Hari ini Rara ingin berkunjung ke rumah mertuanya, sekaligus ingin berkunjung ke butik. Kebetulan juga ini hari sabtu jadi Rara ingin sekalian weekend bersama Ridwan dan juga Hanun.
Hampir enam bulan Rara tak berkunjung ke rumah mertuanya dan juga ke butik. Karena kesibukan di rumah yang kebetulan juga kantornya berdekatan dengan rumah membuat Rara tak punya banyak waktu untuk bersilaturahmi ke rumah mertua. Namun, meskipun Rara jarang punya waktu berkunjung, tapi Rara tidak pernah lupa kewajiban sebagai anak mantu untuk selalu mengirim uang jatah bulanan untuk Mama mertuanya. Bagaimanapun juga, Ridwan juga fokus ke usaha yang dibangun Rara dari nol. Penghasilan mereka semua bersih dari usaha clothing yang diberi brand Hamun Collection saat ini. Untuk butik yang memang berada di kawasan dekat dengan tempat tinggal Mama mertua, selama ini juga di bawah pengawasan suaminya. Sementara Rara hanya menerima laporan setiap bulannya. Begitulah cara kerja mereka, agar usaha itu tetap berjalan lancar jadi memang harus berbagi. Rara fokus di kantor, sementara Ridwan fokus di butik. Meskipun butik punya karyawan sendiri, tapi tetap di bawah pengawasan Ridwan. Terlepas dari ingin berkunjungnya Rara, Rara sendiri masih bertanya-tanya tentang kejanggalan acara tujuh bulanan kemarin di W* story Vina itu. Semoga Rara bisa mendapatkan jawabannya dari kejanggalan ini nantinya. Rara ingin bertanya langsung pada mertuanya sekaligus pada suaminya.Entahlah. Rara sendiri seperti punya firasat yang tidak baik dengan semua itu. Meskipun Rara mencoba menipis semuanya. Berharap tidak ada hal yang kelak membuat Rara kecewa. "Kakak, hari ini pulang jam berapa nanti, Kak?" tanya Rara pada Hanum saat mereka di meja makan sedang menyantap sarapan pagi. "Kakak mungkin hari ini pulang cepat, Bun. Kenapa, Bun? Ada pemotretan ya?""Nggak Kak, belum ada pemotretan minggu ini. Hari ini tuh Bunda mau ke rumah Oma, sama mau ke butik, Kakak mau ikut nggak?" tawar Rara pada Hanum. "Mau Bun, Mau! Jam berapa Bunda berangkat ke rumah Oma?" tanya Hanum antusias. "Nanti lah, tunggu Kakak pulang sekolah aja. Tapi, Kakak nggak ada jadwal lain kan hari ini? Les tambahan, kerja kelompok atau apa gitu?" tanya Rara memastikan. Karena Rara tidak ingin mengganggu jadwal belajarnya Hanum. Jadi, Rara memastikan terlebih dahulu. "Nggak ada Bun, hari ini kan sabtu Bun. Jadi Kakak nggak ada jadwal lain." Sahut Hanum. "Ya sudah kalau gitu, Kakak hati-hati ya sekolahnya."Hanum pun berangkat ke sekolah setelah selesai sarapan, sementara Rara bersiap ke kantor yang hanya berjarak sepuluh meter dari rumahnya. Kantor sekaligus tempat produksi Hanum Collection. Sampainya Rara depan kantor, sebuah mobil yang sangat Rara kenal pun berhenti. Ya! itu adalah mobil Ardi, suami Eca. "Assalamu'alaikum, Bunda," sapa Eca saat turun dari mobil. Begitu pun suaminya Eca memberi salam pada Rara. "Waalaikumsalam, Ca. Eh, Kamu udah masuk kerja Ca? Kan masih ada dua hari lagi liburmu." Tanya Rara"Eh, Iya Bun, anu… tadinya mau di rumah dulu, tapi capek juga gak ada kegiatan, Bun, jadinya aku minta diantar kerja aja hari ini, ya kan Mas?" ujar Eca menoleh ke Ardi suaminya. "Iya Bun, Eca minta masuk kerja hari ini jadi saya antar saja dari pada di rumah dia bosan."Timpal Ardi. "Oh begitu, baiklah. Tapi, nanti jangan di bilang Bunda motong hari libur kamu ya!" canda Rara. "Nggak kok Bun, mana mungkin aku bilang Bunda begitu." Sahut Eca. Semua karyawan Hanum Collection memanggil Rara Dengan sebutan Bunda. Meskipun mereka lebih pantas menjadi adiknya Rara. Tapi karena salah satu dari karyawan Rara, Amel, karyawan pertama Rara yang memanggil dengan sebutan Bunda, sehingga semua team Hanum collection pun ikutan dengan sebutan yang sama. Tidak masalah bagi Rara, Rara justru merasa lebih akrab dengan panggilan itu. Lebih terasa kekeluargaan dengan panggilan Bunda dari semua karyawannya. "Ya nggak, Bunda bercanda kok!" ucap Rara lagi. "Gimana acara tujuh bulanannya? Lancar? Maaf ya, Bunda nggak bisa datang. Nanti kado nyusul ya!" Rara bertanya sembari memberikan senyum manisnya. "Hm, gak papa Bun, lagian kita nggak bikin acara kok. Iya kan, Mas? Kami cuma syukuran pengajian biasa aja, Bun." Eca menjawab dengan wajah yang penuh arti menoleh ke Ardi. "Iya, Bun. Kita nggak bikin acara, hanya pengajian biasa aja." Timpal Ardi. "Ya sudah, kalau gitu saya pamit ya, Bun, Ca," pamit Ardi pada Rara dan Eca. Terlihat, seperti tidak nyaman. "Oh iya, hati-hati ya." Sahut Rara. Ardi pun meninggalkan Rara dan Eca yang masih berbincang di depan kantor. Mereka berdua juga masuk ke dalam kantor. dimana semua karyawan team Hanum Collection sudah masuk melaksanakan tugas dari masing-masing mereka. "Kebetulan sekali kamu masuk kerja hari ini Ca, Bunda mau keluar nanti hari ini." Ujar Rara saat mereka sampai di dalam ruangan kerja. "Oh, Bunda mau keluar nanti, ya?""Iya Ca, mau kerumah Omanya Hanum, sama mau jenguk butik juga sekalian." "Oh iya Bun. Gak papa, Bunda pergi aja." Jawab Eca lagi. Setelah selesai memberi laporan kerja Eca yang beberapa hari ini di handle oleh Rara, Rara pun bersiap untuk berkunjung ke rumah mertuanya sekaligus menjenguk butik. *********Ardi yang sedang fokus menyetir mobil mendapatkan notifikasi pesan W* masuk di layar HP-nya.Ardi meraih HP itu untuk melihat dari siapa gerangan yang mengirim dia pesan. [Kerja yang bagus!] Ardi membaca pesan itu. Matanya sedikit menyipit, meskipun nomor yang mengirim pesan ini baru dan tidak tersimpan. Tapi, Ardi tau siapa pemilik nomor tersebut. [Mau sampai kapan aku hanya jadi orang bayaranmu? Tidakkah kamu takut jika semua rahasiamu terbongkar nantinya?] balas Ardi[Tidak ada yang tau! Kecuali kamu yang berniat untuk membocorkan rahasia ini.][Terserah! Aku hanya mengingatkan, jangan terlalu lama bermain api, jika tidak ingin nanti api ini membakar dirimu sendiri.]Pesan Ardi terkirim dan langsung dibaca. [Tidak usah kamu sok menasehatiku! Kerjakan saja apa yang memang menjadi tugasmu dengan baik!]Ardi hanya membaca pesan itu tanpa berniat untuk membalasnya. Karena merasa percuma membuang tenaga untuk orang yang tidak pernah kenal kata puas."Kakak udah siap?" tanya Rara pada gadis remajanya yang sekarang sedang berada di daun pintu kamar. "Sudah Bun, ini tinggal berangkat." Jawab Hanum sambil memutar-mutarkan tubuhnya. Rara hanya hanya tersenyum melihat tingkah anak gadisnya. Anak gadis tetapi rasa teman. "Bunda juga sudah siap kok, yuk!" ajak Rara. Mereka berdua pergi menuju ke mobil dan melajukan perjalanan ke rumah Omanya Hanum. Di tengah perjalanan mereka terlibat obrolan-obrolan ringan antara Bunda dan anak. Rara menanyakan bagaimana di sekolahan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Hingga perjalanan mereka terasa begitu asyik. "Kita mampir dulu beli kado ya Kak, buat Tante Dwi sama Om Dito." Ujar Rara saat mereka sampai di depan toko perlengkapan bayi. "Kado apa Bun? Kok toko perlengkapan bayi? emangnya Tante Dwi dan Om Dito kenapa, Bun? Kok kita beli kado segala." Tanya Hanum penasaran. Rara yang hendak turun dari mobil akhirnya urung, Rara menoleh ke Hanum dan memberitahukan semuanya. "Tante Dwi lagi hami
Rara,Vina, Rista Mama mertua sudah berkumpul di ruang keluarga. Sementara Hanum minta untuk ke kamar Vina terlebih dahulu yang berada di depan ruang tamu. Meskipun bingung Hanum tetap mengikuti perintah Bundanya. Hanum tau ada hal yang belum boleh didengar tentang obrolan di luar sana. Meskipun hanun merasa Bundanya menutupi sesuatu, tetapi Hanum mencoba menepis semuanya jika itu baik-baik saja. Tidak ada yang harus Hanum khawatirkan. Hanum sudah tumbuh remaja, Hanum sedang berada di fase puber pertamanya saat ini. Hanum sering menceritakan pada Bundanya bahwa dia sudah mulai punya ketertarikan dengan lawan jenisnya. Sebagai orang tua yang welcome untuk anak semata wayang, bagaimana Rara memberitahu untuk mengontrol pergaulan anaknya agar tidak salah berteman dan bergaul. Ada batasan-batasan yang harus dijaga sebagian perempuan. Apalagi di masa puber pertama. Rara dan Ridwan selalu membuka diri menjadi tempat ternyaman anaknya untuk bercerita. Apapun yang sedang dialami dan dir
Dengan langkah gontai Rara berlari kecil untuk sampai di kamar tersebut. "Bunda! Tunggu!" teriak Ridwan mencegah Rara. Namun Rara tetap melanjutkan langkahnya. Rista dan Vina pun ikut panik melihat aksi Rara. Rara meraih gagang pintu kamar dan membukanya dengan sekuat tenaga. Mata Rara membulat sempurna melihat pemandangan di dalam. Semakin menambah rasa sakit yang baru di torehkan suaminya. Kamar yang dulu sering ditempati oleh Rara saat menginap di sini sekarang sudah disulap menjadi kamar bayi. Bukan, Kamar ini sudah di renov menjadi Kamar bayi namun tetap berdampingan dengan tempat tidur Ridwan dan Rara. Maksudnya Ridwan dan istri barunya. Rara mematung di daun pintu melihat setiap sudut ruangan yang ada di kamar itu semuanya, mata Rara tertuju tempat tidur bayi yang sudah disediakan di kamar itu dengan nuansa biru. Dinding Kamar diberikan stiker-stiker khas anak laki-laki. Tempat tidur yang dulu punya kenangan bersama Ridwan saat ini sudah di rubah menjadi tempat tidur Ridw
Sesampainya di mobil, Rara menyala mesin mobilnya dan berlalu pergi tanpa pamit dengan satupun. Sudah hilang rasa hormat Rara atas pengkhianatan suaminya. Vina dan Rista hanya bisa melihat dari balik jendela tanpa berani mengantarkan keluar. Sementara Ridwan hanya tertunduk lemah di kamar. "Arrggghhh! Kacau! Semuanya kacau!" rutuk Ridwan. Ridwan mengepal tanganya menghantam dinding kamar itu. Dia kesal, entah apa yang Ridwan kesalkan, padahal dia yang berbuat curang tetapi justru Ridwan sendiri yang seperti kebakaran jenggotnya. Ridwan benar-benar kalut dan kacau."Vina!" teriak Ridwan memanggil adik bungsunya. Vina yang tengah kebingungan di luar terperanjat mendengar teriakan Ridwan. "Ma, Mas kenapa? Aku takut, Ma," Ujar Vina pada Rista. "Sudah sana! Kamu temui, Masmu itu!" titah Rista. Dengan rasa takut yang teramat Vina melangkahkan kakinya menuju kamar Ridwan. Pintu kamar yang masih terbuka seperti sebelum Rara pergi, pembuat Vina bisa langsung menangkap sosok kakak tert
1[Mas, itu maksudnya apa Bunda bikin Give Away begitu? Itu kenapa perhiasanku bisa sama Bunda?]Ridwan yang baru sampai di garasi hendak turun mendadak dibuat bingung saat membaca pesan dari Eca, give away apa yang dimaksud? [Kamu ngomong apa? Mas nggak ngerti.][Coba mas buka grup karyawan! Bunda mau ngadain giveAway tentang hubungan kita.]Mata Ridwan membulat sempurna membaca pesan itu. Tanpa membalasnya Ridwan kembali mengambil hpnya yang terkhusus untuk keluarganya, yang disitu tercantum grup-grup yang ada di WA. Sementara HP untuk selingkuhannya dia simpan di balik jok kemudi. Tidak lupa Ridwan matikan terlebih dahulu. Saat pesan WA itu dibuka Ridwan benar-benar tidak habis pikir mengapa Rara seperti ini. Berbagai macam komentar masuk membalas pesan Rara. Banyak dari mereka yang tercengang atas apa yang Rara adakan di grup ini. [Bun, ini maksudnya apa, ya? Mas Ridwan itu yang dimaksud Pak Bos?][Bun, ini teh beneran? Emangnya Pak Bos teh selingkuh? Kunaon eta?] timpal Nenen
Bunda, apa boleh aku kerumah besok untuk memberi bukti yang Bunda cari? Aku punya banyak bukti, Bun. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa.]Rara membaca pesannya, mata Rara membulat sempurna seperti tidak percaya. Namun, sesaat kemudian senyum terukir di bibir Rara membaca pesan itu. "Bukan hanya satu? Itu berarti anak ini sudah tau lama perselingkuhan Mas Ridwan.""Mas, kita lihat sampai sejauh mana kamu bersembunyi." Gumam Rara. Tengah asik berbalas pesan, pintu kamar Rara diketuk. "Assalamualaikum, Bunda," sapa Ridwan dari daun pintu. Rara terperanjat kaget. "Masih punya muka dia kembali kesini!" Lagi Rara bergumam. Rara hanya menjawab salam itu dalam hati. Ridwan yang sadar Rara tak membukakan dia pintu, berinisiatif untuk masuk sendiri. Meskipun terpatah-patah langkah Ridwan mendekati Rara, Ridwan sudah bertekad menyelesaikan malam ini masalahnya. "Bun," lirih Ridwan. Rara tak menggubris panggilan suaminya, Rara tetap fokus dengan HPnya berbalas pesan dengan Iwan. Ridw
Semenjak hari itu, wajah Eca selalu mengganggu di pikiran Ridwan, saat sedang di butik pun Ridwan sering menatap wajah cantik Eca yang dijadikan PP WAnya kala itu. "Ah sial! Gadis ini bikin aku tergila-gila."Rutuk Ridwan. Sekuat tenaga Ridwan mengusir rasa itu, namun setiap saat juga bayangan Eca selalu datang. Sementara Eca sama sekali tak lagi melirik Ridwan setelah kejadian hari itu. Eca hanya memberi perangkap satu kali, namun tak disangka umpanya kena. Malam itu Ridwan menghubungi Eca diam-diam tanpa sepengetahuan Rara. Satu kali panggilan itu terabaikan, hingga panggilan ketiga kalinya Eca menjawab. "Halo Mas, ada apa?" tanya Eca dengan santai tanpa suara yang dibuat manja seperti hari itu. Eca mengira bahwa Ridwan menghubunginya perihal pekerjaan. Ternyata Eca salah, Ridwan menghubunginya perihal masalah hati. "Ca, kamu lagi apa? Aku ganggu nggak?" tanya Ridwan. "Hmm, ini mau keluar, Mas, malam mingguan." Jelas Eca. "Oh, mau pergi ya, sama cowoknya? Maaf ya, aku gang
Malam telah larut, Rara masih berlanjut pertengkarannya dengan Ridwan. Ridwan masih terus membujuk Rara untuk menerima keadaan, namun Rara masih teramat sakit untuk menerima kenyataan ini. Sungguh Ridwan benar-benar tak memikirkan perasaan Rara sedikit pun. "Sudah lah, Mas! Aku sudah capek dari tadi mendengar permintaanmu! jangan paksa aku untuk menerima keadaan ini. Kamu benar-benar ya! Nggak ada sedikitpun memikirkan perasaan aku! Dasar laki-laki egois!" hardik Rara. Rara mengambil posisi untuk segera tidur, sementara Ridwan hanya menatap istrinyaistrinya tanpa berbicara lagi. Ridwan pun hendak tidur, namun seketika Rara bangun dan meraih selimut dan bantal untuk tidur di sofa bawah. Ridwan yang menyadari istrinya turun pun tersentak bangun. Ridwan tau bahwa Rara saat ini kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja, bahkan tidur satu ranjang pun istrinya enggan. Padahal dua malam yang lalu mereka masih bercanda ria saat hendak tidur, namun sekarang sudah berbeda. "Bun, kenapa