“Ramdan, kenapa di rumah gak ada orang? Ibu dari tadi manggil-manggil Hanum tapi gak ada yang jawab. Ponselnya gak aktif juga. Apa Hanum pergi ke luar sama kamu?” telisik Ibu seraya melongokkan kepala ke belakangku.
Aku menelan saliva. Rupanya Hanum tak pergi ke rumah Ibu. Lalu, aku harus jawab apa sekarang? Ibu kan sayang banget sama cucu-cucunya. Kalau dia tahu Hanum pergi bawa Mahe dan Daffa entah ke mana, habislah aku.
“Ibu sudah lama, ayo masuk dulu, Bu!” Aku belum bisa jawab pertanyaan Ibu. Lekas kubuka gerbang dan mengajak Ibu masuk.
“Kok sepi banget, Dan? Pada ke mana cucu-cucu Ibu?” tanyanya.
“Bu, minum dulu saja, ya! Bentar aku masukin mobil dulu.” Aku mengambilkan air mineral dari dalam lemari es untuk Ibu.
“Hanum sama cucu-cucu Ibu pada ke mana, Dan? Kok tumben rumahnya sepi kayak gini?” tanyanya lagi.
Aku melengos saja. Gegas kutinggalkan Ibu dan memarkirkan mobil ke garasi.
Mesin mobil sudah mati, posisi pun sudah pas. Namun aku bingung mau turun. Harus jawab apa sama Ibu? Kupijat pelipis. Memutar otak sejenak. Kuusap layar gawai, lekas aku hubungi nomor Hanum. Namun, benar yang Ibu bilang. Nomornya masih saja gak aktif, huh.
Belum aku masuk ke ruang tengah, Ibu sudah menyembul dan menatapku dengan heran. Aku yakin, dipikirannya dipenuhi pertanyaan.
“Dan, mana Hanum?”
Aku berdehem, lalu memasang wajah sedatar mungkin.
“Ahm, itu … Hanum kemarin minta izin mau ikut acara parenting.” Aku memulai kebohongan. Gak niat juga menceraikan Hanum pada awalnya. Hanya saja, kemarin benar-benar tengah emosi. Akhir-akhir ini Hanum seolah tengah menguji kesabaranku. Tiap hari, ada saja hal yang membuat aku kesal.
“Parenting? Dari kemarin?” Ibu malah makin menautkan alisnya.
“Maksudku, kemarin dia dapat info tentang ada seminar parenting. Hari ini dia izin pergi. Pulangnya malem nanti.”
“Oh ya sudah, kalau gitu ibu mau angetin dulu ini. Ibu masak pepes ikan mas kesukaan dia. Suka seneng banget kalau lihat dia makan. Sama ini, Ibu bawain bubur kacang ijo buat Mahe sama Daffa. Anak-anak kamu itu suka banget sama bubur kacang ijo.”
“Ahm, Bu.” Aku menahan lengan Ibu. Dia sudah hendak pergi ke dapur tampaknya.
“Apa, Dan?” Ibu menoleh.
“Sini makannya, biar besok aku yang angetin.” Aku mengambul plastik yang ditenteng Ibu.
“Buat sekarang saja, paling mereka capek habis seminar seharian.” Ibu bersikeras.
“Hari ini, aku mau jemput mereka sekalian nginep di hotel pulangnya. Sudah lama gak ajak mereka jalan.” Kebohongan kedua pun dimulai. Aku lekas meraih plastik berisi beragam makanan untuk menantu dan cucunya Ibu. Kumasukkan ke dalam lemari es segera.
“Oalah kalian mau bulan madu lagi, ya? Syukur kalau gitu. Ibu pengen cucu perempuan juga soalnya.” Ibu tampak sumringah.
“Ibu tunggu di sini saja, ya. Aku mandi dulu. Nanti sekalian jemput Hanum, aku anter Ibu pulang.” Aku menjawab dengan suara yang sudah tenang. Masih ada waktu untuk mencari mereka. Ya, walau Meli tengah menyita perhatianku, tetapi aku merasa tanggung jawabku pada Mahendra dan Daffa tak bisa kulepas begitu saja.
“Oh ya sudah,” tukasnya.
Kuhembuskan napas lega. Lantas naik ke lantai atas setelah menyalakan televisi untuk Ibu. Aku mandi dengan cepat. Khawatir kalau-kalau Ibu mencium ketidak beresan lagi di rumah ini. Kadang aku heran, yang anaknya Ibu itu sebetulnya aku atau Hanum. Kadang dia malah lebih peka kalau apa-apa terjadi pada Hanum dari pada aku.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika aku selesai mandi. Lantas kutemui Ibu di ruang tengah dan mengajaknya pulang.
Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak Diam. Setiap Ibu mau ngajak bicara. Aku berpura-pura nelpon. Begitulah sepanjang perjalanan. Aku takut Ibu menanyakan hal lain-lain.
Ibu sudah kuantarkan ke rumah kami di tepi perumahan. Bukan cluster maupun perumahan rakyat. Namun rumah dengan tipe 90 yang didirikan di atas tanah seluas seratus lima puluh meter. Tanah peninggalan almarhum Ayah dulu.
Ibu turun dan menitip sederet pesan untuk Hanum. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan. Ibu turun, aku pun ikut turun. Sepertinya aku harus cerita pada Risna---adikku. Siapa tahu dia punya solusi untuk masalah ini.
“Dan, kok ikut?” Ibu menatap lekat padaku.
“Ahm, itu … tadi Risna ada bilang kalau uang kuliahnya kurang.” Aku terpaksa berbohong. Ibu hanya ber oh ria. Ya, Risna memang terlambat menyelesaikan skripsinya. Harusnya tahun kemarin dia sudah lulus, bareng Meli. Namun, kebanyakan acara bikin skripsinya gak kelar tepat waktu.
Risna yang kukirimi pesan sudah nunggu di depan pintu. Rambutnya yang panjang diikat asal. Dia menatapku seraya menaikkan satu alisnya ke atas.
“Lo mau curhatin apa, Mas?”
Aku mengedipkan mata, masih ada Ibu. Setelah Ibu masuk baru kutarik tangannya. Aku ajak bicara di dalam mobil dan minta pendapatnya.
“Kuwalat sih kalau itu, Mas. Dulu lo nyia-nyiain Meli demi dia. Sekarang apa? Lo sendiri nyesel ‘kan? Buktinya dia gak sebaik yang Ibu pikirkan.”
“Ck, sudah, deh gak usah bahas Meli lagi. Mas juga sudah masukkin dia kerja di tempat Mas. Anggap saja sebagai tebusan kesalahan Mas dulu yang ninggalin dia nikah.”
“Iya, deh, iya. Cuma gue masih inget gimana kasihannya Meli waktu lo tinggal nikahin si Hanum itu. Sekarang rupanya dia malah jadi istri durhaka.”
Aku yang kesal hendak menoyor kepala Risna. Bukannya dikasih solusi atau ide, malah terus saja nyerocos bahas yang udah lalu.
“Mas bingung, Ris. Sebenernya Mas gak mau ceraikan Hanum. Tapi dianya suka nantangin dan bikin kesel kayak gini. Sekarang, gimana coba Mahe sama Daffa? Jangan-jangan dia ngajak anak Mas tidur di emperan toko lagi.”
Risna tampak ikut berpikir. Lalu dia menatapku lekat.
“Lo kan sekarang sudah sekantor sama Meli. Kenapa gak nikahin dia saja, sih. Ribet-ribet nyariin istri minggat. Asal lo tahu … si Meli gak pernah pacaran lagi semenjak lo tinggal nikah. Dia trauma. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.”
“Duh punya adik kok gak guna! Dahlah, turun sana!” Aku yang kesal akhirnya menyuruh Risna pergi. Orang lagi mumet, di tambah mumet saja ngungkit-ngungkit masa lalu.
“Yeyyyy, dasar!” Risna mencebik, lalu turun sambil menggerutu.
Akhirnya aku melajukan mobil, mencari di setiap tempat yang mungkin didatangi Hanum. Dia tak banyak memiliki sahabat. Hanya dua orang setahuku. Aku pun kunjungi dua-duanya, tetapi mereka tak tahu. Selebihnya, aku mencarinya di sepanjang jalan, belok masuk hingga ke pasar-pasar dan nyari dia di emperan toko. Bukan Hanumnya yang kukhawatirkan, tapi Mahendra dan Daffa. Gimana nasib mereka sekarang?
Berulang kali aku menguap. Malam ini kuputuskan untuk sudahi pencarian. Namun, menjelang perjalanan pulang, sebuah pesan dari Meli masuk. Kulihat, baru jam sepuluh malam. Ke kontrakan dia hanya tinggal belok sedikit terus masuk gang. Mungkin hanya lima belas menit dari sini. Akhirnya kuputuskan untuk mampir.
Tiba di kontrakan, dia tampak tengah duduk di teras sambil berbicara di telepon dengan seseorang. Beruntung halaman kontrakannya masih muat untuk parkir kalau hanya dua mobil, sih. Aku pun keluar. Dia menyambutku dengan senyuman.
“Lagi telponan sama siapa?” tanyaku basa-basi.
“Risna, biasa lah bahas skripsi dia yang gak kelar-kelar,” kekehnya.
“Oooo ….” Aku hanya ber-oh ria.
Meli mempersilakanku masuk. Aku pun duduk bersila sambil bersandar pada tembok cat putih kontrakan tiga petaknya. Tak berapa lama, Meli datang dan membawa dua cangkir teh hangat dan bolu brownies yang menggugah selera.
Aku yang memang tengah haus, langsung saja meneguk satu gelas teh manis dalam gelas tinggi. Kuhabiskan hingga tandas. Meli sampai menggeleng-geleng kepala dibuatnya.
“Kuenya, Mas!” Meli mengangsurkan piring berisi irisan brownies.
“Duh, kok kepala Mas agak berat gini, Mel. Boleh pinjam bantal?” tanyaku seraya menguap berulang.
“Boleh, Mas!” Meli sigap masuk ke dalam dan memberikan bantal padaku. Aku, tak kuasa lagi menahan kantuk dan setelah menempel pada bantal. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Gedoran pada daun pintu membuat kesadaranku yang lenyap, tiba-tiba kembali datang. Aku membuka mata, tetapi alangkah kaget kuar biasa. “M--Meli?!” Aku terlonjak ketika mendapati tubuh tanpa sehelai benang pun meringkuk di sampingku. “Astaghfirulloh, Mas Ramdan!” Meli sama-sama memekik kaget. Gedoran pada daun pintu membuat aku yang panik lekas masuk ke dalam. Lebih panik lagi ketika ternyata pakaianku pun hanya menyisakkan celana dalam. Kudengar Meli membuka pintu. “Mbak, tolong, ya! Di sini bukan tempat kumpul kebo! Para tetangga bilang, ada lelaki yang nginep di sini?!” Kudengar suara seseorang dengan suara penuh tekanan. Aku lekas mengenakan pakaian, sedangkan Meli terdengar tengah menyangkal. Namun, sial, rupanya seorang lelaki menerobos ke dalam. “Ini Pak, lelakinya ada di sini!” Beruntung aku sudah mengenakan celana panjang, Hanya saja memang masih telanjang d*da. Si*l sekali aku hari ini. Sudah dibuat lelah dalam pencarian Hanum, kenapa juga malah ketiban s*al lagi di si
“T--tapi, Mas. Aku gak mau pergi. Aku mau, kamu tanggung jawab sama apa yang sudah kamu lakukan malam tadi!” pekiknya seraya menepis tanganku. Ya Tuhaaan! Hampir pecah kepalaku jadinya sekarang. “Kita pergi dulu, ya! Aku gak mau ada keributan di sini. Masalah itu, kita urus nanti.” Aku mengisyaratkan agar Meli nurut. Dia tampak menghela napas panjang. Beruntungnya dia tak keras kepala, lalu mengangguk dan menuruti apa yang kukatakan. Aku menatap Ibu ketika Meli pergi ke kamar. “Aku akan ajak dia pergi, Bu. Tadi malam ada insiden. Pulang kerja nanti aku ceritakan.” Aku berucap sambil menunduk. Enggan menatap wajah Ibu yang diliputi kemarahan. Namun tiba-tiba Ibu terduduk dan menangkup wajah. Aku yang kaget lekas membangunkan tubuhnya.“Bu, jangan nangis.” “Hanum ke mana, Dan? Gimana nasib Mahe sama Daffa? Kamu kenapa gak cari mereka?” Ibu terisak. “Maafin aku, Bu. Hanum suka bikin gara-gara terus, sih. Aku jadinya kelepasan. Nanti aku cari lagi. Kemarin aku seharian sampai malam
“Jakarta?” Aku menatap sederet alamat itu. Lekas aku mengajak Ibu pulang kembali. Biar siang nanti aku sendiri yang mencarinya ke sana. Gila, masa dia mau bawa anak-anakku jadi pembantu. Ibu macam apa sih, dia?Perjalanan ini terasa melelahkan. Ibu duduk bersandar pada jok di sampingku. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kami sempat mampir dulu istirahat dan membeli makan, tetapi Ibu tetap diam seribu bahasa. Jujur, aku jadi sangat merasa bersalah. Aku tahu, Mahe dan Daffa sangat disayangi Ibu. “Bu, mau apa minumnya?” tanyaku. Namun, Ibu tak menjawab. Dia hanya fokus menyuap, menghabiskan makanan pada piringnya. “Bu, nambah, ya, sopnya!” Aku menawarinya, tetapi lagi-lagi, dia diam seribu bahasa. Ya sudahlah. Aku pun akhirnya diam. Kami di sini bersama tetapi seperti orang yang tak saling kenal. Kadang bingung juga dengan sikap Ibu. Dia selalu lebih membela Hanum dan anak-anak dari pada aku. Padahal ‘kan yang tiap bulan ngasih uang ke dia gaji siap
“Maafin Ayah, Mahe! Daffa!” Aku keluar dari mobil dan berlari-lari menuju ke arah orang berkerumun. Mendengar anak lelaki itu meninggal. Rasanya seluruh duniaku hancur lebur. Senyuman manis Meli yang memabukkan, bahkan terasa menjadi memuakkan. Bukankah gara-gara dia aku menjadi terlambat mencari kedua buah hatiku. Bunyi ambulance meraung kencang. Aku terlambat. Ketiga korban tersebut sudah di evakuasi. “Mahe! Daffa!” Aku seperti orang gila. Berlari-lari mengejar ambulance yang sudah melesat membelah kemacetan.“Mas, Mas! Percuma, kalau lari gak akan ke kejar. Mas keluarga korban?” Seorang tukang ojek dengan jaket berwarna hijau meneriakiku. Aku berhenti mengejar. Kujatuhkan tubuh dan bersedeku di tanah. Rasanya percuma aku sekolah tinggi-tinggi, bahkan kini aku merasa benar-benar gagal menjadi seorang ayah. Sepeda motor dengan lelaki berjaket hijau itu berhenti di sampingku. Tanpa kuduga, dia menyodorkan helm padaku. “Ayo, Mas! Kita kejar ambulance nya. Paling dibawa ke rumah s
Aku berdecak. Sepertinya Meli sengaja hendak kembali menggagalkanku mencari keberadaan Mahendra dan Daffa. “Dengar, Mel! Saya harus cari anak saya! Dia lebih penting dari segalanya bahkan dari kamu! Paham?!” Tanpa terasa, emosi yang meluap tak tertahan. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar benci dengan yang namanya perempuan. “M--Mas t--tapi?” Kudengar Meli hendak bicara lagi. Namun, aku lekas mematikan sambungan telepon. Perset*n dengan bibir manisnya kali ini. Apa dia gak tahu aku hampir saja gila membayangkan Mahe dan Daffa yang terkapar di rumah sakit tadi. Andai tadi bukan salah orang? Mungkin aku tak akan pernah memaafkan diriku untuk selamanya. Aku pulang dengan lunglai, di antara rasa kacau yang semakin menjalar. Pintu terbuka dengan lebar, ruangan yang rapi dan bersih menjadi pemandangan yang kulihat. Entah kenapa, makin hari, pemandangan ini terasa membosankan. Aku merindukan remahan biskuit yang bercecer, aku merindu celotehan dua buah hatiku yang biasanya menya
Aku pun turun menghentikan mobil dan mengatur napas. Rasanya berdebar sekali mau ketemu dengan Mahe dan Daffa. Aku merapikan rambut, lantas menyemprot parfum juga pada badan. Aku tak mau, ketika anak-anak kupeluk, dia menjauh karena bau. Namun, baru saja aku hendak turun. Dari arah berlawanan, sebuah mobil Alphard dengan plat nomor yang kukenal tiba-tiba berhenti di depan gerbang. Seorang security jaga lekas-lekas membukakan pintunya. Aku memperhatikannya dengan seksama. Tak salah lagi itu mobilnya Bu Hana. Putri salah satu pemilik saham perusahaan ternama. Lalu, apa ini artinya jika Hana itu benar-benar Hanum? Ataukah Hanum memang bekerja di rumah Hana? Setelah alphard warna putih itu masuk, aku pun lekas melajukan fortunerku dan berhenti di depan gerbang. Lekas mematikan mesin mobil, berjalan keluar dan berdiri di depan gerbang. Seorang security menghampiri. “Selamat siang, Pak!”“Siang!” Aku mengangguk sopan, sementara itu kedua netraku memindai halaman luas yang tampak asri da
Pov Hanum Aku benar-benar tak habis pikir pada isi kepala lelaki seperti Mas Ramdan. Selalu saja menyalahkanku yang katanya gak bisa ngatur rumah, ngurus anak dan diri sendiri. Andai dia tahu, mengurus rumah sebesar itu dan harus menjaga dua anak kembar yang tengah aktif-aktifnya bahkan menyita sebagian besar waktuku.Di otaknya yang ada hanyalah yang capek itu dia karena habis kerja, sedangkan aku? Aku di rumah saja. Semua ini sebetulnya sudah sejak lama, hanya saja entah kenapa enam bulan terakhir ini semakin menjadi saja. Dia pun kerap menyendiri di ruang bawah dan bertelepon dengan entah siapa. Senyumannya lebar dan manis, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ah, andai … andai secuil saja dia berikan senyum itu buatku. Mungkin lelah dan capek setelah seharian pontang-panting mengurus rumah dan anak-anak, sedikit terobati. Aku tak minta banyak hal, tak minta juga diberikan ART. Hanya meminta pengertiannya saja ketika tak semua pekerjaan bisa kuselesaikan. Namun, nyatanya tida
Pov Hanum.Tak terasa aku sudah beberapa hari tinggal di rumah megah ini. Setiap hari dipenuhi rutinitas yang menguras tenaga. Hanya saja, entah kanapa aku terasa ringan menjalanknnya. Selain karena sikap ramah Bu Pramesti, mungkin bisa dikatakan jika pekerjaanku sekarang adalah pelarian diri dari masalah yang menyita energi dan pikiran. Pagi itu, aku baru selesai menyiapkan sarapan ketika kulihat wanita paruh baya itu tengah duduk di ruang tengah dan tengah membersihkan wajahnya. Pantas saja, setua ini mukanya tetap mengkilap dan kulitnya tampak bersih dan kenyal. Rupanya dia memang rutin melakukan perawatan. “Bu, sarapannya sudah siap.” Aku menghampirinya sambil membawa alat pembersih kaca. Hendak kubersihkan kaca yang ada di depan. “Hanum, sini!” Bu Pramesti menepuk sofa yang masih kosong. Aku menatapnya dan menautkan alis. “Iya, Bu? Ada apa?” tanyaku. “Ibu lihat, kamu jarang sekali merawat wajah. Padahal ‘kan kerjaan rumah juga ada beresnya.” Baru saja dia menutup cream skinc