Berteman saja, yaaa ~~~
“Berteman.” Dandi berdecih ketika melihat Rafa baru memasuki mobilnya. Tatapannya kemudian beralih pada Rumi yang masih tersenyum, seusai melambaikan tangan pada Rafa. “Jadi, kamu mau berteman sama Rafa.”Dahi Rumi mengernyit saat menatap Dandi. Bibir yang sempat tersenyum untuk Rafa pun seketika berubah mengerucut. Rumi memberi tatapan tanya atas sikap Dandi yang tampak sinis. Namun, Rumi tidak berani melempar protes dengan frontal, karena ia masih menumpang di rumah Dandi untuk sementara waktu. “Berteman, kan, nggak ada salahnya, Mas?”“Pantas aja kamu gampang dikibulin sama Alpha.”Giliran Qai yang mengernyit atas sikap Dandi. Pria itu memang cenderung bersikap sinis dan apatis, tetapi ini sudah keterlaluan. Jangan-jangan, kecurigaan Rafa yang sempat disampaikan beberapa waktu lalu, benar adanya. Dandi menyukai Rumi, tetapi pria itu tidak menyadarinya.Sebenarnya, Qai juga mulai mencurigai hal tersebut, tetapi ia masih mencari bukti-bukti terlebih dahulu untuk meyakinkan hatinya. B
Rumi gelisah. Tidurnya benar-benar tidak nyenyak, karena pernyataan kompak yang dilontarkan keluarga Dandi ketika makan malam. Ketiga orang itu sungguh memberi sebuah masalah baru, yang harus dipikirkan lagi oleh Rumi.Akan tetapi, semua hipotesis yang dibahas semalam bisa saja menjadi kenyataan. Rumi sangat mengenal Alpha dan pria itu juga sanggup melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. Alpha hanya akan diam, jika lawannya memiliki kekuasaan yang lebih daripadanya. Bila tidak, pria itu bisa dengan semena-mena menumpahkan kekesalannya pada orang lain. Contohnya, Rumi.“Pagi, Rum!” Tya baru saja hendak pergi ke dapur, saat ia melihat Rumi sudah terlihat rapi dengan pakaian formal. Hari masih terbilang pagi, tetapi gadis itu sepertinya akan segera pergi bekerja.“Pagi, Tante.” Rumi terpaku ketika baru saja menutup pintu kamar. Namun, tangannya reflek menunjuk ke arah dapur dengan sopan. “Sarapannya sudah siap, kalau Tante sama om mau makan.”Tya segera berbelok menghampiri Rumi yang
Qai melirik pada kotak bekal yang ada di meja kerja Dandi, ketika ia memasuki ruang kerja pria itu. Karena hari ini Dandi tidak meninjau proyek pembangunan hotel, maka pria itu kini berkantor di gedung The-A. Tidak perlu ditanya lagi, bekal makanan tersebut pastilah buatan Rumi. Sejak gadis itu tinggal di rumah Dandi, pria itu tidak pernah lagi muncul di kediaman Sebastian untuk menumpang sarapan seperti biasanya. Dandi juga tidak mampir untuk makan malam dan hanya menghubungi Jaya melalui telepon. Qai jadi bertanya-tanya sendiri, seperti apa perasaan Dandi sebenarnya terhadap Rumi. Mereka mungkin baru serumah dalam waktu yang sangat singkat, tetapi Dandi terlihat sudah terlalu nyaman dan posesif pada Rumi. “Dan, apa kamu tahu kalau aku dulu pernah mau jodohin kamu dengan Rumi?” Qai berbelok menuju sofa. Ia segera duduk, lalu membuka laptop yang baru saja ia letakkan di pangkuan. “Aku juga pernah mau mempekerjakan Rumi jadi sekretarismu, tapi dia milih stay di Glory.” Dandi menar
Sebenarnya, ada apa dengan Dandi?Rumi jadi bingung sendiri dengan sikap pria itu. Bagi Rumi, Dandi itu terlihat cuek, tetapi di satu sisi pria itu sangat posesif terhadapnya. Namun, terkadang Dandi juga menunjukkan perhatiannya pada Rumi.Kalau sudah seperti ini, Rumi jadi pusing sendiri. Terlebih lagi, ketika pria itu lebih dulu sampai di kantornya daripada Rafa.“Masuk.” Dandi membuka pintu mobil dari dalam untuk Rumi. Gadis itu berdiri di samping pintu dan hanya terpaku melihat Dandi.“Mas, saya sudah terlanjur bikin janji sama pak Rafa.” Karena mereka berdua sudah memiliki komitmen untuk berteman, maka Rumi tidak lagi segan untuk bertemu dengan Rafa. Lagipula, sebentar lagi Rumi akan kembali ke kota kelahirannya dan meninggalkan semua hal yang ada di Jakarta.Belum lagi, Rafa juga sudah positif akan tetap berada di Glory untuk membantu Agnes. Untuk itulah, Rumi menganggap pertemuan malam ini adalah sebuah perpisahan belaka.“Harusnya kamu bilang ke aku dulu, sebelum bikin janji,”
Rumi benar-benar sakit kepala dibuatnya. Saat ini, Dandi sedang duduk berseberangan dengan Rafa dan Rumi sebagai penengahnya. Jika melihat dari usia, kedua pria yang tengah ada bersamanya saat ini sudah bisa dikategorikan sangat-sangat dewasa. Kemampuan mereka berdua dalam memimpin sebuah perusahaan, sungguh tidak perlu diragukan lagi.Akan tetapi, dibalik itu semua Rumi mendapati sifat kekanakan yang sungguh tidak bisa ia percaya. Terlebih-lebih dengan Dandi. Sikap pria itu semakin tidak jelas saja.“Mas Dandi nggak pesan makan?” Setelah Rumi dan Rafa memesan menu makan malam mereka masing-masing, hanya Dandi seorang yang hanya memesan minuman.“Aku sudah pernah bilang, aku nggak terlalu suka dengan makanan resto atau kafe.” Dandi menatap punggung pelayan yang berjalan menjauh dari meja mereka dengan malas. Jauh di sudut hatinya, Dandi tengah mempertanyakan perihal perbuatannya saat ini.Bukankah Dandi hendak pergi untuk bertemu sang mama? Namun, mengapa akhirnya Dandi harus terjebak
Rumi menelan ludah. Duduk diam dan tegang, ketika melihat pria yang menatapnya tajam. Pria itu tersenyum tipis dan cenderung sinis.“Sendiri?” Dandi berceletuk dengan tenang, sembari meletakkan ponselnya di meja. Menatap datar dan malas, karena Dandi sudah mengetahui semua seluk beluk serta latar belakang pria itu.“Sementara … sendiri.”“Al, masih banyak meja dan kursi kosong di sini.” Rafa akhirnya membuka suara, setelah melihat pria itu duduk dengan santainya. “Jadi silakan cari tempat lain, daripada bergabung di sini.”“Nggak masalah,” balas Dandi enteng dan terus menatap Alpha tanpa ekspresi. “Alpha bisa gabung dengan kita. Silakan pesan makan, Rafa yang traktir.”Tatapan Rafa sontak tertuju pada Dandi. Ia tidak mempermasalahkan tentang siapa yang membayar makan malam kali ini, tetapi sikap Dandi benar-benar di luar prediksi. Dandi membiarkan Alpha bergabung dengan mereka, tanpa memikirkan perasaan Rumi sama sekali.“Dan, kamu sadar kalau Rumi sekarang—”“Rumi harus bisa menghada
“Tetap di sini, Al!” titah Rafa segera meraih lengan Alpha, ketika pria itu hendak berdiri menyusul Rumi yang baru saja pergi dengan Dandi. Kendati ada secarik rasa cemburu di hati Rafa saat melihat Dandi meraih tangan Rumi, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. “Dan jangan pernah lagi ganggu Rumi. Kamu dengar sendiri, kan? Dia sekarang sudah sama Dandi, jadi diamlah!” “Kamu mau aku percaya?” Kembali, Alpha mengulang pertanyaan yang sama. Ia masih saja tidak percaya dengan semua ucapan Rumi. “Apa lagi rencana kalian sekarang? Glory sudah jatuh dan—” “Glory sudah berjalan seperti semula,” putus Rafa sembari melepas tangan Alpha yang kembali duduk di tempatnya. Saat melihat seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan membawa nampan, Rafa segera menggeleng. Meminta pelayan tersebut membawa kembali makanan tersebut dan meminta bill-nya. “Dengar Al, seperti yang pernah aku bilang waktu itu, jangan pernah lagi ganggu Rumi atau Glory—” “Kamu ngancam lagi?” Alpha berdecih. Nafsu makann
Dandi reflek memegang perutnya dengan gerakan memutar, saat melihat menu sarapan yang sudah tersaji di meja makan. Seperti biasa, tangan terampil Rumi itu selalu bisa membuat cacing di perut Dandi bergejolak. Menu rumahan sederhana, yang hanya bisa didapatkan Dandi ketika berkunjung ke rumah Jaya. Untuk itulah, Dandi segera duduk pada tempat yang biasa ia duduki dan menatap piring yang sudah tersedia tepat di hadapannya. Tatapan Dandi sedikit bergeser pada dua buah kotak bekal yang juga sudah berada di meja, lalu tersenyum. Akan tetapi, senyum Dandi memudar saat tatapannya tertuju pada lemari pendingin. Secarik sticky note berwarna kuning, tiba-tiba menghiasi pintu atas lemari pendinginnya yang polos. Lantas, Dandi segera berdiri dan menghampiri lemari pendinginnya dan membaca catatan yang tertulis di sana. “Saya berangkat pagi, Mas. Sarapan sama bekal sudah saya siapin. Makasih.” Dandi kemudian berbalik dan kembali ke meja makan. Ia duduk perlahan, sembari melihat jam dinding y