Bab 57: Sambung Rasa
Sambung rasa, sambung cerita, melepaskan rindu dan memuaskan rasa kasih. Kehangatan sebuah keluarga melingkari Hekal, sang Ibu, dan kedua adiknya yang berbincang-bincang di ruang tengah.
Canda dan tawa bersahut dan berbalasan dengan begitu asyiknya. Hingga kemudian, sampai pada sebuah topik bahasan yang membuat Hekal merasa terpojok.
“Mana janji Kakak?” Tanya Eci tiba-tiba dengan wajah yang merajuk.
“Janji? Janji yang mana?” Hekal berpura-pura lupa.
“Kakak bilang mau belikan aku sepatu.”
Eca yang tunarungu pun menimpali dengan isyarat dan suara khas dari mulutnya.
“Mmmah.., mmmhaah..,”
Hekal tersenyum, dan sengaja membuang muka.
“Iya, Kakak tidak lupa kok. Untuk Eca juga Kakak belikan.”
“Mana?” Tanya Eca dengan isyarat.
“Tunggu dulu, ada syaratnya.”
Bab 58:Rindu Mendadak saja hati Olive berdebar-debar. Apa hal? Apa pasal? Mengapa Hekal tidak juga membalas pesan chat yang barusan ia kirimkan? Apakah Hekal sudah mempunyai pacar?“Sehingga karena itu membalas pesan chat dari aku ia merasa tidak perlu?”Oh, Olive gelisah. Rasa kantuknya pun tak kunjung datang juga. Beberapa saat ia terus memandangi ponselnya yang terletak di atas ranjang, persis di depan wajahnya sendiri.“Hekal, kamu balas sekarang ya? Satu, dua.., tiga!”Eee..! Tidak juga!Merasa kesal, Olive pun bangkit dari ranjang. Ia berjalan keluar dari kamar, menuju kamar mandi, masuk lagi ke kamar. Keluar lagi, masuk.., nah, keluar lagi!“Kamu kenapa sih, Olive?” Tanya sang Ibu.Sebentar Olive mematung dengan ujung jari telunjuk yang tergigit.“Hape aku di mana, Ma?”Serentak saja ibu dan ayah tirinya i
Bab 59:Rapuh Hari demi hari pun berlalu. Menggenapi almanak satu demi satu hingga terbilang minggu. Bersamaan dengan itu, Briptu Olivia Razak menjalani hari-harinya dengan semangat yang selalu baru.Energi misterius yang merasukinya dari bayang-bayang wajah Hekal senantiasa membuatnya memandang hari dengan penuh keceriaan.Sang Polwan ini merasa, kemana pun ia melangkahkan kakinya seakan seluruh dunia tengah menatapnya.Di dalam persepsinya sendiri ia telah menjadi ‘center of gravity’, pusat gravitasi, di mana semua orang akan tertarik dan mengedar di sekeliling dirinya.Ajaib memang, setruman psikologis yang disebut-sebut orang dengan nama ‘kasmaran’ ini.Akan tetapi, bertolak belakang dengan itu semua, Aipda Karin Jazmina Zachrie merasa telah terjatuh ke dalam jurang yang paling dalam. Sampai di dasar jurang itu ia jatuh lagi, jatuh lagi, dan terus begitu, menga
Bab 60:3M Ibunda Karin kembali ke ruang tamu untuk menemui Olive. Beberapa saat mereka terlibat pembicaraan dengan suara yang sengaja dipelankan.Akhirnya, Olive pun mengangguk untuk memenuhi permintaan ibu dari seniornya di Polda itu. Segera ia bangkit dari kursi tamu dan berjalan melewati ruang tengah, lalu berbelok ke kiri, keluar menuju teras samping di mana Karin berada.“Mbak?” Sapa Olive dengan raut yang tampak segan.Karin menoleh, dan mengulas sebuah senyum tipis nan hambar.“Aku boleh duduk di situ?” Olive menunjuk sebuah kursi di samping Karin.Karin hanya mengangguk sekali. Ekspresi wajahnya sendiri seakan sedang tidak ingin ditemui oleh siapa pun.Olive melangkah mendekati Karin. Sebelum mengambil duduk ia menyempatkan diri untuk memeluk Karin yang masih saja termangu di kursinya. Dari situ Olive pun paham, betapa tertekannya batin sang Srikand
Bab 61:Ekstra Bakso It is work! Yeah, ternyata ini manjur!Setiap hari, pagi dan sore, Karin melakukan latihan karate, dengan fokus sasaran pada samsak yang ada tempelan kertas bertulisan ‘mantan’ itu.Secara perlahan bayang-bayang menyakitkan di dalam hati Karin pun mulai menipis. Ia semakin giat saja memukuli samsak dengan tangannya yang terbungkus sarung tinju.Di beberapa hari berikutnya setelah kedatangan Olive itu, Karin masih asyik memukuli samsak dengan aneka variasi serangan tinju. Jab, straight, counter strike, hook, uppercut, dan..,“Ciaatt..! Ciaaatt..!!”Bug! Bug! Bug!Bag, bug! Bag, bugg..!Lestari, alias Tari, keponakan Karin yang baru pulang kuliah, menghampiri dirinya yang terus berciat-ciat dan ber-gedebag-gedebug.“Tante. Aku lagi senang nih,” kata Tari sesampainya di samping Karin.“Kenapa?” S
Bab 62:Cie Cie “Wuiih..! Aku baru tahu ini,” kata Aje dalam hati.Warung bakso yang bernama Cie Cie ini ternyata bukan warung jajanan biasa. Tampak mukanya saja sudah kelihatan istimewa.Bentuk fisiknya sendiri berupa bangunan tunggal dengan ‘facing’ yang tepat menghadap ke arah jalan.Dinding-dinding dan tiang-tiangnya terbuat dari kayu yang divernis dan berkilat, sehingga menampilkan kesan klasik yang elegan, ‘ngademin’, dan membikin betah siapa pun yang duduk di dalamnya.Atapnya terbuat dari daun rumbia yang dianyam, berwarna coklat tua dan mengingatkan orang pada suasana desa yang damai dan bersahaja.Meja-meja dan kursi di dalamnya terbuat dari bambu, dan tersusun rapih sedemikian rupa dengan begitu apiknya.Tempat parkirnya sendiri cukup luas, dipenuhi dengan aneka macam kendaraan, baik itu sepeda motor mau pun mobil berbagai jenis dan wa
Bab 63:Sarung Tinju Karin pun menghentikan aktifitasnya memukuli samsak. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tinju menahan samsak supaya berhenti bergoyang-goyang.Kepalanya ia miringkan sedikit, dan telinganya ia pasang untuk menangkap suara yang samar-samar ia dengar dari arah depan rumahnya itu.“Ayo-Food..!”“Ayo-Food..!”Sepertinya, itu adalah pesanan yang dibuat Tari keponakannya tadi. Setelah benar-benar yakin bahwa panggilan itu berasal dari depan rumahnya sendiri, Karin pun meninggalkan samsak dan memasuki rumah lewat pintu samping.Ia menoleh-noleh, mencari Tari sang keponakan. Suasana rumahnya sepi. Kedua orang tua Karin kebetulan juga sedang tidak berada di rumah.“Tari!” Panggil Karin sembari melangkah menuju ke kamar Tari.“Lestari..! Tarii..!”Tetapi, tidak ada sahutan dari keponakannya itu.&ld
Bab 64:Di Naikin Di teras samping, begitu lahapnya Tari menyantap mie ayam. Sementara Karin yang masih terkenang momen beberapa saat yang lalu di depan rumah, menyantap mie ayamnya dengan pandangan yang kosong.Selera makan sang janda Polwan ini perlahan hilang. Satu dua sendok yang berhasil ia suapkan tadi pun tidak berhasil ia nikmati dengan lidahnya. Terasa hambar saja.“Tante, baksonya tidak dimakan?” Bertanya Tari sang keponakan dengan heran, sambil menunjuk bakso di mangkok Karin dengan ujung garpunya.“Hemm,” sahut Karin, tanpa memaksudkan apa-apa.“Aku boleh minta baksonya, Tante?”“Ambillah.” Karin tetap termangu, dipilin oleh memorinya sendiri.Tari yang sudah mengkhatamkan seporsi mie ayamnya pun menggerakkan garpunya, bermaksud untuk menusuk sebuah bakso di mangkok bibinya itu. Cus!Tari mengambil bakso telor dan m
Bab 65:Masih Tentang Naikin Olive sampai di rumahnya sudah hampir pukul tujuh malam. Ia memarkirkan mobilnya persis di samping mobil ayahnya.Setelah itu ia pun memasuki rumah. Langkah kakinya terasa berat sekarang ini. Demikian juga hatinya yang digelayuti rasa kesal dan juga rindu.Rindu?“Kurang asem kamu, Kal!” Olive merutuk-rutuk dalam hati.“Dasar penjahat! Tega-teganya kamu menyiksa anak gadis orang!”“Tega-teganya kamu membikin aku rindu!”“Apa pula ini?? Haahh?? Apa pula ini?? Kenapa jari tengah dan jari telunjukku berkait lagi?!”Di ruang depan, Olive bertemu dengan ibunya, juga ayah tirinya yang tengah duduk bersantai menonton televisi.“Tumben, lambat pulang,” menyapa sang ibu.Olive menyalami ibunya, menyusul ayah tirinya juga.“Banyak tugas?” Tanya sang ibu lagi.