Share

Bab 5 Kodrat Wanita

Aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci gudang. Mas Dendi sudah tidak lagi mengikutiku.

Biarkan saja mereka berdua kelaparan. Masa lelaki tidak bisa berpikir dan berusaha untuk mengisi perutnya. Mau hutang kek, mau mencuri kek, terserah!

Entah pernikahan apa yang kujalani saat ini. Sepertinya sudah sangat jauh dari kata harmonis.

Setelah mengambil kunci, aku berjalan keluar melewati ruang tamu. Kebetulan pintu gudang hanya bisa dibuka dari depan. Bangunan berukuran 3x4 meter hanya memiliki satu pintu di depan. Cukuplah untuk menampung barang daganganku.

Mas Dendi dan Rama duduk dengan bibir dimonyongkan di sofa. Mungkin sebal karena tidak kuberi uang untuk membeli makanan.

Kulewati saja mereka setelah meliriknya sekilas. Pekerjaanku lebih penting dibandingkan mengurusi mereka berdua. Udah tua ini 'kan! 

Aku membuka gudang lebar, agar bisa memaskukkan barang dengan leluasa. Di dalam juga sudah sangat banyak pakaian yang belum diambil oleh reseller. Mungkin sore ini mereka akaan mengambilnya.

Aku memakai sistem bayar dulu, baru ambil barang. Karena takut juga digelapkan. Zaman sekarang, semua butuh uang. Jangankan orang lain, saudara sendiri juga tega memakan kita. 

Jika urusan uang, tak ada yang namanya saudara. Bisnis, ya bisnis. Memberi, ya memberi. Tidak bisa bisnis, dikaitkan dengan saudara.

Kadang ada saudara ambil barang sama kita, mereka bilang hutang dulu, nanti ada uang baru dibayar. Ditunggu sampai seminggu, sebulan, setahun. Tak ada kepastiannya.

Jadi, jika kita dagang, meskipun dengan saudara sendiri, jangan diberi hutang. Kecuali memang orangnya bisa dipercaya.

Ah, kok jadi ngelantur, sih!

Setelah membuka pintu, aku berjalan ke arah sepeda motor untk menurunkan barang.

Susah sekali, karena terlalu padat isi karungnya. Dengan susah payah aku menurunkannya. Beginilah perjuangan berjualan online.

Lihatlah suamiku yang paling tampan sedunia, sudah tau istrinya kesusahan, dia tidak mau datang membantu. Sama seperti adiknya yang hanya menonton aku kesusahan. Giliran uang saja, dia minta nomor satu. Haaahhh! Sabar Melia, orang sabar rezekinya lebar ... Bisik hatiku.

Kuseret karung yang sudah jatuh ketanah menuju gudang. Sampai semua karung berisi pakaian ini masuk kedalam gudang. Dan kedua benalu itu tidak ada berniat membantuku.

Ah, sudahlah. Menunggu bantuan mereka, bagai mengaharap hujan di musin kemarau.

Fiiuuuhh! Lelah ....

Kuseka keringat yang membanjiri dahiku. Sudah sama aku seperti janda. Apa-apa dikerjakan sendiri. Mencari makan sendiri, usaha sendiri, haahhh, pokoknya semua serba sendiri.

Sayup-sayup kudengar suara sepeda motor dinyalakan. Bergegas keluar, takut dicuri orang. Maklum, kota medan. Tidak pernah aman dari curanmor. Sebentar saja motor ditinggalkan di halaman, langsung dilarikan.

Bermodal kunci T, para kawanan pencuri bisa menggondol motor. Rumah makan, grosir, pasar, rumah ibadah, semuanya tidak ada yang aman bagi pemilik motor.

Bahkan, motor yang sedang dikendarai saja, bisa mereka rampok. Huufftt... Entah kapan kota medan ini aman dari curanmor.

Dan ... Ternyata, pelakunya mereka berdua.

"Mas! Mau dibawa kemana sepeda motorku?" tanyaku pada Mas Dendi yang sudah nangkring di atasnya bersama Rama.

"Mau pergi!" sahutnya tanpa melihat ke arahku.

"Pergi kemana? Naik motor kamu, sendiri 'kan bisa!" kataku, tak suka.

"Motorku habis bensin," sahutnya enteng.

 Mas Dendi langsung melesat saat aku hendak mengejarnya. Padahal motor sudah ada sendiri-sendiri. Bisanya dia bawa punyaku. Alasan bensin habis. 

Jadi, uang gajinya empat juta lebih selama ini dia kemanakan! Sampai bensin saja tidak bisa dibelinya. 

Makin pusing aku memikirkannya. Kalau saja ada toko jual beli suami bekas, sudah kujual dia, tanpa pikir panjang.

*

Jam 7 malam, Mas Dendi dan Rama pulang. Entah kemana mereka membawa sepeda motorku. Tau-tau sudah habis bensin, saat aku hendak memakainya.

Andai aku punya sihir seperti peri dicerita cinderella, sudah kusihir mereka berdua menjadi sapi, lalu kujual agar bisa lebih bermanfaat.

Huuuhhh!

Jangan bayangkan betapa emosinya aku! Jika bisa meledak, maka sudah meledak isi kepalaku dibuat mereka.

"Rama, ayo makan!" seru Mas Dendi pada adiknya yang sedang berada di kamar.

Dia pulang membawa nasi dua bungkus. Bayangkan! Hanya dua bungkus. Sudah jelas, pasti itu untuk mereka berdua. Apakah suamiku ini tidak memikrkanku? 

Minyak motor tidak diisi, makanan juga tidak dibelikan. Sungguh manusia pohon pisang! Punya jantung, tapi tak punya hati.

Rama datang, lalu duduk lesehan di lantai dapur. Maklum, aku belum punya meja makan.

Mereka berdua makan dengan lahap tanpa menawariku. Padahal aku berdiri di ambang pintu.

Wahhh, keterlaluan! Apa mereka pikir aku makhluk halus yang tak kasat mata?

Kutinggalkan mereka bedua yang sedang menikmati makanannya. Terpaksa jalan kaki untuk membeli makan malamku.

 Nasib!

*

Pagi...

Piring berantakan di dapur, gelas, mangkuk, sendok, semuanya sudah tidak lagi pada tempatnya. Sudah pasti, ini kerjaan mereka berdua tadi malam.

Pakaian menggunung di samping kamar mandi. Tak terkecuali pakaian adik iparku.

Makin ngelunjak, ini benalu. Belum tahu dia mamak-mamak medan kalau marah! Bisa rata dengan tanah, satu kampung ini dibuatnya.

Kupisahkan pakaianku dari tumpukan tersebut. Lalu masukkan dalam ember lain.

Biarkan saja! Sampai membusuk pun aku tidak mau mencucinya! Sekalian, kuserakkan semua pakaian mereka di lantai. 

Hahahah! Pembalasan.

Mulai hari ini, aku hanya akan mencuci pakaianku dan mencuci piring bekas makanku. Lainnya biar mereka yang mengerjakannya.

Biarkan saja rumah berantakan seperti kapal pecah. Jika mereka risih, pasti akan dibersihkannya.

"Melia!" seru Mas Danu. Aku sedang mencuci pakaian di belakang rumah. Mesin cuci sedang rusak, jadi harus manual.

"Melia!" panggilnya lagi. Karena tak ada sahutan dariku, dia pun ke belakang untuk menemuiku.

"Hei, Melia! Kau dipanggil, kenapa tidak menjawab?" tanyanya emosi.

"Nggak dengar! Masih ngebrus soalnya," jawabku masih terus mengebrus pakaian di tangan.

"Jadi kenapa cuma mencuci pakaianmu? Dan yang lainnya kamu biarkan berserakan begitu?" tanyanya.

"Lah, itu pakaian siapa?" Aku balik bertanya.

"Pakaianku dan Rama!" jawabnya enteng.

"Yang makai siapa?" tanyaku lagi.

"Ya, aku dan Rama juga."

"Berarti, yang mencuci juga, harus kamu dan Rama! Jangan suruh aku!" kataku, tanpa mengalihkan pandangan.

"Jadi, apalah fungsimu sebagai istri?" tanyanya kesal.

"Mencari uang, untuk diri sendiri," awabku santai.

"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya, sok pintar.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status