Share

bab 5 Undangan Makan Malam

bab 5

POV Lilis

Pagi ini aku bersiap untuk sarapan, supaya bisa fokus mengikuti pelajaran di sekolah. Sudah ada Ibu dan Ayah di ruang makan. Ayah masih membaca koran, belum memulai sarapannya. Sedang Ibu, menyiapkan sarapan di atas meja.

Terlihat Kak Devan berjalan mendekat. Aku baru ingat kalau rumah ini kedatangan anggota baru. Pipiku merona melihat pemandangan segar di pagi hari. Kak Devan mengenakan kemeja baby blue yang dimasukkan dalam celana hitam formal pas badan, dan rambut hitam yang disisir ke belakang rapi, menambah kesan maskulin dan dewasa.

Wajahku berubah terkejut dan menegang melihat siapa yang berada di belakang Kak Devan, Kak Laras dan suaminya. Mereka ikut sarapan di sini. Tumben sekali. Aku langsung menunduk enggan untuk menatap, melirik pun tak sanggup.

Ayah yang mengetahui gerak-gerikku, mencairkan suasana dengan berdehem. "Cepat duduk dan sarapan! Ada yang ingin Ayah sampaikan pada Laras dan Evan setelah sarapan."

Ketiga orang tersebut langsung duduk. Ayah duduk paling ujung sendiri, karena di sini Ayah sebagai kepala keluarga. Sebelah kanan Ayah ada Ibu, lalu aku, dan Kak Devan. Sedang sebelah kiri Ayah ada Kak Evan dan Kak Laras.

Ayah langsung memulai sarapan diikuti dengan yang lainnya. Kami sarapan dengan tenang. Mungkin masing-masing diam karena memikirkan apa yang akan disampaikan oleh Ayah.

"Evan!" panggil Ayah setelah menghabiskan sarapannya.

"Ya, Ayah," jawab Kak Evan dengan suara baritonnya, sambil melihat Ayah. Dia memang irit saat berbicara, tapi itu malah yang membuat dia terlihat misterius dan berkharisma.

"Hari Minggu, aku mengundang orang tuamu untuk makan malam di sini." Ayah berbicara sambil menautkan kesepuluh jarinya di bawah dagu dengan siku bertumpu di meja.

Kak Laras menghentikan suapannya, dahinya mengernyit mendengar perkataan Ayah barusan. "Tumben, Ayah."

"Hanya jamuan makan malam biasa. Bukankah sudah lama Ayah tidak berjumpa dengan besan Ayah? Laras, kamu dan Evan juga ikut makan malam di sini," kata Ayah dengan santainya.

"Iya, Ayah. Nanti aku sampaikan pada Papa dan Mama." jawab Kak Evan sopan.

Kulihat wajah Kak Laras agak mendung. Mungkin dia memikirkan saat bertemu dengan orang tua Kak Evan, terutama Tante Maya, ibu mertuanya. Kakak kandungku satu-satunya itu pernah cerita kalau dirinya sering ditanya soal anak. Hal itu membuatnya risih, katanya.

Kak Laras juga cerita kalau dia dan suaminya sudah memeriksakan kesehatannya. Hasilnya semua sehat dan subur. Bahkan mereka sudah melakukan program hamil dari setahun yang lalu, tapi apa daya kalau Tuhan belum menitipkan zuriat dalam rahimnya.

Aku tak bisa bayangkan bagaimana perasaan Kak Laras, kalau tahu aku sedang mengandung janin dari benih suaminya. Perutku yang masih tidak enak untuk menerima makanan, ditambah memikirkan hubunganku dengan Kak Laras nantinya seperti apa, membuat nafsu makan ini langsung lenyap.

"Aku sudah selesai." Aku menulungkupkan sendok di atas mangkuk yang berisikan bubur. Makanan khusus untuk aku yang belum benar-benar sembuh.

"Loh, kok, buburnya nggak dihabisin? Setengah mangkuk masih lebih itu," tegur Ibu.

"Perut Lilis masih belum mampu makan banyak, Bu," jawabku dengan tatapan memelas.

Ibu hanya menghela nafas mendengar jawabanku. "Ya, sudah. Tapi, jangan lupa tetap makan saat istirahat sekolah, ya."

"Ya, Bu."

"Aku antar kamu berangkat sekolah, ya, Lis. Kebetulan kita satu arah," kata Kak Devan sambil membersihkan mulutnya dengan tisu.

"Kamu nggak mau berangkat dengan Kakak, Lis?" tanya Kak Laras.

Aku langsung terkesiap, lalu menggeleng. "Aku dengan Kak Devan saja." Itu lebih baik dari pada harus satu mobil dengan mereka. Aku dan Kak Devan menyalami Ayah dan Ibu bergantian serta mengucapkan salam. Kemudian berjalan ke luar menuju mobil Kak Devan.

"Dari dulu Devan pasti memonopoli Lilis sendirian." Samar masih terdengar cibiran Kak Laras.

Sampai di luar, Kak Devan membukakan pintu mobil untukku. Ada perasaan istimewa saat diperlakukan seperti itu. Tapi aku cepat menepisnya, jangan pernah berharap lebih, Lilis. Aku terus menekan batinku.

Sepanjang perjalanan, di dalam mobil kami hanya saling diam. Membiarkan musik menjadi pengantar di perjalanan menuju sekolah. Sampai tak terasa sudah sampai di depan gerbang sekolah.

Aku melepas sabuk pengaman, kemudian menghadap Kak Devan. Belum sempat mulut mengucapkan terima kasih, pria tampan di hadapanku ini sudah berbicara dulu, dengan pandangan masih menatap ke depan.

"Ingat ini! Kamu nggak sendiri, Lis. Sekarang ada aku di sini." Pandangannya beralih ke arahku, menatap dengan pandangan teduhnya. Aku sendiri membalasnya dengan pandangan bingung. Mungkinkah dia sudah tau yang sebenarnya?

"Kalau kamu ada suatu masalah, kamu bisa cerita ke aku. Aku siap menampung semua keluh-kesahmu. Masalah itu tidak akan selesai kalau hanya kamu pendam sendiri. Yang ada malah akan semakin berlarut dan bertumpuk-tumpuk," lanjut Kak Devan.

Aku membuang muka ke arah lain, entah ke mana asal tak menatap wajah Kak Devan. Satu sisi, ada rasa haru atas perkataannya barusan. Di sisi lain, aku merasa menyesal dan tak pantas menerima rasa simpati darinya.

Tanpa terasa bulir bening keluar, membasahi pipi tirus ini. Rasa hangat menyentuh kulit pipi. Kak Devan menggunakan kedua ibu jarinya untuk menghapus air mataku, membuat tangis ini mereda.

Aku menatap wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Seandainya dia tahu kalau aku sedang mengandung anak hasil perk*saan, apa dia masih bersimpati? Atau sebaliknya dia akan merasa jijik?

"Sudah, jangan menangis terus! Mau sekolah, kok, nangis. Nanti temennya pada kabur," candanya.

Sontak aku langsung menghapus air mata dengan kasar, kemudian memukul lengannya, membuat dia berteriak yang dibuat-buat. Berlanjut dengan kita saling lempar senyum.

"Hapus dulu air matamu!" Kak Devan mencabut tisu, kemudian menyodorkannya di depan wajahku.

Aku mengambil tisu itu, lalu membersihkan wajah dari sisa air mata. Tiba-tiba terlintas ide jahil di kepala.

Mencabut tisu beberapa lembar, kemudian menempelkan di hidung. Langsung saja mengosongkan cairan yang ada di dalam hidung sampai bersih. Kak Devan meringis sambil memundurkan tubuhnya.

Aku melempar tisu bekas tadi ke pangkuan Kak Devan, membuat dia terkejut dan berjengit. Spontan mengambil tisu itu dan membuangnya lewat kaca jendela.

"Kamu jadi perempuan jorok banget, sih," sewot Kak Devan.

Aku hanya menanggapi dengan cekikikan.

"Aku sumpahin kamu nggak laku, dan nggak ada yang mau nikah sama kamu!"

Mataku melotot. Enak saja dia bicaranya.

"Jangan gitu, dong. Nanti kalau beneran nggak ada yang mau nikah sama aku, gimana?" kataku dengan cemberut.

"Kalau begitu, aku yang bertanggung jawab nikahin kamu."

Blush ...

Wajahku memanas. Aku langsung menunduk, takut dia melihat wajah ini. Niat mengerjai malah aku yang di gombalin. Cepat-cepat membuka pintu, keluar dari mobil dan juga situasi memalukan ini. Berdiri membelakangi mobil sambil memegang dada yang berdebar-debar.

"Lilis!" panggil Kak Devan.

Aku membalikkan badan. Kaca mobil diturunkan, menampakkan wajah tampan Kak Devan.

"Nanti pulang sekolah aku jemput."

Aku menanggapi dengan mengangguk seraya tersenyum. Setelah melambaikan tangan, kaca pintu mobil perlahan tertutup, kemudian melaju meninggalkanku dengan senyum masih tersungging di bibirku.

"Lilis!"

Deg!

Senyumku memudar. Suara bariton rendah ini ... kenapa dia ada di sini?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status