ログインAmara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.
“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya.
“Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.
Amara membalas tatapan Chandra.
“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”
Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.
Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos.
Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.
Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.
Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.
“Habiskan makananmu, Ndra. Ingat-ingat pesan Mama tadi, ‘Jangan sampai sakit, Nak.’”
Amara sedikit menyindir dengan kalimat yang sejak dulu suka diucapkan oleh ibu mereka kepada Chandra, dengan kelembutan dan kasih sayang. Hal yang tidak pernah ia terima sejak kecil. Perhatian selembut itu hanya untuk Chandra, Chandra, dan Chandra.
Amara pergi meninggalkan ruang makan, membiarkan Chandra sendirian.
Rencana untuk beramah tamah dengan adik lelaki yang ia rindukan selama delapan belas tahun ini hancur total. Bukan hanya karena Chandra ternyata adalah lelaki yang pernah bercinta dengannya, tetapi juga karena mereka kini tak lagi satu frekuensi seperti dulu.
‘Suka pijat plus-plus, ya? Suka bungkus LC juga, mungkin?’ duganya, sedikit geram.
Ah. Ternyata adiknya itu benar-benar telah menjelma menjadi pria dewasa. Chandra-nya tak lagi selugu yang ia pikir selama delapan belas tahun belakangan ini.
Apalagi ditunjang dengan penampilannya yang sangat good looking.
Paras Chandra yang tampan mengingatkan Amara pada tipe aktor Hollywood berbahu lebar, rahang tegas, hidung mancung seperti perosotan TK, dan tatapan mata intens yang biasanya cuma muncul di film-film romantis.
Auranya seperti aktor pria yang selalu memerankan karakter miliarder muda yang dingin, tapi dengan tubuh ala bintang film laga yang bisa menggendong lawan mainnya dengan satu tangan.
Body yang hot, bisa bikin cewek klepek-klepek hanya dalam sekali lirik.
Ditambah status Chandra sebagai pewaris bisnis keluarga Sanjaya yang sukses di bidang properti dan ritel.
Wah. Modal yang sudah lebih dari cukup buat jadi buaya darat profesional, bukan?
‘Orang ganteng mah bebas’, gumam Amara dalam hati, sarkas dan sedikit muak.
Amara menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan langkah sedikit cepat, tapi ia menjaga irama kakinya agar terdengar santai. Tidak boleh terlihat panik. Tidak boleh terlihat seperti kabur dari tatapan seorang Chandra Sanjaya.
Padahal, ya… memang itu yang ia lakukan. Melarikan diri. Mengamankan diri. Menjauh dari adik lelakinya yang tatapannya terlalu… meneliti.
Karena setiap kali tatapan Chandra yang dingin namun tajam itu mendarat padanya, Amara merasa seperti sedang ditelanjangi tanpa sentuhan.
Bukan jenis tatapan yang sekadar mengamati, tapi membedah. Mengupas. Seolah Chandra sedang mencoba membaca sisa-sisa malam itu, yang masih menempel di wajah dan tubuhnya.
Dan Amara hanya bisa misuh-misuh dalam hati, merasa frustrasi dengan situasi yang canggung ini.
Ya. Amara ingin melarikan diri. Dari tatapan Chandra yang tahu terlalu banyak. Dari tatapan yang bisa membuatnya mengingat hal-hal yang seharusnya tidak pernah mereka lakukan.
Begitu sampai di lantai atas, Amara langsung berlari menuju kamar. Membuka pintu, masuk, menutupnya lagi dengan cepat.
Amara langsung ambruk di atas kasur. Ia memeluk guling dan termenung lama, mulai stres memikirkan bagaimana pandangan Chandra pada dirinya saat ini.
“Dia pasti kecewa, karena kakak yang ia hormati saat kecil, ternyata sehina ini di matanya saat dewasa.”
Amara menggigit bibir.
Sepertinya tidak ada jalan untuk memperbaiki nama baiknya di depan Chandra saat ini.
“Gimana caranya ngadepin adikku tanpa harga diri lagi, coba?” desisnya, menahan histeris.
Aargh. Amara bisa gila!
Rasanya… lebih baik tinggal di gubuk derita bersama Bik Harni, daripada pulang ke istana yang megah tapi begini. Di bawah tatapan ibu yang tak terlihat merindukannya. Ditambah, kehilangan hormat dari sosok adik yang menjadi satu-satunya pilar harapannya untuk bisa betah.
“Tapi sayangnya aku harus tetap tinggal di sini. Kalau aku nekat kabur, Bik Harni bisa... dipenjara."
Amara memandang langit-langit kamar dengan sorot gamang.
“Pliss, Tuhan. Bantu aku biar nggak stres selama di sini."
Itu sama sekali tak menyerupai sebuah doa, tapi request yang 'super duper mendesak pake banget'.
Ah. Sial.
Hidupnya tentu tidak akan sama lagi dengan yang kemarin. Akan ada banyak aturan yang mengekang di bawah tatapan intimidasi ibunya. Belum lagi tatapan ayahnya yang datar khas seorang Presiden Direktur yang sibuk. Juga tatapan Chandra yang—
“Aahhh. Bodo amatlah!”
Amara menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Ingin berhenti berpikir, tapi otaknya malah hiperaktif membuat beragam perhitungan “bagaimana kalau nanti dan bagaimana jika”.
Huh. Baiklah.
Amara duduk. Bersila. Membuat sikap dasar meditasi.
Tarik napas. Keluarkan.
“Begini saja Amara, masa lalu bukanlah hal yang bisa kau kendalikan. Jadi mari kita fokus pada hal-hal yang bisa kau kendalikan.”
Entah, darimana datangnya sisi kebijaksanaan itu. Mungkin wangsit yang tiba-tiba datang setelah cakra mahkotanya terbuka.
Setidaknya, pikiran itu cukup membuatnya tenang.
Oke. Posisi Amara sebelumnya boleh saja rendah di mata Chandra. Tapi itu hanya terjadi di Vila Aster, jauh di Bali sana.
Sekarang, mereka bertemu lagi di rumah ini, sebagai kakak dan adik.
“Ingat, Mara. Posisimu sekarang adalah kakaknya. Sekali lagi, kakaknya. Jadi, mari bersikap layaknya seorang kakak. Ambil lagi kendalimu, oke?”
Amara bermonolog dalam pikirannya. Seolah ada dua Amara dalam dirinya yang sedang berdiskusi.
“Ya, oke. Tapi gimana kalau dia memandangku lagi seperti… tadi?”
“Pelototi saja, omeli… bila perlu jewer seperti kamu sering memarahai dia sewaktu kecil dulu, di belakang ibumu.”
Amara tersenyum sedikit saat membayangkan masa itu: ibunya yang tak pernah tahu bagaimana anak lelaki kesayangannya itu diam-diam ia ringsak di balik punggungnya. Dan Chandra kecil waktu itu cuma bisa pasrah.
Ah, baiklah. Mari fokus pada kehidupan sekarang. Biarlah malam itu menjadi skandal yang hanya diketahui oleh dirinya dan Chandra saja.
Amara mengatur ritme napasnya, masih dengan posisi meditasi.
Pikirannya sudah sedikit tenang sekarang.
“Sekarang aku adalah Amara yang baru. Aku anak sulung dari keluarga Sanjaya yang terhormat,” batinnya, mencoba menciptakan ketenangan dari kekacauan yang terjadi di luar dirinya.
“Selamat tinggal masa lalu dan selamat datang masa depan.”
Amara bertekad menata diri, membangun kembali puing-puing harga dirinya yang sempat runtuh di mata adiknya sendiri.
Tiba-tiba, ia merasakan tekanan di kandung kemihnya.
“Ck. Lagi fokus meditasi malah kebelet pipis," gerutunya sambil beranjak menuruni ranjang.
"Ah, sial. Kran kamar mandi di kamarku masih bermasalah.”
Ya. Tadi sore air dari krannya tiba-tiba saja mati. Untung saja Amara sudah sempat cebok. Ibunya bilang besok pagi akan segera diperbaiki.
Amara bersungut-sungut dalam hatinya sambil bergegas cepat keluar kamar, ingin pakai kamar mandi luar yang berada di ujung lorong. Dan tiba-tiba saja...
BRUK!
Ia menabrak seseorang yang baru akan melintas di depan kamarnya.
Tubuhnya oleng, hampir jatuh, namun dalam satu tarikan cepat, Amara sudah terkunci di dada orang itu.
Dada bidang yang ia kenal.
Amara mendongak dan tercekat.
“Chandra…?”
"Amara..."
Desah napas mereka masih sama-sama kaget dan saling bertabrakan di antara ruang kecil antara wajah mereka.
Begitu dekat.
Hanya butuh satu gerakan kecil untuk mengulang "hal yang seharusnya tidak boleh terjadi" di antara kakak dan adik.
Amara melangkah keluar dari kamar mandi, jantungnya berdetak seperti orang lagi lomba lari estafet. Tapi, tentu saja, dia menahan diri untuk tidak menunjukkan “penyiksaan kardio” itu di depan Chandra.“Sudah selesai?”Suara Chandra terdengar dari ranjang. Dia terlihat santai, satu tangan bertumpu di bantal, kaki diselonjorkan sembarangan, rambut sedikit berantakan, tapi tetap terlihat effortlessly cool. Pose adiknya itu seperti model untuk iklan sprei mahal. Santai, tapi memancarkan daya tarik yang memukau. Tatapan setengah mengantuk dan senyum tipis di bibirnya, ditambah tangan menumpu kepala, membuat Amara berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kontrol.Pantulan lampu kamar yang menyorot lembut wajah Chandra membuatnya semakin menawan, dan detak jantung Amara semakin kacau. “Gawat… fase luteal-ku,” gerutunya dalam hati. Otaknya bertarung antara logika “dia adik lelakiku!” dan respons alami tubuhnya yang sedang berada di fase luteal. Aroma mint dari busa odol Chandra tadi b
Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu
Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra
PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang
Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y
Dering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?” Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa. Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman. “Halo. Ya, bagaimana?” Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa







