Pov Dendi.
Lelah sekali rasanya. Tiap hari harus tarik urat bila berbicara dengan Melia. Wanita yang sudah tiga tahun kunikahi.
Dia sangat berubah semenjak mengetahui adik lelakiku meminta ponsel seharga lima juta. Memang aku meminta untuk dia terlebih dahulu yang membelikannya. Tanggal tua, sudah pasti uangku tidak bersisah. Biasanya juga aku meminta padanya bila kekurangan uang untuk membeli bensin.
Aku tahu, bahkan ponsel miliknya tidak semahal itu. Tapi demi adik, masa dia tidak mau menurutinya. Apalagi adik bungsuku belum bekerja. Kan kasihan jika dia meminta tapi tidak diberikan.
Mengapa dia menjadi sangat perhitungan begini. Bukankah selama ini uangku adalah uangnya. Dan uangnya adalah uangku?
Selama ini juga dia tidak pernah protes bila kuberi uang satu juta untuk keperluan rumah. Apa betul yang dikatakan Rama, bahwa dia sudah memiliki pria idaman lain?
Melia istriku, kenapa kamu sampai seperti ini!
Dulu, saat pertama kali aku bertemu dengan Melia, aku langsung jatuh cinta padanya.
Kesederhanaan yang selalu ditampilkannya, membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah cantik serta kulit putih, membuatnya semakin menarik di mataku.
Bahkan setelah menikah, wanita itu masih tetap sederhana, penurut, bahkan tidak pernah membantah segala ucapanku.
Aku merasa dia berubah, juga karena sudah bisa mencari uang sendiri. Kulihat, usaha jualan online miliknya, semakin berkembang. Modal yang awalnya kuberi dua juta, kini bisa berpuluh kali lipat.
Lima bulan pernikahan kami, dia mulai merintis berjualan online. Awalnya, sangat sulit sekali mencari pelanggan.
Aku kasihan melihat perjuangannya saat itu. Pergi belanja ke kota, hanya demi tiga orang pelanggannya. Naik angkot, berdesakan dengan penumpang lain, di lakoni demi pelanggan pertamanya. Setiap kali ada orderan, pasti istriku langsung pergi karena tak mau mengecewakan pelanggan. Mengantar barang juga dengan berjalan kaki jika dekat, jika jauh, dia akan naik angkot.
Enam bulan berjuan online, Melia bisa membeli sepeda motor sendiri. Saat itu, pelanggannya sudah cukup banyak. Bahkan beberapa orang reseller juga sudah ada.
Memiliki sepeda motor sendiri, membuatnya tak pernah menggunakan kendaraan umum.
Aku tidak pernah membantu usahanya. Mau dia berbelanja, mengantar orderan, selalu istriku sendiri yang mengerjakannya.
Aku memang malas membantunya. Karena dia sendiri yang meminta untuk berjualan olnline bukan aku yang memintanya.
Mungkin dia sadar diri karena kebutuhan hidup sangat besar. Bulanan rumah, memberi adik bungsuku, dan kebutuhan sehari-hari. Pasti Melia tahu bahwa gajiku tak akan cukup.
Perkembanga usahanya, semakin hari, semakin pesat. Bahkan dari penghasilannya, dia bisa membeli perabotan rumah. Seperti TV, sofa, kulkas, mesin cuci. Semuanya dibeli pakai uang hasil dari keuntungan jualan. Bahkan bulanan rumah juga menjadi tanggung jawabnya sejak setahun belakangan ini.
Rumah ini masih kredit, jadi tiap bulan selama lima belas tahun, kami akan membayarnya. Jika tidak begini, kami tidak akan pernah punya rumah sendiri.
Tanah di medan ini, sudah sangat mahal. Permeter bisa sampai satu juta. Belum lagi bahan bangunan. Mau uang dari mana kami membelinya.
Uang untuk Dp rumah yang kami huni saat ini, juga perhiasan Melia yang kujual, dan ditambah uang tabungannya. Keluargaku tidak ada yang tahu. Mereka mengira DP rumah ini adalah hasil tabunganku. Padahal dari sebelum menikah, aku sudah tak memiliki tabungan, karena selalu royal pada mereka.
Dari awal menikah, perhiasan Melia sudah kujual atas izinnya. Agar kami tidak perlu serumah dengan orang tuaku, atau orang tua istriku.
Melia tak masalah, karena memang dia tidak ingin ada pertengkaran dengan mertua jika tinggal satu atap.
Setahun setelah menikah, aku hanya memberi uang satu juta untuk keperluan hidup kami. Bukankah itu cukup? Apalagi dia sudah memiliki penghasilan sendiri.
Uang gajiku sudah lumayan, meskipun hanya karyawan pabrik, kadang sebulan bisa mencapai enam juta jika aku sering lembur. Bahkan hari minggu juga aku tetap bekerja demi menambah pundi-pundi rupiah.
Ibu kuberi satu juta tiap bulannya. Rama satu juta, dan Laras lima ratus ribu tanpa sepengetahuan adik bungsuku. Bisa iri dia bila kakaknya yang sudah menikah juga kuberi uang bulanan. Dan selebih gaji, aku gunakan untuk diri sendiri.
Kadang untuk mentraktir teman minum tuak, makan di warung, dan lain sebagainya saat kami berkumpul.
Keluarga istriku? Mereka semua tak pernah kuberi. Aku merasa, tidak penting memberikan uang atau apapun untuk mereka. Karena menurutku, mereka bukan siapa-siapa jika aku tidak menikah dengan Melia.
Aku juga tidak pernah menyusahkan mereka. Sepeserpun tak pernah meminta bantuan pada mereka. Malah mereka yang sering minta bantuan padaku. Tentu saja kutolak. Dari pada uangku tidak kembali. Harus waspada dong! Rambut sama hitam, tapi hati, sapa yang tahu?
Selama ini, Melia tidak pernah sekalipun bertanya uang gaji kugunakan untuk apa. Jadi, aku leluasa menghamburkannya.
"Bang! Kenapa melamun aja sih?" tanya Rama. Kami sudah pulang dari acara jalan-jalan malam.
Hanya berkeliling, melihat keramaian dan cewek cantik di jalanan. Dari pada jenuh di rumah. Lagian, kasihan si Rama. Tiap hari harus terkurung di rumah, tak pernah kuajak keluar.
"Nggak apa. Capek aja tadi pulang kerja," jawabku lesu. Padahal ini semua karena memikirkan Melia yang sudah tidak peduli lagi denganku.
"Tidurlah kalau capek," ucapnya memberi saran.
Aku mengangguk mengiyakan.
Sudah beberapa hari sejak pertengkaran itu, kami tidur terpisah. Melia di kamar, sementara aku di sofa. Sama seperti hari ini. Istriku sudah mengunci kamar saat aku tiba di rumah.
Istriku selalu mengunci pintu bila malam tiba. Dan akan membukanya jika hari sudah pagi. Seperti orang asing saja kami ini.
Mau tak mau, aku harus tidur menekuk seperti udang.
"Oh, ya, Bang. Besok dimana kita beli hapenya?" tanyanya bersemangat. Mungkin karena akan memiliki ponsel baru. Makanya dia bersemangat seperti itu.
"Suka hati kamu, mau dimana," jawabku.
"Di Plaza milenium, ya? Sekalian jalan-jalan," pintanya sambil menaik turunkan alis.
"Tapi, tunggu abang pulang kerja ya! Karena nggak mungkin besok libur."
"Oke! Yang penting jadi beli hape,"
Aku tersenyum. Jika kemauannya diruruti, pasti dia akan semringah. Dan itu membuatku bahagia.
Adik bungsuku yang selalu kami manja. Semoga bisa menjadi kebanggaan dalam keluarga.
Aku berjalan ke kamar mandi. Rasanya tubuh ini sangat gerah, meskipun sore tadi sudah mandi.
Memikirkan Melia, membuatku gerah. Entahlah. Rasanya hati ini mendidih bila mengingat kelakuannya.
Perubahannya sungguh sangat drastis. Dari istri penurut, menjadi istri pembangkang.
Apa salah dan dosaku tuhan? Hingga memiliki istri sepertinya.
Padahal aku sudah baik, rajin bekerja, tampan juga. Tapi mengapa memiliki istri seperti dia!
Ah, sudahlah. Sepertinya dengan mandi dapat meredamkan kegerahanku.
Bersambung.
Tinggalkan jejak di bawah, ya... 😉😉
🐾🐾🐾🐾
Seperti janjiku, sehari dua bab.
Jika tidak sedang sibuk, maka tiap harinya, aku akan up dua bab, ya...
Pov Dendi.Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat aku baru saja sampai di rumah. Kulihat Melia sedang duduk bersantai di sofa.Apakah dia sengaja menungguku pulang bekerja? Apa dia tahu hari ini aku gajian? Tanya hatiku bertubi.Setelah melepas sepatu, aku berjalan mendekatinya. Dan setelah sampai kujatukan bok*ng di sampingnya."Dek, hari ini abang gajian," ucapku membuka percakapan.Melia hanya melirik sekilas. "Terus?" tanyanya, seperti tidak tertarik dengan bahasanku."Ini, Mas kasih uang untuk belanja bulanan." Kuserahkan uang satu juta padanya.Melia menerima lalu menghitungnya."Jadi, sekarang, Adek udah bisa masak untuk abang dan Rama lagi 'kan?" sambungku. Kulihat ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaan."Huuuufffttt." Melia mendesah lelah."Uang sejuta untuk makan kalian berdua? Ini nggak cukup," ujarnya, seraya meletakkan kembali uang yang telah kuberi ke tanganku."Tapi biasanya, 'kan memang segini, Dek," jawabku."Itu, karena kamu sendiri. Sekarang kan berdua. Ja
"Sudahlah, tinggalkan saja wanita seperti Melia, Bang! Untuk apa lagi dipertahankan. Bahkan sampai sekarang dia belum memiliki anak. Padahal pernikahan kalian sudah berjalan tiga tahun. Jangan-jangan dia mandul. Masih banyak kok, wanita lain yang mau menerimamu," ujar Rama. Suaranya sangat keras. Aku yang baru saja sampai di ruang tamu mendengar dia berucap seperti itu. Sengaja kaki ini kulangkahkan dengan perlahan. Aku ingin mendengar semua yang diucapkan Rama di belakangku. Dan teryata adik iparku sangat berbisa.Sungguh tajam sekali lidahnya. Bisanya dia mengatakan bahwa aku mandul. Sudah yakin sekali dia bahwa akulah yang bermasalah. Tidak bisa kubiarkan ini. Harus segera ditumpas.Sehabis maghrib tadi, memang aku keluar untuk menjemput, Bang Randi, abang kandungku. Kami hanya dua bersaudara. Setelah menikah, dia bersama sang istri tinggal di kota lain.Dari kemarin dia sudah mengabariku bahwa akan datang berkunjung. Sebenarnya ingin melihat ibuku di kampung. Sudah lama dia tidak
Aku duduk di samping Bang Randi, sedangkan Mas Dendi dan Rama di hadapan kami. "Jadi, apalah pokok permasalahannya?" tanya Pak Jupri, marga harahap, selaku ketua RT di lorong kami. Kami memang tinggal diperumahan yang dibangun pemerintah untuk dibeli secara kredit. Tak taulah aku apa namanya. Rumah kpr atau apalah itu. Yang penting, rumahlah setauku. "Saya ingin berpisah dengan suami saya, Pak!" jawabku mantap, tanpa ragu sedikitpun. Semangat Melia! Hatiku menyorakiku. "Saya juga ingin berpisah dengan dia, Pak." Mas Dendi ikut bersuara tak mau kalah. Mungkin malu, jika hanya aku yang minta berpisah. "Apakah sudah tidak bisa dicari jalan keluarnya? Pernikahan kalian, masih bisa dipertahankan. Jangan sampai menyesal belakangan." Pak Umar sekalu imam desa, menasehati kami. "Sudah tidak bisa lagi dipertahankan, Pak. Istri saya menjadi pembangkang. Apapun yang saya ucapkan, selalu dibantahnya. Belum lagi dia tidak akur dengan adik saya. Bahkan tidak membolehkan saya memberikan apa kei
"Cepat kumpulkan barangmu dan pergi tinggalkan rumah ini," imbuhnya mengusirku dan Bang Randi. Wahhh, minta dilempar ke kandang buaya nih, kamvret. Dia pikir, dirinya siapa sampai bisa mengusirku? Perlu dijelaskan sepertinya. Biar tahu diri dia. "Oh, ya Bapak-bapak dan ibu. Saya juga ingin kalian semua menjadi saksi pembagian harta gono gini," ujarku mengintrupsi. Semuanya mengangguk sepakat. Rama tersenyum miring mengejek. "Jadi, seluruh berkakas yang ada dirumah ini adalah milik saya. Dari mulai, kulkas, TV, Sofa, seluruh lemari, kasur, dan beberapa perabotan dapur, saya yang membelinya sendir. Pakai uang dari kantong pribadi-" "Bohong dia Pak, Bu! Mana mungkin dia bisa membeli semua ini," potong Rama. Memang mulutnya. Tak ada sopan santunnya sama sekali! Belum siap aku berbicara, dia langsung memotong. "Kau! Kalau tidak tau apa-apa, lebih baik diam aja!" tegurku jengkel. "Apa kau tidak sadar semua ini milik abangku?" tanyanya sok tau. Tengik sekali gayanya. Serasa pengen men
"Apa begini yang dinamakan pembagian harta, Pak Umar? Seharusnya, semua dibagi dua karena kami sudah menikah. Seperti orang cerai pada umumnya, harta dibagi dua." Mas Dendi protes dengan semua yang kukatakan. Mungkin dia tidak terima karena tak mendapatkan apa-apa.Apa tidak tau malu dirinya? sampai bisa berkata begitu! Kurasa, udah putus urat malunya. Seenak muncun9 kalau bicara.Bagi dua katanya? Ngimpi!"Masa, saya hanya kebagian motor butut, kompor butut, dan beberapa berkakas saja?" keluhnya. Bibirnya manyun lima senti. Bila dikuncir dengan karet gelang, kurasa bisa.Mungkin nyawanya belum menyatu dengan raganya, jadi dia sedikit lupa ingatan. Yang dia punya memang hanya itu. Masa iya, mau minta yang lainnya. Huuufffftt, Tuhan! Salah apa aku pada-Mu, dapat suami macam dia."Pak Dendi. Harta yang dibagi dua adalah harta yang anda cari sendiri tanpa bantuan istri. Misalnya, istri anda hanya dirumah, menyiapkan semuanya untuk anda, ya seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Duduk man
"Kau, tunggu apa lagi? Ambil semua barangmu dan pergi dari rumah ini," usirku.Rama tersentak kaget. Dia juga langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar belakang."Ambil semua barang kalian! Jangan ada yang tertinggal," ucapku setengah berteriak. Dari pada nanti mereka kembali ke rumah ini dengan alasan ada barang yang tertinggal. Malas kali bertemu mereka lagi. Kalau bisa sekalian di telan bumi aja, mereka berdua.Manusia nggak ada akhlak! "Sabar, ya, dekku! Semua pasti yang terbaik untukmu dekku," ujar Bu Saidah menguatkanku. Tangannya mengelus pelan pundakku. Sebagai tetangga, kami memang cukup dekat. Ya, walaupun tidak terlalu.Meskipun sibuk, biasanya aku tetap menyempatkan diri untuk bergabung dengan para tetangga, agar lebih dekat dan terjalin kekeluargaan. Jadi, ketika kita butuh bantuan, mereka tidak akan segan membantunya."Pasti, masih banyak lelaki yang suka samamu. Masih cantik kau, rajin cari uang lagi. Suami seperti itu, memang cocok di campakkan. Sabar ya, dekku!" Ki
"Besok sore, Abang, mau ke rumah Mamak. Kamu ikut nggak?" tanya Bang Randi, setelah selesai makan.Saat ini, kami berdua sedang duduk di ruang tv untuk sekedar berbincang. "Nggak, lah. Nanti mereka marah, dengar aku cerai." Aku belum siap untuk pulang kampung dan bertemu ibu, bapak.Bukan hanya takut dimarah, tapi juga malu dengan mereka. Pernikahan baru tiga tahun, harus kandas.Nanti, jika sudah siap. Aku akan pulang kampung, dan mengatakan semua yang terjadi padaku. Untuk saat ini, biarlah mereka tidak tahu dulu."Halah, paling berapa lama lah mereka marah." "Ya, tetap aja, bakal kena marah. Abang, aja duluan yang pulang. Nanti tiga bulan lagi aku nyusul.""Terserahmu lah. Yang penting, tetap ingat pulang.""Iya, beres.""Tidurlah kita. Ngantuk kali, Abang."Aku mengangguk. Bang Randi beranjak menuju sofa. Malam ini, dia akan tidur di sana.Kamar belakang belum kubelikan kasur. Jadi tak bisa untuk di tempati tamu.Aku kembali ke dapur. Membersihkan sisa makanan kami, dan menyusun
Oh, ya sudahlah.""Hati-hati kamu di rumah. Kalau ada apa-apa, hubungi Abang. Tapi, bila butuh bantuan, cepat lapor saja keperangkat desa," ujarnya mengingatkan."Iya, Bang. Beres semua itu. Tenang saja abang. Adikmu ini, bukan kaleng-kaleng. Suami aja diusir, apalagi penjahat...""Nggak usah bercanda, Kamu! Abang serius," gerutunya."Iya, Bang," jawabku mengalah."Ya, udah. Abang, berangkat dulu!""Nggak sarapan?" tanyaku basa basi."Sarapan apa? Kamu aja baru bangun! Apapun tak ada di dapur," sungutnya."Hehehehe. Lupa aku tadi. Keenakan tidur.""Lanjutkan prestasi tidurmu itu!" ejeknya.Aku hanya bisa nyengir kuda. Dia sangat tau tingkah lakuku."Ya udah. Abang pergi dulu. Assalamualaikum," pamitnya aku mengantarkan sampai teras rumah."Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan." Bang Randi hanya memberikan jempolnya, pertanda oke.Ternyata sudah ada ojek online yang menunggunya. Mungkin abangku tau, adiknya sibuk, tak sempat untuk mengantarkannya.Iya, sibuk membuat pulau seribu di bant