LOGINNADIA
- 6 Rahasia "Nadia nggak di rumah, Nak Davin. Dia ngajak Adam keluar jalan-jalan." Bu Isti memberitahu Davin saat sore itu datang ke rumahnya. Ia mempersilakan calon mantan menantu duduk di teras. "Kira-kira ke mana, Bu?" "Biasanya ke taman." Wajah Bu Isti begitu teduh menerima dengan baik lelaki yang sudah menghancurkan dan mengkhianati putrinya. Menatap Davin dengan mata lembut yang sangat kontras dengan kondisi batin menantunya yang sedang berkecamuk. Davin merasa serba salah. "Bu, saya mohon maaf sudah menyakiti Nadia dan Ibu." "Nggak apa-apa," sahut Bu Isti cepat. "Semoga kalian masing-masing mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi setelah ini." Davin tidak bisa berkata-kata. Banyak yang ingin disampaikan, tapi lidahnya kelu. Sepertinya Bu Isti pun sudah tidak ingin memberikan kesempatan lagi. Meski dia tetap bersikap ramah dan sabar. Ibu mana yang tidak sakit hati jika anaknya diperlakukan sekejam itu. Cucunya tidak diinginkan. Walaupun terlihat sekarang ini Davin perhatian setelah sebentar lagi kehilangan. Ternyata hubungan yang terpaksa, yang penuh kekejaman, menimbulkan keterikatan emosional yang dalam, yang baru ia sadari sekarang. Namun luka tidak akan bisa sembuh begitu saja. Terlebih luka akhibat pengkhianatan. Bodoh sekali. Seharusnya Davin tidak menceritakan tentang sejauh mana hubungannya dengan Selina pada Nadia. "Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Bu Isti menerima uluran tangan Davin. Ia memperhatikan sampai mobil di depan pagar bergerak pergi. Davin tidak langsung pulang. Dia mendatangi setiap taman yang berdekatan dengan rumah Nadia. Sebab tidak mungkin, Nadia membawa anaknya pergi jauh sambil menggendong dan naik motor. Saat berhenti di sebuah taman, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Selina. Entah kenapa rasanya sekarang berbeda. Rasa menggebu-gebu yang sebelumnya, kini terasa hambar. Namun tetap dijawabnya panggilan itu. "Hallo." "Mas, lagi di mana?" "Lagi di jalan." "Jangan lupa malam ini ditunggu keluargaku di rumah. Jam tujuh malam, ya." Selina bicara begitu lembut. Davin tidak menjawab. "Kutunggu, Sayang. Bye." Telepon ditutup oleh Selina. Davin menghela nafas berat. Berawal dari butuh teman untuk mendengarkan segala keluh kesahnya, tentang bisnis, tentang kantor, tentang pekerjaan yang menyita pikiran, akhirnya mereka tenggelam dalam kompromi pengkhianatan. Dengan Selina, Davin merasa sehaluan. Dia selalu menenangkannya dengan ucapan manis dan tatapan memuja. Davin mengabaikan Nadia. Padahal dia juga perempuan cerdas yang bisa dibimbing untuk mengimbanginya. Hanya saja Davin sendiri menutup kesempatan itu, karena awalnya menganggap Nadia hanya perempuan pilihan papanya. Perempuan tidak punya pengalaman yang tak pantas mendampinginya. Dan luahan hati Nadia di pinggir jalan kemarin, membuat matanya terbuka. Betapa kejam dirinya terhadap seorang istri yang seharusnya dilindungi dan dimanusiakan. "Aku memiliki banyak mimpi. Semua kupendam disaat aku menikah. Aku nggak menyesal mengubur mimpiku karena aku berharap mendapatkan mimpi baru yang lebih indah bersama suamiku. Namun yang kudapatkan hanya mimpi buruk." "Kenapa nggak menolak saja sejak awal tentang perjodohan ini, daripada membuatmu tersiksa." Dan masih banyak kata-kata Nadia yang tergiang di telinga. Semua menyesakkan dadanya. Davin terus melaju dari taman permainan satu ke taman permainan lainnya. Namun Nadia dan Adam tetap tidak ketemu. Di telepon, dikirimi pesan, tidak dijawab. 🖤LS🖤 Di taman kecil dekat rumahnya Wiwin, Nadia duduk di bangku panjang sambil memperhatikan Adam yang sedang berlari-lari kecil mengejar seekor kucing. Bocah itu tertawa riang. Dia belum mengerti apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya. Dia sudah terbiasa tidak dekat dengan papanya. Jadi perpisahan ini tidak terlalu berpengaruh terhadap Adam. Di samping kanan Nadia, Wiwin duduk sambil memperhatikan bayi lelaki berusia setahun yang duduk anteng di dalam strollernya sambil makan biskuit. "Davin itu gila, Na. Punya anak selincah dan setampan Adam, tapi tidak dipedulikan. Suatu hari nanti dia akan menyesali itu. Lihat saja nanti." Wiwin yang justru geram. "Tiga hari lagi sidang ikrar talakmu, Na." "Iya." "Bagaimana perasaanmu?" "Ingin hari itu segera tiba dan semuanya akan selesai. Walaupun jujur, aku gemetar. Nggak nyangka, usia 27 tahun aku sudah menjadi janda." "Lebih baik menjanda daripada terbelenggu pernikahan yang penuh luka, Na. Lagian suamimu sudah mengkhianatimu." Nadia menceritakan bagaimana Davin ingin mempertahankannya sekaligus menikah juga dengan Selina. Wiwin tertawa ngakak. "Astaga, Nadia. Aku dengernya ingin tertawa saking absurdnya. Na, please. Kamu jangan jadi wanita paling bodoh sedunia dengan mau kembali padanya. Soalnya aku khawatir, kamu akan kembali memaafkannya lagi. Seperti yang kamu lakukan selama empat tahun ini." "Nggak, Win. Dulu aku bertahan bukan karena aku bodoh, tapi aku mencoba berusaha mempertahankan milikku. Tapi setelah pengakuannya, aku baru mundur. Setidaknya aku sudah berjuang." "Poligami bukan solusi. Itu cuma legalisasi dari kelakuannya selama ini. Kamu diajak bertahan karena egonya. Dia nggak mau kalah. Dia menyesal karena kamu pergi, bukan menyesal karena dia berkhianat. Buktinya, Davin tetap akan menikah dengan Selina meski dengan alasan tanggung jawab dan di waktu bersamaan tetap mempertahankanmu. "Empat tahun ini, dia nggak pernah ngajak kamu di acara-acara pentingnya. Lelaki model gini buang aja ke tempat sampah. Biar dipungut tukang sampah, si Selina itu." Adam berlari menghampiri, wajahnya yang putih agak kemerahan. "Ma," panggilnya sambil memeluk Nadia. Wanita itu menciumi anaknya. "Ibumu waktu itu bilang padaku, setelah masa iddahmu selesai, beliau ingin membiarkanmu bebas. Entah langsung nyari pekerjaan atau mau traveling dulu. Tante Isti yang akan jagain Adam." "Aku mau langsung cari pekerjaan saja, Win. Biar aku nggak membebani Ibu. Aku juga ingin meraih mimpiku." "Oke, aku mendukungmu." Wiwin menatap sahabatnya. Ia ingat ucapan Bu Isti tempo hari. "Tante bisa terima kalau keputusan bercerai atas keinginan Nadia dan Davin sendiri, Win. Tapi Tante marah, ternyata orang tua Selina ada dibalik semua ini. Dia mendukung anaknya menjalin hubungan dengan suami orang. Bahkan sudah merencanakan pesta pernikahan mereka, seminggu setelah masa iddah Nadia habis. Pernikahan megah yang sudah diatur sedemikian rupa." "Dari mana Tante tahu?" tanya Wiwin heran. "Tante lebih tahu darimu dan Nadia sendiri." Percakapan Wiwin dengan ibunya Nadia, belum pernah diceritakan Wiwin pada sahabatnya itu. Wiwin sendiri sebenarnya penasaran. Sebab ibunya Nadia hanya guru SMP yang setiap hari mengajar. Sedangkan keluarga Selina adalah kalangan kelas atas. Tinggal di lingkungan elite pula. Namun wajah perempuan itu, terlihat menyimpan sebuah rahasia. Rasa marah, kecewa, sakit, terlukis di raut wajahnya yang anggun. Meski sudah berusia 51 tahun, Bu Isti masih sangat cantik. Seayu Nadia. "Win, ayo kita pulang. Sudah hampir senja." "Kamu nggak mampir ke rumahku dulu." "Nggak usah. Nanti keburu Maghrib." Nadia membimbing anaknya salaman dengan Wiwin. Kemudian memakaikan jaketnya Adam, topi, dan kacamata hitam yang imut. Kemudian mendudukkan digendongannya. "Win, aku pulang." "Hati-hati, ya." "Iya." Wiwin memperhatikan sampai motor Nadia meninggalkan taman. Baru ia mendorong stroller anaknya pulang ke rumah. Ketika hendak melangkah pulang, ia melihat mobilnya Davin berhenti di taman sebelah barat. Next ....NADIA- 8 Kecewa "Pergi saja nggak apa-apa untuk yang terakhir kalinya. Ajak Adam," ujar Bu Isti saat malam itu Nadia menemuinya di kamar."Buatlah perpisahan itu indah, Nadia. Meski sesakit apapun hatimu. Biar Davin tahu, dia telah melepaskan perempuan yang paling ikhlas mencintainya. Kelak Adam akan bahagia memiliki Mama yang begitu kuat dan hebat.""Ibu, percaya pada Davin yang akan membawa kami keluar?" Nadia memandang mamanya."Ibu percaya sama kamu, bukan pada dia. Kamu anak Ibu yang kuat." Bu Isti tersenyum pada putrinya. "Aku belajar dari, Ibu. Yang begitu tangguh." Nadia menatap mamanya lekat-lekat. Setelah pemergian ayahnya, sudah berapa pria yang berusaha mendekati dan mengajaknya berumah tangga. Namun Bu Isti menolak dengan tegas. "Maaf, saya tidak ingin berumah tangga lagi. Saya ingin menghabiskan sisa usia untuk melihat anak dan cucu saya bahagia."Padahal bisa dibilang, usia ibunya masih muda. Belum genap setengah abad saat itu. Dia juga kelihatan jauh lebih muda dari
NADIA- 7 Sudah Terlambat Davin tidak menemukan yang dicarinya. Bahkan ia tidak melihat Wiwin yang memperhatikan dari kejauhan, dibalik pohon besar. Wanita itu memang sengaja bersembunyi. Kalau ketemu Davin, ia khawatir tidak akan bisa mengontrol mulutnya.Sudah berapa taman yang didatangi, ia tidak menemukan Nadia dan Adam. Apa harus kembali ke rumah mereka saja? Tapi malam ini ada janji ketemuan dengan keluarga Selina.Solusinya cuma satu. Mamanya. Davin melaju ke rumah orang tuanya. Saat itu Bu Septa sedang menyiram bunga. Davin duduk di teras samping rumah."Kamu dari kantor?" Bu Septa menghampiri dan duduk di samping putranya."Iya, Ma.""Ada apa?"Davin diam beberapa saat. "Aku ingin membatalkan perceraian."Bu Septa terkejut dan menegakkan duduknya. Dipandangi sang anak dengan dahi mengernyit tajam. "Apa maksudmu? Tinggal tiga hari saja sidang ikrar talak kalian. Kenapa baru sekarang kamu punya pikiran demikian?""Bantu aku, Ma.""Bantu apa?" Bu Septa menegakkan duduknya."Ban
NADIA- 6 Rahasia "Nadia nggak di rumah, Nak Davin. Dia ngajak Adam keluar jalan-jalan." Bu Isti memberitahu Davin saat sore itu datang ke rumahnya. Ia mempersilakan calon mantan menantu duduk di teras."Kira-kira ke mana, Bu?""Biasanya ke taman."Wajah Bu Isti begitu teduh menerima dengan baik lelaki yang sudah menghancurkan dan mengkhianati putrinya. Menatap Davin dengan mata lembut yang sangat kontras dengan kondisi batin menantunya yang sedang berkecamuk. Davin merasa serba salah. "Bu, saya mohon maaf sudah menyakiti Nadia dan Ibu.""Nggak apa-apa," sahut Bu Isti cepat. "Semoga kalian masing-masing mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi setelah ini."Davin tidak bisa berkata-kata. Banyak yang ingin disampaikan, tapi lidahnya kelu. Sepertinya Bu Isti pun sudah tidak ingin memberikan kesempatan lagi. Meski dia tetap bersikap ramah dan sabar.Ibu mana yang tidak sakit hati jika anaknya diperlakukan sekejam itu. Cucunya tidak diinginkan. Walaupun terlihat sekarang ini Davin perh
NADIA- 5 Di Pinggir Jalan "Dasar, kalian memang keterlaluan. Nggak tahu diri banget. Sama-sama gilanya," ujarnya dalam hati sambil terus melangkah menuju jalan raya. Dia tadi memang sengaja tidak naik motor.Saat menoleh ke belakang, mobil mewah Selina masih terparkir di depan rumah Davin."Sudah tepat keputusanmu untuk bercerai. Lelaki yang selingkuh, dia akan mengulanginya suatu hari nanti. Jarang yang benar-benar bertaubat," kata Wiwin.Ah, ternyata menikah dengan orang yang dicintai itu belum tentu membuat bahagia. Wiwin benar, lebih baik dicintai daripada mencintai. Nadia ingat percakapan dengan temannya. Dulu ia memutuskan menerima perjodohan itu, disaat Nadia baru lulus kuliah. Belum punya pengalaman. Dia bukan gadis rumahan, tapi bukan juga gadis liar. Dia aktif di luar dan berorganisasi. Namun belum pernah pacaran. Jatuh cinta juga baru pada Davin yang dulu dikenalnya sebagai putra dari teman almarhum ayahnya. Sang ayah meninggal beberapa bulan setelah Nadia menikah.Di ma
NADIA - 4 Kembalikan "Jika pada akhirnya aku menyerah, aku tidak akan menyesali keputusan itu. Karena aku sudah berusaha sekuat hati untuk bertahan dan memperjuangkan pernikahan ini." Davin membeku membaca satu paragraf di layar laptopnya. Tadi dia menemukan flashdisk hitam tanpa gantungan di laci paling bawah meja rias. "Ini punya siapa?" Karena penasaran, akhirnya dia menyalakan laptop dan memasukkan flashdisk. Hanya ada satu folder di sana. NADIA YANG HEBAT. Saat dibuka folder itu berisi satu file dokumen saja. NADIA YANG CANTIK. Membuat Davin semakin penasaran dan ia klik judul itu. Dan terbukalah semuanya. Tentang luahan hati istri yang sebentar lagi akan menjadi mantan. Tiap kalimat menamparnya begitu hebat. Semakin menambah deretan penyesalan yang dalam. Ternyata sejahat itu dia pada seorang Nadia yang sangat mencintainya. Dalam catatannya, Nadia menulis tanggal dan jam kapan ia mengetik. Hampir semuanya ditulis disaat dirinya sedang bekerja. Ternyata begitu lama ia menj
NADIA - 3 Sendirian Walaupun memejam, Nadia belum bisa terlelap. Ia ingat saat menunjukkan testpack pada suaminya. Bukan bahagia, tapi Davin terlihat kecewa. Melihat istrinya hamil, seharusnya bersuka cita, tapi malah berduka. "Jangan khawatir. Aku akan merawatnya sendiri kalau kamu nggak suka, Mas. Dia juga nggak akan memanggilmu papa," ucap Nadia dengan suara bergetar penuh penekanan, lalu meninggalkan Davin yang masih diam. Kehamilan Nadia memang bukan sesuatu yang diinginkan. Sejak saat itu rumah mereka terasa semakin dingin. Davin sering pulang terlambat dan jarang berbicara. Siksaan batin Nadia semakin terasa sejak trimester pertama. Nadia menjalani kehamilannya sendirian, meski punya suami. Ia muntah-muntah sendirian. Meringkuk sendirian saat tubuhnya terasa lemas. Dia tidak tahu apa itu ngidam. Sama sekali tidak pernah merasakan keinginan aneh seperti perempuan hamil pada umumnya. Mungkin karena hatinya sudah terlalu sakit untuk menginginkan hal-hal yang manis. "Kalau







