Share

Adikku Ingin Jadi Artis
Adikku Ingin Jadi Artis
Author: Izza Maryam

Bab 1: Berteman Hujan

'Kak, cepat pulang, aku lapar !' Bunyi pesan yang dikirim adikku lewat aplikasi hijau.

'Sebentar lagi ya, ini masih antri, kamu bisa masak sendiri kan' jawabku balik.

Aku yang masih dalam posisi berdiri melihat ke arah meja depan, dimana salah satu karyawan masih sibuk mencatat barang konsumen yang harus dikirimkan lewat jasa ekspedisi ini.

Di luar cuaca panas, matahari terasa menampakkan dirinya dengan gagah, namun tak membuatku takut jika kulit ini terbakar atau hitam dibuatnya. Panas dan hujan sudah menjadi temanku dalam menjemput Rezeki yang telah Allah berikan. Aku menghitung antrian dari depan, tinggal 5 orang lagi baru giliranku, sebenarnya bisa saja paket ini kutinggalkan dan meminta pihak ekspedisi untuk mengirimkan nomor resinya, tapi rasanya aku kurang percaya nomor resi itu akan cepat dikirimkan, sedangkan konsumenku meminta sesegera mungkin. Apalagi buat aku yang masih baru mencoba berjualan online. Mencari kepercayaan pembeli adalah hal yang utama.

'Pokoknya aku gak mau tau, Kaka harus pulang cepat dan masak buat aku, kalau tidak aku tidak mau jaga ibu lagi, capek tau !' Pesan balasan dari Lula.

Aku menghela nafas panjang, Lula selalu saja mengancamku dengan tidak mau menjaga ibu, jika keinginannya tidak dipenuhi. Aku tidak mungkin membiarkan ibu sendirian, apalagi dengan kondisi mental ibu yang mengalami gangguan jiwa. Pernah sekali aku lalai menjaga ibu, ia pergi keluar rumah dan berlari ke arah lapangan sambil bernyanyi-nyanyi, kadang ia menangis, kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat ia dikerumuni anak-anak yang meneriaki nya dengan sebutan "ada orang gila … orang gila …".

Aku yang melihat itu langsung berlari menuju ibu, dengan air mata yang hampir pecah kupegang ibu, dan kuajak ia pulang kerumah.

Kejadian itu selalu saja mampu membuatku menetes. Aku menyeka air yang ternyata sudah melebur di bagian sudut mata, aku segera melap wajah ini dengan jilbab yang kupakai, agar tak ada orang lain yang melihatnya.

'Iya, sebentar lagi Kakak pulang, tolong jaga ibu.' Kukirim pesan itu kepada adikku Lula, berharap ia mengerti akan keadaanku sekarang.

Tak ada balasan dari Lula, semoga saja Lula bisa menjaga ibu dengan baik. Meski sifatnya yang kasar, aku yakin ada kebaikan hati yang masih tersimpan di dalam jiwa Lula. Mungkin suatu saat nanti ia akan menyadarinya.

Akhirnya, setelah lumayan lama berdiri, tiba giliranku untuk maju ke bagian depan, aku memberikan paket kepada pegawai ekspedisi yang bertugas untuk mencatat.

"Ini isi paketnya apa Bu?" tanya mba yang memakai seragam Kirim.com

"Isinya baju dan jilbab, Mba."

"Ini bayar ongkirnya di sini, atau di sana aja Bu ?"

"Disini aja Mba, berapa?" tanyaku langsung.

"Ke daerah Kalimantan Tengah ya Bu, ongkirnya 25 ribu Bu"

Aku menyodorkan uang pas 25 ribu, lalu tak lama kemudian nomor resinya di cetak, dan di berikan kepadaku.

"Terima kasih Bu sudah menggunakan jasa Kirim.com, sebagai informasi kami sekarang mempunyai layanan jemput dan antar paket, sehingga jika Ibu ada kesibukan, Ibu tidak perlu kesini, nanti kurir kami yang akan mengambilnya" jelas karyawati yang bertugas melayaniku tadi.

"Iya, terima kasih banyak." 

Aku berdiri dan berjalan keluar, kuletakkan nomor resi tadi di dalam tas. Setelah berada di luar, cuaca yang tadinya panas, kini berubah menjadi mendung, aku bergegas mengambil sepeda yang terparkir di deretan motor, lalu mengayuhnya secepat mungkin agar aku tak kehujanan, dan segera sampai rumah. 

Namun takdir berkata lain, hujan turun dengan derasnya, aku terus mengayuh sepeda, setiap air nya jatuh membasahi tidak hanya  jilbab dan baju namun seluruhnya.

Sebenarnya bisa saja aku berhenti dan berteduh, namun aku khawatir dengan keadaan ibu, dan jika aku lebih lama lagi sampai rumah Lula bisa marah besar, dan aku tak ingin hal itu terjadi. Biarlah hujan ini menjadi saksi tiap butir keringat dan air mata yang menetes ke bumi, setidaknya saat aku menangis di atas deretan hujan yang jatuh, tak ada seorangpun yang tau kalau aku sedang menangis.

Dari kejauhan, aku sudah melihat rumahku yang kecil, namun di sanalah aku dan adikku dibesarkan. Rumah pemberian dari nenek sebelum ia meninggal dunia menjadi satu-satunya harta yang kami miliki. Namun bagiku ibu dan Lula lah harta yang paling berharga di dunia ini.

Aku meletakkan sepeda di samping rumah, dan bergegas masuk. Kuketuk pintu yang terbuat dari kayu, warnanya yang kusam termakan usia dan cat yang pudar mendominasi pandangan saat melihatnya.

"Assalamualaikum," sapaku.

Tak ada jawaban dari dalam rumah, lalu terdengar suara piring  yang terjatuh, dan membuat bunyi seperti kaca yang pecah. Kekhawatiranku semakin besar, aku mengetuk pintu secara beruntun dan keras, agar terdengar oleh Lula.

Trik itu ternyata berhasil, pintu langsung dibuka, nampak wajah Lula yang begitu kesal, mukanya masam dan cemberut. Aku langsung masuk ke rumah, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat pecahan piring kaca berserakan di sekitar tempat tidur ibu.

"Lula, ini kenapa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status