Lorong menuju ruang meeting terasa lebih panjang dari biasanya. Nada melangkah dengan langkah hati-hati, berkas di tangan, dan isi kepalanya dipenuhi kata-kata yang tak bisa ia ucapkan.
Reza sudah berdiri di dalam ruangan, setengah membelakangi pintu, tangannya mengatur slide presentasi di layar lebar. Nada masuk dengan napas teratur, mencoba bersikap profesional. Tapi semua itu runtuh dalam hitungan detik saat pintu terbuka kembali. Dan dia masuk. Damar—dengan jas abu gelap, kemeja tanpa dasi, dan tatapan yang tidak berubah sejak dulu: tajam, tenang, dan penuh teka-teki. Mata mereka bertemu. Hanya beberapa detik. Tapi cukup untuk membuat jantung Nada berdegup terlalu keras. Dia menegakkan badan, tidak ingin terlihat rapuh. “Lama nggak ketemu,” ucap Damar, nadanya santai, tapi penuh nada yang terselip. “Ternyata kamu kerja di sini, Nad.” Nada membalas dengan datar, “Kebetulan.” Reza menoleh. Ada sesuatu di wajahnya—tidak bertanya, tidak juga menginterupsi. Tapi diamnya bicara banyak. Mereka mulai rapat. Nada fokus mencatat, Reza memaparkan ide besar kampanye mereka, dan Damar… sesekali melirik ke arahnya. Seperti ingin menguji. Saat rapat usai dan peserta mulai keluar, Damar mendekat. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat Nada tak nyaman. “Kita perlu bicara,” katanya pelan. “Tapi bukan di kantor.” Nada menatapnya tajam. “Udah nggak ada yang perlu dibicarakan.” Damar tersenyum miring. “Kamu yakin?” Nada memutar tubuh, berjalan pergi. Tapi kalimat terakhir Damar menyusul pelan dari belakang: “Aku tahu alasan kamu kabur malam itu. Dan aku tahu siapa yang bantu kamu.” Nada berhenti sejenak. Tangannya gemetar kecil. Tapi ia tak menoleh, hanya melanjutkan langkahnya keluar ruangan. --- Di luar ruangan, Reza menunggu. “Kamu nggak apa-apa?” Nada menoleh cepat. “Saya baik, Pak.” Reza mengangguk pelan. Tapi kali ini, dia tak langsung pergi. Matanya menatap jauh, dan dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, ia berkata: “Kamu tahu… kadang luka lama nggak butuh sembuh. Kadang, kita cuma perlu tahu kalau ada orang yang ngerti rasanya.” Nada tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa tidak benar-benar sendiri. Nada berjalan dengan langkah yang lebih cepat, berusaha mengusir bayangan masa lalu yang terus menghantuinya. Pintu ruang rapat masih terbuka, tapi ia tak ingin menoleh lagi. Damar berada di sana, ada yang terasa janggal, dan ia tahu itu. Ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Namun, sebelum ia sempat menenangkan pikirannya, seseorang menyapanya dari belakang. “Nada.” Nada terhenti, menoleh, dan melihat Reza berdiri di depan pintu, memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa ia baca. “Kenapa? Ada masalah?” tanya Nada, berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional. Reza mengangguk pelan, langkahnya semakin dekat. “Rapat selesai. Kita ada beberapa pembahasan lebih lanjut tentang proyek itu.” Nada mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tapi perasaan cemas menggerogoti hatinya. Perasaan bahwa ada lebih dari sekedar pekerjaan di balik tatapan itu. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Nada mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya, memaksakan senyum tipis. Reza menatapnya lebih lama. Ada jeda panjang sebelum ia berkata, “Terkadang, ada hal-hal dalam pekerjaan yang bisa lebih memengaruhi kita daripada yang kita sadari. Kalau ada yang bikin kamu merasa nggak nyaman, jangan ragu bilang.” Nada terdiam. Kata-kata itu terdengar sangat pribadi. Seolah ia tahu ada lebih dari sekedar pekerjaan yang mengganggu pikirannya. Reza tidak bertanya langsung tentang Damar, tapi ada perasaan lain yang tak terucapkan, yang Nada bisa rasakan. --- Kembali ke masa lalu—kenangan dengan Damar Malam itu, beberapa tahun yang lalu. Nada berdiri di bawah hujan, menatap punggung Damar yang menghilang dalam kegelapan. Ia masih ingat jelas bagaimana rasanya—dicintai dengan cara yang salah, dengan kontrol yang rapuh namun memaksa. Damar tak pernah membiarkannya pergi begitu saja. Setiap kali Nada mencoba menjauh, Damar selalu ada, seolah mengikatnya dengan benang halus yang tak terlihat. Dan sekarang, pria itu kembali. Kenangan itu mengalir deras dalam benaknya, dan Nada merasa seluruh tubuhnya terjerat kembali. Hatinya terasa sesak. Ingin rasanya ia kembali ke masa itu—untuk mengubah semuanya, untuk memutuskan hubungan yang toxic itu lebih awal. Tapi waktu tak akan pernah kembali. Semua yang ada sekarang adalah kenangan yang membekas dalam luka. --- Kembali ke ruang kantor Damar akhirnya menemui Nada. Hanya ada mereka berdua di ruang itu. Ruangan yang biasa digunakan untuk rapat tim, kini terasa lebih sempit, lebih panas. “Kamu masih ingat aku?” Damar bertanya dengan senyum tipis, menatap Nada dengan cara yang membuat darahnya berdesir tidak nyaman. Nada menahan napas. “Tentu saja. Tapi apa yang kamu inginkan sekarang? Kenapa kamu kembali ke sini?” Damar mendekat sedikit, lalu berhenti. “Aku tidak pernah pergi, Nad. Kamu yang pergi. Kamu yang memilih untuk melupakan. Tapi, aku masih ingat semua. Bahkan lebih dari itu.” Nada menatap Damar, matanya penuh kecemasan. “Aku nggak mau kembali ke masa lalu itu. Apa yang terjadi antara kita sudah cukup, Damar.” Damar terkekeh pelan, tatapannya berubah menjadi lebih tajam. “Kamu pikir kamu bisa menutup semua ini dengan mudah? Aku tahu siapa yang membantumu saat kamu lari dulu. Aku tahu siapa yang melindungimu. Dan aku akan membuatmu membayar itu.” Nada merasa dunia sekelilingnya berputar. Kata-kata Damar itu membuat perasaannya kacau balau. Apa yang sebenarnya ia tahu? Apa yang belum ia ungkapkan? --- Sore hari di luar kantor Nada keluar dari gedung setelah hari yang panjang dan penuh ketegangan. Langit di luar tampak mendung, cocok dengan perasaan di dalam hatinya. Ia memutuskan untuk berjalan kaki sebentar, mencari ketenangan. Namun, saat ia melintas di sebuah kafe, matanya menangkap sosok yang membuatnya terhenti. Reza duduk di sudut, tampak sedang berbicara dengan seseorang—seorang wanita yang Nada tidak kenal. Tapi ada yang aneh dalam cara Reza memandang wanita itu. Seperti ada sisi lain dari dirinya yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Nada ingin melanjutkan langkah, tapi entah kenapa ia merasa seperti ada yang hilang, sesuatu yang perlu ia ketahui. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, berharap tak dilihat. Di sana, ia merasa seolah segala rahasia yang berputar di sekelilingnya akhirnya akan terungkap. Tapi apakah ia siap untuk itu?Angin pagi di Jakarta hanya menyisakan dingin yang samar, tapi dada Nada terasa penuh sesak. Malam tadi ia tidak tidur. Matanya menatap kosong langit-langit apartemen sambil memutar ulang percakapan dengan Damar… dan momen singkat saat ia melihat Reza bersama wanita asing di kafe.Ia datang ke kantor lebih awal, seperti yang diminta. Tapi bukan karena perintah Reza. Nada datang karena ingin jawaban.**Reza menunggunya di ruangannya. Ruangan itu berbeda pagi ini—lampu belum sepenuhnya menyala, hanya cahaya lembut dari jendela besar yang membiaskan bayangan tubuhnya ke lantai marmer. Nada berdiri di ambang pintu, ragu.“Masuklah,” kata Reza, tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia pegang.Nada melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Aroma parfum kayu manis Reza samar-samar menyelimuti ruangan. Hangat. Tenang. Tapi membuat jantungnya berdetak tak menentu.“Ini.” Reza menyodorkan secangkir kopi padanya. “Tanpa gula, k
Nada mulai terbiasa bangun di apartemen Reza. Bukan karena ia ingin menjadikan tempat itu rumah, tapi karena tubuhnya merasa aman di bawah selimut pria itu. Tapi pagi ini, saat ia berjalan ke ruang tamu dengan rambut masih kusut dan mengenakan kaus Reza, ia menemukan seseorang berdiri di sana.Seorang wanita.Tinggi, anggun, dan mengenakan gaun merah pas tubuh yang memperlihatkan bahu dan belahan dada yang terlalu disengaja. Rambutnya terurai panjang, dan matanya menatap Nada dari kepala sampai kaki… dengan senyum kecil yang menyebalkan.“Maaf,” katanya dengan suara lembut namun menusuk. “Aku nggak tahu Reza sekarang suka perempuan biasa.”Nada tercekat. Ia hanya bisa berdiri diam, sementara wanita itu berjalan perlahan ke arah dapur, seolah sudah mengenal tiap sudut rumah itu.Reza muncul dari kamar, wajahnya kaget, lalu berubah jadi kaku. “Mira?”“Hai,” Mira membalas dengan senyum tipis. “Tenang aja, aku nggak datang untuk meru
Damar duduk sendirian di sudut bar hotel mewah di kawasan Sudirman. Jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, dan gelas ketiganya baru saja datang. Matanya menatap kosong ke layar ponsel—tak ada pesan dari Nada.Sudah seminggu sejak terakhir mereka bicara. Ia tahu ada yang berubah. Nada menjauh, seperti ada benteng tak kasat mata yang membuatnya tak bisa lagi menyentuh perempuan itu. Tapi Damar tidak bodoh. Ia tahu perubahan itu datang sejak Reza kembali muncul dalam orbit mereka.Ia tahu siapa Reza sebenarnya. Lebih dari yang Nada tahu.Dan ia menyimpan rahasia yang bahkan bisa menghancurkan pria itu… jika ia mau.**“Kau minum lagi, Dam?”Suara itu datang dari perempuan yang duduk di sebelahnya—Amara, sekretaris baru yang terlalu cantik untuk posisi terlalu sederhana. Damar tahu niat wanita itu sejak awal, dan biasanya ia tak terlalu peduli. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya ingin melukai sesuatu… atau seseorang."T
Nada duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Hujan di luar turun deras, menggantikan suara hatinya yang mulai gaduh. Reza berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota. Sejak semalam, keduanya seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.Nada bicara duluan. Suaranya pelan, tapi tegas."Kamu sayang sama aku?"Reza menoleh, sedikit kaget. “Tentu. Kenapa kamu nanya gitu?”Nada menggigit bibir. “Kalau iya… kenapa kamu nggak pernah cerita siapa Mira sebenarnya?”Reza menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya. “Dia masa lalu, Nad.”"Tapi dia masih ada di sini. Masuk ke hidup kita. Dan kamu… kamu diem aja."“Aku bingung harus mulai dari mana,” kata Reza pelan. “Dulu, aku dan dia... kita bukan cuma pacaran. Kita partner. Dalam bisnis. Dalam hal lain juga.”Nada menahan napas. “Hal lain?”Reza mengalihkan pandangan. “Aku dulu orang yang nggak kamu kenal, Nad. Ambisius.
(POV Nada)Malam itu aku tidur dalam pelukan Reza. Tapi hatiku tak pernah benar-benar tidur. Mataku menatap langit-langit kamar, dan pikiranku terus mengulang-ulang kata-kata Mira… file yang ia kirimkan… dan cara Reza menjawab.Aku tidak tahu apakah aku lebih sakit karena apa yang ia lakukan, atau karena caranya menyembunyikan semuanya seolah-olah aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan.Aku tidak rapuh. Aku hanya manusia.**Pagi harinya, saat Reza sudah berangkat lebih dulu, aku duduk di depan laptopnya.Ada satu folder yang selalu dikunci password.Folder itu bernama “NYX.”Aku pernah tanya artinya, dan Reza bilang itu cuma nama acak. Tapi sekarang, aku tahu dia berbohong. Karena aku cek di Google… dan Nyx adalah dewi malam dan rahasia dalam mitologi Yunani.Dan Reza memilih nama itu untuk menyembunyikan sesuatu.**Aku mencoba beberapa kata: Mira. Tanggal ulang tahun. Nama ibuny
(POV Mira) Semua orang selalu menganggap aku bayangan. Sekretaris yang cantik, pintar, tahu tempat. Orang yang hadir di setiap rapat, tapi tak pernah benar-benar diperhitungkan. Mereka lupa… bayangan selalu tahu lebih banyak daripada cahaya. Dan sekarang, saat mereka sibuk memainkan permainan, mereka lupa bahwa aku yang dulu menciptakan papan catur ini. ** Aku melihat Reza mulai panik. Nada mulai berubah. Damar kembali muncul. Persis seperti yang kuharapkan. Aku belajar dari masa lalu. Dari saat Damar memilih Nada, meninggalkanku seolah aku hanya batu loncatan. Dari saat Reza menjadikan aku alat, lalu melemparku begitu saja ketika dia mulai jatuh cinta pada "wanita baik-baik" itu. Lucu. Mereka semua berpikir aku lemah karena mencintai. Padahal, aku hanya sedang menunggu waktu. ** Di layar laptopku, ada salinan file—rekaman, dokumen transaksi gelap, jejak digital yang selama ini kusimpan. Semua bisa kuledakkan kapan saja. Tapi belum. Belum sekarang. Aku ingin lebih dari itu
Ponselku diam di meja. Notifikasi pesan dari Reza tak kubuka. Sudah tiga kali ia menanyakan keberadaanku. Tapi kali ini aku memilih diam.Aku sedang duduk di mobil Damar. Parkir di bawah gedung tempat Mira pernah bekerja sebelum masuk ke perusahaan Reza. Kami melacak ke belakang, mencari celah, mencari motif.Damar menatapku. “Kamu yakin mau masuk sejauh ini?”Aku mengangguk. “Aku nggak bisa tidur kalau terus jadi penonton, Dam.”Dia tersenyum samar. Ada rasa bangga di matanya. Tapi juga cemas. Aku tahu, dia takut aku akan terluka lagi.**Kami menemui seseorang—mantan rekan kerja Mira bernama Hana. Perempuan tua yang bicara pelan tapi penuh kepedihan. Ia pernah dipecat secara misterius setelah menyelidiki audit fiktif. Dan satu nama yang selalu muncul saat itu: Reza.“Mira tahu lebih banyak dari siapa pun. Tapi dia diam. Lalu, entah bagaimana, dia dapat posisi strategis di perusahaan kamu sekarang.”Darahku mengalir lebih cepat.Semua... mulai masuk akal.**Saat malam tiba, aku pula
(POV Reza)Pukul 05.12 pagi. Dia belum pulang.Nada tidak menjawab pesan. Tidak menelepon. Bahkan lokasi di aplikasiku menunjukkan “tidak tersedia.”Dan aku tahu… apa artinya itu.Aku menggeser jari di layar. Kamera keamanan kantorku masih menyimpan arsip-arsip lama yang tidak pernah kudelete—bukan karena paranoia, tapi karena di dunia ini, orang yang paling kau percaya adalah yang paling berbahaya.Video 4 tahun lalu.Koridor gelap. Mira dan Damar. Mereka berdiri terlalu dekat. Lalu bertengkar. Mira menunjuk wajahnya, dan Damar mencengkeram lengannya. Ada ciuman. Ada penolakan. Lalu Mira kabur.Aku memutar ulang adegan itu tiga kali. Bukan karena ingin melihat, tapi karena ingin mengingatkan diriku sendiri:tidak ada yang benar-benar bersih dalam cerita ini.Ponselku bergetar.Mira.Aku mengangkat. “Iya.”Suaranya dingin. Tak bersisa sisa simpati. “Dia semalam di tempat Damar.”Aku mendiaminya.“Apa kamu marah?”“Kenapa kamu bilang ke aku?” aku balas.Dia tertawa kecil. “Karena kamu
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu
(POV Reza)Pukul 05.12 pagi. Dia belum pulang.Nada tidak menjawab pesan. Tidak menelepon. Bahkan lokasi di aplikasiku menunjukkan “tidak tersedia.”Dan aku tahu… apa artinya itu.Aku menggeser jari di layar. Kamera keamanan kantorku masih menyimpan arsip-arsip lama yang tidak pernah kudelete—bukan karena paranoia, tapi karena di dunia ini, orang yang paling kau percaya adalah yang paling berbahaya.Video 4 tahun lalu.Koridor gelap. Mira dan Damar. Mereka berdiri terlalu dekat. Lalu bertengkar. Mira menunjuk wajahnya, dan Damar mencengkeram lengannya. Ada ciuman. Ada penolakan. Lalu Mira kabur.Aku memutar ulang adegan itu tiga kali. Bukan karena ingin melihat, tapi karena ingin mengingatkan diriku sendiri:tidak ada yang benar-benar bersih dalam cerita ini.Ponselku bergetar.Mira.Aku mengangkat. “Iya.”Suaranya dingin. Tak bersisa sisa simpati. “Dia semalam di tempat Damar.”Aku mendiaminya.“Apa kamu marah?”“Kenapa kamu bilang ke aku?” aku balas.Dia tertawa kecil. “Karena kamu
Ponselku diam di meja. Notifikasi pesan dari Reza tak kubuka. Sudah tiga kali ia menanyakan keberadaanku. Tapi kali ini aku memilih diam.Aku sedang duduk di mobil Damar. Parkir di bawah gedung tempat Mira pernah bekerja sebelum masuk ke perusahaan Reza. Kami melacak ke belakang, mencari celah, mencari motif.Damar menatapku. “Kamu yakin mau masuk sejauh ini?”Aku mengangguk. “Aku nggak bisa tidur kalau terus jadi penonton, Dam.”Dia tersenyum samar. Ada rasa bangga di matanya. Tapi juga cemas. Aku tahu, dia takut aku akan terluka lagi.**Kami menemui seseorang—mantan rekan kerja Mira bernama Hana. Perempuan tua yang bicara pelan tapi penuh kepedihan. Ia pernah dipecat secara misterius setelah menyelidiki audit fiktif. Dan satu nama yang selalu muncul saat itu: Reza.“Mira tahu lebih banyak dari siapa pun. Tapi dia diam. Lalu, entah bagaimana, dia dapat posisi strategis di perusahaan kamu sekarang.”Darahku mengalir lebih cepat.Semua... mulai masuk akal.**Saat malam tiba, aku pula
(POV Mira) Semua orang selalu menganggap aku bayangan. Sekretaris yang cantik, pintar, tahu tempat. Orang yang hadir di setiap rapat, tapi tak pernah benar-benar diperhitungkan. Mereka lupa… bayangan selalu tahu lebih banyak daripada cahaya. Dan sekarang, saat mereka sibuk memainkan permainan, mereka lupa bahwa aku yang dulu menciptakan papan catur ini. ** Aku melihat Reza mulai panik. Nada mulai berubah. Damar kembali muncul. Persis seperti yang kuharapkan. Aku belajar dari masa lalu. Dari saat Damar memilih Nada, meninggalkanku seolah aku hanya batu loncatan. Dari saat Reza menjadikan aku alat, lalu melemparku begitu saja ketika dia mulai jatuh cinta pada "wanita baik-baik" itu. Lucu. Mereka semua berpikir aku lemah karena mencintai. Padahal, aku hanya sedang menunggu waktu. ** Di layar laptopku, ada salinan file—rekaman, dokumen transaksi gelap, jejak digital yang selama ini kusimpan. Semua bisa kuledakkan kapan saja. Tapi belum. Belum sekarang. Aku ingin lebih dari itu
(POV Nada)Malam itu aku tidur dalam pelukan Reza. Tapi hatiku tak pernah benar-benar tidur. Mataku menatap langit-langit kamar, dan pikiranku terus mengulang-ulang kata-kata Mira… file yang ia kirimkan… dan cara Reza menjawab.Aku tidak tahu apakah aku lebih sakit karena apa yang ia lakukan, atau karena caranya menyembunyikan semuanya seolah-olah aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan.Aku tidak rapuh. Aku hanya manusia.**Pagi harinya, saat Reza sudah berangkat lebih dulu, aku duduk di depan laptopnya.Ada satu folder yang selalu dikunci password.Folder itu bernama “NYX.”Aku pernah tanya artinya, dan Reza bilang itu cuma nama acak. Tapi sekarang, aku tahu dia berbohong. Karena aku cek di Google… dan Nyx adalah dewi malam dan rahasia dalam mitologi Yunani.Dan Reza memilih nama itu untuk menyembunyikan sesuatu.**Aku mencoba beberapa kata: Mira. Tanggal ulang tahun. Nama ibuny
Nada duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Hujan di luar turun deras, menggantikan suara hatinya yang mulai gaduh. Reza berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota. Sejak semalam, keduanya seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.Nada bicara duluan. Suaranya pelan, tapi tegas."Kamu sayang sama aku?"Reza menoleh, sedikit kaget. “Tentu. Kenapa kamu nanya gitu?”Nada menggigit bibir. “Kalau iya… kenapa kamu nggak pernah cerita siapa Mira sebenarnya?”Reza menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya. “Dia masa lalu, Nad.”"Tapi dia masih ada di sini. Masuk ke hidup kita. Dan kamu… kamu diem aja."“Aku bingung harus mulai dari mana,” kata Reza pelan. “Dulu, aku dan dia... kita bukan cuma pacaran. Kita partner. Dalam bisnis. Dalam hal lain juga.”Nada menahan napas. “Hal lain?”Reza mengalihkan pandangan. “Aku dulu orang yang nggak kamu kenal, Nad. Ambisius.
Damar duduk sendirian di sudut bar hotel mewah di kawasan Sudirman. Jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, dan gelas ketiganya baru saja datang. Matanya menatap kosong ke layar ponsel—tak ada pesan dari Nada.Sudah seminggu sejak terakhir mereka bicara. Ia tahu ada yang berubah. Nada menjauh, seperti ada benteng tak kasat mata yang membuatnya tak bisa lagi menyentuh perempuan itu. Tapi Damar tidak bodoh. Ia tahu perubahan itu datang sejak Reza kembali muncul dalam orbit mereka.Ia tahu siapa Reza sebenarnya. Lebih dari yang Nada tahu.Dan ia menyimpan rahasia yang bahkan bisa menghancurkan pria itu… jika ia mau.**“Kau minum lagi, Dam?”Suara itu datang dari perempuan yang duduk di sebelahnya—Amara, sekretaris baru yang terlalu cantik untuk posisi terlalu sederhana. Damar tahu niat wanita itu sejak awal, dan biasanya ia tak terlalu peduli. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya ingin melukai sesuatu… atau seseorang."T
Nada mulai terbiasa bangun di apartemen Reza. Bukan karena ia ingin menjadikan tempat itu rumah, tapi karena tubuhnya merasa aman di bawah selimut pria itu. Tapi pagi ini, saat ia berjalan ke ruang tamu dengan rambut masih kusut dan mengenakan kaus Reza, ia menemukan seseorang berdiri di sana.Seorang wanita.Tinggi, anggun, dan mengenakan gaun merah pas tubuh yang memperlihatkan bahu dan belahan dada yang terlalu disengaja. Rambutnya terurai panjang, dan matanya menatap Nada dari kepala sampai kaki… dengan senyum kecil yang menyebalkan.“Maaf,” katanya dengan suara lembut namun menusuk. “Aku nggak tahu Reza sekarang suka perempuan biasa.”Nada tercekat. Ia hanya bisa berdiri diam, sementara wanita itu berjalan perlahan ke arah dapur, seolah sudah mengenal tiap sudut rumah itu.Reza muncul dari kamar, wajahnya kaget, lalu berubah jadi kaku. “Mira?”“Hai,” Mira membalas dengan senyum tipis. “Tenang aja, aku nggak datang untuk meru
Angin pagi di Jakarta hanya menyisakan dingin yang samar, tapi dada Nada terasa penuh sesak. Malam tadi ia tidak tidur. Matanya menatap kosong langit-langit apartemen sambil memutar ulang percakapan dengan Damar… dan momen singkat saat ia melihat Reza bersama wanita asing di kafe.Ia datang ke kantor lebih awal, seperti yang diminta. Tapi bukan karena perintah Reza. Nada datang karena ingin jawaban.**Reza menunggunya di ruangannya. Ruangan itu berbeda pagi ini—lampu belum sepenuhnya menyala, hanya cahaya lembut dari jendela besar yang membiaskan bayangan tubuhnya ke lantai marmer. Nada berdiri di ambang pintu, ragu.“Masuklah,” kata Reza, tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia pegang.Nada melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Aroma parfum kayu manis Reza samar-samar menyelimuti ruangan. Hangat. Tenang. Tapi membuat jantungnya berdetak tak menentu.“Ini.” Reza menyodorkan secangkir kopi padanya. “Tanpa gula, k