Share

[4]

last update Huling Na-update: 2025-06-30 19:02:02

“Bahan meeting-nya sudah siap, Ta?”

Sejak tadi, wanita berusia 36 tahun itu sibuk sekali mempersiapkan laporan yang akan mereka diskusikan bersama tim finance. Penentuan untuk anggaran promosi dan titik sasar yang dituju oleh tim yang dinaungi Jagad hanya tinggal selangkah lagi. Itu sebabnya Tata tak bisa melepaskan begitu saja segala macam rangkuman meeting sebelumnya, tanpa ia periksa lebih teliti.

“Sedikit lagi, Pak,” kata Tata tanpa melepas tatapan matanya dari layar komputer. Bukan bermaksud untuk tak sopan, tetapi ia bisa teralih fokusnya. Data yang tengah ia periksa harus dalam keadaan sempurna untuk presentasi babak akhir.

Jagad memahami cara kerja Tata. Tak merasa tersinggung atau terabaikan lantaran anak buahnya menjawab tanpa menatap matanya. Itu menunjukkan dedikasi yang tinggi dari seorang Semesta untuk pekerjaan yang digelutinya.

“Oh iya, Ta, selepas meeting nanti kita ada undangan makan siang dengan BoD.”

Ucapan ini yang membuat Tata mengangkat matanya. Sedikit membenahi posisi kacamatanya, lalu membalas perkataan Jagad. 

“Di mana, Pak? Saya harus bilang suami dulu.”

Jagad tersenyum. “Le Meridien. Kemungkinan sampai jam tigaan. Setelahnya kita kembali ke kantor untuk dirangkum, Jumat kita meeting dengan Sudar dan tim.”

Kening Tata berkerut. “Ini ... makan siang terselubung?”

Untuk kali ini, Jagad tertawa. 

“Ya. Ada petinggi Human Greetness. Brand baru. Mereka minta slot promo cukup besar.”

“Oh, proyek yang dikerjakan tim Sudar?” Tata memastikan proyek yang akan dibahas. 

“Iya.” Jagad menyerahkan satu berkas lagi pada Tata. “Kamu pasti sudah pelajari, kan?”

“Sebagian.”

“Menurut kamu?” 

Jagad sedikit menarik kursi yang ia duduki. Diskusi dengan wanita ini memang menyenangkan. Biasanya dilakukan di ruangannya, tetapi karena ada satu laporan yang Tata masih harus periksa, bagi Jagad tak pernah jadi soal kalau mereka diskusi di ruang wakilnya ini.

“Bagus, sih, Pak. Tapi saya tambah untuk poin harga. Mereka tawarkan cukup tinggi, tapi kualitasnya kurang bisa bersaing dengan brand Youtness, Pak. Mereka bawa sampel beberapa T-shirt dan hoodie. Kami bandingkan dengan pesaing yang ada. Semua brand yang kerja sama dengan ShopaShop itu, kan, money oriented. Jangan sampai sudah bayar mahal ke kita, tapi ternyata jumlah checkout buyer sedikit.”

Jagad mengangguk pelan. 

“Sudar sudah bicara dengan tim Human Greetness. Baru sebatas itu saja, Pak,” imbuh Tata.

“Mungkin makan siang ini membahas lanjutannya.”

“Bisa jadi.” Tata kembali menatap layarnya. Ia tak bisa terlalu lama menjeda pekerjaannya. 

“Kita meeting satu jam lagi, kan? Sebelum dimulai, saya cek dulu.” Jagad pun bangkit dari duduknya. “Saya tunggu, ya, Ta.”

“Baik, Pak.”

Sampai punggung lebar milik Jagad menghilang dari balik pintu, wanita itu sama sekali bergeming dari layar yang kini memenuhi matanya. Si bos penyuka kesempurnaan. Adalah harga mati yang akan dikejar pria itu mengenai masalah pekerjaan. Beruntung ia bisa mengimbangi kegilaan sang bos yang terkadang memang menyebalkan. 

Satu kebiasan yang tak pernah luput dari sosok Jagad. Tak peduli betapa repot Tata mengoreksi laporan, pria itu akan bertanya follow up berbagai macam proyek. Konsentrasi yang cukup tinggi dibutuhkan untuk menjawab sekaligus mengerjakan laporan di waktu yang bersamaan. Hebatnya, si bos tak butuh lembar grafik perkembangan masing-masing proyek untuk sekadar mengingat, apa yang sudah dicapai dan mana yang membutuhkan perhatian khusus.

Begitu selesai, segera saja laporan itu ia berikan pada Jagad. Sembari menunggu sang bos memastikan sekali lagi laporannya, Tata mengirim pesan pada suaminya. Kemungkinan besar dirinya tak bisa makan siang bersama seperti kebiasaannya yang sudah-sudah; tiap Kamis makan siang bersama di daerah Karet. Jarak kantor mereka memang tak terlalu jauh meski ditempuh melewati kemacetan yang menjadi ciri Jakarta.

Ponsel itu ia biarkan ada di sakunya setelah memastikan pesan itu terkirim. Tata segera memfokuskan diri untuk menghadapi meeting final dengan Jagad, yang kini berjalan memimpinnya dengan langkah tegap penuh percaya diri seperti biasanya. Berkas sudah pria itu genggam, di mana artinya Tata tahu, laporan yang ia kerjakan sudah seperti keinginan.

“Selamat siang semuanya,” sapa Jagad dengan senyum tipis di bibirnya. Beberapa orang yang sudah ada di ruang meeting pun melenyapkan obrolan ringan yang tercipta sebelum meeting dimulai. “Bisa dimulai sekarang?”

“Bisa, Pak,” sahut mereka kompak.

***

Biasanya saat makan siang bersama klien serta petinggi ShopaShop, baik Tata serta Jagad selalu menggunakan mobil kantor. Namun, siang ini, tak ada satu pun mobil kantor yang standby. Membuat wanita itu terjebak di SUV milik sang bos yang baru pertama kali ia naiki. Sepanjang bekerja, belum pernah satu kali pun ia duduk berduaan saja di mobil sang bos, yang sekarang sedang mengemudi.

“Enggak apa-apa, kan, Ta?” tanya Jagad memastikan. Sejak wakilnya itu membuka pintu mobil, ada keraguan tersirat di wajahnya. Pria itu merasa tak enak hati agak memaksanya barusan. Kalau mereka mengendarai mobil masing-masing, selain kurang efisien, juga ada beberapa yang harus ia bahas.

“Enggak, Pak.” Tata berusaha untuk tersenyum. “Biasanya ada satu atau dua orang lagi, Pak. Jadi ... saya agak canggung.”

Jagad mesem. “Iya, ya. Biasanya ada Sudar atau Pak Muh, sopir kantor.”

Mendengar ucapan Jagad, Tata hanya menarik sudut bibirnya tipis.

“Tenang, Ta. Saya enggak akan macam-macam,” seloroh Jagad yang direspons tawa kecil dari Tata. Melihat rekan kerjanya sudah lebih santai, pria itu pun menyalakan mesin mobil. “Kita jalan sekarang, ya.”

Perjalanan menuju Le Meridien memang tidaklah lama. Hanya saja mereka harus memutar agak jauh di depan Citywalk dan arus kendaraan siang hari ini cukup padat. Perjalanan yang harusnya ditempuh sepuluh menit, jadi dua kali lebih lama. Namun, itu semua dimanfaatkan Jagad untuk bertanya mengenai kesiapan Tata dan menambah banyak informasi baginya. Jangan sampai ia salah memberikan pendapat serta arahan target marketing yang nanti mereka bahas.

“Poin itu kamu catat tersendiri, kan?” tanya Jagad memastikan. “Kalau bisa minta sampel foto produk juga, Ta.”

“Iya, Pak. Semua bagian terpenting sudah ditandai Sudar. Hanya beberapa yang saya tambahkan dan koreksi.”

Jagad mengangguk sekilas. Tak ada lagi yang mereka bicarakan setelahnya. Toh, arah mobilnya sebentar lagi tiba di tujuan. Sementara itu, Tata terlihat mengeluarkan ponselnya. Ada dua pesan yang masuk di sana. Balasan dari suaminya serta sahabatnya, Jenni.

Mas Bhumi

Ya

Jenni: 

Sabtu ini bebas, kan? Kita ketemuan, ya? Lama banget enggak ngobrol sama kamu, Ta.

Seulas senyum tipis tersungging di wajah Tata. Segera ia balas pesan-pesan itu. Pada Jenni ia menyetujui ajakannya. Pada sang suami, ia mengingatkan agar jangan sampai menunda makan terlalu lama. Bertepatan juga dengan mesin mobil yang dimatikan pertanda mereka sudah ada di basemen.

Langkah Tata beriring dengan Jagad di sisi kanannya. Tak ada yang mereka bicarakan selain menuju tempat makan siang terselenggara. Hanya ada bunyi ketuk sepatu yang beradu dengan lantai marmer sebagai pengiring langkah mereka. Menyusuri koridor di sisi kiri dan berbelok nantinya untuk menunggu lift yang akan membawa mereka ke lantai lima. Restoran Zoya Meridien yang terkena dengan steak-nya ada di sana. 

Betapa terkejutnya Tata saat berbelok dari sudut koridor. Di seberang sana, sosok yang sangat ia kenali tengah merangkul seseorang. Wajahnya tersenyum lebar. Sorot matanya juga menatap dengan penuh kagum pada sosok yang tak ia kenali itu. Seolah-olah keakraban mereka sudah lama sekali terjalin. 

“Ta,” panggil Jagad pelan. “Ayo, liftnya sudah terbuka!”

Tata mengerjap pelan. Sosok itu masih ada di sana. Artinya bukan khayalan atau mimpi di siang bolong. Ini kenyataan. “Mas Bhumi ... sama siapa?”

“Ayo, Ta!” kata Jagad tak sabar. 

“Ba-baik, Pak.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • ATM BERJALAN KELUARGA SUAMIKU   [19]

    Jagad tak tahu harus mengatakan apa. Ia sungguh merasa tak enak hatinya karena tingkah sang putri. Bagaimana bisa Echa mengamuk sejadi-jadinya saat tahu kalau Tata tak akan satu mobil dengannya. Beruntung rekan kerjanya seperti memahami kalausang putritak bisa hanya dibujuk sekadar kata. Apalagi ia tagih janji mainnya bersama Tata.“Saya benar-benar minta maaf, Ta,” kata Jagad sesaat setelah mobil yang mereka kendarai berhenti di depan rumah dua lantai yang Tata arahkan alamatnya.“Enggak apa, Pak.” Tata tersenyum. “Saya hitung sudah tiga kali Bapak minta maaf karena hal ini aja.” Ia bersiap untuk turun. “Saya juga berterima kasih sudah diantar pulang.”“Sudah keharusan saya kalau itu.”Jagad melepaskan diri dari tautan seat be

  • ATM BERJALAN KELUARGA SUAMIKU   [18]

    Tata sekali lagi memeriksa berkas jalannya proses pembangunan gedung.Meski bukan kuasanya,tetapi gedung ini nantinya akan dijadikan kantor yang mengepalai area marketing di wilayah Sumatra. Juga server cadangan untuk membagi kapasitas layanan mengingat beban di Jakarta cukup berat. Makanya BoD meminta mereka berdua untuk mengecek bagaimana pembangunan di sana.“Pak Jimmy enggak terima alasan seperti ini, sih,” kata Tata pelan sembari membenahi kacamatanya. “Pak Jagad tahu sendiri, kan, Pak Jimmy bagaimana.”“Saya paham, Ta.” Jagad menggosok tangannya pelan. Matanya menatap tegas pada dua orang yang bertanggung jawab atas pembangunan gedung berlantai sepuluh ini dengan tajamnya. “Bu Ratih kami percayakan untuk proyek ini, tapi kenapa molornya terlalu lama?”“Seperti yang saya jelaskan,

  • ATM BERJALAN KELUARGA SUAMIKU   [17]

    Tata menarik napas pelan. Memastikan barang bawaannya tak ada yang tertinggal, terutama ponsel dan dompet. Agak ragu juga ia untuk turun ke lobi,tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya telanjur menyetujui ajakan Jagad makan malam di luar sekaligus menjajal kuliner di sekitar hotel.Belum Tata lupa bagaimana pembicaraan yang belum ada tiga jam berlalu.“Saya harap ajakan ini enggak ada penolakan, Ta. Anggap saja ucapan terima kasih karena semalam mau direpoti Echa.”Wanita itu meringis jadinya. Padahal ia tak melakukan banyak hal; hanya membujuk Echa agar tak menangis, menjanjikan bermain bersama ketika ia kembali nanti, juga sedikit mendongeng sampai sang bocah terlelap tidur.Sepanjang pagi hingga siang, tak ada kendala berarti selama jalannya meeting dan bertemu pihak Jiayi. Semuanya berjalan lancar dan sesuai deng

  • ATM BERJALAN KELUARGA SUAMIKU   [16]

    “Semoga dinasmu menyenangkan,” kata Jenni sembari tersenyum semringah, juga tak lupa tangannya melambai penuh semangat sebelum Tata benar-benar menaiki taksi pesanannya.“Apaan, sih, kamu,” sungut Tata,tetapi tak bisa membuat dirinya kesal diperlakukan seperti itu oleh Jenni.“Nanti aku kasih rekomendasi tempat yang seru untuk refreshing meski singkat.”“Aku kerja, Jen.”“Aku tahu,” sela Jenni tak kalah cepat. “Sudah sana masuk. Jangan sampai ketinggalan pesawat. Semuanya sudah kamu bawa, kan? Jangan sampai ada yang tertinggal, Ta.”Ah ... memiliki Jenni di sekitar hidup Tata yang mengenaskan ternyata bisa membuatnya tak henti-henti bersyukur.“A

  • ATM BERJALAN KELUARGA SUAMIKU   [15]

    “Astaga, Tuhan!” Jenni memekik begitu Tata keluar dari mobilnya. “Kamu kena badai di mana, Ta?”Tata bingung mendengar sambutan Jenni. “Mana ada.”Jenni terkekeh. “Badai rumah tangga, Ta.”Bibir Tata jadi mencebik. “Sembarangan.”“Sudah-sudah, ayo kita masuk! Aku baru selesai masak makan malam.” Jenni segera menggamit tangan Tata agarwanita itumengikuti langkahnya.[d1]Rumah yang kadang Tata kunjungi masih tampak sama dari terakhir kunjungannya ke sini. Dominasi broken white menyambut mereka saat memasuki ruang makan.“Kamarmu sudah aku siapkan, Ta. Nanti biar Pak Har yang angkut barang kamu.”

  • ATM BERJALAN KELUARGA SUAMIKU   [14]

    Tata:Jen, sementara waktu aku tinggal di rumah kamu, ya. Senin aku pindah ke kos dekat kantor.Jenni:Ada apa memangnya? Kamu di mana? Jangan bikin aku khawatir, Ta.Tata:Nanti aku kabari.Jenni:Keep contact terus, Ta. Rumahku selalu terbuka untuk kamu.Setelah membaca pesan terakhir dari Jenni, ia kembali memasukkan ponselnya ke saku. Mobil yang sejak tadi ia kendarai sudah terhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Gerbang hitam yang cukup tinggi sudah ia buka lebar. Sengaja mobilnya tak ia masukkan dalam garasi. Baginya segala hal yang ada di rumah ini sud

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status