Home / Romansa / Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam / 2. PERTEMUAN DI RUANG PEMERIKSAAN

Share

2. PERTEMUAN DI RUANG PEMERIKSAAN

Author: Allina
last update Last Updated: 2025-08-29 16:13:11

Sasha terbangun dari tidurnya, matanya langsung melirik ke sisi ranjang, tapi ia tak melihat keberadaan suaminya, bahkan tempatnya pun masih rapih seperti tak tersentuh.

“Apa semalam Mas Reno nggak pulang, atau dia berangkat kerja lebih awal?” Sasha bermonolog, ia mengulurkan tangan, mengambil ponsel yang berada di nakas.

Sasha menatap layar ponsel yang kini menampilkan nomor suaminya. Ia menekan tombol panggil, lalu mendekatkan ponsel ke telinga. Nada sambung terdengar berulang kali, namun tak juga ada jawaban.

“Apa dia benar-benar sesibuk ini sampai tak bisa dihubungi?” Sasha mendesah pelan, lalu meletakan ponselnya. Sampai akhirnya ia teringat jika ia mempunyai janji temu dengan Arka.

Sasha segera bersiap, ia sudah memantapkan hati, kenyataan apapun yang akan terjadi, ia akan hadapi. Setelah membersihkan diri, Sasha berdiri di depan cermin, memoles wajahnya dengan bedak tipis dan memberi sedikit rona pada bibirnya, agar dirinya tampak lebih segar.

Sebelum Sasha pergi, ia berpapasan dengan mertuanya yang sedang duduk menonton berita.

“Ma, Sasha keluar dulu.”

Ratna menoleh, memperhatikan penampilan Sasha dari atas sampai bawah. “Pergilah dan berikan saya hasil yang baik.”

Sasha hanya mengangguk ragu lalu segera berlalu meninggalkan wanita itu. Di luar, taxi yang ia pesan sudah menunggu. Sasha masuk ke dalam mobil lalu menyebutkan RS yang menjadi tujuannya.

Sekitar 30 menit kemudian, Sasha sudah sampai di tempat yang dituju, sebuah rumah sakit ternama, terbesar dan terbaik di kotanya.

“Kita sudah sampai, Mbak.” Supir taxi itu menoleh.

Sasha mengangguk pelan, namun pandangannya tak lepas dari gedung yang ada di hadapannya. 'Jadi Arka bekerja di sini?'

Langkahnya pelan, menuju lobi rumah sakit, banyak orang yang berlalu lalang, ada juga yang sedang duduk di ruang tunggu. Aroma campuran antiseptik dan obat-obatan khas rumah sakit langsung menyergap indera.

Sasha melirik meja resepsionis, lalu berjalan menuju meja tersebut. “Pagi, Mbak. Saya Sasha Atmadja, sudah ada janji dengan Dr. Arka.”

Resepsionis itu tersenyum ramah lalu mengecek sesuatu di layar komputer di depannya. “Baik, Bu Sasha. Silakan tunggu sebentar, ya, nanti akan kami panggil.”

Sasha mengangguk singkat. Ia berbalik dan duduk di kursi tunggu. hingga beberapa menit kemudian seorang perempuan muda berseragam putih mendekati Sasha.

“Bu Sasha? Dokter Arka sudah menunggu, mari saya antar,” ucapnya lembut seraya tersenyum ramah.

Sasha berdiri, lalu berjalan mengikuti langkah perempuan itu menyusuri koridor rumah sakit. Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu dengan plakat nama Dr. Arka Tandjung, SpOG.

Asisten itu mengetuk pelan lalu membukakan pintu. “Silakan masuk, Bu.”

Sasha menarik napas dalam, lalu melangkah masuk. Aroma kayu mahal berpadu dengan parfume maskulin langsung menyeruak, memenuhi paru parunya.

Pria itu sudah menunggunya. Kemeja putih dengan lengan digulung memperlihatkan otot lengan yang kekar. Arka mendongak, sorot matanya tajam menyapu dari ujung kaki Sasha hingga akhirnya berhenti tepat di matanya.

Sejenak tatapan mereka bertemu, seolah ada sesuatu yang tak kasatmata berusaha mengikatnya, namun Sasha dengan cepat mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ia menelan ludah, rasa gugup menguasai jiwanya.

“Santai Saja, Sasha, aku dokter bukan algojo.” Arka tersenyum tipis. Dan itu cukup membuat Sasha kaku.

Arka menarik kursi di hadapannya, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Duduklah,” titahnya.

Sasha mengangguk patuh, lalu menuruti arahan Arka untuk duduk berhadapan dengannya. Kedua tangannya diletakkan di pangkuan, saling bertaut, mencoba menghilangkan rasa gugup.

“Aku minta maaf untuk semua ucapan mereka malam itu,” kata Arka pelan.

Sasha mengerjap, tidak tau harus mengatakan apa, lidahnya kelu ia ingin menjawab tapi suara itu seakan tertahan di tenggorokan. Ia mengangguk sebagai jawaban.

Arka mengulurkan tangan, bibirnya melengkung tipis, ia bertanya, “Tanganmu ... pergelangan tanganmu boleh saya cek dulu?”

Sasha mengulurkan tangan, jemari Arka menyambut hangat, ia menempelkan ujung jari di pergelangan tangan Sasha. Kehangatan langsung menjalar dari titik Arka menyentuhnya. Seolah ada sengatan listrik saat mereka bersentuhan.

Adegan itu bertahan beberapa detik, lebih lama dari batas wajar, tatapan mata Arka tidak lepas dari wajah Sasha, seperti bukan tatapan dokter kepada pasiennya. Melainkan sesuatu yang jauh lebih dari itu.

“Denyut nadimu stabil,” ujar Arka. Senyuman masih tersemat di sana “Meski agak lebih tegang.”

“Sekarang kita lanjut ke pemeriksaan berikutnya.” Arka melanjutkan pemeriksaan tekanan darah dengan manset yang melingkar di lengannya. Angka di layar digital menunjukkan hasil normal, menandakan kondisi tubuh Sasha cukup sehat untuk melanjutkan tahap berikutnya.

“Dokter Arka ….”  Sasha membuka suara, ingin bertanya tapi urung.

“Panggil Arka saja.”

Arka menatapnya sekilas, tersenyum tipis, seolah paham keresahan yang tak terucap. “Tenang saja, kita ikuti langkah-langkahnya dulu.”

Setelah itu, Arka meminta Sasha untuk berbaring. “Sekarang kamu berbaring di sini,” titahnya, menunjuk permukaan ranjang periksa yang sudah dilapisi kertas steril.

Sasha menatap ranjang tersebut lalu beralih menatap Arka, ia terlihat gugup, jari-jari tangannya saling bertautan. Rupanya hal itu tak lepas dari perhatiannya, pria itu pun tersenyum kecil. 

“Mungkin ini pertama kalinya buatmu, wajar kalau merasa gugup. Tapi percayalah, prosedur ini aman. Nanti aku akan jelaskan setiap langkahnya.”

Sasha mengangguk ia hanya bergeser sedikit lalu perlahan membaringkan tubuhnya di atas ranjang periksa.

“Sasha … sebelum berbaring, kamu perlu membuka pakaian bawahmu,” ucap Arka pelan, sambil memberikan sebuah kain berwarna hijau.

Sasha terkejut spontan terduduk. “A-apa?”

Arka terkekeh kecil, melihat respon Sasha yang menurutnya lucu. “Jangan berpikir yang aneh-aneh di sana ada tirai kamu bisa gunakan agar lebih nyaman.” Arka menunjuk ke arah partisi di sudut ruangan.

Sasha mengigit bibir bawahnya ada semburat merah di wajahnya, perpaduan antara malu dan gugup. Sasha mengangguk lalu berdiri perlahan, sambil berjalan menuju partisi, dia mengambil kain yang diberikan Arka.

Tirai partisi bergeser, menutup tubuhnya dari pandangan. Di baliknya, Sasha menyandarkan punggung sebentar, berusaha menenangkan degup jantungnya. “Tenang, Sasha. Ini hanya sebagian dari tes.”

Sementara Arka mempersiapkan alat yang akan digunakan. Tirai kembali bergeser,  Sasha melangkah keluar perlahan, Ia terduduk di pinggiran ranjang.

“Kamu sudah siap?” tanya Arka dengan lembut. Sasha mengangguk lalu ia berbaring.

"Coba tekuk kakinya," pinta Arka, Sasha menurut lalu ia menekuk kakinya sesuai intruksi dari Arka.

Arka menyiapkan probe USG—alat berbentuk ramping yang telah dilapisi pelindung sekali pakai dan gel transparan.

“Jadi, kita akan melakukan USG trasvarginal,” kata Arka.

Sasha hanya menatapnya tidak paham.

“Alat ini akan membantu kita melihat kondisi rahim dan indung telur lebih jelas,” imbuhnya lagi sambil menunjukkan sekilas bentuknya.

“Tarik nafas … keluarkan pelan, kamu harus rileks, jangan tegang.” Arka memberikan aba-aba. “Mungkin ini akan sedikit membuatmu tidak nyaman, tapi aku janji tidak akan sakit.”

Sasha mengangguk, saat probe perlahan mulai digunakan, ia merasakan sensasi asing tidak sakit, tapi menggelitik.

Lalu, sebuah pijatan lembut dari jari-jari yang dibalut latex menyentuh beberapa tempat di sekitar area kewanitaannya.

Sentuhan lembut yang… bahkan tak pernah ia dapatkan Reno sekalipun!

Pikiran Sasha kalut. Ia sadar, ini hanya pemeriksaaan. Tapi sentuhan-sentuhan yang ia terima memberikan gelenyar aneh ke tubuhnya. Ia seperti meminta lebih!

Sasha, jangan bodoh! Arka itu adik iparmu sendiri!

Di layar monitor, bayangan hitam-putih mulai terbentuk. Bentuk rahimnya muncul, garis endometrium terlihat jelas, lalu Arka dengan sabar menjelaskan apa yang ia lihat.

Sambil menatap layar, Arka menjelaskan, “Rahim dalam kondisi baik, tidak ada tanda kelainan. Folikelnya juga terlihat sehat.”

Sasha mengangguk kecil, ia menyimak setiap apa yang disampaikan oleh Arka, meskipun begitu tetap saja Sasha mempunyai rasa takut.

Arka melanjutnya pemeriksaan lainnya, serta mengatur kunjungan lain. Setelahnya, pria itu menutup bukunya, meletakannya di atas meja. Pria itu menatap Sasha sejenak sebelum akhirnya menghembuskan napas kasar.

“Sejauh ini, tidak ada masalah yang serius,” ucapnya pelan.

“Maksudnya?”

Hening sejenak, Arka menatap lamat-lamat wanita yang ada di hadapannya. mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tatapannya begitu dalam menembus mata dengan manik coklat milik Sasha.

“Yang bermasalah itu … bukan kamu,” jelas Arka pelan nyaris berbisik. Ia menelan sisa kata-kata, lalu menarik diri, seolah sadar sudah melangkah terlalu jauh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   118. KELELAHAN

    “Nggak!Kamu kebangetan, ih!Kenapa nggak berhenti tadi?” keluh Sasha lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh detak hujan yang jatuh di kaca mobil, tubuhnya masih melekat pada Arka, seolah tulangnya belum kembali utuh setelah dua jam terakhir dipaksa menyerah oleh pria itu.Arka terkekeh pelan, suara rendahnya menggetarkan dada Sasha tempat ia bersandar. “Kamu yang minta,” jawabnya santai sambil mengusap punggung Sasha yang masih naik turun menahan napas.“Aku minta cuma sekali,” protes Sasha kecil, pipinya memanas ketika mengingat bagaimana ia sendiri yang akhirnya memohon agar Arka tidak berhenti. “Kamu yang lanjut terus—”“Kamu yang mulai gemeteran dan narik aku lagi,” balas Arka cepat, nada menggoda namun juga manja. Ia menunduk sedikit, menyentuhkan bibirnya pada pelipis Sasha. “Aku cuma ngikutin istri aku.”“Isshhh…!” Sasha mendesis menangg

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   121. KEBAHAGIAN YANG MENGHILANG DENGAN CEPAT

    Serangkaian tes tentang kehamilan Sasha mulai dilakukan dan hasilnya, ia benar-benar positif hamil. Itu jelas membuat Arka yang sejak awal sedikit ragu, tampak terdiam dengan segenap rasa terkejut yang berkecamuk dalam benaknya.“Selamat, Dokter Arka. Istri lo beneran hamil, usia kandungannya tiga minggu. Kondisi tubuhnya cukup stabil, janin juga sehat dan tekanan darahnya bagus. Cuma, tetap jaga pola makan, tidur dan jangan lupa minum vitamin,” ujar Brata, memberikan wejangan pada Arka. Wejangan yang biasanya Arka berikan pada setiap pasien yang datang, kini justru ia dengar sendiri.“Makasih, Brat.”“Sama-sama,” sahut Brata, lantas meninggalkan Arka dan juga Sasha yang masih menikmati momen kebahagiaan keduanya.Arka menggenggam erat tangan Sasha, mengecupnya berkali-kali dan mengucapkan kalimat penuh kebahagiaannya serta rasa syukurnya karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang ayah.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah kasih aku kebahagiaan.” Suara Arka pecah sedikit s

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   117. MENGULANG SEBUAH KISAH

    Arka menahan senyumannya sendiri ketika mendengar permintaan Sasha, terlebih saat melihat wajahnya merah seperti udang rebus.Mobil yang dibawa Arka dengan segera meninggalkan bibir pantai, menuju bukit yang menjadi tempat pertama mereka menyatu dan memiliki hubungan yang jauh hingga sekarang.Disisi lain, setelah bertemu dengan Sasha di sebuah minimarket SPBU, Ratna kembali ke rumahnya dengan perasaan dongkol. Sepanjang perjalanan, tangannya terus menggenggam kemudi terlalu kuat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat benda pertama yang bisa ia remukkan.Sasha yang biasanya menunduk patuh, selalu sopan, selalu meminta maaf bahkan ketika bukan salahnya, tiba-tiba saja tadi berani melawan.Itu bukan Sasha yang Ratna kenal.Bahkan Ratna bisa melihat jelas kalau ada keberanian di mata Sasha. Keberanian yang tidak pernah ada selama bertahun-tahun Sasha menjadi menantunya. Ada sorot yang tidak lagi memohon, tidak lagi takut, tidak lagi merasa ren

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   116. BUKIT NOSTALGIA

    Perjalanan menuju pantai berlangsung lebih hening daripada sebelumnya. Arka berkendara pelan, sesekali melirik Sasha yang hanya memandang keluar jendela tanpa bersuara. Wajah Sasha sedikit murung, seperti ia sama sekali tidak menikmati apa yang terjadi saat ini.Sasha hanya diam menikmati terpaan angin yang menerbangkan setiap helaian rambutnya. Ia masih tenggelam dalam lamunan, sampai ia tidak menyadari kalau Arka sudah memarkir mobil di titik paling dekat dengan bibir pantai.Arka menghembuskan napas lega.“Akhirnya sampai juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Ia melepas sabuk pengaman dan bersiap turun untuk membuka pintu Sasha.Namun Sasha tetap diam, tanpa ada reaksi apa punsama sekali. Hal itu membuat Arka menoleh ke arahnya.Beberapa kali Arka memanggil Sasha masih saja diam dan tidak bereaksi apa pun.“Sayang, kamu kenapa?”tanya Arka cemas.Sasha masih diam. Dan ketika panggilan ketiga,

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   115. ANAK BUKAN SEGALANYA

    Ratna seketika membeku mendengar ucapan Arka. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya kalimat penuh penekanan dan juga penuh ambisi untuk menghancurkannya.Saat tubuh Ratna membeku, Arka menjauhkan wajahnya dari sisi Ratna, namun masih dengan raut wajah yang sama seperti sebelumnya.“Jangan takut, aku tidak akan mengambilnya sekaligus. Mungkin secara perlahan, sampai kalian memasrahkan semuanya sendiri dengan sukarela,” pungkas Arka, lalu beralih pada Sasha yang masih diam di tempat.“Ayo,kita berangkat, Sayang. Maaf, ya, kamu harus mengalami gangguan dari orang yang nggak waras seperti ini,” ucap Arka, seraya menggandengnya pergi meninggalkan Ratna yang masih mematung.Sasha menggandeng Arka, dan sedikit merebahkan kepalanya di lengan Arka ketika melangkah keluar. Arka mengusap pelan pipinya, dengan hati yang bergemuruh menahan kemarahan.Di luar, udara sore yang mulai dingin menyambut mereka.Arka masih menggen

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   114. MENGAMBILNYA KEMBALI

    Ratna menyeringai melihat Sasha yang hanya membeku mendengar semua cercaannya. Beruntung, di dalam minimarket itu tidak begitu ramai dan hanya ada mereka berdua, jadi tidak ada satu pun yang bisa mendengarkan percakapan mereka yang tengah berdebat dengan nada yang ditekan.“Kenapa? Nggak terima? Emang, iya, kan? Arka itu nggak ada otaknya karena harus nikahin perempuan kosong macam kamu. Nggak bisa kasih keturunan, nggak bisa kasih kehormatan, kedudukan, apalagi ngasih yang jauh lebih dari itu.”Sasha menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Senyum tipis mulai terbit di bibirnya, sesaat sebelum ia mulai bicara.“Jadi, menurut Anda, Arka itu nggak punya otak karena memilih perempuan kosong yang nggak bisa berbuat apa pun? Nggak bisa hamil dan sebagainya? Begitu?”“Iyalah, jelas,” sahut Ratna cepat, dagunya terangkat tinggi seolah ucapannya adalah kebenaran mutlak. “Arka itu buta karena kamu. Dia cuma dibodohi sama tampang polosmu. Kalau dia pakai sedikit saja otaknya, dia ng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status