Share

Bab 6

Gedoran pada daun pintu membuat kesadaranku yang lenyap, tiba-tiba kembali datang. Aku membuka mata, tetapi alangkah kaget kuar biasa.

“M--Meli?!” Aku terlonjak ketika mendapati tubuh tanpa sehelai benang pun meringkuk di sampingku.

“Astaghfirulloh, Mas Ramdan!” Meli sama-sama memekik kaget.

Gedoran pada daun pintu membuat aku yang panik lekas masuk ke dalam. Lebih panik lagi ketika ternyata pakaianku pun hanya menyisakkan celana dalam. Kudengar Meli membuka pintu.

“Mbak, tolong, ya! Di sini bukan tempat kumpul kebo! Para tetangga bilang, ada lelaki yang nginep di sini?!” Kudengar suara seseorang dengan suara penuh tekanan.

Aku lekas mengenakan pakaian, sedangkan Meli terdengar tengah menyangkal. Namun, sial, rupanya seorang lelaki menerobos ke dalam.

“Ini Pak, lelakinya ada di sini!”

Beruntung aku sudah mengenakan celana panjang, Hanya saja memang masih telanjang d*da. Si*l sekali aku hari ini. Sudah dibuat lelah dalam pencarian Hanum, kenapa juga malah ketiban s*al lagi di sini?

Dua orang lainnya merangsek masuk. Dia memintaku ke ruang depan. Meli tampak sedang menunduk dengan badan hanya dibalut selimut.

“Kami gak mau tahu, kalian di sini ditemukan sebagai pasangan zina! Jadi, dalam peraturan di sini, kalian harus dinikahkan sekarang juga!”

Hah, nikah? Astagaaa, otakku gak bisa berpikir. Secepat mungkin aku mencoba menguasai keadaan. Kulirik Meli yang menunduk. Rasanya aneh sekali yang kualami sekarang, tetapi melihat Meli tengah menangis, aku tak tega juga kalau harus memojokannya.

“Kami memang akan segera nikah, Pak. Mohon maaf kalau membuat lingkungan Bapak tak nyaman. Namun, untuk menikah sekarang, Saya jelas-jelas menolak, Pak. Persiapan kami sudah delapan puluh persen, seminggu lagi kami akan nikah, Pak.”

Otakku akhirnya merangkai kebohongan. Aku tak mau menikah sekarang, itu saja intinya. Masalah nanti, biar aku bicarakan lagi dengan Meli.

“Kalau kamu gak mau dinikahkan sekarang! Silakan kemasi barang-barang kalian dan pergi dari kontrakan kami. Ini tempat bersih, jangan kotori dengan perbuatan bejat kalian!” bentaknya lagi.

“M--Mas, gimana ini?” Meli menatapku dengan pandangan mata mengiba. Kaca-kaca memenuhi kelopaknya.

Aku menghela napas kasar.

“Kemasi barangmu sekarang! Kita pergi!” tukasku datar.

“Baik, Mas!” Meli menjawab seraya terisak.

Aku pun meminta maaf berulang kali pada kelima orang yang memergoki kami. Rasanya sampai lidah ini pegal, mereka tetap saja menyudutkan.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Cukup lama juga aku terlelap. Namun, aku benar-benar tak sadar sudah melakukan apa pada Meli. Hanya saja, mata kepalaku memang mendapati kami berduaan dalam satu ruangan dan tanpa busana. Meski tak yakin, aku tetap harus berhati-hati bicara pda Meli.

Lima belas menit, Meli pun selesai berkemas. Mau tak mau, aku membawanya pulang dulu ke rumah. Besok baru kubantu cari lagi kosan yang jauh dari tempat kemarin. Biarlah kalau malam ini mau menginap, gak apa.

Sepanjang perjalanan, aku dan Meli lebih banyak diam. Wajahnya tampak masih murung. Aku tak berani bertanya apa-apa lagi sekarang.

Akhirnya aku menempatkan Meli di kamar tamu. Kukatakan padanya agar tidur dulu saja malam ini, besoknya baru kubantu cari kontrakan. Namun, Meli kembali nangis. Huh, sudahlah kubiarkan saja dia dulu. Aku mau tidur saja dulu. Lekas aku menaiki anak tangga menuju kamar. Aku sudah berganti dengan pakaian santai ketika sadar kalau ponselku tak ada. Lekas aku turun dan menuju kamar Meli. Semoga saja dia belum tidur.

Namun, baru saja aku hendak mengetuk pintu. Kudengar samar suara Meli mendekat dari arah dapur. Dia tengah bicara dengan seseorang di telepon.

“Iya, iya, gue kasih dalam ukuran yang banyak tadi tuh, kan kata lo biar tidurnya lama.”

Aku tertegun mendengar ucapannya yang barusan. Lalu apa tadi, biar tidurnya lama. Aku lekas berdehem, Meli tampak tersentak.

“M--Mas?” Dia tergagap dan langsung mematikan teleponnya begitu saja.

“Mau ambil ponsel.” Aku mengucap datar.

“Oh iya.” Dia tampak lega. Namun buru-buru masuk ke dalam kamar dan tak lama keluar lagi dan memberikan ponselku.

Aku lekas kembali menaiki anak tangga dengan pikiran semrawut luar biasa.

***

Pagi menjelang. Aku sudah rapi dengan pakaian kantor lalu menuruni anak tangga. Namun, langkahku terhenti pada beberapa pijakan terakhir. Wangi aroma masakan tercium dari dapur. Tiba-tiba bayangan wajah Hanum yang biasanya muncul dengan daster rumahan dan celoteh anak-anak berlarian.

Aku memegang dada. Entah berapa kadar kangenku sekarang. Rasanya, semakin hari, terasa semakin kehilangan.

Pikiranku yang tengah mengawang-awang buyar karena ketukan pada daun pintu. Siapa juga yang bertamu sepagi ini. Lekas aku berjalan menuju ke depan. Tadinya mau menengok ke dapur, tetapi ketukan pada daun pintu terdengar tak sabaran.

Aku membukanya dengan enggan. Jangan-jangan yang minta iuran bulanan dari Pak RT lagi. Baru saja derit pintu kubuka, tiba-tiba muncul wajah Ibu dengan penuh amarah.

“Ramdan!” pekiknya.

Plak!

Aku meringis. Sepagi ini ada angin apa, Ibu datang marah-marah. Apa kurang banyak masalah yang kuhadapi saat ini?

“I--Ibu n--nampar aku?” tanyaku sedikit terbata. Kaget luar biasa.

“Ibu kecewa sama kamu, Ramdan!” bentaknya. Matanya membulat penuh kemarahan.

“Kamu berani-beraninya khianatin Hanum dengan tidur dengan perempuan lain, hah?” timpalnya lagi seraya bersedekap.

Aku menggaruk kepala tak gatal. Ibu dengar kabar yang mana sebetulnya? Gak mungkin kejadian malam tadi di kontrakan itu sudah sampai pada telinga Ibu.

“Ibu jangan salah paham. Ibu dengar kabar dari siapa, sih?” Aku berusaha bersikap tenang.

“Gak usah pura-pura Ramdan, Risna sudah cerita semua pada Ibu. Ibu benar-benar kecewa. Andai benar kalian mau menikah, tolong angkat kaki dari rumah ini! Rumah ini milik Hanum dan cucu-cucu Ibu!” Dia langsung memberondongku dengan kalimat panjang lebar.

Risna? Dari mana Risna tahu? Atau jangan-jangan yang dini hari Meli telponan itu dengan Risna. Mereka kan sahabat dekat.

Belum sempat pikiranku terurai, kudengar suara lembut Meli dari arah dapur.

“Maas, sarapan dulu, yuk!”

Aku sontak menutup wajah ketika Ibu ikut menoleh ke asal suara.

“Pergi kalian dari sini!” bentak Ibu.

“I--Ibu?” Kudengar Meli pun terkejut.

Dia langsung mendekat dan berdiri menjejeriku.

“M--Mas?” Meli berucap dan melempar tanya padaku.

Aku tak memiliki pilihan selain mengalah dan membawa Meli pergi.

“Kemasi barangmu, kita pergi sekarang!” tukasku cepat.

“T--tapi, Mas?” Meli hendak mebantah.

“Pergi dari rumah menantu dan cucuku atau aku sendiri yang akan melaporkan kalian dengan pasal perselingkuhan!” Ibu naik pitam.

Aku lekas mendorong tubuh Meli untuk menjauh dari Ibu. Tak mau lagi memperpanjang permasalahan.

“Ayo kemasi barangmu, kita pergi!”

“T--tapi, Mas. Aku gak mau pergi. Aku mau, kamu tanggung jawab sama apa yang sudah kamu lakukan malam tadi!” pekiknya seraya menepis tanganku. Ya Tuhaaan! Hampir pecah kepalaku jadinya sekarang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
betul2 Risna yah... semoga Risna jg akan d perlakukan begitu..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status