Share

Sad day

" HEI JANDA GATAL..!!

  LUNASI HUTANGMU DALAM 3 HARI JIKA TIDAK AKU AKAN MEMBAKAR RUMAH INI DAN MENGULITI ANAK MU YANG SEDANG BERLIBUR..!!

  INGAT..!! 

  JANGAN BERANI - BERANI LAPOR POLISI ATAU NYAWA ANAKMU YANG MENJADI TARUHANNYA..!! “

  

  Vania Menggigil membacanya , keringat mengucur mengalir, membasahi bajunya, jantungnya berdegub semakin kencang.

  

  

  Kemudian ia terduduk lemas di kursi yang sudah posisi tidur itu karena ulah si peneror, air matanya mengalir semakin deras menjatuhi pipinya, ia menggigit bibirnya.

  

  

  Kemana ia harus mencari uang 60 Juta dalam kurun waktu 3 hari, untuk membayar sisa hutang yang kala itu, terpaksa ia pinjam dari seorang mafia, demi kelancaran operasi Jantung sang ayah, dimana saat itu nyawa sang ayah menjadi taruhan, jika ia sampai terlambat, mungkin sang ayah saat ini tak lagi bersama mereka.

  

  

   Saat itu ia sudah mencoba meminta bantuan ke perusahaan tempatnya bekerja, tapi karena Bossnya sedang di luar negeri sehingga membutuhkan waktu untuk otorisasi pencairan dananya, dan seandainya dana itu cairpun perusahaan hanya bisa memberikan pinjaman maximal 3x gaji, atau 5 x gaji dengan agunan, begitulah peraturan di perusahaan tempatnya bekerja.

  

  

  Seandainya ia memiliki sesuatu yang bisa di jadikan agunkan, tentu ia akan memilih meminjam ke pihak perbankan, karena lebih aman dalam segala hal.

  

  Apalah daya, rumah yang ia tempati bersama puteri semata wayangnya saat ini masih kredit, sedangkan mobil kesayangannya sudah ia jual untuk biaya Rumah sakit ayahnya tersebut, dan untuk kekurangan biaya rumah sakit sang ayah, terpaksa ia memberanikan diri mendatangi mafia agar nyawa sang ayah dapat di selamatkan saat itu, dan pihak rumah sakit baru akan melakukan operasi setelah ia memberikan biaya operasi sang ayah yang mencapai 300 juta rupoah.

  

  Lalu, kemanakah saat ini ia harus melunasi seluruh hutangnya yang ia pinjam kepada mafia tersebut? Vania berani meminjam uang tersebut karena menurut desas - desus yang beredar mafia tersebut adalah yang terbaik diantara yang lain, tapi nyatanya itu tak berlaku untuknya, dan hal itu membuatnya sedih sekaligus ketakutan.

  

  

  Pikirannya melayang jauh keangkasa mencari jalan keluar. “ Kemanakah harus kucari uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat ini, haruskah aku menjual ginjalku? Tapi dengan siapa? Adakah orang yang benar - benar mau membeli ginjal? Ataukah itu hanya kalimat olok - olok saja, TUHAN..! Berilah aku sedikit cahaya di gelapnya hidupku saat ini, izinkan aku menjadi ibu yang layak untuk anakku dan bertanggung jawab penuh, jangan sampai anak yang telah kau titipkan kepadaku terluka pada akhirnya karena ketidak mampuanku sebagai seorang ibu, ku mohon bantulah aku kali ini untuk mencari jalan keluar dari semua permasalahanku, jangan biarkan aku menyesali diri karena telah berbakti kepada ayahku..kepada siapa lagi aku harus mengadu kalau bukan kepadamu TUHAN..”

  

  

  Rintihan dalam Hati Vania, setengah putus asa, manakala mengetahui nyawa puteri semata wayangnya menjadi taruhan.

  

  Hatinya lelah, jiwanya seakan tak mampu lagi untuk bangkir berdiri, hingga tanpa sadar ia tertidur dalam keadaan Rumah yang kacau, ia bahkan tidur dalam posisi duduk.

  

   Keesokan harinya ia terbangun dengan mata yang sembab, dan ia harus bergegas untuk kekantor, karena apapun yang terjadi Vania tidak mungkin bolos bekerja, karena gajinya adalah sumber penghasilan satu satunya, yang ia pergunakan untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan sang puteri, termasuk membayar semua hutang - hutangnya dan membantu kedua orang tuanya sedikit.

  

  

  Pagi itu, Ia berusaha untuk bersikap biasa saja, dengan mata sembabnya, tapi tetap saja, tak terelakkan lagi ketika rekan kantornya menyadari kehadirannya, mereka memandang sinis terhadapnya dan mencibir kearahnya karena mata sembab yang tak bisa ia tutupi.

  

  Vania menghela nafas panjang, lalu ia duduk di kursi kerjanya.

  

  " Apakah sembab mataku terlihat begitu jelas, hingga mereka mencibirku seperti itu, Ahh, sudahlah Vania, abaikan saja mereka, berdamailah dengan keadaan, kau yang memiliki hidupmu jangan pedulikan orang lain...”  Bisiknya dalam hati.

  

  Vania menguatkan hatinya, ia memejamkan matanya sejenak lalu tangannya menghidupkan komputer dan bekerja seperti biasa sampai waktu pulang.

  

  Vania tak berani keluar ruangan untuk mencari makan siang, untung saja di lacinya tersedia beberapa kue yang selalu ia beli untuk persediaan lembur.

  

  Hari ini berat ia lalui, ia merasa waktu tak berputar sehingga menunggu jam pulang terasa sangat lama.

  

  Berkali - kali ia melirik jam di tangannya lalu menyamakan dengan jam di komputernya, takut ada kesalahan.

  

  Dadanya sesak berada di kantor dengan orang - orang yang tidak menerima kehadirannya hanya karena ia seorang janda muda.

  

  Meski waktu terasa lamban berputar, akhirnya jam pulang tiba, dan Vania bergegas meninggalkan kantor dan menuruni lift yang menghubungkan antara ruang kantornya dengan beberapa lantai termasuk lahan parkir, gedung pencakar langit itu di isi oleh banyak perusahaan, sehingga yang berada di dalamnya bukan hanya perusahaan tempatnya bekerja.

  

  Vania berjalan menunduk, karena takut orang akan melihatnya aneh, hingga ia tak menghiraukan kanan kiri, yang terpenting ia sampai di tempat motornya terparkir, dan siapa sangka ketika ia di parkiran ia bertemu dengan sahabatnya, sahabat satu satunya yang ia miliki setelah menjadi janda, Semua sahabatnya menjauh seketika mengetahui statusnya itu, tapi syukurnya tidak berlaku untuk Jessica, 

  

  Jessica tetap ada di sisinya, menguatkannya dan menghiburnya setiap saat, meskipun akhir - akhir ini mereka jarang bertemu, setetlah Jessica pindah perusahaan, dan kebetulan perusahaan tempat Jessica bekerja tidak satu gedung dengan Vania, sehingga mereka tak memiliki waktu untuk sering bertemu, di tambah kesibukan Jessica dengan jabatan yang lumayan tinggi di perusahaan barunya.

  

  Meski begitu mereka tetap salint mendukung dan berkomunikasi meskipun hanya melalui ponsel.

  

  " Heii Van..! Loh kamu kenapa,kok lesu amat?“ Sapa Jessica menatap wajah sahabatnya lekat - lekat.

  

  " Jessiiiii...,kamu tumben kesini, ada kerjaan??" Peluk Vania ke Sahabatnya itu,

  

  Jessica yang tiba tiba mendapat pelukan terlalu erat sahabatnya itu sedikit terheran tapi ia berfikiran mungkin Vania merindukan dirinya,

  

  " iya Van.. aku ada urusan ke gedungmu itu " Ujarnya sambil menunjuk gedung tempat vania bekerja, lalu membalas pelukan sahabatnya yang berbadan mungil itu.

  

  "  Kamu, ada acara ga malem ni jess? Aku kangen kamu pengen ngobrol banyak, sudah lama kita gak ngobrol bareng kan? “ Tanya Vania seraya melepaskan pelukannya.

  

  "  Aku mau Van.., tapi hari ini aku lagi ada janji ma Ivan, buat jengukin nyokapnya ke rumah sakit, hmm.. lain kali yah ? Jangan marah ya sahabatku paling cantik sedunia..” Ujar Jessica seraya menjewer pipi Vania gemas.

  

  " Oghh. Mama Ivan sakit ya Jess? yaudah gpp jess, utamain dulu yang sakit, apalagi yang sakit mama Ivan, Lagian sebenernya, aku juga lagi banyak kerjaan yang harus ku kerjain, cuma lagi sedikit males, oke deh, kapan - kapan sempetin waktu buat aku yah, aku kangen parah tau.. yaudah pergi sono tar yayank mu bete nungguin " Jawab Vania 

  

  

  

  " Sorry yaa Vaann... see uuuu "  jessica sambil mencium pipi sahabatnya, lalu ia dengan terburu - buru berlari menjauh.

  

  

  Vania hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya, lalu melanjutkan perjalanannya menuju parkiran, dimana motor kesayangannya berada.

  

  

  Vania menghela nafas kuat sambil mengendarai sepeda motornya, ia berfikir keras bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu, akankah ia mampu mendapatkan uang tersebut? ia tak mampu membayangkan seandainya, ada kemungkinan buruk dan ia sampai tak bisa melunasi hutangnya, apa yang akan terjadi pada anak semata wayangnya itu? tak terasa air matanya terus mengalir membasahi pipi.

  

  Sesampainya di rumah Vania kembali menghela nafas panjang, ia lupa bahwa rumahnya masih berantakan, dan ia belum sempat membereskannya, Ia meletakkan tas nya lalu mengganti baju.

  

  Perlahan ia  mulai membereskan satu persatu sambil berfikir keras cara mendapatkan uang, hingga akhirnya terbersit ide muncul  di pikirannya, di tengah rasa putus asa yang menggelayuti pikirannya, karena ia menyadari tidak akan ada seorangpun mau memberinya pinjaman bahkan hanya nominal kecil, ia pernah mencobanya.

  

  Vania menghentikan aktivitasnya membersihkan rumahnya yang baru sedikit ia kerjakan, ia melirik jam di tangannya dan sudah menunjukkan pukul 9 malam.

  

  Ia bergegas untuk mandi, agar sedikit lebih fresh, sehingga memiliki tenaga untuk berjuang.

  

  Ia tersenyum getir, menatap wajah kusutnya dari balik kaca, meski begitu sebisa mungkin ia berpenampilan rapi, berharap masalahnya juga akan selesai dengan rapi.

  

  Setelah selesau mandi dan berganti pakaian dengan rapi, memoles sedikit wajahnya agar tak terlihat kusut, ia berjalan keluar karena taxi yang ia pesan telah sampai di depan rumahnya.

  

  Dengan suara bergetar, karena ragu, Vania memberikan alamat tujuan kepada sang sopir taxi.

  

  Sepanjang jalan ia berfikir keras, bagaimana memulai pembicaraan nanti, sampai tanpa terasa mereka telah sampai di tempat tujuan.

  

  Setelah menuruni taxi, Vania berdiri sesaat menatap rumah sebuah rumah besar nan megah yang di penuhi dengan Body guard berbadan Tinggi besar, mungkin cukup menggunakan satu tangan saja untuk mengangkatnya, dan melemparkannya ke jalanan.

  

  Vania mengepalkan kedua tangannya dan memejamkan mata, seolah ia mencari kekuatan dari dalam dirinya, lalu dengan langkah mantap ia menuju gerbang tinggi rumah mewah itu.

  

  Tak serta merta di terima sebagai tamu, Vania mendapat kesulitan hanya untuk memasuki rumah mewah itu,hingga kemudian ia berhasil menunjukkan kartu ID tandaia adalah  salah satu member,sehingga di perbolehlan untuk bertamu kesana.

  

  Setelah mereka melihat id card yang di tunjukkan Vania, dan memverifikasi tentang keabsahan id card tersebut, lalu mereka membukakan pintu gerbang dan membiarkan Vania memasuki gerbang tersebut.

  

  Vania melangkah memasuki halaman yang sangat luas itu dengan langkah yang berat, dan penuh keraguan ia tak yakin akan hasilnya, entah kemana perginya semangatnya tadi, tapi setidaknya ia berusaha ditengah rasa putus asanya.

  

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status