“Hera?” Bagas menautkan jemari di atas kepala dan menghela panjang. Melihat kakak sepupunya yang berdiri di sudut meja makan, Bagas pun sampai tidak bisa berkata-kata. Hera benar-benar terlihat seperti dahulu kala. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda, bawah wanita itu pernah sakit sebelumnya.“Duduk, Gas,” titah Agnes yang maklum melihat keterkejutan Bagas.“Ah, iya, duduk!” Bagas terkekeh. Namun, ia tidak langsung duduk seperti yang dititahkan Agnes. Bagas menghampiri Hera, kemudian mencubit gemas pipi wanita itu dengan cepat.“Bagas!” hardik Hera segera menepis tangan Bagas dengan keras. “Apaan, sih!”“Yaaa, lo sudah bisa berdiri, Ra!” Bagas kembali terkekeh. “Sudah bisa jalan juga?”“Sudah.” Hera kemudian duduk dan meraih piring yang sudah berada di depannya. Sembari mengambil nasi, Hera meminta Bagas untuk duduk agar mereka bisa segera menikmati makan malam. “Gimana kinerja mas Rafa di Glory, Gas?”“Heh, aku baru duduk, tapi sudah ditanyain masalah kerjaan.” Bagas juga meraih p
Sejauh ini, Rafa sudah menjalankan semua rencana yang ada di kepala. Namun, kali ini hasilnya benar-benar berjalan sangat lamban. Seolah tidak ada kemajuan dan hal tersebut membuat Rafa pesimis dengan semua dugaannya. Mungkin saja, semua perintah yang belakangan ini muncul memang berasal dari mulut Agnes sendiri.Begitu pula dengan rapat yang diadakan secara dadakan sore ini oleh Bagas. Pria itu mengadakan rapat di ujung waktu jam kantor akan selesai, tanpa membicarakan semua pada Rafa terlebih dahulu. “Aku duluan, Mas!”“Hei!” Rafa yang berjalan pelan sembari melamun itu, mendadak mempercepat langkahnya ketika Bagas menyalipnya. Ia berusaha menyamakan langkah mereka, yang menuju satu tujuan, yakin ruangan meeting yang berada di lantai teratas. “Kenapa harus mendadak begini, Gas? Apa yang mau dibahas?”“Aku juga nggak tahu?” Meskipun tahu, Bagas pun tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa Bagas lakukan hanyalah menutup mulut dan melakukan semua instruksi Hera.“Kamu nggak tahu?” Rafa se
“Apa-apaan ini.” Masih di ruang rapat, Alpha melempar berkas yang sempat diedarkan Bagas tepat di hadapan Hera. Akan tetapi, Alpha melakukannya ketika rapat alot yang mereka lakukan sudah selesai. Di ruangan tersebut, hanya menyisakan Agnes, Hera, Bagas, juga Rafa. “Kalian … Hera!” Alpha menunjuk sang adik yang menatapnya datar. “Selama ini, kamu cuma pura-pura sakit, pura-pura depresi untuk cari simpati, biar mama ngasih semuanya ke kamu.”“Al—”Hera menyentuh tangan sang mama, untuk memutus ucapan yang akan dilontarkan Agnes. Kali ini, Hera tidak ingin berdiam diri seperti dahulu kala. Hera merasa punya tanggung jawab lebih untuk memajukan perusahaan, mengingat karena dirinyalah sang papa akhirnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Rasa bersalah itu masih saja terkurung di hati Hera sampai detik ini, sehingga ia tidak akan membiarkan Glory jatuh sepeninggalnya Rafa nanti.“Memangnya kamu tahu apa, Mas?” balas Hera. “Coba hitung, berapa kali kamu jenguk aku di rumah mama? Apa
“Jadi …” Agnes jadi serba salah. Tidak tahu harus memulai darimana, ketika hendak memberi penjelasan pada Rafa. Pria itu datang ke rumahnya seperti biasa, tetapi kali ini Rafa memilih untuk tetap berada di ruang tamu. “Begini, Raf—”“Mama nggak tahu apa-apa.” Hera segera mengambil alih, ketika melihat sikap Agnes. Tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan dan Hera akan membuka semuanya di depan Rafa. “Yang tahu pertama kali itu suster dan saya yang minta dia untuk diam.”“Ohh …” Meskipun belum puas dengan penjelasan Hera yang terdengar singkat, tetapi Rafa sedikitnya sudah bisa menyimpulkan beberapa hal. “Jadi, sejak kapan?”“Sebelumnya, saya juga mau minta maaf karena merahasiakan semua ini dari Mas Rafa.” Hera memberanikan diri menatap Rafa. Mencoba melihat pria itu dengan tatapan yang sama seperti dulu. Tidak ada yang boleh berubah, karena Hera tahu pasti hubungan mereka hanyalah sebatas hubungan kerja. Tidak boleh lebih. “Yang jelas, saya mulai bisa jalan sebelum … Mas Rafa pergi dar
“Berhenti lagi di situ!” titah Dandi sambil menunjuk salah satu monitor CCTV, yang berada pada lorong tempat ia menginap. Matanya menyipit ketika ada seorang pria berdiri di luar kamarnya dan tengah membawa amplop berukuran kertas HVS. Tidak lama berselang, pria itu menyerahkan amplop tersebut pada seseorang yang berada di pintu dan Dandi yakin orang itu adalah Rumi.Setelah bertanya pada pihak wedding organizer, makeup artist, serta pihak hotel yang diminta khusus untuk mengawasi jalannya acara, Dandi segera melihat CCTV hotel.Tidak hanya itu, mereka yang berada di ruang tersebut juga sudah melihat kepergian Rumi dari hotel. Gadis itu menyelinap pergi seorang diri, tanpa ada satu orang pun yang menemani. Dan sudah pasti, nomor ponsel Rumi tidak bisa dihubungi sama sekali.“Itu karyawan hotel, kan?” sambung Qai mengingat seragam yang dikenakan oleh pria yang berada di layar. Sebelumnya, Qai sudah meminta pihak hotel untuk mencari taksi yang ditumpangi Rumi berdasarkan pelat nomor ken
“Mamamu sama Thea masih nemani bu Yanti.” Qai masuk ke dalam kamar Dandi, lalu berdiri di belakang pria itu. Dandi tengah duduk diam di depan laptop dan Qai memicing saat melihat apa yang pria itu lakukan. “Dan, mau kamu apakan daftar orang-orang pemegang saham Glory?”“Redaksi Angkasa sudah dikondisikan, Qai?” tanya Dandi masih harus bersabar hingga pagi hari, untuk penerbangannya ke Jakarta. Untuk masalah keluarga Rumi, terutama dengan Yanti yang semakin tertekan, Dandi telah menyerahkan urusan itu pada sang mama. Lebih baik ia berkonsentrasi pada hal lain, agar fokusnya tidak terpecah.“Sudah.” Melihat Dandi tidak berminat menjawab pertanyaannya, Qai memilih mundur lalu duduk di tepi ranjang. Sampai detik ini, Qai sama sekali tidak bisa menebak arah pemikiran Dandi. Meskipun terlihat tenang, tetapi Qai yakin sekali, Dandi saat ini tengah kalut memikirkan istrinya.Kabar terakhir yang diterima, sopir taksi yang mengantarkan Rumi mengatakan, gadis itu pergi ke Surabaya dengan menggun
“Bu Hera …” Rafa buru-buru menghampiri Hera yang baru saja terlihat keluar dari lift. Meskipun mereka berada dalam satu gedung, tetapi seharian ini Rafa sama sekali tidak bertemu dengan wanita itu. “Saya minta waktunya sebentar.”Tanpa menghentikan langkahnya, Hera terus berjalan dengan elegan menuju ruangannya. Sekilas, ia sempat menggulirkan bola matanya karena sikap Rafa yang mendadak berubah formal.“Mas, nggak perlu formal seperti itu.” Hera menghela. Menoleh sebentar pada Rafa, yang sedikit terlihat kusut. “Dan jangan panggil saya dengan sebutan “ibu”.”“Ini kantor, jad—”“Please.” Hera berhenti dan kembali menghela ketika menatap Rafa. “Saya nggak masalah kalau karyawan lain manggil dengan sebutan itu, tapi kita suami istri dan— maaf, maksud saya kita … kita sudah seperti keluarga, jadi nggak usah seperti itu.” Entah apa yang ada di benak Hera, sampai-sampai mulutnya itu salah berucap.Meskipun pernikahan mereka hanya berjalan seumur jagung, tetapi Hera sempat merasakan perhati
“Ck! Apa kamu nggak punya waktu lain untuk berkunjung, Dan!” Masih dengan wajah mengantuknya, Jaya mengomel sepanjang jalan menuju ruang kerjanya. Bagaimana Jaya tidak kesal, jika Dandi datang ke rumah dan mengetuk pintu kamarnya pada jam 12 malam. Padahal, Dandi bisa datang menemuinya besok pagi seperti biasanya dan itu tinggal beberapa jam lagi.“Aku lagi malas ketemu orang, Om!” Semarah apa pun Jaya padanya, Dandi tahu pria itu tetap menerimanya dalam situasi apa pun.“Ya, tapi bukan jam 12 juga, Dan!” seru Jaya sambil membuka pintu ruang kerjanya dan masuk lebih dulu. “Tutup pintunya!” titah Jaya kemudian, agar tidak ada seorang pun yang mungkin saja menguping pembicaraan mereka. Jaya mengerti dengan kondisi Dandi saat ini, tetapi tetap saja ada rasa kesal ketika tidur nyenyaknya diganggu seperti sekarang. “Akhirnya, muncul juga kamu!”Dengan perlahan, Jaya duduk pada sofa tunggal dan bersandar. Ia menatap wajah lelah Dandi yang tidak biasa. Sepenat-penatnya Dandi dalam bekerja, k