공유

42. Pagi yang Segar

작가: Indy Shinta
last update 최신 업데이트: 2025-12-15 17:26:03

Pagi-pagi sekali, Amara dibangunkan oleh suara yang terlalu segar untuk ukuran dunia yang seharusnya masih setengah mati.

“Bangun,” kata Chandra pelan tapi tegas. “Dan cepat mandi. Mau jalan-jalan, kan?”

Amara mengerjap. Sekali. Dua kali. Otaknya butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk menyambung kenyataan dengan kata-kata itu. Ia mengangkat kepala sedikit dari bantal, dan langsung menyesalinya.

Chandra berdiri di sisi ranjangnya.

Bukan versi Chandra malam tadi.

Versi pagi.

Rambutnya masih basah, acak-acakan tapi rapi dengan cara yang tidak adil bagi manusia lain.

Kaos warna gelap menempel ringan di tubuhnya, aroma sabun bercampur udara pagi menempel begitu saja di sekitarnya. Wajahnya segar. Terlalu segar. Seolah dunia tidak pernah memberinya beban apa pun.

Amara menatap. Lebih lama dari seharusnya.

“Baiklah. Aku tahu aku tampan,” potong Chandra santai, sudut bibirnya terangkat kecil, “jadi berhenti memandangku seperti itu. Cepat bangun.”

Amara tersentak seolah baru ketahuan men
이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
잠긴 챕터

최신 챕터

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   46. Naik Level

    Begitu kaki Amara menginjak lantai butik itu, insting hidupnya langsung bereaksi. Bukan reaksi kagum, tapi reaksi waspada—jenis rasa yang biasanya muncul saat seseorang sadar dirinya sedang berada di tempat yang terlalu berbahaya.Ini tempat mahal.Benar-benar mahal yang membuat orang refleks melangkah lebih pelan, takut-takut kalau sampai menyenggol sesuatu lalu harus menjual ginjal demi ganti rugi. Salah gerak sedikit saja, dompet bisa trauma seumur hidup.Amara mengedarkan pandangan. Lantainya mengilap, rak-raknya rapi berlebihan, jarak antar pakaian seperti sengaja dibuat agar tidak ada yang sembarangan menyentuh.Lampunya terang, putih, dan jujur. Terlalu jujur. Jenis cahaya yang tidak peduli apakah seseorang siap atau tidak untuk dilihat apa adanya: orang kaya silakan masuk, yang miskin tolong menyingkir. Tanpa basa-basi.Aroma yang tercium di udara pun bukan aroma mall biasa. Bukan wangi popcorn, bukan juga kopi yang mengundang orang untuk duduk santai. Udara di sini dipenuhi

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   45. Persis yang Kubayangkan

    Amara menatap pantulan dirinya dengan dahi berkerut.Itu… bukan dia.Atau—tunggu—itu dia, tapi versi yang seperti baru saja kabur dari kehidupan lamanya dan memutuskan untuk tidak menoleh ke belakang sama sekali.Rambut pixie cut itu membingkai wajahnya dengan cara yang kejam sekaligus jujur. Tidak ada lagi helai panjang untuk disibakkan ke depan saat ia ingin bersembunyi. Tidak ada tirai aman untuk menutupi pipi atau rahang. Segalanya terbuka. Terlalu terbuka, bahkan.Ryo berdiri di belakangnya, menilai hasil akhirnya dengan ekspresi puas yang sangat profesional dan sangat tidak peduli pada krisis identitas yang sedang terjadi di kursi itu.“Sekarang alis,” katanya singkat, seolah ini hanya langkah lanjutan yang tak perlu diperdebatkan.Alis.Oh Tuhan, sekarang giliran alis.Amara ingin bertanya, ‘seberapa jauh lagi hidupku akan diutak-atik hari ini?’ tapi hanya mengangguk patuh, bertekad untuk terus maju. Ia dipindahkan ke kursi lain. Lebih kecil. Lebih dekat ke cermin. Lampunya le

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   44. Siap Berubah

    Amara duduk di kursi itu dengan kain penutup bahu.Cermin besar di depannya memantulkan wajahnya dari sudut yang tidak biasa. Cahaya lampu jatuh lembut, merata, membuat kulitnya terlihat… lebih tenang. Lebih rapi. Seolah wajah itu sedang bersiap menjadi milik seseorang yang baru.Sang hair stylist tidak banyak bicara.Ryo berdiri di belakangnya dengan sikap yang tenang namun penuh perhatian, mengamati Amara bukan seperti orang menilai penampilan, melainkan seperti seseorang yang sedang membaca karakter. Jari-jarinya bergerak ringan, menyentuh rambut Amara, mengangkat beberapa helai, menjepitnya di antara dua jari, memiringkan kepala, lalu mundur setengah langkah. Gerakannya presisi dan penuh perhitungan—seperti arsitek yang sedang menatap lahan kosong, membayangkan bangunan apa yang paling tepat berdiri di sana.Amara menelan ludah.Ini cuma potong rambut. Anggap saja buang sial. Santai, Mara. Itu cuma rambut, bukan nyawamu.Ia mengulang kalimat-kalimat itu di kepalanya seperti mantr

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   43. Yang Ketiga

    Amara tahu tempat ini mahal hanya dari caranya bernapas.Udara di dalam salon itu bersih—dingin, tenang, dan rapi. Bukan wangi parfum yang berusaha menarik perhatian, melainkan aroma ruang yang terbiasa menerima orang-orang penting tanpa perlu membuktikan apa pun.Segalanya bergerak anggun dan rapi.Tidak ada suara hair dryer meraung seperti mesin pabrik. Tidak ada tawa berlebihan. Tidak ada obrolan kosong. Bahkan langkah kaki para staf terdengar seolah sudah disepakati ritmenya sejak lama.Salon ini tidak menyambut dengan heboh. Ia hanya membuka pintu—dan mengharapkan tamunya pantas berada di dalam.Dan anehnya, Amara tidak merasa salah tempat.Ia melangkah masuk di samping Chandra dengan punggung tegak. Tidak menunduk. Tidak celingukan. Tidak merasa harus meminta maaf pada ruang semewah ini karena pernah hidup di tempat yang… sama mewahnya sih, tapi pengunjungnya khusus pria dewasa.Chandra menanggalkan kacamata hitamnya. Gerakannya santai dan enak dilihat Seperti seseorang yang tid

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   42. Pagi yang Segar

    Pagi-pagi sekali, Amara dibangunkan oleh suara yang terlalu segar untuk ukuran dunia yang seharusnya masih setengah mati.“Bangun,” kata Chandra pelan tapi tegas. “Dan cepat mandi. Mau jalan-jalan, kan?”Amara mengerjap. Sekali. Dua kali. Otaknya butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk menyambung kenyataan dengan kata-kata itu. Ia mengangkat kepala sedikit dari bantal, dan langsung menyesalinya.Chandra berdiri di sisi ranjangnya.Bukan versi Chandra malam tadi. Versi pagi.Rambutnya masih basah, acak-acakan tapi rapi dengan cara yang tidak adil bagi manusia lain. Kaos warna gelap menempel ringan di tubuhnya, aroma sabun bercampur udara pagi menempel begitu saja di sekitarnya. Wajahnya segar. Terlalu segar. Seolah dunia tidak pernah memberinya beban apa pun.Amara menatap. Lebih lama dari seharusnya.“Baiklah. Aku tahu aku tampan,” potong Chandra santai, sudut bibirnya terangkat kecil, “jadi berhenti memandangku seperti itu. Cepat bangun.”Amara tersentak seolah baru ketahuan men

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   41. Butuh Teman

    Film horor itu akhirnya tamat juga. Tulisan THE END muncul di layar seperti pengumuman resmi bahwa teror sudah selesai. Layar televisi kembali menampilkan menu Netflix yang terang dan—jujur saja—terlalu ceria untuk suasana batin Amara yang masih setengah trauma. Musik penutup yang optimistis terasa seperti ejekan.Amara menatap layar beberapa detik lebih lama dari yang diperlukan, seolah memastikan tidak ada biarawati susulan yang tiba-tiba meloncat keluar sambil tertawa kejam.“Oke, duniaku sudah kembali normal,” katanya akhirnya, menegakkan punggung. “Teror mental selesai.”Padahal jantungnya masih berdetak agak terlalu cepat untuk ukuran dunia yang katanya normal.Chandra bangkit lebih dulu, mematikan televisi dan menyalakan lampu. Cahaya terang langsung memenuhi ruang santai itu, membongkar fakta bahwa tidak ada lorong biara, tidak ada lilin padam, tidak ada biarawati bermata hitam. Hanya sofa empuk, meja rendah, dan selimut yang masih menutupi setengah kaki Amara.“Kamu kelihat

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status