Share

Bab 2: Bungkusan Dari Dimas

Lula memandangku dengan mata menyipit, rupanya pertanyaanku membuatnya sedikit jengkel.

"Ibu tadi merengek minta makan, kukasih nasi sama garam saja, kusuruh langsung makan, eh malah dilempar" jawabnya seolah tak bersalah sama sekali.

"Kenapa tidak kamu bersihkan? Kan kamu sudah tau kalau ngasih Ibu makan jangan pakai piring kaca!"

"Ngapain membersihkan, Ibu yang salah, Kakak aja sana yang bersihkan, satu lagi masakan lauk untuk aku makan !" perintahnya bak seorang raja.

"Astaghfirullah, ini Ibu kamu juga Lula, kan Kakak sudah masak tempe sama telur, kenapa tidak dimakan? Ibu kenapa kamu kasih nasi sama garam aja, kasian Ibu," sahutku, sambil mengelus dada atas perlakukan adikku.

"Siapa juga yang mau jadi anak orang gila, dan satu lagi Kak, aku bosan makan telur sama tempe, aku mau ayam goreng!" bentaknya dengan setengah berteriak.

Lula beranjak pergi dan masuk ke kamarnya sambil membanting pintu. Aku yang melihat ibu yang tertawa melihat kami lalu memainkan jari-jari di tangannya sambil berkata "lapar … lapar."

Sungguh pemandangan yang membuat hatiku terasa teriris. Khawatir jika ibu terkena pecahan kaca piring, aku langsung membersihkannya dengan keadaan baju yang masih basah karena belum sempat menggantinya. Setelah kurasa sudah bersih, aku menghampiri ibu, mencium punggung tangannya yang begitu kasar. Mungkin dulu ibu seorang perempuan pekerja keras.

"Bu tunggu Dinda ganti baju dulu ya, nanti Dinda suapin," aku mengelus rambut ibu yang tampak urak urakan, rupanya Lula tidak menyisir rambut ibu hari ini. Tak ada jawaban dari ibu atas pernyataanku. 

Setelah mengganti pakaian, aku menyiapkan makanan untuk ibu, menu sederhana nasi dengan lauk telur dan ditambah satu potong tempe.

Ggruuukk.

Perutku berbunyi, rupanya ia juga meminta haknya untuk diisi. Aku mengelus perut seolah berbicara padanya untuk bersabar.

Kusuapi ibu, ia tampak lahap mengunyah tiap suapan yang aku berikan. Setelah selesai makan, ibu bertepuk tangan dan tertawa, seakan ia ingin mengabarkan ia senang karena perutnya sudah kenyang.

Suara musik terdengar nyaring dari kamar Lula, aku menghampiri kamarnya, dan berbicara di balik pintu. Aku memintanya untuk mengecilkan bunyi musiknya, supaya ibu bisa istirahat. Namun perkataanku tak di dengar, semua hanya lewat begitu saja.

Aku berjalan ke dapur untuk mengambil makanan mengganjal perut yang sudah mulai demo sejak tadi. Sambil mengecek handphone siapa tau ada konsumen baru yang mau membeli barang daganganku.

Mataku lalu tertuju pada status Lula di akun aplikasi hijaunya.

"Punya saudara tidak bisa diandalkan, ingin segera jauh dari rumah yang seperti neraka ini," bunyi status Lula.

Kata-katanya mampu menusuk ke dalam relung hati, sakit tapi tak berdarah, hanya karena aku tak mampu memberikan menu makanan ayam goreng dia tega membuat status seperti itu. Dadaku begitu sesak, nasi di piringku kini bercampur dengan air mata yang sudah menetes.

Andai Aku punya uang lebih, aku pasti membelikan ayam goreng keinginannya, tapi hari ini aku hanya mendapatkan uang 15 ribu itupun dari hasil aku membantu Bu Minah mengangkat belanjaannya dari pasar pagi tadi. Sedangkan uang dari hasil jualan online masih belum bisa kuambil, karena aku belum punya ATM. Membuka rekening bank pun baru beberapa hari yang lalu.

Tiba-tiba Lula datang menghampiriku ke dapur, ia berdiri dengan tatapan tajam ke arahku.

"Kak, besok aku minta uang 50 ribu, buat beli skincareku habis"

Aku tak langsung menjawab, bagaimana mungkin aku mengiyakan, sedangkan uangnya belum ada di tanganku.

"Jika Kak Dinda tak mau mengasih, besok aku gak mau jaga Ibu," ancam nya.

Lagi-lagi ancaman itu yang kudengar, lelah rasanya fisik dan jiwa ini.

"Insya Allah, nanti Kakak usahakan jika ada"

"Harus ada !" Lula membuang muka dan langsung pergi meninggalkanku dengan pikiran yang begitu kalut.

"Ya Allah kuatkan hambaMu ini, hamba yakin Kau tak kan menguji hamba di atas kesanggupan hamba, hamba percaya setelah kesulitan pasti ada kemudahan," batinku seolah memotivasi diri untuk terus kuat meski tak sekuat batu karang, aku pun kadang bisa tumbang.

Hujan tampak reda, tak ada bunyi air jatuh lagi yang terdengar di atas seng rumah. Sembari menemani ibu, aku belajar bisnis jualan online dengan cara menjadi reseller hijab dan gamis merk Zafina yang lagi trend.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar, aku beranjak pergi untuk membukakan pintu, kuputar gagang yang sudah tak terkunci, suara salam yang khas dari seorang yang kukenal.

"Waalaikumussalam," sahutku dari balik pintu.

Setelah pintu terbuka, dugaanku benar pemilik suara itu adalah Dimas.

"Mas Dimas," kataku dengan ekspresi setengah terpana.

"Maaf mengganggu Dinda, ini ada oleh-oleh dari Mekkah titipan Umi," tuturnya dengan santun sambil memberikan bungkusan plastik yang ada di tangannya. Ia berbicara dengan tatapan mata menunduk. 

Melihat Dimas di depanku, dadaku terasa bergemuruh, jantungku berdetak semakin kencang dan tak berirama. Mataku tak sanggup untuk menatapnya terlalu lama, wajahnya yang teduh membuatku tak mampu berkata banyak.

Dimas lelaki yang sempat kukagumi, karena kesholehannya, ia seorang Hafizh Qur'an, lulusan terbaik salah satu universitas terkenal di Jakarta, dan sekarang bekerja sebagai pengajar di pesantren Nurul Jannah, siapa yang tak suka dia, lelaki yang sopan, berkata lemah lembut, dan bijak. Bak langit dan bumi denganku, seorang perempuan miskin, Lulusan SMA, dan tidak hafal Al-Qur'an kecuali baru juz Amma. Aku sadar levelku dan Dimas sangat jauh, jadi tak seharusnya aku menginginkannya, kubuang jauh pikiran itu, Dimas tentu memilih istri yang sebanding dengan dirinya.

"I … iya Mas terima kasih, titip salam buat Umi," sahutku hampir tergagap.

"Insya Allah, aku pamit pulang Din, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Setelah Dimas tak terlihat lagi dari pandangan mata. Kututup kembali pintu dan membuka bungkusan plastik yang tadi diberikannya, ternyata berisi kurma, kismis, air zam-zam, kacang Arab, coklat, dan tasbih, serta siwak.

"Alhamdulillah, Ibu pasti suka kurma," suara batinku.

"Siapa tadi?" Celetuk Lula yang ternyata sudah berdiri di depan kamarnya.

"Mas Dimas," sahutku spontan.

"Kenapa gak bilang kalau Mas Dimas ke sini, kan biar Lula yang bukain," gerutu Lula dengan wajah sedikit kesal.

"Mana Kaka tau kalau itu Mas Dimas."

"Apa itu?" Lula menunjuk bungkusan plastik yang tadi diberikan oleh Dimas.

"Ini oleh-oleh dari Mekkah, yang tadi diberikan Mas Dimas."

"Pasti buat Lula kan," sambungnya dengan percaya diri.

"Bukan, buat kita semua."

"Ah … itu kata Kaka kan, sini buat Lula." Ia mencoba mengambil isi bungkusan plastik itu dari tanganku secara paksa.

"Kita makan sama-sama ya, Ibu juga suka kurma," sahut ku dengan pelan.

"Malas ah makan sama kalian, ya sudah buat kalian aja, aku gak jadi."

"Kenapa gitu Lula, kita kan keluarga."

"Itu menurut Kaka, menurut aku bukan," jawabnya ketus sambil memalingkan muka.

________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status