Malu? Sudah pasti Eca sangat malu. Eca tak bisa melawan Rara untuk sekedar menjawab.Karyawan toko itu hanya menyaksikan percakapan antara Eca dan Rara, mereka juga bingung apa ya g terjadi sebenarnya."Maaf, Buk, ini barangnya saya kembalikan. Barang ibu ini memang barang lalu, dan tidak ada harganya." ujar karyawan yang tadi melayani Eca."Eh mas, kalo nggak, percaya coba tanya sama wanita ini. Ini tuh barang asli. Kalian ingin menipu saya ya?" Sungut Eca.Dengan senang hati Rara mengambil perhiasan itu mencoba berpura-pura menilai apakah asli atau palsu."Ini kan hanya imitasi, hanya bentuknya saja yang sama dengan perhiasan asli." Tutur Rara. Lalu manaruh kotak perhiasan itu kembali di depan Eca.Jantung dara kembai berdebar. Eca tidak percaya bahwa perhiasannya itu barang imitasi. "Ini pasti ulah wanita tanpa rahim ini." Gumam Eca penuh Emosi. "Betul, Buk. Hanya orang yang paham perhiasan yang bisa membedakan mana yang asi mana yang bukan." Imbuh pria itu. Lagi, Eca merasa s
"Deal, Mbak?" Tanya Vino memastikan lagi harganya."Ok, saya Terima, deal!" Rara menjawab dengan semangat.Vino memberikan harga terbaik untuk butik ini. Karena lokasi yang sangat strategis membuat harganya sedikit lebih fantastis. Tidak masalah bagi seorang vino, semua memang sesuai dengan apa yang akan di bayarkan. Rara cukup lega akhirnya butik ini laki juga dengan harga paling tinggi dari yang pernah menawarkan sebelumnya."Baik, Mas. Surat-suratnya ada di mobil saya, mana tau Mas vino mau lihat dulu,""Nggak usah Mbak Rara, nanti saja kalau sudah selesai membalikkan namanya atas nama saya." Tolak Vino halus."Ok, Mas, kalau begitu saya pamit dulu ya, Mas Vino. Terima kasih." Pamit Rara."Ok, siap! Mbak Rara, saya juga terima kasih sama Mbak Rara, karena belum menjual butik ini pada yang lain. Itu artinya emang ini menjadi rejekinya calon tunangan saya, Mbak. Saya mau kasih ini nanti untuk hadiah tunangan Saya." Ucap Vino."Oh, ini butik untuk calon tunangannya Mas Vino? Wah,
Rara mengenal Bimo sekitar empat tahun lalu, di mana waktu itu Rara mengubah jok mobil kesayangannya di sana. Bimo yang notabennya ramah pada semua pelanggannya membuat siapa saja yang datang ke sana akan cepat akrab pada Bimo dan seperti teman lama yang sudah lama kenal.[Ok, Ra, Siap! Kapan kamu antar mobilnya?] tanya Bimo lagi.[Kamu bisa jemput nggak Bim? Nanti aku setelah selesai aja baru jemput ke sananya, bisa ya, Bim?] bujuk Rara. Bimo diam sesaat, lalu berkata. [Ok, Ra, bisa diatur itu, ada uang bensinnya kan?] selorohnya di sebrang sana.[Ada kok, Bim. Tenang aja!] balas Rara.Tawa Bimo pun pecah di sebrang sana. Setelah melewati obrolan basa basi sebentar panggilan itupun berakhir.******Pagi sekali Bimo sudah datang ke rumah untuk menjemput mobil yang akan Rara memodifikasi."Ok, Ra. Aku bawa ya mobilnya," ucap Bimo saat menerima kunci mobil itu dari Rara."Siap, Bim. Terima kasih ya, Bim, maaf ngerepotin." Ujar Rara sungkan."Santai Ra, aku sengaja kesini pagi seka
Setelah jam istirahat makan siang, Rara segera ke tempat Bimo untuk mengambil HP itu. Rasa penasaran Rara sungguh menggebu-gebu, ingin segera tahu ada apa di HP itu. Kurang lebih satu jam perjalanan, Rara sampai juga ditempat Bimo. Bengkel Bimo lagi ramai-ramainya pelanggan yang datang servis dan memodifikasi mobil. Rara jadi sedikit sungkan datang dalam keadaan Bimo lagi sangat sibuk seperti ini, mana tadi Rara lupa ngabarin jika ia datang siang ini. Rara pikir datang di jam istirahat adalah waktu yang tepat, tapi ternyata Rara salah. Rara masih setia di dalam mobil dengan kaca yang sedikit di turunkan, lalu seorang karyawan Bimo datang menghampiri Rara. "Selamat siang, Mbak, ada yang bisa di bantu?" sapanya ramah. Dari tadi dia melihat Rara tak kunjung turun membuat karyawan itu berinisiatif menghampiri Rara."Siang,Mas, saya ke sini mau ketemu sama Bimo, tapi sepertinya dia sibuk makanya saya jadi nggak enakkan untuk turun." Ujar Rara. "Mau ketemu Bos Bimo? Nggak sibuk dia, tunggu
Setelah beberapa menit, dayanya terisi juga. Rara menunggu sepuluh menit lamanya agar dayanya ada yang masuk. Setelahnya Rara menyalakan HP itu . Dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan Rara menanti itu aktif dengan sempurna. Beruntung, hpnya tak di kunci Rara segera berselancar di benda pipih itu. Aplikasi yang pertama kali yang Rara buka ialah aplikasi hijau yang berlogo telepon. Tak banyak chat tan di sana, hanya ada beberapa, itupun semua hanya keluarganya. Vina, Rista, Anton, dan Eca. Rara membuka pesan yang tertuliskan nama istriku di sana tidak lain, adalah Eca. Rara membuka isi pesan itu dari atas, dada Rara bergetar hebat saat membaca pesan dI mana Eca meminta sesuatu. [Pokonya nanti pas Dedeknya lahir di beliin ya, Pa][Iya, Sayang, nanti pas anak kita lahir, Papa akan belikan kalian rumah mewah dan juga mobil untuk istri Papa tercinta dan anak kesayangan Papa, ini. Nanti kamu bisa ajak Ibu tinggal bersama kita. Tapi kamu sabar, ya. Mas lagi ngumpulin dulu uangnya biar
Hubungan Ridwan dan Eca sudah mulai membaik, entah ada angin apa Ridwan pun masih merasa tak percaya jika Eca sudah mulai mau untuk mengurus kelvin. Mau bergadang untuk menemani kelvin, meskipun tetap Ridwan yang lebih banyak begadangnya, tidak masalah bagi Ridwan. Eca sudah mau membantu saja dan juga Eca mau mengASIhi Kelvin itu sebuah anugrah untuk Ridwan saat ini. Setidaknya, Ridwan merasa aman jika nanti Ridwan di saat berangkat kerja. Karena Kelvin sudah dirawat langsung oleh Mamanya."Sayang, Mas berangkat dulu ya. Doain semoga Mas dapat kerjaan ya, biar bisa nafkahi kamu kamu sama anak kita." Ucap Ridwan. Eca tersenyum, lalu berkata. "Iya, Mas aku do'ain, semoga lancar, ya." Tutur Eca lalu meminta tangan Ridwan utuk di cium. Ridwan pun membalas dengan mengecup kening Eca dan mencium pipi Kelvin penuh cinta. "Papa berangkat kerja dulu ya, Nak. Jangan rewel di rumah sama Mama ya, do'ain Papa sayang ya, Biar Papa di terima nanti dan dapat kerjaan." Ridwan berbicara dengan anak ba
Meskipun begitu Vina tetap tergila-gila padanya. Kemarin entah angin apa, Deon menawarinya untuk ikut ke puncak, dengan senang hati Vina menerima dan tak ingin menolak kesempatan itu. Kapan lagi bisa camping bersama laki-laki yang sudah sangat lama ia incar. "Siap, Ma. Makasih ya, Ma," Vina mencium pipi Rista dan mencium tangan Rista lalu pamit keluar untuk segera berangkat. Rista berjalan keluar mengikuti anak gadisnya, namum saat sampai di ruang tengah, ada sebuah mobil pick up masuk ke halaman rumah Rista dari balik kaca jendela. Ridwan yang tengah duduk di teras menunggu ojek onlinenya datang pun kaget, lalu berdiri. "Mobil siapa itu, Ma? Kok ke sini?" tanya Vina penasaran. "Nggak tau Mama juga, apa mobil teman Mas Mu kali, Vin." ujar Rista. Sampai di teras Rista lalu menanyakan pada Ridwan. "Siapa, Wan? Kok pagi-pagi ada yang kemari?" tanya Rista. "Nggak tau Ma, siapa? Teman mu bukan Vin? Kan mau ke puncak?" Tanya Ridwan balik. "Bukan ih, mana ada temenku pake mobil kaya g
Ridwan dengan sedikit ragu membuka amplop itu, perlahan demi perlahan amplop itu terbuka dan menampakkan isinya dari sisi dalam. Ridwan semakin merasa gundah gulana melihat kertas putih di dalam itu. "Apa ini sebenarnya?" lirih Ridwan. "Cepetan, Wan! Lama bangat bukanya." Desak Rista yang sudah tidak sabar ingin segera tahu isi surat itu. "Sebenarnya ini apa, Pak? Surat ini dari siapa?" tanya Ridwan pada Boneng dan Ucup sebelum mengeluarkan kertas di dalamnya. "Bapak silahkan baca sendiri, Pak. Nanti bapak akan tau isinya dan pengiriman surat itu." Ujar Ucup. "Sini, Wan! Lama bangat kamu buka kaya beginian. Tinggal dibuka, di baca, udah!" Rista merebut itu dari Ridwan lalu mengeluarkan surat itu. "Ya sabar dong, Ma. Kan juga mau di baca itu." Protes Ridwan. "Kelamaan." Sungut Rista. Rista membaca bait demi bait dari surat itu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, tulang belulangnya terasa bergerak, persendiannya terasa lemah tak berfungsi. Rista menjatuhkan surat