. Nada terbangun, mengenakan kemeja Reza yang terlalu besar untuk tubuhnya. Ia berdiri di dapur, memandang pria itu sedang membuat kopi. Untuk sesaat, semua terasa normal. Damai. Tapi di balik ketenangan pagi itu, Nada tahu—ini bukan akhir dari rahasia. Ini… baru permulaan.Nada mulai terbiasa bangun di apartemen Reza. Bukan karena ia ingin menjadikan tempat itu rumah, tapi karena tubuhnya merasa aman di bawah selimut pria itu. Tapi pagi ini, saat ia berjalan ke ruang tamu dengan rambut masih kusut dan mengenakan kaus Reza, ia menemukan seseorang berdiri di sana.Seorang wanita.Tinggi, anggun, dan mengenakan gaun merah pas tubuh yang memperlihatkan bahu dan belahan dada yang terlalu disengaja. Rambutnya terurai panjang, dan matanya menatap Nada dari kepala sampai kaki… dengan senyum kecil yang menyebalkan.“Maaf,” katanya dengan suara lembut namun menusuk. “Aku nggak tahu Reza sekarang suka perempuan biasa.”Nada tercekat. Ia hanya bisa berdiri diam, sementara wanita itu berjalan perlahan ke arah dapur, seolah sudah mengenal tiap sudut rumah itu.Reza muncul dari kamar, wajahnya kaget, lalu berubah jadi kaku. “Mira?”“Hai,” Mira membalas dengan senyum tipis. “Tenang aja, aku nggak datang untuk meru
Damar duduk sendirian di sudut bar hotel mewah di kawasan Sudirman. Jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, dan gelas ketiganya baru saja datang. Matanya menatap kosong ke layar ponsel—tak ada pesan dari Nada.Sudah seminggu sejak terakhir mereka bicara. Ia tahu ada yang berubah. Nada menjauh, seperti ada benteng tak kasat mata yang membuatnya tak bisa lagi menyentuh perempuan itu. Tapi Damar tidak bodoh. Ia tahu perubahan itu datang sejak Reza kembali muncul dalam orbit mereka.Ia tahu siapa Reza sebenarnya. Lebih dari yang Nada tahu.Dan ia menyimpan rahasia yang bahkan bisa menghancurkan pria itu… jika ia mau.**“Kau minum lagi, Dam?”Suara itu datang dari perempuan yang duduk di sebelahnya—Amara, sekretaris baru yang terlalu cantik untuk posisi terlalu sederhana. Damar tahu niat wanita itu sejak awal, dan biasanya ia tak terlalu peduli. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya ingin melukai sesuatu… atau seseorang."T
Nada duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Hujan di luar turun deras, menggantikan suara hatinya yang mulai gaduh. Reza berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota. Sejak semalam, keduanya seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.Nada bicara duluan. Suaranya pelan, tapi tegas."Kamu sayang sama aku?"Reza menoleh, sedikit kaget. “Tentu. Kenapa kamu nanya gitu?”Nada menggigit bibir. “Kalau iya… kenapa kamu nggak pernah cerita siapa Mira sebenarnya?”Reza menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya. “Dia masa lalu, Nad.”"Tapi dia masih ada di sini. Masuk ke hidup kita. Dan kamu… kamu diem aja."“Aku bingung harus mulai dari mana,” kata Reza pelan. “Dulu, aku dan dia... kita bukan cuma pacaran. Kita partner. Dalam bisnis. Dalam hal lain juga.”Nada menahan napas. “Hal lain?”Reza mengalihkan pandangan. “Aku dulu orang yang nggak kamu kenal, Nad. Ambisius.
(POV Nada)Malam itu aku tidur dalam pelukan Reza. Tapi hatiku tak pernah benar-benar tidur. Mataku menatap langit-langit kamar, dan pikiranku terus mengulang-ulang kata-kata Mira… file yang ia kirimkan… dan cara Reza menjawab.Aku tidak tahu apakah aku lebih sakit karena apa yang ia lakukan, atau karena caranya menyembunyikan semuanya seolah-olah aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan.Aku tidak rapuh. Aku hanya manusia.**Pagi harinya, saat Reza sudah berangkat lebih dulu, aku duduk di depan laptopnya.Ada satu folder yang selalu dikunci password.Folder itu bernama “NYX.”Aku pernah tanya artinya, dan Reza bilang itu cuma nama acak. Tapi sekarang, aku tahu dia berbohong. Karena aku cek di Google… dan Nyx adalah dewi malam dan rahasia dalam mitologi Yunani.Dan Reza memilih nama itu untuk menyembunyikan sesuatu.**Aku mencoba beberapa kata: Mira. Tanggal ulang tahun. Nama ibuny
(POV Mira) Semua orang selalu menganggap aku bayangan. Sekretaris yang cantik, pintar, tahu tempat. Orang yang hadir di setiap rapat, tapi tak pernah benar-benar diperhitungkan. Mereka lupa… bayangan selalu tahu lebih banyak daripada cahaya. Dan sekarang, saat mereka sibuk memainkan permainan, mereka lupa bahwa aku yang dulu menciptakan papan catur ini. ** Aku melihat Reza mulai panik. Nada mulai berubah. Damar kembali muncul. Persis seperti yang kuharapkan. Aku belajar dari masa lalu. Dari saat Damar memilih Nada, meninggalkanku seolah aku hanya batu loncatan. Dari saat Reza menjadikan aku alat, lalu melemparku begitu saja ketika dia mulai jatuh cinta pada "wanita baik-baik" itu. Lucu. Mereka semua berpikir aku lemah karena mencintai. Padahal, aku hanya sedang menunggu waktu. ** Di layar laptopku, ada salinan file—rekaman, dokumen transaksi gelap, jejak digital yang selama ini kusimpan. Semua bisa kuledakkan kapan saja. Tapi belum. Belum sekarang. Aku ingin lebih dari itu
Ponselku diam di meja. Notifikasi pesan dari Reza tak kubuka. Sudah tiga kali ia menanyakan keberadaanku. Tapi kali ini aku memilih diam.Aku sedang duduk di mobil Damar. Parkir di bawah gedung tempat Mira pernah bekerja sebelum masuk ke perusahaan Reza. Kami melacak ke belakang, mencari celah, mencari motif.Damar menatapku. “Kamu yakin mau masuk sejauh ini?”Aku mengangguk. “Aku nggak bisa tidur kalau terus jadi penonton, Dam.”Dia tersenyum samar. Ada rasa bangga di matanya. Tapi juga cemas. Aku tahu, dia takut aku akan terluka lagi.**Kami menemui seseorang—mantan rekan kerja Mira bernama Hana. Perempuan tua yang bicara pelan tapi penuh kepedihan. Ia pernah dipecat secara misterius setelah menyelidiki audit fiktif. Dan satu nama yang selalu muncul saat itu: Reza.“Mira tahu lebih banyak dari siapa pun. Tapi dia diam. Lalu, entah bagaimana, dia dapat posisi strategis di perusahaan kamu sekarang.”Darahku mengalir lebih cepat.Semua... mulai masuk akal.**Saat malam tiba, aku pula
(POV Reza)Pukul 05.12 pagi. Dia belum pulang.Nada tidak menjawab pesan. Tidak menelepon. Bahkan lokasi di aplikasiku menunjukkan “tidak tersedia.”Dan aku tahu… apa artinya itu.Aku menggeser jari di layar. Kamera keamanan kantorku masih menyimpan arsip-arsip lama yang tidak pernah kudelete—bukan karena paranoia, tapi karena di dunia ini, orang yang paling kau percaya adalah yang paling berbahaya.Video 4 tahun lalu.Koridor gelap. Mira dan Damar. Mereka berdiri terlalu dekat. Lalu bertengkar. Mira menunjuk wajahnya, dan Damar mencengkeram lengannya. Ada ciuman. Ada penolakan. Lalu Mira kabur.Aku memutar ulang adegan itu tiga kali. Bukan karena ingin melihat, tapi karena ingin mengingatkan diriku sendiri:tidak ada yang benar-benar bersih dalam cerita ini.Ponselku bergetar.Mira.Aku mengangkat. “Iya.”Suaranya dingin. Tak bersisa sisa simpati. “Dia semalam di tempat Damar.”Aku mendiaminya.“Apa kamu marah?”“Kenapa kamu bilang ke aku?” aku balas.Dia tertawa kecil. “Karena kamu
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu
(POV Reza)Pukul 05.12 pagi. Dia belum pulang.Nada tidak menjawab pesan. Tidak menelepon. Bahkan lokasi di aplikasiku menunjukkan “tidak tersedia.”Dan aku tahu… apa artinya itu.Aku menggeser jari di layar. Kamera keamanan kantorku masih menyimpan arsip-arsip lama yang tidak pernah kudelete—bukan karena paranoia, tapi karena di dunia ini, orang yang paling kau percaya adalah yang paling berbahaya.Video 4 tahun lalu.Koridor gelap. Mira dan Damar. Mereka berdiri terlalu dekat. Lalu bertengkar. Mira menunjuk wajahnya, dan Damar mencengkeram lengannya. Ada ciuman. Ada penolakan. Lalu Mira kabur.Aku memutar ulang adegan itu tiga kali. Bukan karena ingin melihat, tapi karena ingin mengingatkan diriku sendiri:tidak ada yang benar-benar bersih dalam cerita ini.Ponselku bergetar.Mira.Aku mengangkat. “Iya.”Suaranya dingin. Tak bersisa sisa simpati. “Dia semalam di tempat Damar.”Aku mendiaminya.“Apa kamu marah?”“Kenapa kamu bilang ke aku?” aku balas.Dia tertawa kecil. “Karena kamu
Ponselku diam di meja. Notifikasi pesan dari Reza tak kubuka. Sudah tiga kali ia menanyakan keberadaanku. Tapi kali ini aku memilih diam.Aku sedang duduk di mobil Damar. Parkir di bawah gedung tempat Mira pernah bekerja sebelum masuk ke perusahaan Reza. Kami melacak ke belakang, mencari celah, mencari motif.Damar menatapku. “Kamu yakin mau masuk sejauh ini?”Aku mengangguk. “Aku nggak bisa tidur kalau terus jadi penonton, Dam.”Dia tersenyum samar. Ada rasa bangga di matanya. Tapi juga cemas. Aku tahu, dia takut aku akan terluka lagi.**Kami menemui seseorang—mantan rekan kerja Mira bernama Hana. Perempuan tua yang bicara pelan tapi penuh kepedihan. Ia pernah dipecat secara misterius setelah menyelidiki audit fiktif. Dan satu nama yang selalu muncul saat itu: Reza.“Mira tahu lebih banyak dari siapa pun. Tapi dia diam. Lalu, entah bagaimana, dia dapat posisi strategis di perusahaan kamu sekarang.”Darahku mengalir lebih cepat.Semua... mulai masuk akal.**Saat malam tiba, aku pula
(POV Mira) Semua orang selalu menganggap aku bayangan. Sekretaris yang cantik, pintar, tahu tempat. Orang yang hadir di setiap rapat, tapi tak pernah benar-benar diperhitungkan. Mereka lupa… bayangan selalu tahu lebih banyak daripada cahaya. Dan sekarang, saat mereka sibuk memainkan permainan, mereka lupa bahwa aku yang dulu menciptakan papan catur ini. ** Aku melihat Reza mulai panik. Nada mulai berubah. Damar kembali muncul. Persis seperti yang kuharapkan. Aku belajar dari masa lalu. Dari saat Damar memilih Nada, meninggalkanku seolah aku hanya batu loncatan. Dari saat Reza menjadikan aku alat, lalu melemparku begitu saja ketika dia mulai jatuh cinta pada "wanita baik-baik" itu. Lucu. Mereka semua berpikir aku lemah karena mencintai. Padahal, aku hanya sedang menunggu waktu. ** Di layar laptopku, ada salinan file—rekaman, dokumen transaksi gelap, jejak digital yang selama ini kusimpan. Semua bisa kuledakkan kapan saja. Tapi belum. Belum sekarang. Aku ingin lebih dari itu
(POV Nada)Malam itu aku tidur dalam pelukan Reza. Tapi hatiku tak pernah benar-benar tidur. Mataku menatap langit-langit kamar, dan pikiranku terus mengulang-ulang kata-kata Mira… file yang ia kirimkan… dan cara Reza menjawab.Aku tidak tahu apakah aku lebih sakit karena apa yang ia lakukan, atau karena caranya menyembunyikan semuanya seolah-olah aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan.Aku tidak rapuh. Aku hanya manusia.**Pagi harinya, saat Reza sudah berangkat lebih dulu, aku duduk di depan laptopnya.Ada satu folder yang selalu dikunci password.Folder itu bernama “NYX.”Aku pernah tanya artinya, dan Reza bilang itu cuma nama acak. Tapi sekarang, aku tahu dia berbohong. Karena aku cek di Google… dan Nyx adalah dewi malam dan rahasia dalam mitologi Yunani.Dan Reza memilih nama itu untuk menyembunyikan sesuatu.**Aku mencoba beberapa kata: Mira. Tanggal ulang tahun. Nama ibuny
Nada duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Hujan di luar turun deras, menggantikan suara hatinya yang mulai gaduh. Reza berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota. Sejak semalam, keduanya seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.Nada bicara duluan. Suaranya pelan, tapi tegas."Kamu sayang sama aku?"Reza menoleh, sedikit kaget. “Tentu. Kenapa kamu nanya gitu?”Nada menggigit bibir. “Kalau iya… kenapa kamu nggak pernah cerita siapa Mira sebenarnya?”Reza menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya. “Dia masa lalu, Nad.”"Tapi dia masih ada di sini. Masuk ke hidup kita. Dan kamu… kamu diem aja."“Aku bingung harus mulai dari mana,” kata Reza pelan. “Dulu, aku dan dia... kita bukan cuma pacaran. Kita partner. Dalam bisnis. Dalam hal lain juga.”Nada menahan napas. “Hal lain?”Reza mengalihkan pandangan. “Aku dulu orang yang nggak kamu kenal, Nad. Ambisius.
Damar duduk sendirian di sudut bar hotel mewah di kawasan Sudirman. Jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, dan gelas ketiganya baru saja datang. Matanya menatap kosong ke layar ponsel—tak ada pesan dari Nada.Sudah seminggu sejak terakhir mereka bicara. Ia tahu ada yang berubah. Nada menjauh, seperti ada benteng tak kasat mata yang membuatnya tak bisa lagi menyentuh perempuan itu. Tapi Damar tidak bodoh. Ia tahu perubahan itu datang sejak Reza kembali muncul dalam orbit mereka.Ia tahu siapa Reza sebenarnya. Lebih dari yang Nada tahu.Dan ia menyimpan rahasia yang bahkan bisa menghancurkan pria itu… jika ia mau.**“Kau minum lagi, Dam?”Suara itu datang dari perempuan yang duduk di sebelahnya—Amara, sekretaris baru yang terlalu cantik untuk posisi terlalu sederhana. Damar tahu niat wanita itu sejak awal, dan biasanya ia tak terlalu peduli. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya ingin melukai sesuatu… atau seseorang."T
Nada mulai terbiasa bangun di apartemen Reza. Bukan karena ia ingin menjadikan tempat itu rumah, tapi karena tubuhnya merasa aman di bawah selimut pria itu. Tapi pagi ini, saat ia berjalan ke ruang tamu dengan rambut masih kusut dan mengenakan kaus Reza, ia menemukan seseorang berdiri di sana.Seorang wanita.Tinggi, anggun, dan mengenakan gaun merah pas tubuh yang memperlihatkan bahu dan belahan dada yang terlalu disengaja. Rambutnya terurai panjang, dan matanya menatap Nada dari kepala sampai kaki… dengan senyum kecil yang menyebalkan.“Maaf,” katanya dengan suara lembut namun menusuk. “Aku nggak tahu Reza sekarang suka perempuan biasa.”Nada tercekat. Ia hanya bisa berdiri diam, sementara wanita itu berjalan perlahan ke arah dapur, seolah sudah mengenal tiap sudut rumah itu.Reza muncul dari kamar, wajahnya kaget, lalu berubah jadi kaku. “Mira?”“Hai,” Mira membalas dengan senyum tipis. “Tenang aja, aku nggak datang untuk meru
Angin pagi di Jakarta hanya menyisakan dingin yang samar, tapi dada Nada terasa penuh sesak. Malam tadi ia tidak tidur. Matanya menatap kosong langit-langit apartemen sambil memutar ulang percakapan dengan Damar… dan momen singkat saat ia melihat Reza bersama wanita asing di kafe.Ia datang ke kantor lebih awal, seperti yang diminta. Tapi bukan karena perintah Reza. Nada datang karena ingin jawaban.**Reza menunggunya di ruangannya. Ruangan itu berbeda pagi ini—lampu belum sepenuhnya menyala, hanya cahaya lembut dari jendela besar yang membiaskan bayangan tubuhnya ke lantai marmer. Nada berdiri di ambang pintu, ragu.“Masuklah,” kata Reza, tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia pegang.Nada melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Aroma parfum kayu manis Reza samar-samar menyelimuti ruangan. Hangat. Tenang. Tapi membuat jantungnya berdetak tak menentu.“Ini.” Reza menyodorkan secangkir kopi padanya. “Tanpa gula, k