"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya, sok pintar.
Ini, tipe orang yang sekolah hanya datang lalu pulang. Ilmunya nggak nyampe di benak. Bisa-bisanya mengatakan pekerjaan rumah tangga adalah kodrat wanita. Apa dia tidak tahu apa itu kodrat?
"What? Belajar ilmu agama dari mana kau rupanya?" tanyaku, melihat sinis ke arahnya. Aku menarik napas kasar. Menjelaskan padanya butuh tenaga ekstra. Apalagi dengan manusia sejenis kadal.
"Mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, itu bukan kodrat wanita. Keong sawah! Kodrat wanita itu, hanya ada 4. Menstruas*, hamil, melahirkan dan menyusui. Selebihnya itu, bukan kodrat!" imbuhku menjelaskan. Agar lelaki seperti dia tau mana kodrat, mana bukan.
"Nggak usah mengguruiku, kau!" sungutnya berkacak pinggang. Napasnya kembang kempis, sepertinya menahan amarah.
Mau berdebat sampai gimana, tetap gue jabani! Loe jual gue beli!
"Lah, kau itu o*n, atau beg*? Ngatain aku bod*h. Taunya diri sendiri yang bod*h. Kau tau apa itu kodrat?" tanyaku meremehkan. Mas Dendi diam tak menjawab, bibirnya terkatup rapat. Ya, pasti dia tidak tahu apa itu kodrat.
Kurasa dulu, waktu sekolah, dia tidur aja kerjaannya. Makanya, tak tau apa-apa.
"Kodrat itu, adalah sesuatu yang ditetapkan oleh tuhan yang maha esa, sehingga manusia tidak mampu untuk merubah atau menolaknya. Sedangkan mencuci, memasak dan membersihkan rumah, lelaki pun bisa melakukannya. Sampai di sini paham kau?" sambungku menjelaskan sejelas jelasnya. Agar dia tak salah tanggap lagi, dan terbuka juga mata hatinya, jangan tertutup terus oleh egonya.
"Ah, terserah kau lah itu. Yang penting cuci bajuku dan Rama. Terus bersihkan juga rumah!" ucapnya memerintah. Seperti bos, tak bisa dibantah.
Yang buat berantakan siapa! Yang suruh bereskan siapa!
Sabar Melia, perhiasanmu yang dijualnya belum dikembalikan. Buat saja dulu dia darah tinggi tiap hari, biar makin stres. Ujar sisi baik dalam hatiku.
"Eiiittsss. Berani bayar berapa kau? Aku pula disuruh bersihkan, kalian yang bikin berantakan!" seruku padanya, dan berhasil membuatnya membelalakkan mata. Mungkin dia kaget, melihatku tak mau menuruti perintahnya.
Kubuat dulu kau senam jantung tiap hari. Biar kena struk ringan, hahahah.
Baru setelah struk, kucampakkan!
"Jadi, apalah fungsimu di rumah?" tanyanya menggebu.
"Nggak usah kau tanya apa fungsiku! Pikirkan dulu apa fungsimu sebagai suami!" Aku membalikkan ucapannya dengan santai.
"Fungsiku, bekerja mencari uang," jawabnya semakin darah tinggi.
"Mencari uang untukmu dan keluargamu sendiri kan?" sindirku, dan berhasil membuatnya salah tingkah.
"Kan untukmu juga!" sanggahnya, berusaha mengendalikan diri. Pintar kali ngelesnya.
"Untukku sejuta itu? Kau pikir cukup untuk kita hidup? Belum lagi untuk bayar bulanan kredit rumah ini! Kau cari sajalah pembantu, untuk masak dan membersihkan rumah. Biar tau dulu kau berapa pengeluaran untuk semuanya." Aku udah muak melihatnya. Andai perhiasanku sudah dikembalikannya ... Hufttt...
"Untuk apa ada kau kalau sampai pake pembantu!" serunya galak.
"Apa bedanya sama kau? Untuk apa ada suami, kalau sampai aku cari uang sendiri? Udah cari uang sendiri, kalau belanja kurang, aku yang nambahi. Kerjaan rumah juga aku yang ngerjain, enak kali lah hidupmu itu!" Aku berhenti sejenak untuk menarik nafas. Naik pula gula darahku dibuatnya.
"Kalau nggak, kita tukar peran aja! Aku kerja cari duit. Kukasih kau uang satu juta untuk keperluan di rumah selama sebulan. Kau bersihkan rumah, masak mencuci, dan kerja untuk menambahkan kekurangan kita. Sekalian kau bayarkan uang kreditan rumah ini. Sanggup nggak kau?" sambungku menantangnya.
"Kau itu! Sebagai istri, selalu saja membangkang dengan ucapan suami. Apa kau lupa? Surga istri itu ada pada suami. Mau kau masuk neraka karena aku nggak ridho?" cerocosnya.
Beneran, deh! Pengen kulempar mulutnya pakai brus yang kupegang. Aku masih menghargainya sebagai suami. Jadi kuurungkan niat itu.
"Hey! Apa kau rupanya panitia surga? Sampai butuh ridho darimu untuk masuk surga! Lagian, surga istri memang ada pada suaminya. Tapi, suami seperti apa dulu! Kalau suaminya macam kau, yang ada aku ikut masuk neraka. Sholat, ngaji, amal aja nggak pernah kau! Tiap pulang kerja selalu ke warung tuak, bisa pula bilang surgaku ada samamu! Nggak malu kau sama kelakuan!" ejekku, wajah kubuat menjengkelkan.
"Durhaka kau sama suami!" hardiknya.
"Kau lebih durhaka sama istri," sahutku enteng.
"Ahhh! Udahlah. Mau kerja aku! Yang ada gila aku, meladeni kau bicara," ucapnya, lalu menghilang. Tak lagi kulihat dia di depan pintu.
Hahahah. Kehabisan kata-kata dia makanya menghindar. Mamak medan kau lawan! Habislah kubuat.
Mamak medan ini bung! Bukan kaleng, kaleng. Satpol Pp berteduh aja diusir, apalagi benalu macam kau!
Aku meneruskan pekerjaanku yang sempat tertunda akibat perdebatan sengit antara Mas Dendi dan aku.
Setelah selesai menjemur pakaian. Aku kembali masuk ke dalam rumah. Ternyata, masih sama seperti tadi pagi saat aku melihatnya. Berantakan!
Rama tiduran di depan tv, kaki dia taruh di atas loudspeaker kecil di samping tv. Rokok tak lepas dari bibirnya, abu dari rokoknya berserakan di tikar mahalku.
Berati dia belum bekerja. Bukannya pergi mencari pekerjaan! Ehhh, malah enak-enakan dia bersantai seperti di pantai.
Hemmhh. Cari masalah rupanya dia denganku. Dapur tidak dibersihkannya, pakaian hanya ditumpuknya kembali kedalam ember, ruang menonton tv penuh dengan sampah, kok bisa dia dengan santainya menonton. Kau lihat dulu jurus mengusir kuman parasit dari depan tv.
Gegas kuberjalan menuju saklar. Jika dimatikan dari sini, pasti dia bakal kabur dari ruang tv itu.
Ctak!
Listrik berhasil kupadamkan di rumah ini. Tv pun spontan mati. Kulihat Rama beranjak dari tidurannya. Dia pergi dan masuk ke dalam kamar.
BLAMM!
pintu kamar ditutupnya dengan sekuat tenaga.
"Wooiiii! Sopan sikit kau numpang di rumah orang!" teriakku dengan suara membahana. Tidak ada sahutan darinya.
Mungkin dia sedang meratapi nasib mempunyai ipar sepertiku. Biarkan saja aku bersikap seperti kakak tiri. Karena dia juga tak tahu diri.
Aku mengamankan tikar mahalku, bersihkan lalu masukkan kedalam gudang. Mulai sekarang, semua barang-barangku akan kuamankan ke dalam gudang. Agar tak dirusak oleh benalu itu.
Jangan tanya kenapa aku bertahan dengan suami dan adik ipar seperti itu. Karena jawabannya pasti cuma satu.
Perhiasanku belum dikembalikannya. Aku tidak ikhlas bila Mas Dendi tidak memulangkan hasil keringatku sebelum menikah.
Aku dengan susah payah mengumpulkan uang, bekerja pontang panting demi membelinya. Dan sekarang aku harus melepaskannya begitu saja! Maaf ferguzo. Hidup ini tak segampang yang kau fikirkan!
Boleh komen marah. Tapi disensor ya..
Trimakasih semuanya.
"Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan
Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.
"Lelaki itu, adiknya Dendi, Dek?" tanya suamiku, melihat kepergian dua makhluk yang tak bisa disebutkan jenisnya itu."Iya," jawabku singkat padat dan jelas.Malas bahas manusia tak tahu diri itu. Bikin nambah dosa aja."Kok, mereka tega sih, main belakang begitu?" tanyanya lagi.Kok tumben suamiku ini mengurusi kehidupan orang. Kalau aku sih malas."Nggak tau, Bang. Mungkin mereka dibutakan oleh hawa nafsu. Ah, udahlah, malas bahas mereka. Ayo, kita balik ke penginapan aja." Aku menarik tangannya pelan dan membawanya berjalan menuju tempat istirahat kami.Gara-gara ketemu mereka jadi bad mood deh. Hemmmm...Udah nggak semangat untuk jalan-jalan. Pengen cepat pulang aja deh."Abang, udah dapat rumah yang pas untuk kita pindah, Dek!" ucapnya saat kami masih melangkahkan kaki beriringan.Syukurlah, akhirnya bisa menjauh dari mereka semua yang selalu bikin rusuh.Berjalan sambil mengobrol begini, setidaknya bisa mengurangi rasa jengkelku pada Rama dan Ratna.Mereka yang ketahuan selingku
Tak salah lagi. Itu memang Ratna. Dia melihat ke arahku, dan Aku sepontan menutup sebagian wajah dengan menggunakan hijab yang menjuntai. Sengaja membentuknya seperti cadar agar dia tak mengenaliku.Nanti, dia berpikir pula kalau aku sengaja membuntutinya. Padahal, nggat tau sama sekali kalau dia juga sedang berada di sini. Dan parahnya bersama adik iparnya sendiri.Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku, dengan Ratna yang bersandar pada bahu Rama.Kalau Bang Ilyas datang ke sini, bisa hancur penyamaranku ini.[Abang, tolong ke penginapan dulu, ambilkan jaket. Adek sedikit kedinginan nih!] aku mengirimkan pesan pada suamiku. Sengaja mengulur waktu agar tak bertemu dengan kedua manusia lucknut ini.[Oke, sayang. Ditunggu, jangan kemana-mana.] balasnya.Kedua makhluk tak tahu diri itu terus berjalan mendekat ke arahku. Kebetulan, bangku yang kududuki masih luas dan kosong.Tamatlah riwayatku. Mereka duduk di sampingku. Sekitar satu meter dari tempat dudukku."Aku, terlalu bosan denga
Aku tersenyum saat suamiku menyentuh tanganku. Aku tau kalau dia tidak suka aku berdebat dengan tantenya."Jangan Marah gitu dong, tan. Aku kan cuma bercanda. Jangan dibawa serius ah!" kilahku."Halah! Nggak usah banyak kali alasanmu!" serunya emosi."Udah tante, jangan emosi. Nanti naik loh, gula darahnya! Ayo, Bang. Kita berangkat!" Aku mengalihkan pembicaraan, karena yakin Bang Ilyas tak suka dengan pertdebatan kami."Abang, masih lama menginap di rumah tante?" tanya Saras memulai percakapan, setelah beberapa saat terdiam."Belum tau, kenapa?" tanya suamiku."Nggak apa. Kalau masih lama, aku kan bisa main lagi ke sana," ujar Saras."Kayaknya, kalau nggak besok atau nanti sore, kami udah pulang sih, Ras. Soalnya pengen honeymoon!" Aku ikut menanggapi obrolan mereka.Padahal, tak ada rencana honeymoon. Ini hanya alasan biar si Saras semakin kepanasan. Dia pasti tak suka melihatku menikmati hidup bersama suamiku.Bang Ilyas menoleh ke arahku. Wajahnya seperti ingin bertanya. Karena se
"Eeehhh. Mau ngapain, Bang?" Aku terus beringsut mundur saat Bang Ilyas mendekat."Mengulang yang tadi malam," ucapnya santai."Isshhh. Udah terang gini. Nanti dipanggil sarapan sama yang lain gimana?" protesku, mencoba mendorongnya."Udah, biarkan aja mereka sarapan duluan." Dia tetap kekeuh melanjutkan aksinya.Ngeyel banget sih, Bang!Tok! Tok! Tok!"Ilyas! Ayo sarapan!" panggil Mama.Bang Ilyas menghentikan aksinya dan mengacak rambutnya asal."Hmmm... Mama datang di saat yang tidak tepat. Padahal anaknya sedang berusaha memberikannya cucu!" omel suamiku lucu sekali. Aku cekikikan melihatnya."Nanti Ilyas dan Melia menyusul. Mama dan yang lain, lanjutkan aja sarapannya!" ujar suamiku dengan sedikit berteriak."Nggak bisa dong, Nak. Tante Yulia dan Saras akan pulang pagi ini. Jadi kita sarapan bersama dulu!" ujar Mama lagi. Wah, ternyata mereka tahu diri juga. Kupikir mau sampai aku dan suamiku pergi dari sini, baru mereka pulang.Tak perlu lah, tarik urat sepanjang hari. Karena p