ログインDering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.
“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?”
Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa.
Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman.
“Halo. Ya, bagaimana?”
Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”
Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua.
Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa melibatkan perasaan pribadinya.
Amara menggigit bibir.
Perjodohan dengan pria kaya... bentuk kasih sayang mereka, katanya?
Ia menghela napas panjang dan mengangkat pandangannya. Saat itulah ia baru menyadari jika Chandra sedang menatapnya, entah sejak kapan.
"Terima kasih sudah membelaku tadi," ucap Amara untuk memecah kecanggungan.
"Tolak saja perjodohan itu kalau kamu nggak mau."
Tiba-tiba saja ponsel milik Chandra berdering di atas meja, memecah keheningan seperti alarm kebakaran dalam perpustakaan.
Amara pikir, adiknya itu juga akan menerima telepon dan meninggalkannya sendirian. Tetapi, Chandra hanya melirik sekilas, lalu menekan tombol silent dan kembali meraih sendoknya.
“Makanlah,” katanya singkat. Tanpa menatap Amara.
Aura dinginnya masih sama: elegan, mahal, tapi... menyebalkan.
Keheningan kembali turun. Sampai akhirnya mereka nekat saling menatap.
Tatapan yang seharusnya menjadi momen mengharukan antara kakak dan adik yang baru dipertemukan setelah delapan belas tahun.
Ya, seharusnya.
Masalahnya… tatapan itu sama sekali tidak terasa kekeluargaan. Dan mereka berdua tahu betul kenapa.
Pipi Amara langsung merona merah, rasa malu menusuknya dari ubun-ubun sampai ke jantung saat teringat sentuhan panas di kulitnya, desah parau Chandra, dan kalimat-kalimat cabul yang entah kenapa hari itu begitu membakar kewarasannya.
Ya, Lord. Kenapa si pria pemilik tombak besar itu harus adiknya sendiri, sih!
Di seberang meja, Chandra juga mengalihkan pandangannya. Ada kilatan aneh di sepasang matanya.
Hingga akhirnya, Amara mencoba memulai, “Kamu… tumbuh dengan baik, Ndra.” Suaranya pelan, hampir seperti gumaman.
Tentu saja Chandra tumbuh dengan baik. Nyonya Lydia tak mungkin mengurusnya dengan asal-asalan.
Amara mencuri pandang pada sosok adiknya yang memakai jas rapi, wajah tenang, beraura eksekutif muda yang tampan tanpa cela. Mirip seperti tokoh CEO cerdas di drama-drama Korea.
Sedangkan dirinya? Hanya seorang terapis spa.
Terapis spa yang… ya, pernah memberi layanan ‘plus-plus’ kepada lelaki yang ternyata adik lelakinya sendiri. Betul-betul plot twist.
Kalau ada penghargaan untuk “Kehidupan Paling Tidak Masuk Akal Tahun Ini”, Amara pasti nominasi terkuat.
Chandra menatapnya sedikit lebih lama.
“Kamu juga hebat, Kak.”
Hebat?
Amara langsung menegang.
Itu… pujian? Sindiran? Atau keduanya diblender jadi smoothie memalukan?
Amara tersenyum pahit. “Hebat di ranjang, maksudmu?” bisiknya, lebih kepada diri sendiri, tapi sialnya cukup jelas terdengar oleh Chandra.
Rahang pria itu mengeras.
Oh, bagus. Sekarang dia terlihat seperti model iklan jam tangan premium yang sedang menahan amarah.
“Aku sudah bilang waktu itu, kan?” Chandra sedikit condong ke depan, hingga dadanya menyentuh tepian meja. Intensitasnya membuat Amara ingin berubah menjadi vas bunga saja agar tak perlu menghadapi ini.
“Selanjutnya, anggap saja… kita tak pernah bertemu,” bisiknya, mengulang lagi ucapannya di vila kala itu.
Chandra bersandar kembali. Tenang lagi. Dingin lagi. Seperti seseorang yang baru saja mengklik tombol reset emosi.
“Selamat datang lagi di rumah ini, kakakku…,” ada jeda sejenak, “… sayang.”
Amara membeku.
Cara Chandra mengucapkan kata ‘sayang’ itu, ya Tuhan, persis sekali dengan caranya berbisik mesra di telinga Amara, saat mereka berada di puncak orgasme.
Amara pura-pura tenang, padahal harga dirinya baru saja ditampar realitas memalukan lima menit yang lalu.
Baiklah.
Kalau Chandra bilang anggap saja mereka tak pernah bertemu, ya sudah. Bagus.
Mulai sekarang, mereka cuma kakak dan adik yang sedang reuni manis setelah delapan belas tahun terpisah. Bukan dua manusia dewasa yang pernah habis-habisan bercinta di ranjang villa.
Jadi, mari berpura-pura ini pertemuan pertama mereka setelah delapan belas tahun.
Amara menarik napas, mengangkat dagu, lalu memasang wajah alfa versi kakak sulung yang lebih berkuasa dan anti kritik.
“Mama bilang kamu super sibuk. Hidupmu pasti luar biasa ya, Ndra?”
Amara berbicara sambil sibuk memotong rendang di piringnya yang sejak tadi tidak habis-habis, seolah potongan itu punya sembilan nyawa.
Amara cuma butuh alasan agar terlihat sibuk. Atau setidaknya, terlihat stabil. Gerakan tangannya terlihat natural, tapi cuma dia yang tahu kalau itu usaha mati-matian supaya tangan tidak gemetar.
“Begitulah. Aku membantu Papa ngurusin proyek. Kak Mara sendiri, gimana? Sibuk apa?” Chandra berbicara dengan tenang dan datar.
“Aku sendiri?” Amara tersenyum tipis. Senyum yang jika dilihat sedikit lebih dekat, jelas itu bukan senyum. Itu frustrasi yang ia bungkus cantik-cantik.
Amara menyuapkan satu potong kecil daging ke mulutnya, berusaha tetap terlihat tenang meski jantungnya dibuat gila oleh pertanyaan itu. Karena… sial, kesibukannya apa lagi coba kalau bukan memijat tubuh klien yang kebanyakan lelaki?
Huh. Mau gimana lagi? Waktu itu kan Amara butuh sekali pekerjaan. Kebetulan, lowongan yang ada dan menjanjikan cuan besar ketika itu adalah menjadi terapis spa… khusus lelaki.
Tapi, sumpah! Sepanjang kariernya sebagai terapis, ia hanya melayani jasa pijat secara profesional. Tentu saja kecuali… pada hari sialan itu, di villa Aster-Bali.
Amara mengunyah dengan gaya santai, seolah tidak ada apa pun yang sedang dipikirkan.
Kalau Chandra mau tahu kehidupannya yang berantakan itu, silakan. Toh, aibnya sebagai terapis sudah dikantongi oleh adik lelakinya itu. Jadi, buat apa Amara repot-repot menutupinya?
“Aku sibuk sebagai terapis spa,” sahutnya akhirnya.
Chandra memandangnya dengan sorot meneliti. Mirip Manajer HRD yang sedang melakukan seleksi wawancara kerja.
“Sejak kapan?” tanyanya dengan nada turun satu oktaf, seolah siap mencoret sang kandidat.
“Sejak lulus SMA, sekitar… sepuluh tahunlah kira-kira,” sahut Amara enteng, seperti menjawab pertanyaan tentang cuaca.
Ketegangan seketika tersorot di mata adik lelakinya itu.
“Selama itu?”
Ada ekspresi “yang benar saja!” dalam nada suara Chandra.
Namun Amara menanggapinya santai.
“Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Melanjutkan kuliah dengan uang yang cuma ada di khayalan? Ck. Konyol banget.”
“Konyol?” ulang Chandra dengan suara yang terlalu rendah tapi sarat tekanan. Tangannya menggenggam garpunya lebih erat, seperti sedang menahan geram.
“Kamu seharusnya berusaha cari beasiswa, Kak. Kamu kan—”
“Aku nggak sepintar kamu, ingat?” potong Amara, tersenyum sinis. “Beasiswa apanya? Sudah bagus aku bisa lulus UN, itupun pakai nyontek,” lanjutnya seraya memutar bola mata.
Chandra menghela napas panjang, wajahnya keras, matanya tak lepas sedikit pun dari Amara.
“Kamu nggak berubah, ya? Selalu puas dengan apa yang sudah kamu capai tanpa ingin berusaha naik lebih tinggi lagi.”
Amara tertawa kecil mendengarnya.
“Memangnya kamu pikir… terapis spa sepertiku punya jenjang karier, ya?”
Chandra terdiam. Gerakan garpunya seketika terhenti, lalu ia mengetuk piring sekali. Seperti refleks orang sedang kesal, terusik, tapi berusaha menahan diri.
Melihatnya, Amara hanya tersenyum bodo amat.
Amara melangkah keluar dari kamar mandi, jantungnya berdetak seperti orang lagi lomba lari estafet. Tapi, tentu saja, dia menahan diri untuk tidak menunjukkan “penyiksaan kardio” itu di depan Chandra.“Sudah selesai?”Suara Chandra terdengar dari ranjang. Dia terlihat santai, satu tangan bertumpu di bantal, kaki diselonjorkan sembarangan, rambut sedikit berantakan, tapi tetap terlihat effortlessly cool. Pose adiknya itu seperti model untuk iklan sprei mahal. Santai, tapi memancarkan daya tarik yang memukau. Tatapan setengah mengantuk dan senyum tipis di bibirnya, ditambah tangan menumpu kepala, membuat Amara berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kontrol.Pantulan lampu kamar yang menyorot lembut wajah Chandra membuatnya semakin menawan, dan detak jantung Amara semakin kacau. “Gawat… fase luteal-ku,” gerutunya dalam hati. Otaknya bertarung antara logika “dia adik lelakiku!” dan respons alami tubuhnya yang sedang berada di fase luteal. Aroma mint dari busa odol Chandra tadi b
Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu
Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra
PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang
Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y
Dering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?” Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa. Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman. “Halo. Ya, bagaimana?” Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa







