Lorong menuju ruang meeting terasa lebih panjang dari biasanya. Nada melangkah dengan langkah hati-hati, berkas di tangan, dan isi kepalanya dipenuhi kata-kata yang tak bisa ia ucapkan.
Reza sudah berdiri di dalam ruangan, setengah membelakangi pintu, tangannya mengatur slide presentasi di layar lebar. Nada masuk dengan napas teratur, mencoba bersikap profesional. Tapi semua itu runtuh dalam hitungan detik saat pintu terbuka kembali. Dan dia masuk. Damar—dengan jas abu gelap, kemeja tanpa dasi, dan tatapan yang tidak berubah sejak dulu: tajam, tenang, dan penuh teka-teki. Mata mereka bertemu. Hanya beberapa detik. Tapi cukup untuk membuat jantung Nada berdegup terlalu keras. Dia menegakkan badan, tidak ingin terlihat rapuh. “Lama nggak ketemu,” ucap Damar, nadanya santai, tapi penuh nada yang terselip. “Ternyata kamu kerja di sini, Nad.” Nada membalas dengan datar, “Kebetulan.” Reza menoleh. Ada sesuatu di wajahnya—tidak bertanya, tidak juga menginterupsi. Tapi diamnya bicara banyak. Mereka mulai rapat. Nada fokus mencatat, Reza memaparkan ide besar kampanye mereka, dan Damar… sesekali melirik ke arahnya. Seperti ingin menguji. Saat rapat usai dan peserta mulai keluar, Damar mendekat. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat Nada tak nyaman. “Kita perlu bicara,” katanya pelan. “Tapi bukan di kantor.” Nada menatapnya tajam. “Udah nggak ada yang perlu dibicarakan.” Damar tersenyum miring. “Kamu yakin?” Nada memutar tubuh, berjalan pergi. Tapi kalimat terakhir Damar menyusul pelan dari belakang: “Aku tahu alasan kamu kabur malam itu. Dan aku tahu siapa yang bantu kamu.” Nada berhenti sejenak. Tangannya gemetar kecil. Tapi ia tak menoleh, hanya melanjutkan langkahnya keluar ruangan. --- Di luar ruangan, Reza menunggu. “Kamu nggak apa-apa?” Nada menoleh cepat. “Saya baik, Pak.” Reza mengangguk pelan. Tapi kali ini, dia tak langsung pergi. Matanya menatap jauh, dan dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, ia berkata: “Kamu tahu… kadang luka lama nggak butuh sembuh. Kadang, kita cuma perlu tahu kalau ada orang yang ngerti rasanya.” Nada tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa tidak benar-benar sendiri. Nada berjalan dengan langkah yang lebih cepat, berusaha mengusir bayangan masa lalu yang terus menghantuinya. Pintu ruang rapat masih terbuka, tapi ia tak ingin menoleh lagi. Damar berada di sana, ada yang terasa janggal, dan ia tahu itu. Ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Namun, sebelum ia sempat menenangkan pikirannya, seseorang menyapanya dari belakang. “Nada.” Nada terhenti, menoleh, dan melihat Reza berdiri di depan pintu, memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa ia baca. “Kenapa? Ada masalah?” tanya Nada, berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional. Reza mengangguk pelan, langkahnya semakin dekat. “Rapat selesai. Kita ada beberapa pembahasan lebih lanjut tentang proyek itu.” Nada mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tapi perasaan cemas menggerogoti hatinya. Perasaan bahwa ada lebih dari sekedar pekerjaan di balik tatapan itu. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Nada mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya, memaksakan senyum tipis. Reza menatapnya lebih lama. Ada jeda panjang sebelum ia berkata, “Terkadang, ada hal-hal dalam pekerjaan yang bisa lebih memengaruhi kita daripada yang kita sadari. Kalau ada yang bikin kamu merasa nggak nyaman, jangan ragu bilang.” Nada terdiam. Kata-kata itu terdengar sangat pribadi. Seolah ia tahu ada lebih dari sekedar pekerjaan yang mengganggu pikirannya. Reza tidak bertanya langsung tentang Damar, tapi ada perasaan lain yang tak terucapkan, yang Nada bisa rasakan. --- Kembali ke masa lalu—kenangan dengan Damar Malam itu, beberapa tahun yang lalu. Nada berdiri di bawah hujan, menatap punggung Damar yang menghilang dalam kegelapan. Ia masih ingat jelas bagaimana rasanya—dicintai dengan cara yang salah, dengan kontrol yang rapuh namun memaksa. Damar tak pernah membiarkannya pergi begitu saja. Setiap kali Nada mencoba menjauh, Damar selalu ada, seolah mengikatnya dengan benang halus yang tak terlihat. Dan sekarang, pria itu kembali. Kenangan itu mengalir deras dalam benaknya, dan Nada merasa seluruh tubuhnya terjerat kembali. Hatinya terasa sesak. Ingin rasanya ia kembali ke masa itu—untuk mengubah semuanya, untuk memutuskan hubungan yang toxic itu lebih awal. Tapi waktu tak akan pernah kembali. Semua yang ada sekarang adalah kenangan yang membekas dalam luka. --- Kembali ke ruang kantor Damar akhirnya menemui Nada. Hanya ada mereka berdua di ruang itu. Ruangan yang biasa digunakan untuk rapat tim, kini terasa lebih sempit, lebih panas. “Kamu masih ingat aku?” Damar bertanya dengan senyum tipis, menatap Nada dengan cara yang membuat darahnya berdesir tidak nyaman. Nada menahan napas. “Tentu saja. Tapi apa yang kamu inginkan sekarang? Kenapa kamu kembali ke sini?” Damar mendekat sedikit, lalu berhenti. “Aku tidak pernah pergi, Nad. Kamu yang pergi. Kamu yang memilih untuk melupakan. Tapi, aku masih ingat semua. Bahkan lebih dari itu.” Nada menatap Damar, matanya penuh kecemasan. “Aku nggak mau kembali ke masa lalu itu. Apa yang terjadi antara kita sudah cukup, Damar.” Damar terkekeh pelan, tatapannya berubah menjadi lebih tajam. “Kamu pikir kamu bisa menutup semua ini dengan mudah? Aku tahu siapa yang membantumu saat kamu lari dulu. Aku tahu siapa yang melindungimu. Dan aku akan membuatmu membayar itu.” Nada merasa dunia sekelilingnya berputar. Kata-kata Damar itu membuat perasaannya kacau balau. Apa yang sebenarnya ia tahu? Apa yang belum ia ungkapkan? --- Sore hari di luar kantor Nada keluar dari gedung setelah hari yang panjang dan penuh ketegangan. Langit di luar tampak mendung, cocok dengan perasaan di dalam hatinya. Ia memutuskan untuk berjalan kaki sebentar, mencari ketenangan. Namun, saat ia melintas di sebuah kafe, matanya menangkap sosok yang membuatnya terhenti. Reza duduk di sudut, tampak sedang berbicara dengan seseorang—seorang wanita yang Nada tidak kenal. Tapi ada yang aneh dalam cara Reza memandang wanita itu. Seperti ada sisi lain dari dirinya yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Nada ingin melanjutkan langkah, tapi entah kenapa ia merasa seperti ada yang hilang, sesuatu yang perlu ia ketahui. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, berharap tak dilihat. Di sana, ia merasa seolah segala rahasia yang berputar di sekelilingnya akhirnya akan terungkap. Tapi apakah ia siap untuk itu?(POV NADA)Pagi itu seperti pagi biasa—matahari naik malas dari timur, embun tersisa di ujung daun, dan suara radio kecil tetangga yang menyetel lagu nostalgia terlalu keras. Tapi tubuhku tidak biasa.Mual.Pusing.Dan dada yang terasa penuh seperti menahan gelombang kecil yang enggan reda.Sudah tiga minggu aku menunda menyadari ini. Mungkin karena tidak siap, atau mungkin karena tidak ingin terbukti benar. Tapi pagi ini aku berjalan ke apotek kecil di ujung jalan, membeli satu hal yang selama ini hanya kulihat di film-film drama malam hari.Tes kehamilan.**Aku kembali ke kamar. Sunyi.Wastafel kecil menampung air putih, dan tanganku gemetar saat membuka bungkusnya.Satu menit pertama, aku duduk di lantai, menunduk.Dua menit berikutnya… aku menatapnya.> Dua garis.Satu garis kehidupan.Satu garis kenyataan.Aku tidak menangis. Tidak marah. Tidak panik.Tapi dadaku sesak.Bukan karena takut. Tapi karena tahu: aku tidak bisa berpura-pura lagi.**Aku berdiri, berjalan pelan ke jend
Langit Jogja pagi itu cerah tanpa ampun.Kereta berhenti perlahan di Stasiun Tugu, dan bersama embusan udara panas yang menyambut, aku turun dengan langkah ringan. Ransel di pundak, mata lelah, tapi hati—untuk pertama kalinya sejak lama—terasa lapang.Aku menginap di rumah singgah milik seorang teman seniman. Di pinggiran kota, dekat sawah, jauh dari suara klakson dan ritme hidup Jakarta yang menyesakkan. Tidak ada lift. Tidak ada ruangan kaca. Tidak ada Reza.Hanya suara jangkrik, harum tanah, dan waktu yang terasa lambat.**Di dinding kamar kecil itu tergantung lukisan cat air—potret seorang perempuan memejamkan mata di tengah angin.Seperti aku.Perempuan yang akhirnya belajar… bahwa untuk mencintai dunia, ia harus kembali mencintai dirinya sendiri lebih dulu.**Aku duduk di beranda, menggambar.Tanganku bergerak pelan di atas kertas. Sketsa wajah. Lembut, tajam, hidup.Itu wajahku sendiri. Bukan karena narsis—tapi karena aku ingin tahu siapa yang selama ini kulupakan.Lalu terde
(Pov NADA)Pagi itu aku terbangun di tempat yang asing.Bukan karena tempatnya benar-benar asing. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir… aku tidak perlu buru-buru bersiap untuk kantor, atau khawatir dengan pesan singkat dari Reza yang menuntut waktu, atau menghindari sorot mata Mira yang tajam.Pagi ini… hanya aku, dan napasku sendiri.**Aku menatap langit-langit kamar kos kecil yang kusewa seminggu sebelumnya. Sederhana. Catnya mulai mengelupas. Tapi di sini, aku merasa lebih tenang dari apartemen mewah manapun yang pernah aku tinggali.Ponselku sudah kupasang mode senyap sejak kemarin.Puluhan pesan dari Reza belum kubuka.Ada juga beberapa dari Mira. Dan bahkan satu dari Damar. Tapi aku belum siap.Bukan karena aku takut. Tapi karena aku masih menyusun kembali diriku—bagian-bagian yang sudah terlalu lama kutinggalkan demi menyenangkan semua orang kecuali diri sendiri.**Aku berjalan ke meja kecil dan membuka buku catatan.Sesuatu yang dulu selalu kulakuk
POV REZAAku memutar gelas kosong di atas meja makan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, dan apartemen ini lebih dingin dari biasanya—bukan karena suhu ruangan, tapi karena tak ada suara dari kamar sebelah.Nada pergi.Dan yang lebih menyakitkan dari kepergiannya… adalah aku tahu dia benar untuk pergi.**Laptopku menyala. Halaman presentasi terbuka tapi tak satu pun kata yang masuk akal.Yang muncul di layar pikiranku hanyalah bayangan wajahnya:Saat ia membaca isi flashdisk itu. Saat matanya berubah dari lembut menjadi penuh luka.Lalu suara pintu tertutup.Lalu… hening.**Aku membuka pesan yang kukirim ke Nada.Masih centang dua. Belum dibaca.Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di leherku. Bukan fisik. Tapi semacam kegelisahan yang tumbuh dari perasaan tertahan terlalu lama.Aku bangkit, membuka lemari, dan menarik kotak tua dari laci bawah.Kotak itu berisi berkas lama: foto-foto, catatan kantor… dan sepucuk surat dari Mira yang belum pernah kubuka sejak tahun lalu.Tanganku
Kafe makin sepi. Waktu berjalan pelan.Hanya suara sendok beradu dengan gelas, dan detak jantungku sendiri.Lalu pintu terbuka.Damar masuk. Basah kuyup. Jaketnya menggantung setengah, napasnya terburu.Mataku langsung bertemu matanya. Dan semuanya hening.Tak ada lagi ruang untuk berpura-pura.Dia duduk di depanku, tanpa banyak bicara.Tangannya gemetar, tapi bukan karena dingin.“Terima kasih udah datang,” kataku pelan.“Harusnya aku yang minta maaf.” suaranya rendah, serak.Aku memandangi wajah yang dulu pernah aku hafal luar kepala.Kini terasa asing, tapi tetap membuat jantungku sakit saat menatapnya terlalu lama.“Aku lihat rekamannya. Kamu dan Mira.”Damar mengangguk. Tidak membela diri.“Aku salah, Nad. Aku biarin semuanya jadi rumit. Aku pikir aku bisa... keluar tanpa menyakiti siapa-siapa.”Aku tersenyum tipis. “Tapi justru itu kesalahanmu. Kamu mencoba jadi orang baik di cerita yang kotor.”Damar menunduk.Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku—sebuah foto kecil yang su
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu