Mag-log in
“Kalau perempuan tak bisa punya anak, apa gunanya menikah?”
Kalimat itu meluncur begitu saja bagaikan cambuk mematikan. Sendok di tangan Sasha berhenti di udara. Ia bisa merasakan beberapa pasang mata tengah menatap ke arahnya.
Sasha memejamkan matanya sejenak, mengambil napas sebanyak mungkin, dadanya kini terasa sesak. Kenapa mertuanya harus mengucapkan hal itu di waktu yang tidak tepat? Tak bisakah sedikit saja wanita itu menghargainya, menerima kenyataan bahwa bagaimanapun ia adalah istri dari anaknya?
Di hadapannya, Ratna—ibu mertuanya—duduk dengan tenang, tangannya menyeka mulutnya dengan tisu lalu meletakkannya di sisi piring. Wajahnya terlihat tenang dan datar.
"Dua tahun kamu menikah, tapi sampai detik ini kamu tidak bisa memberikan saya keturunan, saya curiga kalau kamu mandul.”
Lagi, perkataannya menampar Sasha lebih keras dan lebih menyakitkan. Matanya mulai memanas, rasa perih menjalar hingga tenggorokan. Tangisnya hampir pecah, namun sekuat tenaga ia menahannya agar air mata tak jatuh di hadapan mereka.
“Ma, aku tidak mandul,” lirihnya dengan suara bergetar.
Ratna mendengus, “Siapa yang tahu? Buktinya kamu tidak kunjung hamil.”
Setiap ucapan yang keluar dari mulut Ratna seperti jarum yang menancap satu per satu ke dalam jantung. Sasha menoleh ke arah Reno–suaminya–berharap ada sedikit pembelaan.
Namun, apa yang dilihatnya membuat ia semakin sakit, pria itu hanya duduk tenang, menyesap anggurnya dengan santai, seolah semua yang terjadi di meja makan hanyalah tontonan gratis.
“Ma, semua ada waktunya. Mungkin sekarang aku belum bisa hamil, tapi besok? Tidak ada yang tahu,” ucap Sasha berusaha membela diri.
Ratna tersenyum sinis bibirnya terangkat sedikit. “Sasha … wanita itu dilihat dari apa yang dia beri, bukan dari omong kosong yang belum tentu kapan bisa terjadi.”
Tatapannya kini beralih pada Arka, adik tiri Reno. Senyum tipis menghiasi wajah wanita itu. “Kebetulan Arka sedang ada di Indonesia, mungkin dia bisa memeriksa kesuburanmu … selagi ada kesempatan.”
Sasha terbelalak tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh mertuanya, ucapannya telah melukai hatinya sebagai seorang wanita.
Di meja makan ini, harga dirinya dilucuti habis habisan, seolah Sasha bukan lagi seorang menantu tapi seperti sebuah aib yang pantas dipermalukan.
Sementara itu, Reno hanya bergeming di tempatnya. Wajahnya datar, seolah sikap yang dilakukan mamanya adalah sesuatu yang pantas. Bahkan ketika Sasha direndahkan di hadapannya, tak satu pun kata pembelaan meluncur dari bibir pria itu.
Arka yang sedari tadi diam perlahan mengangkat wajahnya, menatap mamanya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan.
“Aku datang ke sini untuk makan malam dengan nyaman, bukan untuk mencampuri urusan rumah tangga orang. Seharusnya Mama tau ada hal yang tak sebaiknya dibahas di meja makan,” ujar Arka dingin.
“Arka, kamu tahu persis mama tidak suka dibantah.” Ratna meraih gelas di hadapannya, meneguk air dengan tenang sebelum kembali bersuara. “Lagipula, kamu tidak akan mengerti. Segala yang mama lakukan bukan tanpa alasan, semuanya demi mereka … dan demi menjaga martabat keluarga kita.”
Arka meletakkan tangannya di atas meja, kedua siku bertumpu mantap sementara jemarinya saling bertaut, hampir menyentuh dagu.
“Kalau demi martabat keluarga, seharusnya Mama juga tahu batasan,” ucapnya dingin.
“Arka!” bentak Ratna, netranya menatap tajam ke arah Arka. “Jangan mengajari mama soal batasan, karena mama lebih tau bagaimana cara menjaga keluarga ini.”
Ratna bangkit dari kursinya, tanpa menoleh sedikitpun, melangkah dengan anggun meninggalkan meja.
“Aku juga sudah selesai,” ucap Reno datar tanpa ekspresi, ia meletakan serbet di atas meja lalu pria itu melangkah pergi mengikuti mamanya. Tanpa menoleh, tanpa berkata, Reno meninggalkan Sasha begitu saja bersama Arka.
Satu ruangan bersama Arka membuat Sasha merasa kurang nyaman, interaksi di antara mereka, nyaris tidak pernah terjadi. Dan kejadian hari ini membuat Sasha tak punya muka lagi, wanita itu hanya menunduk menelan rasa sakit itu sendirian.
Namun, saat ia menunduk, pandangannya tanpa sengaja jatuh menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Di dalam foto tersebut, Arka terlihat sedikit berbeda, pria itu berdiri tegap menggunakan jas hitam, rahangnya terlihat tegas memberikan kesan dingin, matanya yang tajam seolah mampu menelanjangi siapapun yang menatapnya.
Sasha mengalihkan pandangannya, meskipun itu hanya sebuah foto, tapi … menatap Arka terlalu lama membuatnya merasakan sesuatu yang asing yang tak pernah ia rasakan bahkan ketika berhadapan dengan Reno. Darahnya berdesir hebat dan jantungnya berdetak cepat dari biasanya, aneh.
Sasha berdiri menghadap jendela, menatap langit malam yang kelam tanpa bintang. Acara makan malam tadi seharusnya menjadi momen hangat, sebuah kebersamaan yang meninggalkan kesan manis. Namun kenyataannya, meja itu justru berubah menjadi tempat untuk menghakiminya. Ironisnya, suaminya sendiri pun hanya diam, tak sekalipun membela.
"Aku mau keluar dulu. Kalau kamu ngantuk, tidur aja. Jangan tunggu aku pulang," ucap Reno datar begitu melangkah keluar dari kamar mandi.
“Tapi … kita baru saja pulang, Mas. Masa kamu mau keluar lagi?” Sasha menoleh, berjalan pelan ke arahnya.
“Aku ada urusan yang nggak bisa diabaikan. Menurutlah, Sasha. Jangan banyak protes,” ujar Reno seraya merapikan dasi di lehernya, kemudian meraih jas berwarna krem yang terlipat rapih di sandaran kursi. “Aku berangkat dulu, jangan lupa kunci pintu,” imbuhnya sebelum melangkah pergi.
Sasha menatap kepergian suaminya hingga punggungnya hilang dari balik pintu, lalu ia berjalan pelan menuju balkon kamarnya. Dari ketinggian, Sasha bisa melihat mobil suaminya melaju membelah jalanan malam.
Sasha menarik napas panjang, membiarkan angin malam menyapu wajahnya, wanita itu termenung sejenak, teringat kembali akan perkataan mertuanya yang memintanya untuk tes kesuburan, benarkah ia harus melakukannya?
Apalagi melakukannya dengan… adik suaminya sendiri?!
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan membuyarkan lamunannya. Sasha buru-buru merogoh saku piyamanya.
Sebuah nomor tidak dikenal.
[Aku Arka. Besok jam 10 datang sendiri ke tempatku. Ingat, jangan ajak siapa pun.]
“Arka,” gumamnya, matanya masih menatap layar ponsel.
'Untuk apa dia memintaku datang?' pikirnya. “Jangan-jangan ….” Sasha menutup mulutnya, tangannya mulai gemetar dan jantungnya kembali berdetak lebih kencang.
“Nggak!Kamu kebangetan, ih!Kenapa nggak berhenti tadi?” keluh Sasha lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh detak hujan yang jatuh di kaca mobil, tubuhnya masih melekat pada Arka, seolah tulangnya belum kembali utuh setelah dua jam terakhir dipaksa menyerah oleh pria itu.Arka terkekeh pelan, suara rendahnya menggetarkan dada Sasha tempat ia bersandar. “Kamu yang minta,” jawabnya santai sambil mengusap punggung Sasha yang masih naik turun menahan napas.“Aku minta cuma sekali,” protes Sasha kecil, pipinya memanas ketika mengingat bagaimana ia sendiri yang akhirnya memohon agar Arka tidak berhenti. “Kamu yang lanjut terus—”“Kamu yang mulai gemeteran dan narik aku lagi,” balas Arka cepat, nada menggoda namun juga manja. Ia menunduk sedikit, menyentuhkan bibirnya pada pelipis Sasha. “Aku cuma ngikutin istri aku.”“Isshhh…!” Sasha mendesis menangg
Serangkaian tes tentang kehamilan Sasha mulai dilakukan dan hasilnya, ia benar-benar positif hamil. Itu jelas membuat Arka yang sejak awal sedikit ragu, tampak terdiam dengan segenap rasa terkejut yang berkecamuk dalam benaknya.“Selamat, Dokter Arka. Istri lo beneran hamil, usia kandungannya tiga minggu. Kondisi tubuhnya cukup stabil, janin juga sehat dan tekanan darahnya bagus. Cuma, tetap jaga pola makan, tidur dan jangan lupa minum vitamin,” ujar Brata, memberikan wejangan pada Arka. Wejangan yang biasanya Arka berikan pada setiap pasien yang datang, kini justru ia dengar sendiri.“Makasih, Brat.”“Sama-sama,” sahut Brata, lantas meninggalkan Arka dan juga Sasha yang masih menikmati momen kebahagiaan keduanya.Arka menggenggam erat tangan Sasha, mengecupnya berkali-kali dan mengucapkan kalimat penuh kebahagiaannya serta rasa syukurnya karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang ayah.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah kasih aku kebahagiaan.” Suara Arka pecah sedikit s
Arka menahan senyumannya sendiri ketika mendengar permintaan Sasha, terlebih saat melihat wajahnya merah seperti udang rebus.Mobil yang dibawa Arka dengan segera meninggalkan bibir pantai, menuju bukit yang menjadi tempat pertama mereka menyatu dan memiliki hubungan yang jauh hingga sekarang.Disisi lain, setelah bertemu dengan Sasha di sebuah minimarket SPBU, Ratna kembali ke rumahnya dengan perasaan dongkol. Sepanjang perjalanan, tangannya terus menggenggam kemudi terlalu kuat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat benda pertama yang bisa ia remukkan.Sasha yang biasanya menunduk patuh, selalu sopan, selalu meminta maaf bahkan ketika bukan salahnya, tiba-tiba saja tadi berani melawan.Itu bukan Sasha yang Ratna kenal.Bahkan Ratna bisa melihat jelas kalau ada keberanian di mata Sasha. Keberanian yang tidak pernah ada selama bertahun-tahun Sasha menjadi menantunya. Ada sorot yang tidak lagi memohon, tidak lagi takut, tidak lagi merasa ren
Perjalanan menuju pantai berlangsung lebih hening daripada sebelumnya. Arka berkendara pelan, sesekali melirik Sasha yang hanya memandang keluar jendela tanpa bersuara. Wajah Sasha sedikit murung, seperti ia sama sekali tidak menikmati apa yang terjadi saat ini.Sasha hanya diam menikmati terpaan angin yang menerbangkan setiap helaian rambutnya. Ia masih tenggelam dalam lamunan, sampai ia tidak menyadari kalau Arka sudah memarkir mobil di titik paling dekat dengan bibir pantai.Arka menghembuskan napas lega.“Akhirnya sampai juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Ia melepas sabuk pengaman dan bersiap turun untuk membuka pintu Sasha.Namun Sasha tetap diam, tanpa ada reaksi apa punsama sekali. Hal itu membuat Arka menoleh ke arahnya.Beberapa kali Arka memanggil Sasha masih saja diam dan tidak bereaksi apa pun.“Sayang, kamu kenapa?”tanya Arka cemas.Sasha masih diam. Dan ketika panggilan ketiga,
Ratna seketika membeku mendengar ucapan Arka. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya kalimat penuh penekanan dan juga penuh ambisi untuk menghancurkannya.Saat tubuh Ratna membeku, Arka menjauhkan wajahnya dari sisi Ratna, namun masih dengan raut wajah yang sama seperti sebelumnya.“Jangan takut, aku tidak akan mengambilnya sekaligus. Mungkin secara perlahan, sampai kalian memasrahkan semuanya sendiri dengan sukarela,” pungkas Arka, lalu beralih pada Sasha yang masih diam di tempat.“Ayo,kita berangkat, Sayang. Maaf, ya, kamu harus mengalami gangguan dari orang yang nggak waras seperti ini,” ucap Arka, seraya menggandengnya pergi meninggalkan Ratna yang masih mematung.Sasha menggandeng Arka, dan sedikit merebahkan kepalanya di lengan Arka ketika melangkah keluar. Arka mengusap pelan pipinya, dengan hati yang bergemuruh menahan kemarahan.Di luar, udara sore yang mulai dingin menyambut mereka.Arka masih menggen
Ratna menyeringai melihat Sasha yang hanya membeku mendengar semua cercaannya. Beruntung, di dalam minimarket itu tidak begitu ramai dan hanya ada mereka berdua, jadi tidak ada satu pun yang bisa mendengarkan percakapan mereka yang tengah berdebat dengan nada yang ditekan.“Kenapa? Nggak terima? Emang, iya, kan? Arka itu nggak ada otaknya karena harus nikahin perempuan kosong macam kamu. Nggak bisa kasih keturunan, nggak bisa kasih kehormatan, kedudukan, apalagi ngasih yang jauh lebih dari itu.”Sasha menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Senyum tipis mulai terbit di bibirnya, sesaat sebelum ia mulai bicara.“Jadi, menurut Anda, Arka itu nggak punya otak karena memilih perempuan kosong yang nggak bisa berbuat apa pun? Nggak bisa hamil dan sebagainya? Begitu?”“Iyalah, jelas,” sahut Ratna cepat, dagunya terangkat tinggi seolah ucapannya adalah kebenaran mutlak. “Arka itu buta karena kamu. Dia cuma dibodohi sama tampang polosmu. Kalau dia pakai sedikit saja otaknya, dia ng







