Share

Bab 5

“Ramdan, kenapa di rumah gak ada orang? Ibu dari tadi manggil-manggil Hanum tapi gak ada yang jawab. Ponselnya gak aktif juga. Apa Hanum pergi ke luar sama kamu?” telisik Ibu seraya melongokkan kepala ke belakangku. 

Aku menelan saliva. Rupanya Hanum tak pergi ke rumah Ibu. Lalu, aku harus jawab apa sekarang? Ibu kan sayang banget sama cucu-cucunya. Kalau dia tahu Hanum pergi bawa Mahe dan Daffa entah ke mana, habislah aku. 

“Ibu sudah lama, ayo masuk dulu, Bu!” Aku belum bisa jawab pertanyaan Ibu. Lekas kubuka gerbang dan mengajak Ibu masuk. 

“Kok sepi banget, Dan? Pada ke mana cucu-cucu Ibu?” tanyanya. 

“Bu, minum dulu saja, ya! Bentar aku masukin mobil dulu.” Aku mengambilkan air mineral dari dalam lemari es untuk Ibu.

“Hanum sama cucu-cucu Ibu pada ke mana, Dan? Kok tumben rumahnya sepi kayak gini?” tanyanya lagi. 

Aku melengos saja. Gegas kutinggalkan Ibu dan memarkirkan mobil ke garasi. 

Mesin mobil sudah mati, posisi pun sudah pas. Namun aku bingung mau turun. Harus jawab apa sama Ibu? Kupijat pelipis. Memutar otak sejenak. Kuusap layar gawai, lekas aku hubungi nomor Hanum. Namun, benar yang Ibu bilang. Nomornya masih saja gak aktif, huh. 

Belum aku masuk ke ruang tengah, Ibu sudah menyembul dan menatapku dengan heran. Aku yakin, dipikirannya dipenuhi pertanyaan. 

“Dan, mana Hanum?” 

Aku berdehem, lalu memasang wajah sedatar mungkin. 

“Ahm, itu … Hanum kemarin minta izin mau ikut acara parenting.” Aku memulai kebohongan. Gak niat juga menceraikan Hanum pada awalnya. Hanya saja, kemarin benar-benar tengah emosi. Akhir-akhir ini Hanum seolah tengah menguji kesabaranku. Tiap hari, ada saja hal yang membuat aku kesal. 

“Parenting? Dari kemarin?” Ibu malah makin menautkan alisnya. 

“Maksudku, kemarin dia dapat info tentang ada seminar parenting. Hari ini dia izin pergi. Pulangnya malem nanti.” 

“Oh ya sudah, kalau gitu ibu mau angetin dulu ini. Ibu masak pepes ikan mas kesukaan dia. Suka seneng banget kalau lihat dia makan. Sama ini, Ibu bawain bubur kacang ijo buat Mahe sama Daffa. Anak-anak kamu itu suka banget sama bubur kacang ijo.” 

“Ahm, Bu.” Aku menahan lengan Ibu. Dia sudah hendak pergi ke dapur tampaknya. 

“Apa, Dan?” Ibu menoleh. 

“Sini makannya, biar besok aku yang angetin.” Aku mengambul plastik yang ditenteng Ibu. 

“Buat sekarang saja, paling mereka capek habis seminar seharian.” Ibu bersikeras. 

“Hari ini, aku mau jemput mereka sekalian nginep di hotel pulangnya. Sudah lama gak ajak mereka jalan.” Kebohongan kedua pun dimulai. Aku lekas meraih plastik berisi beragam makanan untuk menantu dan cucunya Ibu. Kumasukkan ke dalam lemari es segera. 

“Oalah kalian mau bulan madu lagi, ya? Syukur kalau gitu. Ibu pengen cucu perempuan juga soalnya.” Ibu tampak sumringah. 

“Ibu tunggu di sini saja, ya. Aku mandi dulu. Nanti sekalian jemput Hanum, aku anter Ibu pulang.” Aku menjawab dengan suara yang sudah tenang. Masih ada waktu untuk mencari mereka. Ya, walau Meli tengah menyita perhatianku, tetapi aku merasa tanggung jawabku pada Mahendra dan Daffa tak bisa kulepas begitu saja. 

“Oh ya sudah,” tukasnya. 

Kuhembuskan napas lega. Lantas naik ke lantai atas setelah menyalakan televisi untuk Ibu. Aku mandi dengan cepat. Khawatir kalau-kalau Ibu mencium ketidak beresan lagi di rumah ini. Kadang aku heran, yang anaknya Ibu itu sebetulnya aku atau Hanum. Kadang dia malah lebih peka kalau apa-apa terjadi pada Hanum dari pada aku. 

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika aku selesai mandi. Lantas kutemui Ibu di ruang tengah dan mengajaknya pulang. 

Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak Diam. Setiap Ibu mau ngajak bicara. Aku berpura-pura nelpon. Begitulah sepanjang perjalanan. Aku takut Ibu menanyakan hal lain-lain. 

Ibu sudah kuantarkan ke rumah kami di tepi perumahan. Bukan cluster maupun perumahan rakyat. Namun rumah dengan tipe 90 yang didirikan di atas tanah seluas seratus lima puluh meter. Tanah peninggalan almarhum Ayah dulu. 

Ibu turun dan menitip sederet pesan untuk Hanum. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan. Ibu turun, aku pun ikut turun. Sepertinya aku harus cerita pada Risna---adikku. Siapa tahu dia punya solusi untuk masalah ini. 

“Dan, kok ikut?” Ibu menatap lekat padaku. 

“Ahm, itu … tadi Risna ada bilang kalau uang kuliahnya kurang.” Aku terpaksa berbohong. Ibu hanya ber oh ria. Ya, Risna memang terlambat menyelesaikan skripsinya. Harusnya tahun kemarin dia sudah lulus, bareng Meli. Namun, kebanyakan acara bikin skripsinya gak kelar tepat waktu. 

Risna yang kukirimi pesan sudah nunggu di depan pintu. Rambutnya yang panjang diikat asal. Dia menatapku seraya menaikkan satu alisnya ke atas. 

“Lo mau curhatin apa, Mas?” 

Aku mengedipkan mata, masih ada Ibu. Setelah Ibu masuk baru kutarik tangannya. Aku ajak bicara di dalam mobil dan minta pendapatnya. 

“Kuwalat sih kalau itu, Mas. Dulu lo nyia-nyiain Meli demi dia. Sekarang apa? Lo sendiri nyesel ‘kan? Buktinya dia gak sebaik yang Ibu pikirkan.” 

“Ck, sudah, deh gak usah bahas Meli lagi. Mas juga sudah masukkin dia kerja di tempat Mas. Anggap saja sebagai tebusan kesalahan Mas dulu yang ninggalin dia nikah.” 

“Iya, deh, iya. Cuma gue masih inget gimana kasihannya Meli waktu lo tinggal nikahin si Hanum itu. Sekarang rupanya dia malah jadi istri durhaka.” 

Aku yang kesal hendak menoyor kepala Risna. Bukannya dikasih solusi atau ide, malah terus saja nyerocos bahas yang udah lalu. 

“Mas bingung, Ris. Sebenernya Mas gak mau ceraikan Hanum. Tapi dianya suka nantangin dan bikin kesel kayak gini. Sekarang, gimana coba Mahe sama Daffa? Jangan-jangan dia ngajak anak Mas tidur di emperan toko lagi.” 

Risna tampak ikut berpikir. Lalu dia menatapku lekat. 

“Lo kan sekarang sudah sekantor sama Meli. Kenapa gak nikahin dia saja, sih. Ribet-ribet nyariin istri minggat. Asal lo tahu … si Meli gak pernah pacaran lagi semenjak lo tinggal nikah. Dia trauma. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.” 

“Duh punya adik kok gak guna! Dahlah, turun sana!” Aku yang kesal akhirnya menyuruh Risna pergi. Orang lagi mumet, di tambah mumet saja ngungkit-ngungkit masa lalu. 

“Yeyyyy, dasar!” Risna mencebik, lalu turun sambil menggerutu. 

Akhirnya aku melajukan mobil, mencari di setiap tempat yang mungkin didatangi Hanum. Dia tak banyak memiliki sahabat. Hanya dua orang setahuku. Aku pun kunjungi dua-duanya, tetapi mereka tak tahu. Selebihnya, aku mencarinya di sepanjang jalan, belok masuk hingga ke pasar-pasar dan nyari dia di emperan toko. Bukan Hanumnya yang kukhawatirkan, tapi Mahendra dan Daffa. Gimana nasib mereka sekarang? 

Berulang kali aku menguap. Malam ini kuputuskan untuk sudahi pencarian. Namun, menjelang perjalanan pulang, sebuah pesan dari Meli masuk. Kulihat, baru jam sepuluh malam. Ke kontrakan dia hanya tinggal belok sedikit terus masuk gang. Mungkin hanya lima belas menit dari sini. Akhirnya kuputuskan untuk mampir. 

Tiba di kontrakan, dia tampak tengah duduk di teras sambil berbicara di telepon dengan seseorang. Beruntung halaman kontrakannya masih muat untuk parkir kalau hanya dua mobil, sih. Aku pun keluar. Dia menyambutku dengan senyuman. 

“Lagi telponan sama siapa?” tanyaku basa-basi. 

“Risna, biasa lah bahas skripsi dia yang gak kelar-kelar,” kekehnya. 

“Oooo ….” Aku hanya ber-oh ria. 

Meli mempersilakanku masuk. Aku pun duduk bersila sambil bersandar pada tembok cat putih kontrakan tiga petaknya. Tak berapa lama, Meli datang dan membawa dua cangkir teh hangat dan bolu brownies yang menggugah selera. 

Aku yang memang tengah haus, langsung saja meneguk satu gelas teh manis dalam gelas tinggi. Kuhabiskan hingga tandas. Meli sampai menggeleng-geleng kepala dibuatnya.

“Kuenya, Mas!” Meli mengangsurkan piring berisi irisan brownies. 

“Duh, kok kepala Mas agak berat gini, Mel. Boleh pinjam bantal?” tanyaku seraya menguap berulang. 

“Boleh, Mas!” Meli sigap masuk ke dalam dan memberikan bantal padaku. Aku, tak kuasa lagi menahan kantuk dan setelah menempel pada bantal. Aku tak ingat apa-apa lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status