Share

Bab 8

Pov Dendi.

Lelah sekali rasanya. Tiap hari harus tarik urat bila berbicara dengan Melia. Wanita yang sudah tiga tahun kunikahi.

Dia sangat berubah semenjak mengetahui adik lelakiku meminta ponsel seharga lima juta. Memang aku meminta untuk dia terlebih dahulu yang membelikannya. Tanggal tua, sudah pasti uangku tidak bersisah. Biasanya juga aku meminta padanya bila kekurangan uang untuk membeli bensin.

Aku tahu, bahkan ponsel miliknya tidak semahal itu. Tapi demi adik, masa dia tidak mau menurutinya. Apalagi adik bungsuku belum bekerja. Kan kasihan jika dia meminta tapi tidak diberikan.

Mengapa dia menjadi sangat perhitungan begini. Bukankah selama ini uangku adalah uangnya. Dan uangnya adalah uangku?

Selama ini juga dia tidak pernah protes bila kuberi uang satu juta untuk keperluan rumah. Apa betul yang dikatakan Rama, bahwa dia sudah memiliki pria idaman lain?

Melia istriku, kenapa kamu sampai seperti ini!

Dulu, saat pertama kali aku bertemu dengan Melia, aku langsung jatuh cinta padanya.

 Kesederhanaan yang selalu ditampilkannya, membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah cantik serta kulit putih, membuatnya semakin menarik di mataku.

Bahkan setelah menikah, wanita itu masih tetap sederhana, penurut, bahkan tidak pernah membantah segala ucapanku.

Aku merasa dia berubah, juga karena sudah bisa mencari uang sendiri. Kulihat, usaha jualan online miliknya, semakin berkembang. Modal yang awalnya kuberi dua juta, kini bisa berpuluh kali lipat.

Lima bulan pernikahan kami, dia mulai merintis berjualan online. Awalnya, sangat sulit sekali mencari pelanggan.

Aku kasihan melihat perjuangannya saat itu. Pergi belanja ke kota, hanya demi tiga orang pelanggannya. Naik angkot, berdesakan dengan penumpang lain, di lakoni demi pelanggan pertamanya. Setiap kali ada orderan, pasti istriku langsung pergi karena tak mau mengecewakan pelanggan. Mengantar barang juga dengan berjalan kaki jika dekat, jika jauh, dia akan naik angkot.

Enam bulan berjuan online, Melia bisa membeli sepeda motor sendiri. Saat itu, pelanggannya sudah cukup banyak. Bahkan beberapa orang reseller juga sudah ada.

Memiliki sepeda motor sendiri, membuatnya tak pernah menggunakan kendaraan umum.

Aku tidak pernah membantu usahanya. Mau dia berbelanja, mengantar orderan, selalu istriku sendiri yang mengerjakannya.

Aku memang malas membantunya. Karena dia sendiri yang meminta untuk berjualan olnline bukan aku yang memintanya.

Mungkin dia sadar diri karena kebutuhan hidup sangat besar. Bulanan rumah, memberi adik bungsuku, dan kebutuhan sehari-hari. Pasti Melia tahu bahwa gajiku tak akan cukup.

Perkembanga usahanya, semakin hari, semakin pesat. Bahkan dari penghasilannya, dia bisa membeli perabotan rumah. Seperti TV, sofa, kulkas, mesin cuci. Semuanya dibeli pakai uang hasil dari keuntungan jualan. Bahkan bulanan rumah juga menjadi tanggung jawabnya sejak setahun belakangan ini.

Rumah ini masih kredit, jadi tiap bulan selama lima belas tahun, kami akan membayarnya. Jika tidak begini, kami tidak akan pernah punya rumah sendiri.

Tanah di medan ini, sudah sangat mahal. Permeter bisa sampai satu juta. Belum lagi bahan bangunan. Mau uang dari mana kami membelinya.

Uang untuk Dp rumah yang kami huni saat ini, juga perhiasan Melia yang kujual, dan ditambah uang tabungannya. Keluargaku tidak ada yang tahu. Mereka mengira DP rumah ini adalah hasil tabunganku. Padahal dari sebelum menikah, aku sudah tak memiliki tabungan, karena selalu royal pada mereka.

Dari awal menikah, perhiasan Melia sudah kujual atas izinnya. Agar kami tidak perlu serumah dengan orang tuaku, atau orang tua istriku.

Melia tak masalah, karena memang dia tidak ingin ada pertengkaran dengan mertua jika tinggal satu atap.

Setahun setelah menikah, aku hanya memberi uang satu juta untuk keperluan hidup kami. Bukankah itu cukup? Apalagi dia sudah memiliki penghasilan sendiri.

Uang gajiku sudah lumayan, meskipun hanya karyawan pabrik, kadang sebulan bisa mencapai enam juta jika aku sering lembur. Bahkan hari minggu juga aku tetap bekerja demi menambah pundi-pundi rupiah.

Ibu kuberi satu juta tiap bulannya. Rama satu juta, dan Laras lima ratus ribu tanpa sepengetahuan adik bungsuku. Bisa iri dia bila kakaknya yang sudah menikah juga kuberi uang bulanan. Dan selebih gaji, aku gunakan untuk diri sendiri.

Kadang untuk mentraktir teman minum tuak, makan di warung, dan lain sebagainya saat kami berkumpul.

Keluarga istriku? Mereka semua tak pernah kuberi. Aku merasa, tidak penting memberikan uang atau apapun untuk mereka. Karena menurutku, mereka bukan siapa-siapa jika aku tidak menikah dengan Melia.

Aku juga tidak pernah menyusahkan mereka. Sepeserpun tak pernah meminta bantuan pada mereka. Malah mereka yang sering minta bantuan padaku. Tentu saja kutolak. Dari pada uangku tidak kembali. Harus waspada dong! Rambut sama hitam, tapi hati, sapa yang tahu?

Selama ini, Melia tidak pernah sekalipun bertanya uang gaji kugunakan untuk apa. Jadi, aku leluasa menghamburkannya.

"Bang! Kenapa melamun aja sih?" tanya Rama. Kami sudah pulang dari acara jalan-jalan malam.

Hanya berkeliling, melihat keramaian dan cewek cantik di jalanan. Dari pada jenuh di rumah. Lagian, kasihan si Rama. Tiap hari harus terkurung di rumah, tak pernah kuajak keluar.

"Nggak apa. Capek aja tadi pulang kerja," jawabku lesu. Padahal ini semua karena memikirkan Melia yang sudah tidak peduli lagi denganku.

"Tidurlah kalau capek," ucapnya memberi saran.

Aku mengangguk mengiyakan.

Sudah beberapa hari sejak pertengkaran itu, kami tidur terpisah. Melia di kamar, sementara aku di sofa. Sama seperti hari ini. Istriku sudah mengunci kamar saat aku tiba di rumah.

Istriku selalu mengunci pintu bila malam tiba. Dan akan membukanya jika hari sudah pagi. Seperti orang asing saja kami ini.

Mau tak mau, aku harus tidur menekuk seperti udang.

"Oh, ya, Bang. Besok dimana kita beli hapenya?" tanyanya bersemangat. Mungkin karena akan memiliki ponsel baru. Makanya dia bersemangat seperti itu.

"Suka hati kamu, mau dimana," jawabku. 

"Di Plaza milenium, ya? Sekalian jalan-jalan," pintanya sambil menaik turunkan alis.

"Tapi, tunggu abang pulang kerja ya! Karena nggak mungkin besok libur."

"Oke! Yang penting jadi beli hape,"

Aku tersenyum. Jika kemauannya diruruti, pasti dia akan semringah. Dan itu membuatku bahagia.

Adik bungsuku yang selalu kami manja. Semoga bisa menjadi kebanggaan dalam keluarga.

Aku berjalan ke kamar mandi. Rasanya tubuh ini sangat gerah, meskipun sore tadi sudah mandi.

Memikirkan Melia, membuatku gerah. Entahlah. Rasanya hati ini mendidih bila mengingat kelakuannya.

Perubahannya sungguh sangat drastis. Dari istri penurut, menjadi istri pembangkang.

Apa salah dan dosaku tuhan? Hingga memiliki istri sepertinya. 

Padahal aku sudah baik, rajin bekerja, tampan juga. Tapi mengapa memiliki istri seperti dia!

Ah, sudahlah. Sepertinya dengan mandi dapat meredamkan kegerahanku.

Bersambung.

Tinggalkan jejak di bawah, ya... 😉😉

🐾🐾🐾🐾

Seperti janjiku, sehari dua bab.

Jika tidak sedang sibuk, maka tiap harinya, aku akan up dua bab, ya...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status