ログインChandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya.
Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.
Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.
Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.
“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun.
Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?
“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.
Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra. Dan barulah Amara menyadari penampilan lelaki itu.
Chandra jelas baru akan melepas pakaian saat mendengar teriakannya tadi. Semua kancing kemeja putihnya terbuka. Otot dadanya mengembang mengikuti irama napas yang masih belum stabil.
Ada tetesan air di kulitnya, keringat yang meluncur pelan menuruni garis dadanya yang bidang… lalu ke perutnya yang sixpack, dan menghilang di balik celana panjang yang masih terpakai setengah rapi.
Oh, indahnya… Eh—
Oh, astaga!
Amara bisa merasakan panas menyerbu pipinya. Otaknya langsung menayangkan kembali film terlarang itu:
Kulit menempel kulit. Napas saling memburu. Jemari saling meremas satu sama lain.
Ia cepat-cepat menelan ludah, seolah bisa menelan semua kenangan itu masuk dari otak ke perutnya.
Chandra juga terlihat sama tidak beresnya. Tangannya mengusap tengkuk, dan sorot di matanya menegang jelas. Ketika ia bicara, nadanya terdengar lebih marah dari yang diperlukan, mungkin sama seperti Amara, marah menjadi satu-satunya cara baginya untuk tidak terlihat goyah.
“Ngapain pakai kamar mandi ini?” desis Chandra tanpa menoleh. “Ini kan… biasanya dipakai sama pembantu. Gimana kalau tadi mereka yang masuk, bukannya aku? Terus melihatmu seperti tadi?”
Amara mendengus, mencoba terlihat santai padahal lututnya masih gemetar.
“Kamar mandiku lagi bermasalah. Aliran airnya kecil banget, kadang malah nggak ngalir sama sekali."
Chandra terdiam.
Dan untuk pertama kalinya… tatapannya melunak. Ia akhirnya menoleh sepenuhnya. Mata gelap itu bertaut dengan milik Amara. Lama.
Terlalu lama untuk kategori kakak-adik yang harus berpura-pura tidak punya sejarah bercinta.
Ada sesuatu yang berdenyut. Bukan di kepala. Bukan di hati. Lebih… ke bawah perut.
Ah, sial.
“Oke.” Suara Chandra turun satu oktaf, sedikit parau. “Untuk sementara kamu bisa pakai kamar mandiku.”
Ia menahan jeda. Tatapannya menahan napas.
“Jangan pakai kamar mandi ini lagi.”
Amara tertegun.
Kalimat sederhana itu terdengar… terlalu melindungi. Tapi, kenapa rasanya… berbahaya?
Chandra mundur selangkah, pelan. Memberi ruang untuk Amara keluar lebih dulu. Tetapi sebelum ia benar-benar lewat, seekor kecoa kembali berlari menyeberang di lantai.
“Aa—!” Amara melompat spontan, memeluk lengan Chandra sambil berjinjit ketakutan.
Chandra sontak kaku. Otot lengannya menegas sempurna di genggaman Amara.
“Ini cuma kecoa,” bisiknya pelan. Suaranya terdengar seperti seseorang yang mencoba keras untuk tidak kehilangan kendali.
Amara ingin melepaskan diri. Ia tahu harus melakukannya. Tapi tubuhnya tidak mendengar. Dia benar-benar jijik melihat kecoa, dan jelas saja Chandra adalah tempat teramannya saat ini untuk berlindung dari makhluk itu.
“Hiii…”
Amara memekik ketika si kecoa nyaris menyerempet kakinya saat tiba-tiba berbalik ngepot untuk sembunyi ke dalam kamar mandi.
Chandra segera menutup pintu kamar mandi rapat-rapat.
Keduanya saling memandang, diam, lalu sama-sama membuang muka.
“Fix! Aku nggak mau pakai kamar mandi ini lagi.” Amara menggeleng dengan dramatis sambil melepaskan tangannya dari lengan Chandra.
Chandra mendengus kecil. “Kubilang tadi juga apa?”
“Kalau tiba-tiba aku kebelet pipis nanti malam—”
“Masuk saja, aku nggak akan kunci pintu kamarku. Tapi jangan berisik,” potong Chandra cepat, sebelum melangkah lebih dulu meninggalkan Amara yang mematung di depan pintu kamar mandi.
Amara ngacir mengikuti Chandra di belakang, takut kecoa tadi nongol lagi.
Chandra tiba-tiba berhenti dan menoleh. Amara langsung mengerem langkahnya.
“Memangnya rumah Bik Harni steril dari kecoa?”
Entah itu pertanyaan yang cuma ingin tahu, atau sindiran.
“Ya banyak, sih.” Amara cemberut. “Makanya… aku betah lama-lama di tempat spa, di sana bersih dan nyaris nggak ada kecoa.”
Mendengarnya, tangan Chandra terlihat mengepal. Lelaki itu kini sepenuhnya berbalik menghadapnya. Gerakannya terlihat biasa saja, datar seperti biasanya. Tapi tatapan itu… tidak biasa.
Ada sesuatu yang berpendar di matanya.
“Aku akan menegur kepala pelayan soal kecoa tadi. Selama di sini, akan kupastikan kamu nggak akan melihatnya lagi.”
Kemudian Chandra melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Namun langkahnya sempat terhenti saat hendak membuka pintu kamarnya.
Lelaki itu menoleh sebentar pada Amara yang masih mematung di tempatnya. Ia membuat gerakan isyarat yang artinya Amara boleh memakai kamar mandi miliknya.
***
Sementara itu, di dalam sebuah kamar utama di kediaman keluarga Sanjaya, Tuan Arman menegur sang istri.
“Jangan terlalu keras padanya, Lydia.”
“Mas, anak itu masih saja keras kepala. Kupikir setelah hidup sengsara bertahun-tahun, dia bakal nurut. Ternyata masih sama aja.”
Nyonya Lydia mengoles krim malam ke wajahnya, gerakannya cepat dan kesal.
“Sabarlah. Dia memang begitu dari kecil, kita tahu itu,” jawab Tuan Arman sambil mengancingkan baju piyamanya. “Jangan bikin dia nggak betah lalu kabur, Lydia.”
“Tenang, Mas. Selama Bik Harni masih hidup, kita bisa gunakan dia buat menekan Amara agar patuh.” Nyonya Lydia tersenyum licik. “Amara tidak akan membiarkan pahlawan penyelamat nyawanya itu membusuk di penjara, kan?”
“Sudah kau pastikan Amara betul-betul menandatangani surat perjanjian itu?”
Nyonya Lydia mengangguk mantap. “Anak itu bahkan menandatanganinya tanpa berpikir panjang. Dia bersedia kembali ke rumah kita asal Bik Harni dibebaskan dari segala tuntutan.”
Tuan Arman terlihat puas karena titik lemah Amara sudah berada dalam genggaman mereka.
“Kalau saja ibumu yang cerewet itu tak terus-terusan mendesak kita punya momongan… kita tak perlu repot-repot memungut anak, Mas.” Nyonya Lydia menggerutu sambil menyusul suaminya ke atas ranjang. “Untung saja sekarang anak itu ada gunanya juga,” lanjutnya sembari menarik selimut.
“Tapi Lydia, kudengar… dia pernah bekerja sebagai terapis spa khusus pria. Benarkah?”
Ada sorot cemas di mata Tuan Arman, bukan cemas soal Amara.
“Ck. Dengan otaknya yang cuma segitu, apa lagi coba kemampuannya?” Nyonya Lydia mendengus ringan. “Sudah bagus dia tidak jadi LC, Mas.”
“Jangan sampai keluarga Hamzah mengetahuinya, Lydia. Dari semua koleganya… dia memilih kita sebagai besan. Hanya karena satu keberuntungan kecil saja: mereka terpukau saat menonton pertunjukan balet Amara semasa TK.”
Dan balet saat itu dinilai sebagai seni yang prestisius, keterampilan yang identik dengan anak-anak keluarga kaya, sehingga mungkin di mata Tuan Hamzah saat itu, Amara tampak setara dengan putranya.
“Iya, aku ingat itu, Mas. Hamzah langsung ingin menjodohkan Amara dengan David.”
Dan hampir saja mereka melupakan permintaan Hamzah kala itu. Sampai pada acara gala dinner yang diadakan oleh Nusantara Prima Group —perusahaan konglomerasi milik keluarga Hamzah— janji masa lalu itu kembali menyapa mereka.
“David sudah kupanggil pulang ke Indonesia. Aku mau kenalin dia ke putri kalian.”
Tuan Arman dan Nyonya Lydia saling lirik, menyembunyikan ekspresi tegang mereka. Tapi Tuan Arman segera menguasai keadaan.
“Bagus, Hamz. Mari kita atur waktunya.”
Sepulangnya dari acara itu, Tuan Arman langsung menitahkan orang-orangnya untuk mencari dan membawa kembali Amara yang hilang sejak 18 tahun silam.
“Lydia, perjodohan ini harus berhasil,” Tuan Arman berkata pelan namun penuh ambisi. “Ini peluang emas bagi perusahaan kita untuk naik kelas. Proyek-proyek strategis dari Nusantara Prima Group bisa jatuh ke tangan kita.”
Nyonya Lydia tersenyum tipis. Di matanya berkilat ambisi yang sama besarnya dengan sang suami.
***
Amara melangkah keluar dari kamar mandi, jantungnya berdetak seperti orang lagi lomba lari estafet. Tapi, tentu saja, dia menahan diri untuk tidak menunjukkan “penyiksaan kardio” itu di depan Chandra.“Sudah selesai?”Suara Chandra terdengar dari ranjang. Dia terlihat santai, satu tangan bertumpu di bantal, kaki diselonjorkan sembarangan, rambut sedikit berantakan, tapi tetap terlihat effortlessly cool. Pose adiknya itu seperti model untuk iklan sprei mahal. Santai, tapi memancarkan daya tarik yang memukau. Tatapan setengah mengantuk dan senyum tipis di bibirnya, ditambah tangan menumpu kepala, membuat Amara berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kontrol.Pantulan lampu kamar yang menyorot lembut wajah Chandra membuatnya semakin menawan, dan detak jantung Amara semakin kacau. “Gawat… fase luteal-ku,” gerutunya dalam hati. Otaknya bertarung antara logika “dia adik lelakiku!” dan respons alami tubuhnya yang sedang berada di fase luteal. Aroma mint dari busa odol Chandra tadi b
Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu
Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra
PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang
Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y
Dering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?” Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa. Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman. “Halo. Ya, bagaimana?” Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa







