Share

bab 4 Pelaku Sebenarnya

# Bab4

POV Ayah (Pak Arifin)

Akhir-akhir ini, aku merasa Lilis, putri bungsuku sedikit aneh. Dia jadi pendiam, murung dan lebih suka menyendiri di kamar. Perasaan ini mengatakan ada yang tidak baik.

Dari kecil Lilis paling dekat denganku dari pada ibunya. Tentu saja tahu perubahan sekecil apa pun dari Lilis. Aku harus segera mencari tahu penyebab perubahan dari putri bungsuku ini.

Setelah menyelesaikan pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang, aku menengok putri bungsuku itu di kamarnya. Saat pintu kamar terbuka, kudapati anakku duduk dengan kepala menelungkup di atas meja belajarnya. Ternyata dia tertidur saat sedang belajar.

Aku mengangkat Lilis untuk dipindahkan ke kasur. Tak sengaja menyenggol beberapa buku sampai jatuh. Saat hendak membereskannya, ada benda putih panjang yang menyembul dari salah satu buku. Ternyata dari sebuah buku diary.

Aku tarik benda putih itu. Mataku melebar, jantungku tiba-tiba berdebar kencang, pikiranku sudah kemana-mana. Bagaimana bisa Lilis mempunyai benda seperti ini? Benda yang bernama testpack itu saat diteliti lagi, ternyata ada dua buah garis warna merah muda di sana.

Ya Tuhan ... kumohon, semoga yang aku pikirkan bukanlah sebuah kenyataan. Tidak mungkin Lilis seperti itu. Aku tahu Lilis tidak mungkin terjerumus dalam pergaulan bebas.

Kupandangi wajah polos putriku. Wajahnya pucat, kantung matanya terbentuk dan menghitam. Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan, Nak?

Besok aku akan pulang ke rumah saat jam pulang sekolah Lilis dan bertanya langsung padanya. Jam pulang biasanya rumah masih sepi. Istriku, Ratna masih di mini marketnya, sedang Laras dia sudah tidak tinggal di sini, ikut suaminya.

Aku keluar dari kamar Lilis dengan membawa pikiran bermacam-macam.

Besoknya, sebelum Lilis pulang aku sudah berada di rumah. Dan benar saja rumah masih sepi. Kami tak mempekerjakan pembantu. Akan ada seseorang yang datang pagi-pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian, siangnya sudah pulang. Kalau untuk makanan, istriku yang memasak.

Aku masuk ke kamar Lilis dan kembali memeriksa meja belajar, mencari buku diary milik Lilis. Ketemu. Aku tak ingin membacanya, karena itu privasi anakku, meskipun aku Ayahnya.

Kugoyang-goyangkan buku ini sampai benda yang tak kuharapkan jatuh. Berharap semalam hanya mimpi saja, namun semuanya memang kenyataan. Mengambil testpack itu, kutatap dengan nanar. Tubuh ini lemas seketika, menjatuhkan bobot di atas kasur.

Terdengar suara pintu terbuka, Lilis sudah pulang. Aku melihat gerak gerik Lilis dari sini. Sesaat dia baru sadar kalau ada orang yang duduk di atas kasurnya.

Dia mendekat dan menyalami tanganku. Aku masih diam saja, mencoba menetralkan emosi dan pikiran. Lalu bertanya semua yang ingin aku tanyakan padanya.

Aku begitu terkejut, mengetahui bahwa memang benar testpack itu milik Lilis. Milik putri bungsu kesayanganku. Yang membuat tak habis pikir ialah ayah dari janin itu laki-laki yang sudah beristri.

Terkejut, kecewa, marah bercampur jadi satu. Apa yang salah dalam diri ini saat mendidik anakku? Bagaimana bisa sampai hamil di luar nikah? Bahkan usianya belum genap tujuh belas tahun.

Aku terus mendesak agar Lilis menceritakan semuanya, agar aku bisa mengambil keputusan. Saat Lilis akan menyebutkan nama laki-laki itu, tiba-tiba saja jatuh pingsan. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Bagaimanapun dia masih putriku dan tak ingin sesuatu terjadi padanya.

Kebetulan sekali seorang dokter sedang berjalan ke arahku. Refleks langsung mendekatinya.

"Meta?" Aku terkejut ternyata dokter itu teman lamaku.

"Arifin? Kamu Arifin?" Dokter Meta pun tak kalah terkejut. "Kamu apa kabar? Sedang apa di sini?"

"Aku baik." Aku berbicara langsung ke intinya. "Aku mohon, dokter. Tolong periksa keadaan putriku," pintaku dengan memelas.

Kulihat wajah Lilis begitu pucat dan pipinya yang biasanya tembem, kini terlihat tirus. Baru aku sadari saat membopongnya tadi badannya terasa ringan. Apa dia tidak makan dengan benar?

"Putrimu?" Dokter Meta melihat ke arah pandanganku. "Baik, akan aku tangani segera. Kamu tenang saja dan tunggu di luar."

Dokter Meta langsung membawa Lilis ke ruangan, aku dilarang masuk dan menunggu di luar ruangan dengan cemas. Merogoh gawai di saku celana, ingin kuhubungi istri dan anak sulungku. Tapi, ku urungkan niat itu, sebelum semuanya jelas. Kembali memasukkan gawai ke saku.

Pintu terbuka, aku langsung menghampiri Dokter Meta. Sepertinya dia agak ragu ingin menyampaikan.

"Bagaimana, Dok?" Aku membuka pembicaraan duluan.

"Apa putrimu masih di bawah umur?" tanyanya hati-hati.

"Ya, dia masih enam belas tahun. Bagaimana keadaannya?"

"Dia ...."

"Katakan saja bagaimana keadaannya. Saya sudah tahu tentang kehamilannya," ucapku menjelaskan seakan dia takut menyinggung perasaanku.

Dokter yang juga teman lamaku itu menghela nafas panjang. "Tekanan darahnya sangat rendah, sepertinya dia mengalami depresi. Mungkin karena menyembunyikan kondisinya, sehingga kesehatan tubuhnya dan janin tidak terpantau. Dia harus dirawat inap sampai kondisinya membaik. Yang dibutuhkan putri bapak saat ini, ialah dukungan moril dari orang terdekatnya. Nanti saya juga akan berikan vitamin untuk menguatkan janinnya." Aku terdiam mendengar penjelasannya.

"Aku turut prihatin. Kamu yang sabar. Terus beri dukungan untuk putrimu. Jangan mengucilkannya," sambung dokter itu lagi. Ucapan dokter itu seakan menampar diri ini. Aku ingat akhir-akhir ini aku jarang memperhatikan Lilis.

Setelah mendengar penjelasannya dan mengucapkan terima kasih, aku langsung masuk ke ruangan di mana Lilis di rawat.

Lilis sudah sadar, gegas kuhampiri dia. Setelah melihat kondisinya membaik, aku meminta dia menceritakan kronologinya. Terlihat tubuhnya menegang saat dipaksa untuk menceritakan semua.

Kuberikan dia pengertian pelan-pelan berharap bisa membuat dia tegar. Walau tak dipungkiri ada rasa kecewa dalam diri ini. Diusia remaja sudah kehilangan kegadisannya, bahkan sampai mengandung.

Sampai dia menyebut nama orang yang sudah berbuat bejat padanya, amarahku memuncak. Tanpa sadar rahang ini mengeras, dan tanganku yang mengepal.

"Evan ..." desisku geram.

"Kapan dan di mana dia melakukan itu padamu?" tanyaku buru-buru.

"Ayah ingat saat Ayah, Ibu dan Kak Laras ke tempat Budhe Rara untuk menjenguk suaminya, Pakdhe Riyanto yang sedang sakit?"

Aku mengangguk.

"Saat itu Kak Evan datang karena dihubungi oleh Kak Laras untuk datang ke rumah dan menjagaku. Karena cuaca sedang hujan lebat dan ada petir. Ayah, Ibu dan Kak Laras terpaksa menunda kepulangan dan menginap di sana."

Emosiku menurun berganti dengan perasaan yang tidak enak.

"Saat itulah Kak Evan melakukannya. Di kamarku, di atas kasurku, tempat yang menjadi privasiku, Yah. Setiap malam aku harus teringat kejadian yang sangat menjijikan itu, Yah. Hiks ..."

Aku meneguk saliva dengan susah. Saat itu aku yang menyuruh Laras untuk menghubungi Evan agar pergi ke rumah untuk menengok gadis bungsuku. Cuaca saat itu benar-benar buruk, hujan deras dan petir.

Aku langsung memeluk Lilis. Memberikan kekuatan dan menyembunyikan raut wajah penyesalanku. Andai aku tak menyuruh Evan ke rumah saat itu ... ah, aku harus melakukan sesuatu. Maafkan Ayah, Lilis.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status